RAJA PEDANG JILID 02

“Tidak apa-apa, hanya ingin kau menelan obat ini”

Pil kuning yang baunya busuk itu didekatkan pada hidung Beng San, membuat anak ini ingin muntah.

“Baunya busuk seperti engkau, aku tak sudi!” ia menggeleng kepala kekanan kiri menjauhi obat itu.

“Heh-heh-heh, anak bandel. Terpaksa harus kubuka mulutmu,” 

Tangan kiri tosu itu memegang dagu Beng San dan anak ini merasa betapa tenaga yang amat kuat memaksa mulutnya terbuka. Ia pura-pura menurut, akan tetapi ketika tosu ini lengah hendak memasukkan obat ke dalam mulut yang terbuka, Beng San menggerakkan kepala ke bawah dan menggigit tangan kiri tosu itu.



“Aduh……..!” karena tidak menyangka sama sekali, jari kelingking tosu itu kena tergiti keras sampai mengeluarkan darah.

“Plakkk!” ia menampar pipi Beng San. 

Demikian keras tamparan ini, demikian nyerinya sampai Beng San tanpa disengaja membuka mulutnya melepaskan gigitannya.

”Plak! Plak! Plak! Plak! Plak!” berkali-kali tosu itu menampar muka Beng San dari kanan kiri, dan sungguh-sungguh, Beng San tidak mengeluh, akan tetapi rasa sakit membuat matanya berair. 

Setelah anak itu hampir pingsan karena sakit dan pening, baru tosu itu menghentikan tamparannya. Muka Beng San menjadi bengkak-bengkak dan kedua pipinya menjadi biru, anehnya, dari hal ini tidak terasa oleh tosu yang sedang marah itu, tak sepatah kata pun anak itu mengaduh atau mengeluh, benar-benar menunjukkan watak bandel yang luar biasa, membayangkan nyali dan ketabahan yang mengagumkan.

“Hayo telan ini!” 

Siok Tin Cu memaksakan Beng San yang setengah pingsan itu membuka mulut lalu menjejalkan pil berbau busuk itu ke dalam mulut Beng San.

Anak ini dalam kenekatannya, biarpun sudah pening dan setengah pingsan, hendak meludahkan keluar pil itu akan tetapi Siok Tin Cu menutup mulutnya dan mendorong pil itu dengan telunjuknya sampai ke tenggorokan Beng San. Akhirnya obat itu masuk ke dalam perut Beng San tanpa dapat dicegah lagi!.

“Heh-heh-heh, hendak kulihat akibatnya…….” 

Siok Tin Cu menggerakkan tangan membebaskan totokannya dan Beng San roboh terduduk di atas tanah, menundukkan muka karena merasa masih pening dan nanar kepalanya. Ia meramkan matanya yang menjadi sempit karena pipinya membengkak besar di kanan kiri. Kasihan sekali anak ini, mukanya sampai menjadi seperti buah labu matang.

Tiba-tiba Beng San menggerak-gerakkan kaki tangannya, kulit badannya makin lama makin merah sampai seperti udang rebus. Makin merah kulitnya makin tidak karuan tingkahnya, berkelojotan seperti ular disiram air panas.



“Panas……… panas………..!” akhirnya tak tertahankan juga mulutnya yang tak pernah mengaduh, hanya bilang “panas…… panas…. berkali-kali. 

Kulit badannya menjadi merah tua hampir hitam dan dari tubuhnya tampak uap tipis seakan-akan seluruh air di tubuhnya sudah mendidih. Tubuh Beng San melompat ke sana ke mari seperti orang gila, menabrak pohon terjungkal, berdiri lagi, terhuyung-huyung, dan merangkak-rangkak sampai menabrak pohon lagi. Kemudian dia melompat berdiri dan lari!

“Heh-heh-heh, hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan.” 

Siok Tin Cu juga berlari mengikuti anak yang sedang gila kepanasan itu, meninggalkan kudanya yang diikat pada sebatang pohon. Tidak jauh Beng San berlari karena belum juga dua li, ia menabrak pohon lagi dan terguling, tak dapat bangun lagi hanya berkelojoran dan bergulingan.



Siok Tin Cu berlutut dan memeriksa dengan teliti. Diurut dan diperiksanya seluruh bagian tubuh Beng San yang sudah tak berdaya lagi itu, mulutnya tiada hentinya memuji.

“Hemmm, tubuhnya berisi penuh hawa panas mujijat. Inilah inti sari hawa yang kalau dapat dipelihara dan disalurkan dengan kekuatan Iweekang akan menjadi semacam yang-kang istimewa, kuat dan panas, Bagus sekali! Hendak kulihat apa yang dirusaknya.” Ia memeriksa perut dan dada Beng San.





