RAJA PEDANG JILID 104

Dimasa itu, perjuangan rakyat yang berupa pemberontakan-pemberontakan disana-sini terhadap pemerintah penjajah makin lama makin berkembang luas. Pemerintah Goan yang didirikan oleh bangsa Mongol mulai goyah kedudukannya. 

Diseluruh daerah pedalaman selalu terjadi perang gerilya yang dilakukan oleh para petani dibawah pimpinan orang-orang gagah. Pemberontakan-pemberontakan ini bagaikan api yang makin lama makin besar, makin lama makin menjalar dekat kota raja. 

Oleh karena ini maka keluarga Kerajaan Goan berkhawatir sekali dan tak dapat enak makan nyenyak tidur. Penjagaan di sekitar wilayah kota raja diperketat, mata-matapun disebar di seluruh kota dan desa. Orang-orang dengan kepandaian tinggi yang dapat ditarik di fihak pemerintah Mongol dengan pancingan harta benda dan kedudukan tinggi, dikumpulkan di kota raja sebagai pelindung keselamatan keluarga Kerajaan Goan.

Sunyi malam itu di sebuah dusun yang letaknya di pinggir kota raja sebelah selatan. Malam belum larut benar, belum pukul sembilan. Akan tetapi keadaan sudah amat sunyi dan ketegangan seperti biasanya menyelubungi semua tempat yang berada dekat kota raja. 

Hal ini tidak mengherankan oleh karena semenjak terjadinya pemberontakan-pemberontakan, di sekitar kota raja selalu terjadi hal-hal yang hebat. Seakan-akan terjadi pertentangan antara petugas-petugas keamanan dan para pejuang yang keduanya secara rahasia melakukan tugas masing-masing. 

Semacam perang rahasia antara para mata-mata pemerintah kontra para mata-mata pejuang. Para pejuang yang berahasia itu amat gagah berani dan entah sudah berapa banyaknya pembesar Mongol dan perwira yang tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamar masing-masing. Akan tetapi tidak sedikit pula mata-mata pejuang itu tertangkap dan diseret ke depan pengadilan yang cepat memutuskan hukuman mati bagi mereka ini.

Dua bayangan manusia berkelebat cepat sekali dalam kegelapan malam itu. Dengan ginkang yang tinggi kedua orang ini berlompatan menuju ke sebuah rumah yang tua dan buruk, tapi cukup besar. 

Kiranya rumah ini adalah sebuah rumah penginapan merangkap warung nasi yang sederhana, sebagai tempat menginap para saudagar dan pelancong yang hendak memasuki kota raja. 

Dua bayangan itu memasuki rumah dengan jalan aneh, yaitu melalui belakang dengan melompati pagar tembok. Diluar sebuah jendela mereka berhenti dan mengetuk jendela itu perlahan tiga kali. Dari dalam ada jawaban ketukan dua kali lalu jendela terbuka. Dua orang itu sekali melompat sudah melayang masuk.

Kamar itu cukup luas. Di dalamnya sudah duduk tiga orang, yaitu orang berpakaian tentara berusia empat puluh tahun, seorang laki-laki pengemis yang berpakaian jembel bertubuh kurus dan pucat berusia kurang lebih lima puluh tahun dan yang seorang adalah seorang nenek tua bongkok berambut putih.

Adapun dua orang yang baru datang ini ternyata adalah dua orang kakek berpakaian seperti petani bercaping topi tani lebar. Yang hebat adalah barang yang dibawa oleh dua orang itu. Ternyata sekarang di bawah penerangan lampu bahwa dua orang kakek petani ini masing-masing menjambak rambut sebuah kepala manusia! Begitu masuk, keduanya tertawa dan melemparkan dua buah kepala orang diatas meja.



Tiga orang itu segera bangkit dan memandang ke arah dua buah kepala itu penuh perhatian. Mereka mengenal dua buah kepala itu sebagai kepala dua orang perwira pemerintah Mongol yang kuasa di kota tak jauh dan situ.



Segera nenek itu bangkit dan menyambar dua buah kepala tadi, dimasukkan dalam keranjang lalu dia berkata, 

“Lebih dulu kusingkirkan kepala anjing ini.” Setelah berkata demikian dia menyelinap ke belakang dan menghilang.

Tentara dan pengemis itu menjura kepada dua orang petani yang baru datang.
“Tentulah ji-wi (saudara berdua) ini dua saudara Phang dari Hun-lam, bukan?” tanya pengemis itu.



Dua orang kakek petani itu menjura dan yang tertua menjawab, 
“Benar, siauwte adalah Phang Khai dan ini adikku Phang Tui. Karena tergesa-gesa, kami tak dapat memilih tanda pengenal yang lebih berharga, harap maafkan.”

