RAJA PEDANG JILID 113

Biarpun mulutnya memaki-maki Kwee Sin yang berlutut di depannya bersama Bun Lim Kwi, akan tetapi di dalam hati-nya Pek Gan Siansu menjadi terharu sekali dan juga girang bahwa bekas muridnya ini sekarang mau menyerahkan diri dan bersedia membersihkan nama baik Kun-lun-pai.

“Kau murid murtad, kembalikan pedang kami!” kata Pek Gan Siansu setelah mendengar penuturan Bun Lim Kwi dan mendengar permohonan ampun Kwee Sin yang menangis di depan suhunya. 

Kwee Sin dengan air mata berlinang meloloskan pedangnya yang dulu dia terima dari gurunya, dengan berlutut dan dengan kedua tangan dia mengembalikan pedang itu.

Pek Gan Siansu memegang pedang dengan dua tangan, mengerahkan tenaga dalamnya dan “pletakkk!” pedang itu patah menjadi dua potong. Dilemparkannya potongan pedang ke atas tanah sambil berkata, 

“Semenjak saat ini kau bukan anak murid Kun-lun-pai lagi. Karena kau sudah dianggap orang luar yang mencemarkan nama baik Kun-lun-pai dan mengadu Kun-lun-pai terhadap Hoa-san-pai, maka kau adalah tangkapan ketua dan hendak kami antarkan ke Hoa-san-pai. Gara-gara perbuatanmulah pinto kehilangan murid-murid terkasih yang dulu terkenal dengan nama Kun-lun Sam-heng-te! Karena kaulah perhubungan baik Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai menjadi pecah-belah. Lim Kwi, bersiaplah, kau dan aku sendiri akan mengantarkan orang tangkapan ini ke Hoa-san-pai untuk menebus dosa.”

Bun Lim Kwi yang sudah beberapa lamanya melakukan perjalanan berdua dengan Kwee Sin, sudah mendengar penuturan bekas murid Kun-lun-pai ini, dengan suara terharu mintakan ampun dan mengingatkan gurunya bahwa sebenarnya Kwee Sin tidak melakukan semua perbuatan jahat itu, yang melakukan adalah orang-orang Ngo-lian-kauw.

“Dia sudah begitu rendah untuk jatuh oleh rayuan siluman wanita Ngo-lian-kauw, dengan sendirinya semua perbuatan Ngo-lian-kauw yang tidak ditentangnya menjadi tanggung jawabnya juga.” 

Hanya demikian jawaban Pek Gan Siansu sing-kat. Lim Kwi tak berani membantah lagi dan berangkatlah tiga orang ini ke Hoa-san.

Lian Bu Tojin, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa bersama tosu Hoa-san-pai menyambut kedatangan Pek Gan Siansu, Lim Kwi, dan Kwee Sin.

“Lian Bu Tojin,” kata Pek Gan Siansu setelah mereka saling memberi hormat, “bekas murid yang durhaka ini sekarang telah datang untuk mempertanggung-jawabkan semua kesalahannya terhadap Hoa san-pai. Silahkan kau mengambil keputusan dan mengadilinya, kau mau hukum dia atau apa saja, tidak ada hubungannya lagi dengan kami dari Kun-lun-pai. Maka, dengan datangnya dia ini, kuharap kau suka menghabiskan segala permusuhan dan suka menerima usulku untuk menjodohkan muridku Bun Lim Kwi dengan seorang diantara anak muridmu.”



“Pek Gan Siansu, urusan perjodohan adalah urusan baik dan hal ini dapat dibicarakan lain hari. Sekarang yang penting adalah mengadili orang yang selama ini menjadi biang keladi segala keributan pinto hendak mendahulukan pengadilan ini.”



Ketua Hoa-san-pai itu lalu memberi tanda dengan tepukan tangan dan memerintahkan beberapa orang tosu untuk membawa Kwee Sin ke dalam “ruang pengadilan”.