“Hemmm, hemmmmm …… berbahaya sekali, isi perut melepuh semua, paru-paru penuh hawa panas menguap, jantung mengeriput…… kalau anak ini tidak kosong perutnya, tidak penuh hawa murni tubuhnya dan tidak bersih tulang-tulangnya, ia sudah akan mampus dari tadi. Dengan Iweekang di tubuhku, apakah aku akan dapat menahan hawa panas seperti ini……? Hemmm, berbahaya sekali……” 

Tosu ini saking asyiknya memeriksa sampai tidak tahu dan tidak terasa bahwa kantong terlepas dan terjatuh. Ketika tubuh Beng San bergerak-gerak, tanpa disengaja kantong obat itu tertindih oleh tubuh anak itu dan tidak kelihatan dari atas.

“Hemmm…….., berbahaya sekali akibatnya, Apa kiranya aku akan kuat?” 

Tosu itu berdiri dan termenung. Ia ngeri akan akibatnya kalau sampai dirinya kemasukan obat kuat itu dan akhirnya ia tidak dapat menahan. Tanpa terasa digerayangnya pinggangnya dan ia kaget karena tidak mendapatkan kantong obat disitu. 

Bingung ia mencari, tetapi sia-sia saja. Ia mengingat-ngingat, tak salah lagi, tadi ia mengambil sebuah pil dari kantong obat yang segera dikantongkan kembali ke pinggangnya. Jangan- jangan ketinggalan diatas pelana kuda, pikirnya.



Cepat ia berlari meninggalkan Beng San dan berlari ke tempat dimana dia tadi meninggalkan kudanya. Disini mencari-cari kesana kemari, membuka-buka rumput dan alang-alang disekitarnya, membongkar semua bekal dari atas sela kuda.

Sementara itu, Beng San masih berkelojotan. 
“Panas……., lapar….., panas…..,lapar…….,” katanya. 

Tangannya menggerayang-gerayang, ia mencoba membuka matanya, akan tetapi begitu dibuka air matanya bercucuran saking panas dan perihnya. Tiba-tiba tangannya yang menggerayang itu dapat menangkap sebuah kantong kecil. Kedua tangan itu menarik dan sekali tarik saja kantong itu hancur dan dua butir pel dipegangnya. 

Karena pikiran Beng San sudah hampir tak dapat dipergunakan lagi saking hebatnya penderitaannya, dua butir pil itu segera dimasukkan kemulutnya terus ditelan habis!
Pada saat itu, terdengar orang bernyanyi-nyanyi kecil, nyanyian kanak-kanak, ketika tiba di tempat itu, ternyata bahwa yang bernyanyi adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar akan tetapi mukanya yang hitam itu sama sekali tidak berkumis atau berjenggot, licin seperti muka kanak-kanak. 

Matanya juga bersinar bodoh dan jujur seperti mata kanak-kanak pula biarpun usianya sudah empatpuluh tahun. Yang lucu adalah pakaiannya, berkembang-kembang dan malahan sepatunya juga sepatu berkembang seperti yang biasa dipakai wanita. Pendeknya, seorang aneh yang mempunyai sifat kanak-kanak berpakaian seperti permpuan dan pantasnya hanya orang edan saja yang berkeadaan seperti dia ini.



Ia berhenti menyanyi dan berdiri memandang Beng San yang masih bergulingan.
Setelah Beng San menelan pil yang dua butir itu ia seperti cacing terkena abu panas. Berguling kesana, menggelundung kesini, berkelojotan dan mulutnya berbusa.

“Ha-ha-ho-ho-hoh, kau main menjadi trenggiling?” 

Orang yang baru datang itu dengan muka girang lalu rebah pula dan bergulingan, berkelojotan seperti Beng San sambil tertawa-tawa senang sekali.

“Hayo kita balapan, siapa lebih cepat menggelinding!” katanya mengajak Beng San main balapan. Tentu saja Beng san yang tidak sadar itu semua sekali tidak memperdulikan.

“Eh, kau tidak mau balapan? Kurang ajar kau, diajak bicara diam saja!” 

Orang itu melonpat bangun dan mendekati Beng san. Ia melihat kedua mata Beng San yang sipit karena mukanya berbusa.

“Eh-eh-eh, setan. Kau malah mengejek?” orang itu marah-marah, megira bahwa Beng San yang sudah sekarat itu mengejeknya. ” Kutendang kau.” 

Orang tua itu menendang perlahan. Tanpa disengaja ia menendang jalan darah thi-thait-to dipunggung Beng San bocah ini sedang menderita, tubuhnya seakan-akan hendak meletus karena penuh hawa yang, seakan-akan terbuka jalan darahnya kena tendangan itu tiba-tiba ia melompat keatas, tinggi sekali dan tanpa disadarinya pula tangan kananya menampar kepada orang itu.

“Plak!” sehabis menampar ia bergulingan pula. 

Yang hebat adalah orang aneh itu yang kena tampar. Tubuhnya terlempar dan roboh berguling-guling sambil mengaduh-ngaduh. Ternyata orang itu lihai bukan main. Tamparan yang dilakukan oleh anak tadi, biarpun tidak disengaja namun penuh dengan tenaga yang dan kiranya akan menghancurkan kepala seorang biasa. Namun orang aneh itu hanya terguling-guling dan cepat bangun lagi. Ia marah sekali.