Nenek yang tadi pergi ke belakang membawa dua buah kepala, kini sudah datang kembali ia mengomel, 

“Kepala perwira atau kepala pembesar sama saja, dapat mengurangi jumlah musuh cukup baik. Sayangnya ji-wi terlampau sembrono. Ji-wi adalah tokoh-tokoh terkenal di Hun Lam, mengapa datang kesini tidak menyamar?”





Phang Khai tersenyum memandang nenek itu, lalu berkala, 
“Aku sudah lama mendengar bahwa orang kepercayaan Si-enghiong (pendekar ke empat) adalah seorang wanita muda yang gagah dan lihai. Kau menyamar sebagai nenek, bagus sekali, akan tetapi bagaimana seorang nenek dapat memiliki sepasang mata sejeli ini?”

Nenek itu kelihatan terkejut. 
“Ah, Phang-lohiap benar-benar bermata tajam sekali. Apakah penyamaranku kurang sempurna?” 

Suara nenek itu yang tadinya parau dan gemetar seperti suara orang tua, sekarang berubah menjadi nyaring dan seperti suara wanita muda.

Phang Khai tertawa. 
“Ah, tidak, sama sekali tidak, Nona. Hanya aku mau menyatakan bahwa jika menyamar malah lebih berbahaya dan mencurigakan karena tidak sewajarnya. Bentuk dan suara dapat disamar, akan tetapi bagaimana dengan warna dan sinar mata? Sudahlah, andaikata anjing-anjing Mongol mengetahui kedatangan kami, apa sih yang kami takuti? Paling-paling kalau tidak bisa membasmi mereka, kita yang akan kehilangan nyawa! Bukankah sudah lama kita menyerahkan nyawa kita yang tak berharga ini kepada tanah air dan bangsa? Ha-ha-ha!”

Tentara itu yang sejak tadi diam saja sekarang mencela,


“Ucapan Phang-twako tak dapat kuterima. Memang bagi seorang pejuang, mati hidupnya tidak berarti lagi asal demi perjuangan. Akan tetapi Phang-twako harus ingat bahwa tugas kita dalam perjuangan ini agak berbeda dengan tugas pejuang yang bertempur melawan musuh. Kalau kita sedang bertugas di bidang itu, tentu saja aku yang bodoh takkan ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi dalam kedudukan kita sekarang yang bertugas sebagai mata-mata, mengumpulkan keterangan dan dalam hal ini, mengabdi kepada Si-enghiong, tentu saja segala hal harus kita lakukan dengan rahasia agar jangan sampai gerakan kita ini terbongkar. Seorang saja tertangkap bisa membahayakan seluruh anggauta gerakan. Bukankah celaka kalau begini?’

Phang Khai dan Phang Tui memandang tajam kepada “tentara Mongol” itu, lalu Phang Tui menjura. 

“Betul sekali ucapan ini,” katanya kagum.

Phang Khai tiba-tiba berkata, 
“Saudara, maafkan aku!” 

Dan tahu-tahu dia telah mengirim serangan, tiga pukulan bertubi menyerang leher, dada dan perut orang berpakaian tentara Mongol itu. Orang itu kaget juga karena dia maklum betapa lihainya petani tua ini, akan tetapi secepat kilat kedua tangannya diputar dalam lingkaran untuk menangkis, malah dia segera dapat mencengkeram pergelangan tangan kanan Phang Khai sambil berseru, 

“Phang-twako harap jangan main-main!”

Phang Khai menarik tangannya sambil tertawa bergelak. 
“Aha, kiranya Bouw-enghiong yang menyamar sebagai tentara. Aduh, penyamaranmu benar-benar hebat, tentu dapat mengelabuhi musuh!”



Orang itu tertawa. Memang dia adalah Bouw Hin jago Bi-nam yang berjuluk Kang-jiu (Tangan Baja). Kiranya tadi Phang Khai menyerangnya untuk memancing ilmunya Kang-jiauw-ciang (Tangan Cakar Baja) tadi dikeluarkan, segera Phang Khai dapat mengenal siapa sebetulnya teman seperjuangan yang menyamar sebagai tentara musuh ini.

“Bagus, Phang-twako memang cerdik”, kata Bouw Hin sambil tertawa. “Tapi Phang-twako tentu belum mengenal dia ini.” Ia menuding kepada pengemis tadi. “Biarlah kuperkenalkan dia kepada ji-wi Phang-twako. Dia ini adalah she Lim.”

“Aha, bukankah Lim Seng yang berjuluk Kim-mouw-sai (Singa Bulu Emas) dan Kwi-bun?” kata Phang Tui

Pengemis itu berdiri dan menjura. 
“Ji-wi Phang-enghiong benar-benar bermata tajam.”

Nona yang menyamar sebagai nenek itu berkata, 
“Maaf, aku sendiri tidak boleh memperkenalkan diri. Tidak tahu urusan penting apakah yang hendak ji-wi sampaikan kepada Si-enghiong?”

