RAJA PEDANG JILID 102

“Hi-hi-hik, belum pernah ada orang kusembuhkan lalu kubiarkan hidup. Tidak terkecuali dia ini.”

“Janganlah, Locianpwe. Biarlah aku yang menjadi penggantinya. Jangan kau bunuh dia.”

“Hi-hi-hik! Aneh, aneh….. tapi kebetulan. Aku membutuhkan jantung orang, dan jantung dia ini kurang bersih setelah tadi terserang racun. Jantungmu lebih bersih dan baik, bagus! Boleh diganti, boleh ditukar. Dia boleh hidup, kau penggantinya dan harus kau berikan kepadaku. Eh, orang muda, selama hidupku belum pernah aku mendengar orang mau menukar diri mewakili orang mati. Apakah betul-betul kau mau menggantikan orang ini untuk kuambil jantungnya?” Ujung pedang itu sudah menodong dada Beng San.

Beng San tenang-tenang saja, tersenyum berkata, 
“Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik kembali, Locian-pwe. Aku sudah bersusah payah berusaha menolong dia ini, maka takkan kulakukan setengah-setengah. Kalau memang kau membutuhkan jantung, biarlah aku mewakilinya. Kau harus berjanji akan melepaskan dan tidak mengganggu orang ini dan kau boleh mengambil jantungku, yaitu kalau kau bisa.”

Ucapan terakhir dari Beng San ni rupanya tidak diperhatikan oleh kakek yang sudah terheran-heran dan juga kegirangan itu. 

“Baik, boleh….. aku berjanji takkan mengganggu orang ini. Nah, bersiaplah kau menghadiahkan jantungmu yang segar kepadaku!”

“Kau ambillah sendiri kalau dapat!” jawab Beng San, seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang, siap untuk melawan kakek ini dengan seluruh tenaga dan kemampuannya.

“Hi-hi-hik, orang muda yang aneh, yang sinting…..” 

Pedangnya diayun-ayun ke atas seperti orang menakut-nakuti. Tiba-tiba Bun Lim Kwi meloncat dari dipan itu dan menyerang kakek bongkok dengan pukulan-pukulan hebat.

“Siluman tua! Tak boleh kau membunuh penolongku!” 

Ternyata dari gerakan-gerakannya pemuda Kun-lun-pai ini sudah sembuh sama sekali. Serangannya hebat bukan main dan terpaksa kakek bongkok itu meloncat mundur sambil terkekeh-kekeh tertawa.

“Hi-hi-hik, bukankah manjur sekali pengobatanku?”

“Saudara Bun, jangan serang dia. Dia adalah penolongmu, sudah mengobatimu tadi,” kata Beng San mencegah.

“Aku tahu, tapi dia siluman jahat, hendak membunuhmu. Tidak bisa aku berpeluk tangan saja!”

“Hi-hi-hik, anak Kun-lun-pai, hi-hi-hik. Biarlah aku mencoba sampai dimana kehebatan latihan dari Pek Gan Sian-su si mata putih!”



Sambil berkata demikian kakek ini menyimpan pedangnya dan melompat keluar. 
“Mari, mari sini orang muda Kun-lun-pai, boleh kau coba-coba, hi-hi-hik!”

Bun Lim Kwi yang tadi telah sadar dan melihat betapa kakek ini hendak membunuh Beng San, segera turun tangan menolong. Sekarang dia melompat keluar untuk melayani kakek aneh itu. Beng San berdebar dan ikut lari keluar.

“Siluman jahat, aku tidak rela diwakili oleh saudara ini. Kalau kau hendak membunuh dan mengambil jantungku, kau cobalah. Mati dalam pertempuran bukanlah apa-apa dan kau baru gagah kalau membunuh seorang yang dapat melawanmu. Saudara ini tidak pandai silat, bagaimana kau punya muka untuk membunuhnya begitu saja?”



“Hi-hi-hik, orang muda. Kau seperti orok kemarin sore yang masih merah berani mencoba aku? Hi-hi-hik, kau sambutlah ini.” 

Biarpun bongkok dan gerak-geriknya seperti orang tua lemah, akan tetapi tiba-tiba kakek itu sudah mengirim serangan yang luar biasa cepatnya. Lim Kwi kaget, akan tetapi sebagai murid Kun-lun yang sudah matang kepandaiannya, dia cepat mengelak dan membalas dengan serangan yang tak kalah dasyatnya.

Beng San memandang cemas. la maklum bahwa biarpun Lim Kwi cukup pandai, namun kiranya takkan mungkin dapat menangkan kakek itu yang ternyata adalah seorang ahli Iweekeh dan ahli totok yang lihai sekali. la sendiri merasa sangsi dan ragu-ragu apakah dia harus membantu Lim Kwi ataukah tidak. 





Bingung dia menghadapi peristiwa ini dan tidak dapat cepat-cepat mengambil keputusan bagaimanakah dia harus bertindak. la memang harus menolong Lim Kwi seperti pernah dulu dipesankan oleh mendiang ayah pemuda itu, akan tetapi dengan melawan kakek bongkok ini, bukankah hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak bijaksana? 

Kakek itu betapapun juga sudah menolong Lim Kwi, tanpa ragu lagi dia mau mengakui bahwa kakek itu telah merenggut nyawa Lim Kwi daripada cengkeraman maut. Kalau sekarang mereka melawan kakek itu, bukankah itu berarti seorang rendah budi yang tidak ingat akan budi kebaikan orang?



Tapi sebaliknya kalau dipikirkan lagi, kakek itu hendak membunuhnya dan Lim Kwi melawan untuk menolongnya, apakah sekarang dia harus diam saja melihat Lim Kwi terdesak? Benar-benar Beng San menjadi bingung sekali dan pemuda ini mengambil keputusan untuk menolong Lim Kwi apabila keselamatan pemuda itu terancam.

Bun Lim Kwi benar-benar sudah bertekad bulat untuk membela Beng San dengan pertaruhan nyawanya. Tadi ketika dia sadar dari pingsan, dia mendengar semua pembelaan Beng San kepadanya dan diapun segera dapat menarik kesimpulan bahwa setelah dia roboh dalam pertandingan dengan Thio Eng di dalam hutan, tentu telah ditolong oleh Beng San dan dibawa ke rumah tabib setan ini. 

la merasa amat terharu mendengar betapa Beng San rela mewakilinya untuk mati di tangan kakek setan itu dan diam-diam Lim Kwi kagum akan pandangan gurunya yang tepat tentang diri Beng San. Memang pemuda luar biasa. Biarpun tidak memiliki kepandaian silat, namun nyalinya besar dan budinya luhur. 

Maka sekarang dia hendak membalas budi itu, kalau perlu dia rela berkorban, mati dalam tangan kakek bongkok untuk menolong Beng San. Lim Kwi maklum bahwa lawannya ini tangguh bukan main, memiliki tenaga Iweekang yang luar biasa besarnya sedangkan ilmu silatnya juga amat aneh.



Pertempuran berlangsung makin hebat. Kakek itu tertawa-tawa selalu dan seakan-akan mempermainkan Lim Kwi. Dengan penasaran pemuda ini lalu mengeluarkan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Kilat) yang dia warisi dari gurunya. Kedua tangannya menyambar-nyambar, tulangnya berkerotokan dan angin pukulannya terasa panas!

“Hi-hi-hik! Inikah Pek-Iek-ciang-hoat dari Kun-lun-pai?” 

Kakek itu tertawa mengejek dan memapaki pukulan kedua tangan Lim Kwi dengan tangan terbuka. Dua pasang tangan bertemu dan saling tempel, tak dapat dilepaskan lagi. Dua orang itu, seorang pemuda dan seorang kakek bongkok, kini mengadu tenaga Iweekang. 

Sebentar saja Lim Kwi merasa betapa telapak tangannya tergetar dan makin lama makin dingin. Tenaga Pek-lek-ciang-hoat yang dia miliki makin lemah dan hampir buyar. Keadaannya amat berbahaya karena sebagai seorang ahli, pemuda ini maklum bahwa setelah tenaganya habis, dia akan terluka hebat di dalam tubuhnya, luka yang mungkin akan merenggut nyawanya. Akan tetap dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlaku nekat.

“Yok-mo, jangan bunuh dia…..!” 

Beng San menghampiri dua orang yang sedang adu tenaga secara mati-matian itu, kemudian menepuk pundak Lim Kwi dua kali sambil berkata, 

“Saudara Bun, dia penolongmu, jangan serang dia!”

Biarpun hanya merupakan dua tepukan perlahan, namun sebenarnya Beng San mengerahkan hawa tenaga Yang dari tubuhnya. Tenaga yang maha dahsyat ini tersalur melalui pundak Lim Kwi, terus ke arah kedua lengannya. 

Akibatnya hebat sekali. Dua pasang lengan yang saling tempel itu terlepas seperti direnggutkan tenaga yang tak tampak. Lim Kwi tak dapat mempertahankan diri dan roboh terguling diatas lantai, pingsan!



Tadi dia mengerahkan tenaga Iweekang seluruhnya dan setelah tiba-tiba tenaganya tidak mendapatkan sasaran, dia kehabisan tenaga dan pingsan. Adapun kakek bongkok itu terdorong mundur terhuyung-huyung.

“Ayaaa…..!” seru kakek itu terheran-heran dan kaget bukan main. 

Pada saat itu terdengar bunyi lengking tinggi dan tiba-tiba berkelebat bayangan putih yang menyambar ke arah Toat-beng Yok-mo! Bayangan itu ternyata adalah bayangan seorang gadis remaja berpakaian serba putih yang menggunakan sebatang pedang mengkilap langsung menyerang kakek bongkok.

Toat-beng Yok-mo mengeluarkan suara menggereng keras dan hanya dengan menggulingkan tubuh diatas tanah dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang luar biasa hebatnya dari gadis itu. 

Gadis itu melanjutkan serangannya yang membuat Beng San berdiri melongo karena gerakan-gerakan itu adalah Yang-sin Kiam-sut yang dimainkan dengan amat hebat dan mendekati kesempurnaannya!

Adapun Toat-beng Yok-mo yang tadi belum hilang kagetnya karena serangan tenaga yang luar biasa, sekarang makin kaget lagi menyaksikan ilmu pedang gadis ini. la memang mempunyai musuh yang amat dibencinya sejak dulu, yaitu Song-bun-kwi dan sekarang melihat gadis yang menyerangnya, dia maklum bahwa kalau Song-bun-kwi muncul dia bisa celaka. Sambil berseru keras seperti binatang liar, kakek ini meloncat jauh lalu pergi dengan amat cepatnya.

Gadis itu berdiri tegak, tidak mengejar, menyimpan pedangnya kembali lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Beng San. Juga pemuda ini berdiri terpaku memandang gadis baju putih itu. 

Keduanya seperti terpesona. Tadi Beng San tidak mengenal gadis ini karena pakaiannya yang serba putih. Sekarang setelah mereka berhadapan, dengan jelas dia melihat sepasang mata itu, sepasang mata yang takkan pernah terlupa olehnya selama dia hidup. Hidung itu, mulut itu… Bi Goat, si bocah gagu!

“Bi Goat…..??” Beng San setengah berlari menghampiri.

Gadis itu yang tadinya masih agak ragu-ragu setelah mendengar suara ini lalu lari pula menghampiri Beng San. Kini mereka berhadapan, Beng San yang merasa terharu dan bahagia memegang kedua pundak gadis itu.

“Bi Goat….. benar kau Bi Goat ” katanya dengan napas memburu.

Gadis itu tersenyum, nampak giginya yang berderet rapi dan berkilauan, tapi kedua mata yang indah itu bercucuran air mata. Kemudian Bi Goat menubruk dan merangkul leher Beng San sambil menangis di atas dada pemuda itu!

“Bi Goat…… ah, tak dinyana kita bertemu disini….. kenapa kau begini sedih? Kenapa? Dan kau….. kau berkabung? Bi Goat, apa yang terjadi…..?” 

Beng San bertanya dengan suara gemetar. Inilah orang yang selama ini menjadi kembang mimpi, yang tak pernah lepas dari ingatannya, orang yang sejak kecilnya sudah mau berkorban untuknya. Melihat gadis ini menangis terisak-isak sehingga baju di bagian dadanya basah oleh air mata gadis itu, Beng San terharu sekali dan tak dapat menahan turunnya dua butir air mata.

“Bi Goat…… anak baik, sayang….. jangan menangis…..” 

Beng San makin terharu ketika mengingat bahwa gadis ini tidak dapat bicara, maka dia lalu mengelus-elus rambut yang hitam panjang itu. Tidak karuan rasa hati Beng San. la menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka gadis ini memakai pakaian berkabung. 

Seingatnya, Bi Goat paiing suka mengenakan pakaian berwarna merah, kenapa sekarang berpakaian serba putih? Apakah ayahnya, Song-bun-kwi telah mati? Teringat akan ini, makin sedih dan terharu hatinya dan dipeluknya gadis itu penuh kasih sayang.

Bi Goat mereda tangisnya, lalu diambilnya sehelai saputangan putih dari saku baju sebelah dalam dan diberikanya saputangan sutera putih itu kepada Beng San. Di atas saputangan sutera putih ternyata ada tulisan, huruf-huruf memakai benang hitam yang disulam indah dan berbunyi :

Kau hanyut …….
sungai membawamu pergi jauh,
entah mati ataukah masih hidup.
Aku berkabung untukmu…..
sampai kita bertemu kembali,
entah di dunia ataukah di akherat.







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)