“Eh, Setan, Eh Iblis, kau mengajak berkelahi? Datang-datang mengirim pukulan maut, ya? Berani kau main-main dengan Koai Atong!” 

Cepat seperti orang main sulap, tahu-tahu di tangan kanan ini sudah terdapat sebuah panah berwarna hijau. Ia maju menubruk Beng San yang sedang bergulingan, tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka, sedangkan tangan kanan menggunakan anak panah tadi untuk menusuk.



Dengan tepat tangan kiri Koai Atong memukul dada Beng San sedangkan ujung anak panah itu menancap di pundaknya. Melihat lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, Koai Atong kaget sekali dan cepat sekali kembali anak panahnya. 

Hebat! Beng San yang terkena pukulan dan terluka anak panah, seketika berhenti bergerak hanya dari mulutnya terdengar bunyi mendesis seperti seekor ular mengamuk, mukanya yang tadi merah menghitam berlahan-lahan berubah menjadi hijau, juga seluruh tubuhnya berubah menjdi kehijauan! Desis pada mulutnya tidak lama, segera terhenti seperti bola kempis kehabisan angin.

“Mati….., celaka…….. aku bunuh orang yang tak melawan dengan pukulan Jing-tok-ciang (Tangan racun Hijau)!” setelah berkata demikian, orang aneh itu cepat berlari meninggalkan tempat itu, larinya bukan main cepatnya seperti terbang saja.

Orang aneh yang bernama Koai Atong ini sesungguhnya bukan orang biasa. Biarpun seperti kanak-kanak dan pakaiannya seperti orang gila, namun justeru keanehannya itu maka ia disebut Koai Atong (Anak Setan). 

Dia ini adalah murid tunggal dari Ban-tok-sim Giam Kong (Hati selaksa Racun), seorang hwesio dari barat yang berasal dari Tibet. Nama besar Giam Kong ini terkenal diseluruh dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang amat ditakuti orang. Juga nama murid tunggalnya ini cukup membikin menkeret nyali banyak ahli silat karena kehebatannya, yang paling ditakuti dari dua orang tokoh guru dan murid ini adalah ilmu pukulan mereka yang berdasarkan tenaga Im yang disebut Jing-tok-ciang.

Ilmu pukulan racun hijau ini amat dasyat, mengundang sari tenaga Im yang paling dalam sehingga jangankan pukulannya, baru hawa pukulannya saja sudah cukup mendatangkan racun yang akan mematikan orang yang tersambarnya. Sebagai seorang tokoh besar yang tinggi ilmu silatnya. Giam kong memesan kepada muridnya yang ketolol-tololan itu agar tidak sembarangan mempergunakan Jing-Tok-ciang, apalagi mempergunakan senjata anak panah yang ujungnya sudah dimasak dalam racun hijau, kalau tidak amat terpaksa atau menghadapi musuh berat. 

Oleh karena inilah maka Koai Atong tadi ketakutan melihat akibat pukulannya, ditambah tusukan anak panah terhadap diri Beng San dan serangannya tadi hanya terdorong oleh kemarahan karena ia dipukul secara hebat. 

Disangkanya bahwa Beng San yang kecil itu memiliki kepandaian tinggi, maka begitu menyerang ia mempergunakan pukulan maut dan anak panahnya. Maklum, jalan pikiran Koai Atong memang masih seperti kanak-kanak maka ia tidak berpikir panjang.

Siok Tin Cu bingung sekali ketika dia mencari-cari di tempat dia meninggalkan kudanya tetap tak dapat menemukan kantong obatnya. Dia menuntun kudanya kembali ke tempat Beng San. Alangkah kagetnya ketika dia melihat anak itu sudah tidak bergerak-gerak, terlentang diatas tanah dengan muka dan tubuhnya berwarna hijau! Dia terheran-heran, melepaskan kudanya dan didekatinya anak itu, setelah memriksa sejenak ia mengeluarkan seruan keget!

“Ayaaaaa…..! kenapa anak ini bisa mati seperti itu??” ia benar-benar kaget sekali dan berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Pengaruh obatnya adalah tenaga yang, andaikata anak ini mati karena obat itu tentu tubuhnya hangus, kenapa sekarang tubuh anak ini seperti orang mati kedinginan?
Siok Tin Cu bergidik ngeri. Untung ia mencoba obatnya itu kepada anak tak terkenal ini. Kalau ia sendiri yang menelannya. Alangkah ngerinya.

“Aku telah keliru membuatnya……… pikirnya,” harus segera kulaporkan kepada kauwcu……” karena melihat akibat obatnya begini mengerikan ia tidak begitu kecewa lagi kehilangan dua butir pilnya. 

Kalau yang sebuah begini berbahaya, yang dua lain lagi juga tidak akan ada gunanya. Biarlah kalau ditemui orang lain dan ditelan, paling-paling orang yang menelannya akan mati seperti bocah ini. Agak ngeri oleh akibat perbuatannya sendiri, tergesa-gesa tosu itu menaiki kudanya dan membalapkan kuda kurus itu pergi dari situ, meninggalkan tubuh Beng San yang menggeletak di tengah hutan.


«SELANJUTNYA»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)