RAJA PEDANG JILID 110
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Sudahlah, Hong-moi, kenapa menangis? Lebih baik kau ceritakan pengalamanmu,” ia menghibur.
“Semua orang membenci aku…. ah, semua orang membenciku…..”
Beng San makin heran.
“Eh, apa yang kau katakan ini, Hong-moi? Siapa bilang semua orang membencimu? Yang terang aku tidak membencimu, aku….. aku…. suka dan sayang kepadamu.”
Ucapan ini biarpun keluar dari kejujuran hatinya, akan tetapi kiranya takkan diucapkan kalau saja keadaan Kwa Hong tidak seperti itu dan memang dia hendak menghiburnya. Akan tetapi ucapan ini mendatangkan perubahan hebat pada diri Kwa Hong. Gadis ini merenggutkan kepalanya dari dada Beng San, matanya yang masih basah dan indah itu memandang tajam, berkedip-kedip lalu bertanya,
“Betulkah itu? Coba katakan lagi, betulkah kau suka dan sayang kepadaku?”
Mendadak wajah Beng San menjadi merah sekali. Ah, pikirnya, mengapa ragu-ragu dan malu-malu? Bukankah memang dia suka dan sayang kepada Kwa Hong?
“Tentu saja, Hong-moi. Tentu saja aku suka dan sayang kepadamu.”
Aneh! Tiba-tiba Kwa Hong tersenyum lebar, sehingga tampak giginya yang putih dan rapi biarpun matanya masih merah dan basah.
“Kalau begitu aku tidak sedih lagi, San-ko. Lihat aku bisa tertawa! Orang sedunia boleh benci kepadaku, asal kau suka dan cinta. Hi-hi-hi, San-ko, lucu, ya? Semenjak dulu aku…. aku suka sekali kepadamu, aku cinta seorang yang lemah, tolol tapi gagah perkasa. Eh, siapa tahu, kiranya kau….. kaupun mencintaku.” Sampai disini Kwa Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
Kagetlah Beng San. Ketika tadi dia mengatakan suka dan sayang, sama sekali dia tidak berpikir tentang cinta, tentang cintanya pemuda-pemudi yang diakhiri dengan perjodohan.
“Ini….. ini…..” ia tergagap.
“San-ko, kau mau bilang apa?”
Kwa Hong sudah turun dari dipan, tubuhnya sudah tidak selemas tadi, tenaganya sudah hampir pulih. Dengan mesra gadis ini memegang tangan Beng San.
“Kau….. kau belum menceritakan pengalamanmu, Hong-moi.”
Gadis itu cemberut ketika diingatkan kepada ini.
“Sesudah perayaan di Hoa-san, ayah hendak memaksaku supaya aku suka dengan Thio-suheng. Aku tidak mau, biarpun suhu juga mendesakku. Kemudian ketika ayah membentak-bentak dan menanyakan mengapa aku menolak, dengan marah pula aku berterus terang bahwa aku suka kepadamu, San ko!”
Celaka, pikir Beng San. Bisa runyam nih! Masa di depan semua orang gadis ini terang-terangan mengaku suka kepadanya?
“Lalu bagaimana, Hong-moi?”
“Melihat semua orang marah dan benci kepadaku, malam harinya aku lalu minggat dari Hoa-san, dan aku hendak menyusul ke kota raja. Aku tahu bahwa untuk mencari Kwee Sin, kau tentu pergi ke kota raja.”
“Kenapa kau menyusul aku?”
“Ah, tidak senang di Hoa-san kalau semua orang marah kepadaku, di samping itu, aku….. ah, aku tidak tega membiarkan kau sendiri mencari Kwee Sin di kota raja. Kau tentu akan menemui bahaya, maka aku menyusul untuk membantu.”
Gadis itu memandang mesra, kemudian melanjutkan,
“Siapa duga, sesampainya disini, suami isteri iblis tukang warung itu, ketika aku membeli makanan dan minuman, agaknya dalam minuman diberi racun yang memabukkan. Aku pingsan tak ingat apa-apa lagi, dan tahu-tahu kau telah berada disini menolongku. Ah, Beng San-ko….. benar-benar aneh. Lagi-lagi kau yang lemah tidak berkepandaian apa-apa muncul sebagai penolong, menolong orang-orang yang memiliki kepandaian. Aneh dan ajaib…..”
“Hong-moi, selain kau, masih ada lagi seorang gadis lain masuk perangkap penjahat-penjahat itu. Tadi kulihat nona Thio Eng memasuki warung ini dan tidak keluar lagi. Biarlah aku mencari dan menolongnya.”
la lalu melangkah ke dalam sebuah kamar tak jauh dari ruangan itu dan benar saja, didalam kamar ini dia melihat Thio Eng rebah di lantai tidak pingsan lagi, akan tetapi kaki tangannya diikat tali kuat-kuat dan mulutnya disumpal kain!