Ruangan pengadilan ini berada di tengah-tengah, merupakan ruang yang lebar dan biasanya disinilah para anak murid Hoa-san-pai yang melakukan penyelewengan diadili dan dijatuhi hukuman. 

Lian Bu Tojin sudah duduk di atas bangku, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa berdiri dikanan kirinya, lalu berturut-turut muncul Thio Ki, Thio Bwee dan Kui Lok yang berdiri di belakang ketua Hoa-san-pai itu.



Di pinggir ruangan itu berjajar murid-murid Hoa-san-pai tingkat paling tinggi dan keadaan disitu amatlah angkernya. Sebagai tamu, Pek Gan Siansu dan Bun Lim Kwi mendapat tempat duduk di samping. Wajah kakek Kun-lun-pai ini nampak muram, demikianpun Bun Lim Kwi. Hal ini tidak mengherankan oleh karena orang yang hendak diadili ini adalah bekas murid Kun-lun-pai.

Oleh seorang tosu penjaga, Kwee Sin dibawa masuk dan disuruh berlutut di depan ketua Hoa-san-pai. Akan tetapi Kwee Sin tidak mau, dan hanya menjura dengan memberi hormat sambil berkata,

“Saya Kwee Sin menghaturkan hormat kepada ketua Hoa-san-pai. Terhadap Hoa-san-pai saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, oleh karena itu saya terpaksa menolak untuk berlutut sebagai seorang pesakitan, saya hanya suka menghadap sebagai seorang yang hendak ditanya tentang hal-hal yang menjadikan salah faham dan menimbulkan keributan” 





Suara Kwee Sin tetap dan sama sekali tidak gugup, hanya pandang matanya yang berani menentang siapa saja disitu tetapi dia selalu menghindarkan pandang mata ke arah Liem Sian Hwa.

Kwa Tin Siong bertugas mewakili gurunya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mendengar ucapan Kwee Sin itu, dengan muka keren dia berkata,



“Kwee Sin, kau dengan enak menyatakan tidak mempunyai kesalahan apa-apa terhadap Hoa-san-pai. Kalau begitu coba kau jawab dan terangkan soal-soal yang terjadi selama ini, yang sekarang hendak kami tuduhkan kepadamu. Pertama, bukankah ayah sumoi Liem Sian Hwa tewas dalam tanganmu atau setidaknya karena perbuatanmu? Ke dua, ketika kau diantar oleh dua orang suhengmu kesini beberapa tahun yang lalu kemudian kau ternyata bersekongkol dengan Ngo-lian-kauw dan malah menipu kami dan lari bersama Hek-hwa Kui-bo sehingga terjadi bentrok antara suheng-suhengmu dengan kami fihak Hoa-san-pai. Bukankah hal ini menjadikan permusuhan dan disebabkan oleh kecuranganmu? Ke tiga, kau lalu lari berkomplot dengan Ngo-lian-kauw, kemudian kau menyerbu ke Hoa-san-pai, berhasil membunuh dua orang suteku dan melukai kami dengan bantuan Ngo-lian-kauw dan Hek-hwa Kui-bo pula. Ke empat, kau menjadi pembesar di kota raja di samping fihak Ngo-lian-kauw, membiarkan kami dan Kun-lun-pai bermusuhan, bunuh-membunuh, sengaja kau diam dan membiarkan permusuhan berlarut-larut. Bukankah ini sesuai dengan siasat pemerintah dan memang kau sengaja bermaksud mengadu domba dan menghancurkan Hoa-san-pai? Nah, coba kau jawab empat macam tuduhan ini lalu katakan bagaimana kau berani bilang tidak bersalah terhadap Hoa-sah-pai?”



Wajah Kwee Sin menjadi pucat. Akan tetapi dia berdiri tegak dan matanya bersinar penuh semangat. 

“Sekali penyesalan yang layak kutebus dengan nyawa. Demi keutuhan perhubungan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, biarlah pada saat ini aku Kwee Sin, bekas murid Kun-lun-pai…..” sampai disini suaranya menggetar karena terharu, “….. aku akan berterus terang. Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong, biarlah aku menjawab dan menerangkan pertanyaan-pertanyaan yang kau ajukan itu satu demi satu. Pertanyaan pertama tentang kematian Liem Lo-enghiong, seperti juga dulu pernah kunyatakan, kematiannya sama sekali bukan sebab perbuatanku. Aku tidak membunuhnya, bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Hal ini berani kunyatakan dengan sumpah sebagai bekas murid Kun-lun…..”

“Jangan sebut-sebut nama Kun-lun-pai,” kata Pek Gan Siansu, tenang namun berwibawa.

“Maafkan teecu…..” Kwee Sin cepat berkata, suaranya parau, kemudian dia menghadapi Kwa Tin Siong lagi. “Aku berani bersumpah sebagai seorang laki-laki, demi kehormatan dan namaku, aku tidak membunuh Liem Lo-enghiong.”



Kwa Tin Siong dan yang lain-lain pernah mendengar dari Beng San tentang hal ini, akan tetapi karena menurut anggapan mereka tetap saja Kwee Sin yang menjadi biang keladinya, Kwa Tin Siong mendesak terus, 

“Kalau kau begitu yakin bahwa kau bukan pembunuhnya, sudah tentu kau tahu siapa pembunuhnya yang menggunakan pukulan Pek-lek-jiu? Liem-sumoi menuduh bahwa ayahnya kau bunuh karena ada tanda luka bekas pukulan Pek-lek-jiu, diperkuat dugaan bahwa tentu kau malu dan marah terlihat oleh ayahnya ketika kau berpesiar bersama ketua-Ngo-lian-kauw.”

Wajah Kwee Sin yang tadinya pucat berubah merah sebentar, lalu pucat lagi. 
“Tadinya aku tidak tahu siapa pembunuhnya, baru kemudian ini aku mengetahui semua bahwa memang orang menggunakan namaku dengan maksud mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai.”

“Siapa orang itu?”

Kwee Sin tampak ragu-ragu namun kemudian berkata, 
“Pembunuh ayah nona Liem adalah Kim-thouw Thian-li ketua Ngo-lian-kauw bersama anak buahnya yang menyamar sebagai anggauta-anggauta Pek-lian-pai!”

Sunyi seketika, terdengar isak tangis Liem Sian Hwa disusul bisikannya.
“Aku, harus membasmi Ngo-lian kauw….”

Akan tetapi kesunyian itu segera dipecahkan oleh suara Kwee Sin yang melanjutkan keterangannya dan kini semua orang mendengarkannya penuh perhatian.

“Keterangan untuk menjawab tuduhan kedua dapat kujelaskan dengan sumpah pula bahwa ketika aku datang kesini diantar oleh kedua suhengku, aku benar-benar bermaksud hendak memberi keterangan seperti yang kulakukan pada ini hari. Akan tetapi, Cuwi sekalian disini telah mengetahui betapa aku yang hendak mengakhiri hidupku untuk menebus dosa, tidak berdaya ketika disambar pergi oleh Hek-Hwa Kui-bo. Terhadap kepandaian nenek itu aku yang bodoh bisa berbuat apakah? Dan memang aku mengakui bahwa sejak itu aku bekerja di kota raja sebagai perwira, adapun hal ini adalah rahasia pribadiku dan tak perlu kuterangkan kepada siapapun juga.”

Pek Gan Siansu mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya. Kakek itu merasa terpukul mendengar betapa bekas muridnya tanpa malu-malu mengaku telah bekerja sebagai perwira di kota raja, berarti bekerja sebagai anjing penjajah. Padahal dahulu dia tahu betul betapa besar semangat Kwee Sin untuk menentang penjajah dan membantu perjuangan kaum patriot.

“Tentang pertanyaan ketiga, terang aku mengakui bahwa memang ada niat di hatiku untuk melakukan pembalasan dendam atas kematian dua orang suhengku di tempat ini. Pada waktu itu kupikir bahwa dua orang suhengku itu sama sekali tidak bersalah, mereka datang hanya untuk mengantar aku dan memaksa aku menjelaskan duduknya perkara. Siapa kira….. dua orang suhengku itu, orang-orang gagah perkasa yang berbudi, menemui kematian disini secara menyedihkan. Karena itulah aku datang melakukan pembalasan, dibantu oleh fihak Ngo-lian-kauw. Sebagai pengganti nyawa dua orang suhengku aku berhasil merenggut nyawa dua orang murid Hoa-san-pai, bukankah itu sudah pantas?” 

Sampai disini Kwee Sin tersenyum pahit, jelas dia memperlihatkan sikap menyesal bukan main.

“Sekarang pertanyaan ke empat, memang aku menjadi pembesar di kota raja. Terhadap permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, aku tak dapat berbuat apa-apa karena kedudukanku sebagai perwira. Dan untuk hal inipun aku memiliki rahasia pribadi yang belum dapat kujelaskan sekarang, maupun kelak karena rahasia itu akan kubawa mati. Nah, para orang gagah dari Hoa-san-pai, aku Kwee Sin sudah menjelaskan semua.”

Kwa Tin Siong berbisik-bisik dengan Lian Bu Tojin, kemudian dia maju pula berkata, suaranya nyaring jelas, 

“Kwee Sin, kami rasa pengakuan-pengakuanmu itu cukup jujur, kecuali tentang rahasia pribadi yang kau sembunyikan. Kami kira kau akan cukup jujur pula untuk mengakui bahwa perbuatanmulah yang menjadi biang keladi semua permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Selamanya dua partai ini menjadi sahabat-sahabat baik, malah sudah ada ikatan kekeluargaan antara kedua partai melalui sumoi dan engkau. Akan tetapi, dengan tak kenal malu kau telah melakukan perhubungan gelap yang amat hina dengan siluman betina Kim-thouw Thian-li dari Ngo-lian-kauw sehingga terlihat oleh ayah sumoi dan menyebabkan ayah sumoi dibunuh oleh Kim-thouw Thian-li. Kemudian kau bukannya insyaf malah melanjutkan perhubungan itu dengan fihak Ngo-lian-kauw, ditambah lagi menduduki jabatan perwira di kota raja. Sekarang hendak kami tanya, bagaimana pertanggungan jawabmu terhadap semua ini? Ingat, bahwa karena perbuatanmu yang rendah itu, telah banyak jatuh korban, baik di fihak Hoa-san-pai maupun fihak Kun-lun-pai. Dan tanpa ada pertanggungan jawabmu, kiranya kedua fihak akan terus turun tangan.”

Dengan sikap gagah Kwee Sin mengangkat dada dan berkata nyaring, 
“Semenjak kecil aku dididik oleh Kun-iun-pai untuk menjadi seorang laki-laki yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.”

Sampai disini suaranya menggetar terharu dan dia mengerling ke arah Pek Gan Siansu yang duduk tak bergerak seperti patung. 

“Sudah tentu saja aku mengakui semua kesalahanku, yaitu bahwa karena perhubunganku dengan Kim-thouw Thian-li maka terjadi keributan dan permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Para orang gagah Hoa-san-pai, aku Kwee Sin mengaku berdosa dan terserah hukuman apa yang hendak kalian jatuhkan kepadaku.”

Kembali Kwa Tin Siong berbisik-bisik kepada gurunya, kemudian menerima sebatang pedang dari tangan Lian Bu Tojin, pedang pusaka Hoa-san-pai! Dengan tenang dan suara tegas Kwa Tin Siong berkata, 

“Kesalahanmu terhadap Hoa-san-pai menimbulkan banyak korban nyawa anak murid Hoa-san-pai, karena itu seperti keharusan hukum kang-ouw, hutang nyawa bayar nyawa. Kwee Sin, mengingat akan hubungan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, Suhu memberi keringanan kepadamu dan mempersilakan kau menjatuhkan hukuman bayar hutang nyawa dengan tanganmu sendiri.”







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)