“Hemmm, urusan ini penting sekali. Kami harus berjumpa sendiri dengan Si-enghiong,” kata Phang Khai.



“Nenek” itu mengerutkan kening, lalu menggeleng kepalanya. 
“Phang-lopek apakah tidak pernah mendengar dari teman-teman bahwa ada hal yang amat tidak mungkin orang menemui Si-enghiong? Si-enghiong, seperti juga Sam-enghiong (pendekar ke tiga) adalah tokoh-tokoh rahasia yang tak boleh bertemu teman seperjuangan di kota raja ini, karena hal itu amat berbahaya. Sekali saja musuh membongkar rahasia pribadi Sam-enghiong dan Si-enghiong, akan rusak binasalah semua usaha kita yang berjuang di bawah tanah di kota raja ini. Segala kepentingan harap Lopek beritahukan aku saja karena akulah satu-satunya orang yang dapat menghubungi Si-enghiong.”

Phang Khai menghela napas. 
“Aku sudah mendengar akan hal itu, tapi ini adalah urusan yang amat penting.” la tampak ragu-ragu.

Melihat keraguan ini, Kang-jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara Mongol itu berkata, nada suaranya tegas, 

“Siapapun juga jangan harap dapat bertemu dengan Si-enghiong, malah aku sendiri pun tidak pernah bertemu dengannya, apalagi melihatnya atau mengenal siapa dia. Kalau ada urusan yang menyangkut kepentingan perjuangan, lekas ji-wi Twako memberi tahu kepada Nyonya Liong ini. Kalau berkeras hendak menemui Si-enghiong, lebih baik berita itu kalian bawa pergi lagi saja.” 

Biarpun kata-katanya keras, akan tetapi lucu juga nenek yang nyata-nyata adalah penyamaran seorang nona muda ini disebut sebagai “nyonya Liong”.

Phang Khai menjadi merah mukanya. 
“Maaf kalau tadi aku ragu-ragu. Sesungguhnya banyak hal yang akan kusampaikan. Pertama-tama tentang pertemuan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai di puncak Hoa-san. Kami berdua menghadiri pertemuan itu dan…..”

Nyonya Liong tersenyum, aneh kalau tersenyum karena seorang nenek setua itu giginya putih berjajar rapi. 

“Phang lopek tak perlu menceritakan hal ini. Ketahuilah bahwa Si-enghiong sendiri juga hadir dalam pertemuan itu.”

Dua orang saudara Phang ini tertegun dan saling pandang. Mereka adalah dua orang petani yang ketika dalam pertemuan itu mendapat tempat sebagai tamu kehormatan, akan tetapi tidak melihat adanya orang yang patut menjadi Si-enghiong, pemimpin ke empat dari pasukan mata-mata di kota raja. Mungkin dia bersembunyi diantara rombongan para tamu yang tidak penting sehingga sukar dikenal, pikir mereka.

“Ah, kalau begitu hal itu tak perlu kami kemukakan lagi,” kata Phang Khai. “Sekarang soal ke dua. Aku ingin memberitahukan tentang kedudukan teman-teman seperjuangan kita. Saudara-saudara kita Su Souw Hwee dan Tan Yu Liang sekarang sudah mendapat kemajuan memperluas gerakan pemberontakan di sepanjang Sungai Huang-ho. Thio Si Cen sudah menyeberang Sungai Hui dan pasukan saudara Tan Hok sudah mendekati kota raja dari pergerakannya sepanjang Sungai Yang-ce. Akan tetapi, aku mendapat berita bahwa gerakan Pek-lian-pai di sebelah barat kota raja mendapat pukulan hebat dari bala tentara musuh dan membutuhkan bantuan segera.”

Nyonya Liong mengangguk-angguk. 
“Sebagian besar beritamu sudah kami ketahui. Gerakan Pek-lian-pai di sebelah barat kota raja memang sengaja dijadikan umpan agar musuh mengerahkan tenaga ke sebelah sana. Kalau sudah tiba saatnya, pasukan-pasukan kita dari selatan dan timur akan menyerbu.”

Phang Khai kagum sekali. 
“Ah, sama sekali tak pernah kusangka bahwa kalian dapat bekerja sesempurna itu. Benar-benar menggembirakan sekali. Akhirnya, harap kau sampaikan kepada Si-enghiong bahwa kedatangan kami berdua ini selain menyampaikan berita dan menerima tugas baru, juga bahwa kami mengambil keputusan untuk mencari tahu tempat tinggal Kwee Sin murid Kun-lun-pai yang menyeleweng itu. Harap saudara-saudara memberi tahu dimana kami dapat menemukannya. Kami percaya bahwa Sam-wi (saudara bertiga) sudah pasti akan dapat memberi petunjuk.”







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)