PENDEKAR BUTA JILID 110

Akan tetapi selagi dia layap-layap hendak pulas, dia bangun lagi. Cepat dia duduk dan memperhatikan. Tidak salah, ada orang bernyanyi-nyanyi di tengah hutan.

Suara orang itu makin lama makin jelas, tanda bahwa orang yang bernyanyi itu sedang berjalan menuju kemari. Suaranya parau dan keras, akan tetapi kata-kata lagu yang dinyanyikan itu menarik perhatian Kong Bu. Dia memperhatikan dan diam-diam mendengar suara nyaring itu dia dapat menduga bahwa orang yang lewat di hutan dan bernyanyi ini tentulah seorang berkepandaian.

“Kemenangan melahirkan kesombongan menimbulkan benci permusuhan hidup tak tenteram lagi. Kekalahan melahirkan? penasaran menimbulkan dendam memupuk pembalasan hidup tak tenteram lagi. Yang melempar jauh-jauh kemenangan maupun kekalahan dialah orang bahagia. Yang dikagumi dan dikehendaki para bijak budiman adalah kemenangan batin!”

Suara orang yang bernyanyi itu kini tidak makin dekat, tanda bahwa orang itu agaknya juga berhenti, tetapi terus bernyanyi. Sehabis bernyanyi dengan suara parau seperti kaleng diseret, terdengar dia terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh tertawa,

“Ha-ha-ha-he-he-he, pendeta-pendeta palsu, hwesio-hwesio menggelikan! Indah-indah bunyi sajaknya, bagus-bagus pitutur dan ayat-ayat sucinya. Apa yang lebih suci diantara segala ayat daripada yang terdapat dalam kitab-kitabnya? Tetapi, ayat-ayat tetap suci, pelaku-pelakunya yang kotor, heh-heh-heh, mulut menghambur ayat-ayat suci tangan melakukan perbuatan-perbuatan kotor!”

Diam-diam Kong Bu terkejut. Ingin sekali dia melihat macam apa orangnya yang dapat menyanyikan kata-kata sehebat itu lalu bicara seorang diri yang agaknya ditujukan untuk mengejek para hwesio yang biasa melakukan sembahyang dan berdoa dengan lagu seperti itu. 

Akan tetapi dia menunda maksud hatinya karena takut kalau-kalau akan membikin orang itu tidak senang, apalagi pada saat itu dia bernyanyi pula dengan suaranya yang parau dan kacau seperti suara katak buduk dihari hujan,

“Mengenal keadaan orang lain memang bijaksana mengenal diri sendiri barulah waspada. Mengalahkan orang lain memang kuat badannya mengalahkan diri sendiri barulah kuat batinnya.”

“Heh-heh-heh, segala tosu bau, bisa saja menyanyikan ayat-ayat To-tik-keng. Tetapi hanya mulut……. mulut…….! Lidah tidak bertulang, orang tampak manis pada mulutnya, gigi tampak putih berkilat. Tetapi lihat di baliknya! Kotor…….. kotor……. palsu! Ha-ha-ha-heh-heh-heh, hwesio-hwesio dan tosu-tosu sama saja, setali tiga uang. Mulut dan hati seperti bumi dengan langit, kata-kata dan perbuatan seperti terang dengan gelap!”

Terdengar suara orang itu mendekat lagi. Entah bagaimana, Kong Bu mendapat perasaan aneh seperti membisikinya bahwa terhadap orang ini dia tidak boleh main-main. Lebih baik menjauhinya atau lebih baik tidak mengenalnya. Dia sudah banyak mengenal tokoh aneh, kakeknya sendiripun seorang yang dijuluki iblis. 

Akan tetapi orang ini mencaci dan mengejek para pendeta, baik pendeta hwesio (Buddha) maupun pendeta tosu (Agama To) sambil menyanyikan ayat-ayat suci mereka. Orang yang sudah membenci semua pendeta, biarpun mengejek kepalsuan mereka, pastilah bukan orang sembarangan dan dia mendapat firasat bahwa orang ini amatlah berbahaya. 

Celakanya agaknya orang itu melangkahkan kaki menuju ke tempat dia dan isterinya mengaso. Kong Bu bukanlah seorang penakut, jauh daripada itu. Dia seorang pendekar gagah perkasa yang tidak pernah mengenal arti takut. Dia seorang asuhan kakek iblis Song-bun-kwi. Akan tetapi pada saat itu dia lalu membaringkan diri di dekat isterinya dan pura-pura tidur pulas ketika orang yang bernyanyi-nyanyi itu sudah makin dekat. Dia sengaja berbaring miring, matanya mengintai dari balik bulu mata.

Orang ini herhenti dekat tempat suami isteri itu tidur. Dengan kaget Kong Bu melihat seorang kakek tua yang berpakaian serba kuning, seorang kakek yang kepalanya gundul dan kulitnya hitam seluruhnya! 

Sambil menyeret sebatang tongkat panjang berwarna hitam pula, kakek itu tadi melangkah datang dengan langkah lebar dengan kakinya yang telanjang dan hitam sampai ke telapak-telapaknya, sejenak kakek itu berdiri termangu, memandang suami isteri yang masih tidur pulas. Lama dia menatap wajah Li Eng yang cantik jelita dan tampak manis dalam tidurnya. Kemudian dia tertawa berkakakan.

“Ha-ha-ha-he-he-heh! Wah, aku benar-benar sudah tua bangka, sudah hampir mati nafsu-nafsu badan yang reyot ini. Kalau dulu, dua puluh tahun yang lalu, tentu takkan kulewatkan saja mereka ini. Yang jantan kubikin mampus, yang betina kuambil. Ha-ha-ha!” Dia mengamat-amati lagi sambil tertawa ha-ha-he-he, amat menyeramkan.

“Wah-wah, bawa-bawa pedang segala. Jangan-jangan anggauta pemberontak? Hee, bocah, enak saja tidur bermesra-mesraan, mabuk yang-yangan (bercintaan), hayo bangun!” ujung kakinya bergerak mencongkel tanah dan bukan main kagetnya hati Kong Bu ketika segumpal tanah melayang dengan kekuatan dahsyat kearah kepalanya! 





Tentu saja dia tidak mau dilukai, tidak sudi dihina seperti itu. Tubuhnya bergerak melenjit dan tahu-tahu dia sudah berdiri dengan tegak dan gagah, gumpalan tanah itu sama sekali tidak menyentuhnya.

“Ha-ha-he-heh, benar juga! Kiranya memiliki sedikit kepandaian yang jantan ini. Entah bagaimana yang betina!” 

Kembali ibu jari kaki kanannya mencokel tanah dan segumpal tanah melayang kearah muka Li Eng. Kong Bu marah sekali, tubuhnya terayun dan dia hendak menyambar tanah yang mengancam muka isterinya itu. 

Akan tetapi tiba-tiba Li Eng sudah pula mengulur tangan, tanpa membuka matanya ia telah dapat menangkap gumpalan tanah itu dengan tangan kanannya, kemudian seperti tidak sengaja tangannya bergerak dan……. gumpalan tanah itu melayang cepat kearah muka kakek itu, senjata makan tuan!

“Ah, lihai…….!” 

Kakek itu berseru, kaget juga menyaksikan demonstrasi kepandaian wanita muda itu dan cepat dia menundukkan muka untuk membiarkan tanah itu lewat diatas kepalanya. Tentu saja kakek ini kaget dan heran karena dia tidak tahu bahwa Kui Li Eng adalah puteri tunggal Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang tokoh Hoa-san-pai yang sudah mewarisi ilmu kepandaian aseli dari Hoa-san termasuk ilmu mempergunakan senjata rahasia !

Li Eng memang sudah sadar ketika mendengar suara kakek itu tadi, akan tetapi ia pura-pura masih tidur. Sekarang ia melompat bangun dan berdiri di samping suaminya, matanya yang jeli dan tajam menatap kakek itu, menaksir-naksir dan mengingat-ingat. 

Akan tetapi, seperti juga suaminya, belum pernah ia bertemu atau mendengar akan adanya seorang tokoh kang-ouw seperti kakek ini. Ia juga tidak berani memandang rendah karena tenaga cokelan ibu jari kaki kakek itu saja tadi telah menggetarkan tangannya yang menerima tanah, tanda bahwa kakek ini memiliki Iweekang yang tinggi tingkatnya.

“Locianpwe ini siapakah dan mengapa mengganggu kami berdua suami isteri yang sedang beristirahat?” kata Kong Bu sambil menjura. Sikapnya cukup sopan akan tetapi tidak terlalu merendah.

Kakek itu tidak menjawab, malah matanya tidak berkedip memandang kepada Li Eng bukan memandang wajahnya, melainkan memandang ke arah……. perutnya! Tentu saja Li Eng merasa mendongkol bukan main berbareng juga ngeri. Mata dengan manik mata kelihatan terlalu putih dibalik wajah hitam itu seakan-akan menelanjanginya dengan pandangannya itu.

“He, Kakek! Kau melihat apa?” bentaknya marah.

“Heh-heh-heh, melihat perutmu. Ha-ha-ha, suami isteri yang aneh! Isteri mengandung malah diajak berkeliaran dihutan liar, apakah mengidam binatang hutan?”

“Kakek tua bangka, sudah tua makin kurang ajar! Tutup mulutmu yang kotor itu!” Li Eng makin marah, memaki-maki.

“Heh-heh-heh, memang begitulah. Kalau belum sebulan, hawanya ingin marah saja, tanda anak perempuan! Ha-ha-ha !”

Li Eng sudah bergerak hendak menyerang kakek ini, akan tetapi Kong Bu memegang lengannya. Diam-diam ada perasaan aneh menyelinap di hati Kong Bu. Memang sikap Li Eng aneh, aneh bukan main. Tadipun ia sudah terheran-heran menyaksikan perubahan pada sikap isterinya. Jadi inilah rahasianya? Benar-benarkah isterinya mengidam, mulai mengandung? Wah, kalau betul begitu, jangankan harus memarahi kakek itu, malah mau rasanya dia merangkul dan mencium muka tua yang hitam itu! 

Perasaan girang luar biasa menyelubungi hati Kong Bu, tanpa terasa lagi dia telah melingkarkan lengan kirinya pada pinggang isterinya dengan mesra, kemudian bertanya

“Locianpwe, siapakah nama Locianpwe yang mulia? Dan ada keperluan apakah Locianpwe dengan kami suami isteri?”

“Kau beruntung, orang muda. Isterimu Cantik jelita, kepandaiannya lumayan, lincah gembira dan sekarang sudah dapat diharapkan akan menghadiahimu seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha, kau mau tahu siapa aku? Tua bangka ini orang tidak terkenal, disebut Hek Lojin dari Go-bi,”

Kong Bu belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi dia cepat menjura dengan hormat lalu memperkenalkan diri. 

“Saya bernama Tan Kong Bu dan ini isteri saya. Tidak tahu ada keperluan apakah Locianpwe menemui kami ?”

“Tidak ada apa-apa……. kebetulan saja……. ah, barangkali kau tadi melihat adanya seorang pemberontak muda yang matanya buta. Aku sedang mencari-cari dia itu. Apakah kalian melihatnya?”

Diam-diam Kong Bu dan juga Li Eng terkejut. Tidak salah lagi, tentu Kun Hong yang dimaksudkan. Tetapi mengapa pemberontak? Ah, jangan-jangan orang lain, di dunia ini banyak orang muda yang buta. Dengan menekan debaran jantungnya, Kong Bu bertanya,

“Kami tidak melihatnya. Siapakah dia itu, Locianpwe? Mana ada orang muda buta bisa jadi pemberontak ?”

Kakek itu terkekeh-kekeh, 
“Ha-ha-ha, memang lucu. Ini tanda bahwa mereka di kota raja tidak becus apa-apa.
Katanya pemberontak buta itu mengacau kota raja, hampir tertawan lalu dapat lolos ditolong seekor burung rajawali emas. Dasar goblok semua yang di kota raja. Termasuk hwesio gundul Siauw-lim itu hanya lagaknya saja besar. Buktinya dengan mengeroyok pun tidak dapat menangkap seorang muda buta. Padahal…… heh-heh-heh, ketika bertemu dengan aku, pemuda buta dan burungnya itu……. ha-ha-heh-he-heh, dia berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali, di depanku, malah kulangkahi kepalanya dengan sebelah kakiku. Hah, sayang sekali, kalau aku tahu dia itu seorang pemberontak, sudah tentu tidak akan dapat kulepas dan kuampuni begitu saja!”

Sekarang yakinlah hati Kong Bu dan Li Eng bahwa yang dimaksudkan oleh kakek aneh ini tentulah Kun Hong. Di dunia ini siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang biarpun matanya buta dapat mengacau kota raja ? Siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang ditolong oleh rajawali emas? Hati Li Eng sudah panas bukan main, namun ia masih menekan suaranya ketika berkata,

“Kau mencari dia mau apakah, Kakek?” 

Tidak bisa ia harus mencontoh suaminya yang menyebut Locianpwe kepada kakek hitam yang dianggapnya kurang ajar ini.

“Ha-ha-ha-heh-heh, mau apa tanyamu? Matanya sudah buta, tinggal telinganya yang harus dibikin tuli, hidungnya kuhancurkan, mulutnya kurobek, benci aku kepada pemberontak, benci…….”

“Keparat jahanam!” Li Eng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan sekali bergerak, pedangnya sudah berada di tangan. “Enak saja mulutmu yang busuk itu mengoceh. Bukankah kau maksudkan orang itu bernama Kwa Kun Hong ?”

“Heh, benar……. kau tahu……..?”

“Tentu saja kakek jahanam! Dia adalah pamanku dan tidak usah kau mencari dia, pedang di tanganku sudah sanggup mengirim kau pulang ke neraka jahanam!” 

Li Eng tidak memberi kesempatan lagi, cepat ia menerjang dengan pedangnya. Sinar putih bergulung-gulung melayang kearah kakek itu.

“Ayaaaaaaa, kiranya kalian juga pemberontak-pemberontak, ha-ha-ha-heh-heh-heh!” 

Kakek itu cepat mengelak dan diam-diam dia terkesiap juga menyaksikan kilatan sinar pedang yang demikian hebatnya.

“Benar, isteriku, kakek iblis ini harus dibasmi!” bentak pula Kong Bu dan kembali sinar pedang yang panjang menyambar. 

Kakek ini makin kaget dan tahulah dia bahwa dua orang ini biarpun masih muda-muda, namun ternyata telah memiliki ilmu pedang yang jempolan dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.







111

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)