Cepat-cepat Beng San melepaskan tali pengikat kaki tangan gadis itu dan membuang pula kain penyumbat mulut. Akan tetapi, siapa kira, begitu terbebas Thio Eng melompat bangun dan “plak! plak!” dua kali pipi Beng San ditampar dari kanan kiri! Selagi Beng San melongo saking herannya, gadis itu sambil menudingkan telunjuknya berteriak.
“Tak usah tolong aku! Tak usah kau peduli keadaanku lagi, biarkan aku mampus dan teruskan kau berkasih-kasihan dengan siluman itu!”
Kebetulan sekali Kwa Hong juga sudah masuk ke kamar ini dan dengan kemarahan meluap-luap Thio Eng menudingkan telunjuknya ke arah Kwa Hong. Gadis Hoa-san-pai ini menjadi merah sekali mukanya, merah karena malu dan juga karena marah. Kiranya semua yang ia ucapkan tadi telah didengar oleh gadis baju hijau ini! Yang repot adalah Beng San. Wah, celaka nih, pikirnya.
“Eh, eh….. sabar dulu….. Eng-moi, kita bicara di ruangan depan…..”
Kwa Hong yang masih merah mukanya itu mendahului meloncat keluar dari kamar juga Beng San yang berdebar-debar hatinya cepat-cepat keluar dari kamar itu, memutar otak bagaimana dia harus bertindak untuk menguasai keadaan yang amat gawat dan sulit ini.
Tiba-tiba dia mendengar sambaran angin, cepat dia menoleh dan kiranya Thio Eng yang sudah meloncat keluar dan gadis ini menggerakkan jari tangan menotok jalan darahnya. Tentu saja gerakan ini terlampau jelas bagi Beng San dan sekiranya mau, pemuda ini dengan mudah akan dapat mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia sengaja diam saja, membiarkan hiat-to (jalan darah) di tubuhnya tertotok. la mengeluh dan roboh lemas.
“Perempuan keji, kau apakan San-ko?”
Kwa Hong membentak marah sekali dan melangkah maju. Akan tetapi Thio Eng sudah mencabut pedangnya yang tadi dia dapatkan di dalam kamar, dengan sikap menantang ia berdiri menghadapi Kwa Hong dan berkata dingin.
“Kau perempuan tak tahu malu! Semestinya tinggal di rumah mentaati perintah ayah sebagai seorang anak berbakti, eh, malah minggat dan mengejar-ngejar laki-laki! Perempuan macam engkau ini patut mampus di ujung pedangku!”
“Keparat!”
Kwa Hong juga mencabut pedangnya yang tadi sudah dapat la ketemukan di sudut ruangan itu.
“Peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kau kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau cemburu! Ya, kau cemburu dan iri hati melihat kami saling mencinta. Cih, tak tahu malu!”
“Tutup mulutmu!” Thio Eng makin marah, mukanya sebentar merah sebentar pucat. “Laki-laki tak berbudi macam ini, siapa menaruh hati? Mulutnya terlalu manis, satu hari mencinta gadis, lain hari mencinta lain orang gadis. Seperti engkau, diapun harus mampus!”
Kwa Hong pucat mukanya dan mengerling ke arah Beng San. Mungkinkah Beng San juga pernah menyatakan cinta kasih kepada gadis ini? Akan tetapi hatinya sudah terlampau panas, sepanas hati Thio Eng dan tak dapat dicegah lagi dua orang gadis ini sudah saling terjang, bertanding pedang dengan hebatnya seperti dua ekor harimau betina memperebutkan seekor kelinci!
“Trang-tring-trang-tring…” bunyi pedang mereka dan bunga api berkilat di daiam ruangan yang sunyi itu.
Thio Eng adalah murid tunggal Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, kepandaiannya tentu saja hebat. Kwa Hong adalah cucu murid Lian Bu Tojin yang sudah menerima latihan dari ketua Hoa-san-pai ini sendiri, maka ilmu pedangnya juga tak boleh dipandang ringan.
Betapapun juga, menghadapi Thio Eng, ia menemukan lawan terlalu berat dan segera ia mendapat kenyataan bahwa biarpun ilmu pedangnya tak usah mengaku kalah dari ilmu pedang lawannya, namun dalam hal tenaga Iweekang ia toh kalah banyak. Setiap kali dua pedang bertemu, tangannya tergetar dan makin lama ia makin terdesak oleh gadis baju hijau itu.
