PENDEKAR BUTA JILID 052
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Bukan main marahnya Tengkorak Hitam. Dia adalah seorang kepala bajak yang sudah terkenal. Hanya di seberang sini saja dia menjadi kepala bajak, kalau sudah pulang ke seberang sana membawa barang-barang rampasan, dia adalah seorang yang memiliki gedung indah, dihormati semua orang. Sekarang dia dihina oleh seorang tua bangka, padahal biasanya di seberang sana dia amat ditakuti orang, tentu saja dia marah sekali. Pedangnya diobat-abitkan keatas kepala, kata-katanya tidak jelas tercampur bahasa Jepang,
“Bakeiroo………..! Kau mau mampus, ya?”
Pedang itu menyambar kearah leher Song-bun-kwi, agaknya dengan sekali tebas Si Tengkorak Hitam hendak menjadikan kakek itu setan tanpa kepala. Song-bun-kwi mendengus sambil bangkit berdiri, tangan kirinya membabat dari samping memapaki pedang.
“Krekkk!”
Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong saking hebatnya gempuran tangan kakek ini. Si kepala bajak seketika pucat, terbelalak memandang pedang yang tinggal gagangnya saja itu. Namun dia seorang bajak laut yang buas dan tak kenal takut. Sambil menyumpah-nyumpah dia membanting gagang pedangnya dan segera kaki tangannya bergerak-gerak mempergunakan ilmu gulat yang amat dia andalkan.
Jari-jari tangannya terbuka seperti cengkeraman, siap untuk menangkap lawan dan diangkat serta dibantingkan. Biasanya tak pernah dia gagal dalam membantingkan lawan mempergunakan ilmu ini. Malah lawan yang jauh lebih muda dan lebih tinggi besar daripada kakek itu pernah dia permainkan, dia banting-banting seperti penatu membanting cuciannya.
Song-bun-kwi tidak mengenal ilmu berkelahi semacam ini, namun melihat kuda-kuda yang diberatkan ke bawah dan melihat kedua tangan yang siap mencengkeram, dia dapat menduga bahwa ilmu ini tentulah semacam Ilmu Kim-na-chiu, ilmu tangkap atau ilmu gulat. Dia terkekeh lalu mengulurkan tangan kirinya, sengaja dia berikan untuk ditangkap lawan!
Seorang ahli silat tentu akan ragu-ragu dan tidak berani menerima umpan selunak ini. Akan tetapi Tengkorak Hitam agaknya tidak mengenal istilah umpan dalam ilmunya berkelahi, atau memang dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga umpan itu dia caplok mentah-mentah.
Cepat laksana bintang jatuh dia menerkam maju dan dilain saat lengan kiri Song-bun-kwi sudah ditangkapnya, diputar dengan gaya selicin belut, tubuhnya menyelinap dan membalik sehingga kedudukan lengan Song-bun-kwi terbalik dan dilandaskan diatas pundaknya, kemudian dia mengerahkan tenaga dari perut sambil memekik keras, menggentak lengan kiri kakek itu dengan gaya melemparkan tubuh si kakek keatas melewati punggung dan pundaknya.
Tubuh itu terlempar keatas sampai membentur langit-langit rumah lalu jatuh menimpa meja makan yang belum keburu dibereskan sehingga kuah masakan dalam mangkok memercik keatas menyiram muka orang yang jatuh itu.
Tapi bukan tubuh Song-bun-kwi yang terlempar, melainkan tubuh Tengkorak Hitam sendiri! Kepala bajak ini gelagapan, cepat menyusuti mukanya, terengah-engah meloncat turun dari kursi, kepalanya digoyang-goyang keras seperti laku seekor anjing habis kecemplung kolam, matanya terbeliak memandang kakek itu seakan-akan dia tidak percaya bahwa yang baru saja dia alami bukanlah mimpi buruk.
Sambil menahan rasa nyeri di seluruh tubuhnya kembali dia menggereng dan menubruk. Kali ini dia menangkap kaki Song-bun-kwi. Kakek itu hanya berdiri dan tunduk memandang orang pendek yang nekat itu.
Tengkorak Hitam berkutetan, mengerahkan tenaga untuk mengangkat kaki itu agar dia mendapat peluang untuk melontarkan si kakek. Namun kaki itu tak bergeming sedikitpun juga. Sampai payah dia mengerahkan semua tenaga perut, ah-uh-ah-uh mulutnya terengah-engah.
Mendadak kaki itu terangkat sedikit. Girang hatinya. Mampus kau sekarang tua bangka, pikirnya. Tubuhnya menyelinap ke bawah selakang kakek itu, kaki itu di pundaknya dan kini dia mengerahkan seluruh tenaganya sambil menggentak.
“Bull!”
Seperti layang-layang putus talinya tubuh itu mumbul keatas, sekali lagi menghantam langit-langit sampai jebol kemudian terbanting ke bawah membikin remuk bangku yang ditimpanya. Juga kali ini tubuh Tengkorak Hitamlah yang melayang-layang, bukan tubuh si kakek kosen.
Sakit, marah, dan malu memenuhi benak Tengkorak Hitam, apalagi ketika dia melihat betapa mulai berdatangan orang menonton. Dia menjadi nekat dan kini hendak menggunakan ilmu pukulan. Dia menerjang lagi dengan tangan terkepal.
Tiba-tiba tubuhnya yang merunduk dengan kepala di depan seperti laku seekor domba hendak menanduk ayam, berhenti di tengah jalan, tepat di muka kakek itu. Kepalanya tertahan sesuatu. Matanya melirik dan alangkah marahnya melihat bahwa kakek itulah yang menahan kepalanya dengan telapak tangan. Dia mengumpat caci, kedua tangannya menghantam bergantian, disusul kakinya yang juga mengirim tendangan-tendangan maut.
Akan tetapi, serangan-serangannya mengenai tempat kosong belaka, atau tegasnya, tidak sampai di tubuh si kakek. Seperti diketahui, bajak laut itu tubuhnya pendek, kedua lengannya pun pendek-pendek sekali, demikian pula kedua kakinya. Tentu saja setelah kakek itu yang bertubuh tinggi besar dan berlengan panjang menahan kepalanya dengan lengan diluruskan, semua pukulan dan tendangannya gagal, tidak sampai ke sasarannya.
Terdengar suara ketawa disana-sini. Bajak itu marah sekali, kini menghantam lengan yang menahan kepalanya. Sia-sia, malah kedua tangannya sakit-sakit seperti menghantam baja layaknya.
Tiba-tiba dia merasa betapa telapak tangan yang menahan kepalanya itu menjadi panas sekali. Dia berusaha menarik kepalanya yang botak, namun alangkah kagetnya ketika merasa betapa kepala botaknya itu lengket pada telapak tangan lawan. Dan panasnya tak dapat dia menahannya lebih lama, seakan-akan botaknya ditempel arang merah! Dia mulai mengerling keluar restoran dan tanpa malu-malu lagi mulutnya berteriak-teriak memanggil anak buahnya supaya membantunya melawan kakek yang aneh ini.
Akan tetapi, begitu matanya mengerling keluar, seketika wajahnya pucat. Apa yang dilihatnya? Anak buahnya sudah tidak kelihatan batang hidungnya seorangpun, malah sebuah perahupun tidak tampak lagi. Pantas saja banyak orang berdatangan menonton pertunjukkan di dalam restoran, kiranya sekarang diluar restoran sudah tidak ada bajak laut lagi!
Apakah sebetulnya yang telah terjadi diluar restoran? Seperti telah kita ketahui, pada saat kepala bajak itu beraksi di depan Song-bun-kwi, para bajak laut itu sedang bertempur menyerbu para jagoan pengawal yang melawan mati-matian. Namun karena kalah banyak jumlahnya, para pengawal itu kena desak dan mulai mundur tak teratur. Mulai banyaklah berjatuhan korban di kedua fihak, terutama sekali di fihak para pengawal.
Pada saat itu, terdengar bentakan mengguntur, disusul suara nyaring,
“Keparat jahanam! Beginikah perbuatan kalian disini? Dari rumah mengaku berdagang kiranya melakukan perampokan. Bajak-bajak keparat, membikin malu saja kalian ini. Hayo pergi!”
Yang membentak ini adalah seorang laki-laki muda yang bertubuh tegap kokoh kuat, wajahnya membayangkan kegagahan, bajunya tipis terbayang dadanya yang bidang. Rambutnya hitam panjang dan gemuk, digelung keatas dengan model yang asing, dijepit di bagian atas dengan hiasan rambut perak. Sebatang pedang yang panjang sekali dan bentuknya agak melengkung tergantung di pinggang. Pedang ini sarung dan gagangnya berukir kembang-kembang indah, merah warnanya, dengan ronce-ronce merah pula, gagangnya agak panjang.
Para bajak laut kaget mendengar suara bangsanya sendiri, karena pemuda itu tadi menggunakan bahasa Jepang. Ketika menengok, mereka lebih kaget lagi karena dari dandanan, sikap, dan pedang pemuda itu, mudah diterka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar Samurai, yaitu golongan pendekar pedang yang amat terkenal di Jepang.
Akan tetapi karena pendekar itu masih amat muda, paling banyak dua puluh tahun usianya, apalagi karena bajak laut itu mengandalkan banyak teman dan bukan berada di daratan sendiri, mereka tidak takut.
“Berhenti dan pulang semua kataku!” Pendekar Samurai muda itu berseru lagi, suaranya benar-benar nyaring dan wibawa.
Ketika para bajak itu tidak memperdulikannya, tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan, sinar kemerahan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan kilat di musim hujan. Terdengar pekik dan jerit disana-sini dan dimana sinar kemerahan itu tiba, tentu ada bajak yang roboh dengan senjata mereka terlempar atau patah!
“Hayo siapa tidak menurut, akan kubasmi disini juga. Memalukan orang-orang macam kalian ini!” lagi-lagi si pemuda berteriak. “Samurai Merah tak mengijinkan kalian merusak nama kehormatan bangsa!”
Melihat sepak terjang pemuda itu dan mendengar nama sebutan Samurai Merah, para bajak kaget dan ketakutan, Itulah nama pendekar yang amat terkenal kebengisannya terhadap para penjahat.
Mereka segera membuang senjata masing-masing, menyambar tubuh teman-teman yang luka atau tewas, lalu berserabutan lari ke perahu masing-masing. Dalam sekejap mata saja bajak-bajak itu sudah berlayar pergi, tidak merampok apa-apa hanya meninggalkan korban-korban di fihak pengawal dan saking bingung dan takutnya mereka tadi lupa bahwa kepala mereka, Tengkorak Hitam masih tertinggal di dalam restoran!
Para pengawal kagum dan berterima kasih kepada pendekar Jepang itu. Akan tetapi berbareng dengan kaburnya para bajak laut, pendekar muda Jepang itupun lenyap dari situ. Apakah dia ikut dengan perahu-perahu bajak atau tidak, tak seorangpun mengetahui karena tadi keadaannya kacau-balau.
Akan tetapi ketika orang-orang ini mendengar adanya pertempuran lain di dalam restoran, segera mereka mendatangi tempat ini dan ternyata mereka menjadi saksi akan pertandingan yang lebih menarik lagi karena lucu sekali. Juga para jagoan pengawal itu diam-diam kaget dan kagum ketika mengenal bahwa yang sedang dipermainkan kakek tua itu bukan lain adalah Tengkorak Hitam, si kepala bajak yang terkenal akan kekejaman, keganasan dan juga kesaktiannya.
Pertempuran didalam restoran itu memang lucu sekali, terutama bagi para penonton yang kesemuanya membenci si kepala bajak. Tengkorak Hitam seperti seekor cecak terjepit pintu. Kepalanya yang botak menempel pada telapak tangan kakek itu yang diluruskan ke depan. Pukulan dan tendangannya gagal semua tidak mengenai sasaran, malah dia sekarang mulai meringis-ringis dan keluar air mata dari kedua matanya tanpa dia sengaja.
Air mata ini keluar saking nyerinya ketika dari telapak tangan itu keluar hawa panas seperti api yang membakar kepalanya yang botak. Akhirnya dia tak tahan lagi, menjerit-jerit dan melolong-lolong minta ampun dengan suaranya yang pelo (cedal),
“Ampun, orang tua gagah……….. ampun………..”
Song-bun-kwi mendengus. Diapun tidak suka dijadikan tontonan.
“Aku sedang makan kau membikin ribut saja, menyebalkan sekali! Hayo lekas kau ambilkan tambahan arak!”
Sekali dia mendorongkan lengannya, kepala bajak itu terlempar ke belakang menabrak bangku. Dengan muka pucat dan tubuh menggigil kepala bajak yang biasanya ditakuti orang ini merangkak bangun, sedangkan Song-bun-kwi dengan tenang duduk kembali ke bangkunya menghadapi meja makan. Dengan kening berkerut dia mengomel panjang pendek,
“Menyebalkan! Makanan ini sudah dingin semua, araknya sudah habis!”
Tiba-tiba para pelayan berdatangan membawakan arak dan masakan-masakan baru. Seperti menyulap saja tukang-tukang masak berlomba membuatkan masakan untuk kakek yang gagah perkasa ini.
Adapun kepala bajak Si Tengkorak Hitam tadi sudah menjadi bulan-bulan kemarahan para penduduk dan para jagoan pengawal. Dia diseret keluar dan digebuki sampai terkencing-kencing dan orang-orang baru menyudahi penyiksaan mereka setelah kepala bajak yang sudah membunuh ribuan itu tak bernapas lagi.
Setelah itu barulah ramai-ramai mereka mengubur para korban dan merawat para pengawal yang terluka. Sebentar saja kota pelabuhan itu menjadi ramai lagi seperti biasa. Kali ini memang sepatutnya mereka bergembira karena bukankah bajak laut-bajak laut yang menyerbu itu selain dapat dihancurkan, juga kepalanya dapat ditewaskan? Jarang terjadi hal ini dan patut mereka bergembira.
Song-bun-kwi menoleh kearah laki-laki yang tadi merupakan orang satu-satunya yang tidak lari dari restoran. Kebetulan laki-laki itu juga memandang kepadanya dan laki-laki itu cepat berdiri membungkuk dengan hormat lalu berkata,
“Saya merasa tunduk dan kagum sekali atas kegagahan locianpwe,”
Song-bun-kwi mengerutkan keningnya yang mulai beruban, lalu dia melambaikan tangan,
“Hayo kau ikut makan dengan aku. Biarpun kepandaianmu tidak seberapa, tetapi keberanianmu membikin kau cukup berharga untuk makan bersamaku.”
053
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI