PENDEKAR BUTA JILID 113

Kong Bu sudah berlutut di depannya, juga Li Eng. Kagetlah dua orang ini ketika melihat bahwa leher, pundak, dada dan lambung kakek itu terluka oleh pukulan yang meninggalkan bekas membiru. Sedangkan baju pada bagian terpukul itupun berlubang besar seperti bekas terbakar.

Kiranya dalam gebrakan-gebrakan terakhir tadi, kedua kakek sakti itu telah melakukan jurus-jurus mematikan, jurus-jurus nekat yang berdasarkan mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan ampuhnya pukulan! 

Empat kali Song-bun-kwi telah menerima pukulan maut Hek Lojin, sebaliknya Hek Lojin juga menerima empat kali pukulan Song-bun-kwi yang datangnya hampir pada saat yang sama itu. Pukulan Song-bun-kwi dapat diterima oleh Hek Lojin, menimbulkan luka ringan yang tidak membahayakan nyawanya. Sebaliknya pukulan-pukulan Hek Lojin demikian hebatnya sehingga membuat Song-bun-kwi sekarang muntah-muntah darah dan menderita luka yang amat parah. 

Akan tetapi daya tahan Song-bun-kwi dan semangatnya memang luar biasa sekali. Kalau orang lain yang menderita seperti dia, tentu tadi sudah roboh, di bawah kaki lawannya. Namun Song-bun-kwi dapat menahan diri, menahan rasa nyeri dan dengan semangat pantang mundur dia menukar pukulan sampai empat kali. 

Hek Lojin menjadi terkejut sekali tadi dan diam-diam merasa jerih. Dia sendiri, biarpun ringan, telah merasa terluka oleh pukulan-pukulan Song-bun-kwi, akan tetapi mengapa Song-bun-kwi agaknya tidak merasai pukulannya yang empat kali itu? Padahal pukulan-pukulannya tadi adalah pukulan maut yang mengandung tenaga mujijat!

Itulah sebabnya mengapa Hek Lojin tadi meninggalkan Song-bun-kwi, sama sekali bukan karena merasa menang, melainkan karena jerih! Setelah lawannya pergi, barulah terasa oleh Song-bun-kwi akan kehebatan bekas pukulan lawan dan sekarang dia terkulai tidak berdaya, Dia maklum bahwa dia telah menerima pukulan-pukulan maut yang meremukkan isi dadanya, dan tahu bahwa dia tidak akan tertolong lagi. 

Melihat Kong Bu dan Li Eng berlutut di dekatnya, timbul rasa kecewanya terhadap dua orang ini. Sampai mau matipun dia masih kecewa karena belum mempunyai cucu buyut. Dasar kakek ini seorang yang amat aneh wataknya. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mendorong pergi dua orang itu sambil berkata,

“Pergi……. pergi……. biar aku tidak punya cucu juga tidak apa…….!” 

Suaranya bernada penuh penyesalan, penuh kekecewaan karena kakek ini merasa tertikam perasaannya ketika teringat bahwa dalam menghadapi saat terakhir dalam hidupnya ini, dia masih dikecewakan oleh Kong Bu yang dia kasihi, dikecewakan karena cucunya ini tidak mempunyai keturunan!

“Kong-kong (kakek)…….!” 

Kong Bu mendekati kakeknya lagi, suaranya penuh keharuan. Li Eng juga mendekat lagi, air matanya mengalir.

“Sudahlah, biar sampai matipun aku tetap kecewa padamu…….!” kata pula Song-bun-kwi ketus sambil bangkit berdiri dengan susah payah dan kakek ini sudah siap melangkah maju meninggalkan mereka.

Tiba-tiba Li Eng memegang lengannya dan dengan suara terisak-isak ia berkata, 
“Kong-kong……. aku……. aku……. ah, kau sudah akan mempunyai cucu buyut…….”

“Haaaaa?? Apa kau bilamg…….??”





Mata dan mulut kakek itu terbuka selebar-lebarnya ketika dia menatap wajah Li Eng yang sudah basah air mata karena ia sudah mulai menangis tersedu-sedu, sambil merangkul dan mengganduli pundak kakek itu. Melihat Li Eng tidak mungkin dapat menjawab karena menangis itu, Kong Bu yang menjawab dengan muka berseri dan mata bersinar,

“Betul, Kong-kong, Li Eng sudah mengandung. Cucu buyutmu pasti bakal terlahir!”

“Wah-wah! Betulkan ini? Li Eng, betulkan ini?” 

Kakek ini berteriak-teriak sambi memegang kedua pundak Li Eng dan mendorongnya untuk dapat melihat wajahnya. Li Eng tersenyum dalam tangisnya, menahan air mata dengan meramkan mata, dan hanya dapat mengangguk dengan gerakan meyakinkan.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Song-bun-kwi, kau, tua bangka goblok, kau manusia tolol! Ha-ha-ha-ha, Li Eng, kau anak baik!” 

Serentak tubuh Li Eng yang dia pegang pada kedua pundaknya itu dia lontarkan ke atas. Tubuh itu melayang keatas kurang lebih tiga meter tingginya, diterima dengan penuh kasih sayang lalu dilontarkan lagi sampai tiga kali. Kemudian dia memeluk Li Eng dan menciumi rambutnya, membiarkan Li Eng terisak-isak bahagia di dadanya.

“Li Eng, mana dia? Mana cucu buyutku? Tidak bisakah kau lahirkan dia sekarang saja? Aku sudah ingin memondongnya, menimangnya, ha-ha-ha!”

“Iihhh, Kakek ini…….!” Li Eng menundukkan mukanya, jengah.

“Ha-ha-ha, Song-bun-kwi tolol, siapa bilang cucuku tidak becus dan goblok? Ha-ha-ha, Kong Bu, kau hebat…….!”

Dia sudah melepaskan Li Eng, menghampiri Kong Bu dan menepuk-nepuk pundak cucunya itu. Kalau saja bukan Kong Bu yang ditepuknya, tentu pundak itu akan remuk.

“Ha-ha-ha-ha, aku punya cucu buyut…….” Kakek itu tertawa terus terbahak-bahak, makin lama makin aneh suara ketawanya.

“Kong-kong…….!” 

Li Eng dan Kong Bu menjerit berbareng sambil menubruk maju. Akan tetapi Song-bun-kwi sudah terguling roboh, terlentang dengan mata melek dan mulut terbuka, wajahnya masih tertawa-tawa akan tetapi napasnya berhenti. 

Kakek itu sudah mati dalam keadaan tertawa bahagia. Kiranya dalam kegirangannya yang melewati batas tadi, dia telah banyak mengerahkan tenaga dan hal ini memperhebat luka-lukanya yang memang sudah parah dan akhirnya merenggut nyawanya sebelum dia sempat menghabiskan ketawanya!

Li Eng dan Kong Bu memeluki tubuh kakek itu sambil menangis. Angin yang tadi bertiup dan bermain-main diantara daun-daun pohon, sekarang berhenti. Sunyi senyap di dalam hutan itu, seakan-akan hutan, angin dan penghuni hutan ikut menyatakan bela sungkawa atas kematian kakek sakti yang hidupnya sering kali menggemparkan dunia kang-ouw itu.


********





114

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)