Beng San merasa batinnya tersiksa bukan main menyaksikan pertempuran ini. Dengan amat terheran-heran dia tadi mendengarkan percakapan antara dua orang gadis itu dan benar-benar dia tidak mengerti. Mengapakah dua orang gadis yang disukai dan disayanginya ini seperti bertempur karena dia?
Beng San masih terlampau hijau untuk dapat menangkap bahwa dua orang gadis ini sesungguhnya mencintanya dan kini mereka bertanding karena iri hati dan cemburu, atau secara kasarnya, untuk memperebutkan dia. Malah dalam kekecewaannya Thio Eng mempunyai nafsu untuk membunuh Kwa Hong dan dia pula. Dengan penuh kekhawatiran dia melihat betapa Kwa Hong makin terdesak hebat dan setiap saat ujung pedang di tangan Thio Eng mengancam keselamatan nyawanya.
“Eng-moi! Hong-moi! Sudahlah, jangan berkelahi!”
Tiba-tiba Thio Eng dan Kwa Hong tergetar mundur pada saat pedang mereka saling bertemu dan pada saat itu Beng San sudah berdiri diantara mereka. Diam-diam Thio Eng kaget sekali, dan terheran-heran mengapa pemuda itu sudah terbebas daripada pengaruh totokannya. Apakah totokanku tadi kurang tepat sehingga pengaruhnya juga kurang lama?
Tentu saja dia dan Kwa Hong tidak tahu bahwa mereka tadi keduanya mundur tergetar bukan karena pertemuan pedang mereka, melainkan karena getaran hawa dorongan tangan Beng San yang sengaja melerai mereka.
Kiranya dalam kebingungannya tadi, terbayang oleh Beng San ketika Thio Eng di dalam perahu pernah menangis dalam pelukannya seperti yang dilakukan Kwa Hong tadi, maka perasaannya membisikkan dugaan yang membuat dia segera melompat dan mencegah perkelahian itu. Memang sejak tadi dia tidak terpengaruh totokan karena begitu tertotok, dia telah menghentikan jalan darahnya dan hanya pura-pura roboh lemas.
“Eng-moi dan Hong-moi, jangan berkelahi…..” katanya pula.
“Kau mau bicara apakah? Hayo bicara cepat, atau kau hendak membantu dia ini?” bentak Thio Eng yang sudah tidak sabar lagi
“Bukan, Eng-moi, bukan begitu…..”
“Hemmm, San-ko, apakah kau hendak membela siluman hijau ini?” Kwa Hong bertanya dengan suara dingin.
“Tidak, tidak sekali-kali…… ahhh….”
Beng San menggeleng-geleng kepalanya, mukanya merah sekali lalu berganti kehijau-hijauan karena dia merasa marah, menyesal, malu dan bingung.
“Kalian berdua janganlah salah faham, aku….. aku tidak berat sebelah….. aku sayang dan suka kepada Eng-moi, juga sayang dan suka kepada Hong-moi. Aku tidak pilih kasih, kalian berdua kuanggap seperti adikku sendiri, maka jangan….. jangan bertempur…..”
Seketika pucat wajah Kwa Hong, sepucat wajah Thio Eng.
“San-ko….. jadi kau….. kau tadi…..?” Tak dapat Kwa Hong melanjutkan kata-katanya dan air matanya jatuh berderai.
“Setan, sudah kuduga! Kau palsu! Di perahu dulu itu…..? Ah, laki-laki tak berbudi!”
Agaknya Thio Eng tak sesabar Kwa Hong karena segera ia menggerakkan pedangnya menusuk dada Beng San. Akan tetapi kali ini Beng San tidak berpura-pura lagi, cepat dia mengelak sambil berkata.
“Di perahu aku berbuat apa? Eng-moi, aku hanya kasihan dan suka kepadamu, juga Hong-moi aku suka dan sayang, tapi keduanya kuanggap seperti dua orang teman baik, atau sebagai adik-adikku yang akan kubela, bu….. bukan….. sebagai kekasih…..”
“Ah, kau mempermainkan aku…..”
Kwa Hong menjadi malu sekali kalau ia ingat betapa tadi ia telah menyatakan cinta kasihnya begitu terus terang, tidak hanya didengar oleh Beng San, malah juga oleh Thio Eng. Pikiran ini membuat ia marah sekali dan otomatis pedangnya juga digerakkan menyerang Beng San.
Dua orang gadis yang dikecewakan hatinya itu kini hanya mempunyai satu kandungan hati, yaitu membunuh laki-laki yang mereka cinta dan yang kini mereka benci karena tidak membalas Cinta kasih mereka. Dua pedang yang tadinya saling gempur itu kini saling bantu untuk berlumba dalam merenggut nyawa Beng San.
SELANJUTNYA»»
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI