RAJA PEDANG JILID 127

“Teecu takkan mengecewakan Suhu,” jawab Lee Giok sambil memutar pedangnya.

Giam Kin tertawa lagi dan segera dua orang ini bertempur dengan seru. Akan tetapi segera ternyata bahwa Lee Giok bukanlah lawan Giam Kin. Sebentar saja ia amat terdesak dan baiknya Giam Kin adalah seorang pemuda mata keranjang. Melihat kecantikan Lee Giok, tentu saja hatinya tidak tega untuk melukai nona ini. Andaikata Lee Giok bukan seorang wanita, tentu dalam belasan jurus saja Giam Kin sudah menjatuhkan tangan keji. Sekarang Giam Kin hanya cengar-cengir sambil menggoda, mengeluarkan kata-kata yang kotor tidak sopan.



“Ehm, begini saja kepandaian Ji-enghiong? Kalau kau benar-benar seorang nyonya Liong yang tua dan buruk, tentu pedangku sudah akan menabas lehermu. Tapi kau….. hemmm, sayang kalau terluka lecet kulitmu. Kalau aku menjadi Raja Pedang, kau akan kujadikan selir Raja Pedang, maukah? Heh-heh-heh!”

“Si keparat bermulut kotor!” tiba-tiba dari fihak Hoa-san-pai melompat keluar seorang pemuda yang bukan lain, adalah Thio Ki adanya. 

Pemuda yang patah hati karena tak terbalas cinta kasihnya oleh Kwa Hong ini semenjak melihat munculnya Lee Giok di Hoa-san dahulu, telah amat tertarik oleh gadis ini. Menyaksikan kegagahan Lee Giok, apalagi mendengar bahwa Lee Giok adalah “Ji-enghiong”, sekaligus timbul kagum dan sukanya. Malah kenyataan bahwa dengan berterang Lee Giok mengaku cinta kepada Kwee Sin tidak mengurangi rasa sukanya. Sekarang melihat gadis ini dipermainkan Giam Kin, hatinya menjadi panas dan tak dapat menahan kesabarannya pula, dengan pedang di tangan dia menyerbu dan langsung menyerang Giam Kin dengan serangan maut.



Pada saat itu, Giam Kin sedang mendesak Lee Giok dan telah mengirim tusukan yang ditujukan untuk merobek pakaian sebelah atas gadis itu. Lee Giok sudah terkejut sekali dan maklum bahwa ia akan menderita malu yang bukan main besarnya andaikata serangan ini berhasil dan bajunya akan terobek ujung pedang. Maka ia merasa berterima kasih ketika tiba-tiba Thio Ki melompat dan menyerang Giam Kin sehingga pemuda muka pucat ini terpaksa menarik kembali serangannya dan dengan marah menghajar Thio Ki dengan sebuah tendangan kilat. 

Kepandaian Thio Ki masih kalah jauh oleh Giam Kin, maka tendangan itu merobohkannya. Namun, dengan nekad Thio Ki bangkit kembali dan dengan kaki terpincang-pincang dia menerjang lagi, tidak memberi kesempatan kepada Giam Kin untuk mendesak Lee Giok.

“Thio Ki, kau mundur!” Dari tempat duduknya Lian Bu Tojin menegur muridnya.

“Li Cu, kau hadapi manusia sombong itu!” Cia Hui Gan memerintah puterinya.



“Orang she Giam! Biarpun kau sudah mengalahkan Enci Lee Giok, jangan kira kau boleh bersombong dan sudah menjadi Raja Pedang. Lihat pedangku!” 

Cia Li Cu menggerakkan sebatang pedang yang ia pinjam dari pelayannya. Gerakannya cepat sehingga sinar pedangnya menyilaukan mata. Giam Kin cepat melompat mundur dan memutar senjatanya pula. Hatinya berdebar-debar tidak karuan menyaksikan kecantikan yang luar biasa dari lawan barunya.

Sementara itu, Thio Ki dan Le Giok mundur keluar dari kalangan pertempuran. 
“Thio-enghiong, terima kasih atas pertolonganmu.” kata Lee Giok sambil menjuru.

“Ah, tidak apa, Nona. Untuk membantumu yang gagah dan mulia, biar berkorban nyawa aku Thio Ki akan rela!” 

Ucapan yang terang-terangan bersifat pernyataan cinta ini membuat nona Lee Giok menjadi merah wajahnya dan cepat mundur ke dekat suhunya, dan Thio Ki juga mundur ke rombongannya sendiri.

Pertempuran kali ini hebat sekali. Biarpun Giam Kin adalah murid utama dari Siauw-ong-kwi dan kepandaiannya pun tinggi, namun menghadapi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut dari Li Cu, dia repot bukan main. Sudah kalah murni ilmu pedangnya, ditambah lagi kecantikan lawan membuat dia kacau pikirannya. Dalam jurus ke lima puluh, sulingnya kena dibabat putus dan lengan kanannya tergores pedang. Tanpa malu-malu lagi Giam Kin melompat mundur dan lari mendekati gurunya.



Sorak-sorai menyambut kemenangan nona rumah ini. Siauw-ong-kwi menjadi pucat mukanya dan sudah berdiri hendak maju sendiri menghadapi Cia Hui Gan untuk menebus kekalahan muridnya. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan merah dan Bi Goat si gadis gagu sudah berdiri berhadapan dengan Li Cu dengan pedang di tangan! Semua penonton tertegun menyaksikan dua orang nona yang sama-sama berpakaian merah dan keduanya cantik jelita ini.

“Bagus, sekarang baru ramai!” 





Toat-beng Yok-mo bertepuk-tepuk dan bersorak gembira sambil melangkah maju untuk mencari tempat duduk lebih dekat supaya enak menonton. la sudah seringkali menghadapi ilmu pedang Bi Goat dan merasa ngeri karena kehebatan Yang-sin Kiam-sut dan sekarang melihat Bi Goat hendak bertanding melawan Cia Li Cu, dia merasa gembira sekali.

Cia Li Cu tersenyum dan bukan main manis wajahnya ketika ia tersenyum. 
“Eh, adik gagu, apakah kau juga hendak merebut gelar Raja Pedang?”

Bi Goat yang mengerti kata-kata orang, menggeleng kepala, hanya menudingkan pedangnya ke arah Toat-beng Yok-mo yang seketika menjadi pucat.

Kembali Cia Li Cu tersenyum. 
“Ah, jadi kau penasaran karena Yok-mo itu? Dengarlah, adik yang manis. Kalau sudah selesai pertemuan ini, kau boleh saja mengejar dia dan boleh kau bacok putus lehernya, mana sudi aku ikut campur? Tapi sekarang karena dia seorang tamu, kau tidak boleh mengganggunya.” Di dalam hatinya Li Cu amat suka dan kasihan kepada Bi Goat, maka bicaranya manis.

“Bi Goat, lekas serang, jangan bikin malu orang tua.” terdengar Song-bun-kwi berkata dan kagetlah banyak orang mendengar ini.



Baru mereka tahu bahwa gadis cantik yang gagu ini kalau bukan anak tentulah murid Song-bun-kwi. Gembira hati mereka karena sebagai murid Song-bun-kwi yang sudah mereka ketahui kesaktiannya, gadis gagu itu tentu lihai sekali dan pertandingan ini tentu akan hebat.

Akan tetapi, siapa duga, begitu Bi Goat menggerakkan pedangnya menyerang dan ditangkis Li Cu, terdengar suara nyaring dan pedang Li Cu patah menjadi dua! Banyak orang menahan napas karena kalau dalam pertandingan ilmu pedang sampai ada pedang yang terpatahkan, maka orang itu boleh dianggap kalah. 

Wajah Li Cu agak pucat dan terdengar jerit tertahan dari para pelayannya. Akan tetapi Bi Goat sama sekali tidak menyerang lagi. Gadis gagu ini dengan wajah tenang memberi isyarat dengan tangannya agar supaya Li Cu mempergunakan pedang baru. 

Merah wajah Li Cu karena malu, akan tetapi diam-diam ia memuji kehalusan budi lawannya. Sekarang ia maklum bahwa lawannya menggunakan pedang pusaka yang ampuh dan kuat, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menggerakkan tangan kanan. Sinar menyilaukan berkelebat ketika pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut dari sarungnya. Yang panjang masih tinggal di dalam sarung. Semua orang kaget dan kagum sekali, terdengar golongan tua berbisik, 

“Inikah Liong-cu Siang-kiam?”

“Bi Goat, hati-hati jangan sampai beradu pedang!” Song-bun-kwi berseru kepada anaknya.

Akan tetapi mana Bi Goat mau percaya bahwa pedangnya akan kalah oleh pedang lawan? la telah menyerang lagi dan dua orang gadis berbaju merah ini sebentar saja sudah bertanding hebat. Makin lama makin cepat gerakan mereka sampai lenyap tergulung dua sinar pedang. Yang nampak hanya dua bayangan merah terbungkus oleh dua gulungan sinar pedang yang keemasan dan keperakan, segulung putih berkilau, yang lain kuning emas. Semua tamu menahan napas, kagum sekali menyaksikan dua ilmu pedang yang hebat ini. Juga Cia Hui Gan menahan napas. Makin lama dia makin terheran, kemudian berseru.

“Song-bun-kwi, apakah ini Yang-sin Kiam-sut yang berhasil kau dapatkan itu?”

Song-bun-kwi merah mukanya lalu menjawab. 
“Yang-sin Kiam-sut apa? Masih belum dapat menangkan Sian-li Kiam-sut punyamu!”

“Trang! Tranggg!” Pertempuran terhenti, Bi Goat meloncat mundur dengan muka pucat. Pedangnya telah patah! Li Cu menahan pedangnya, nampak bangga lalu berkata.

“Adik gagu, kau ambillah lain pedang.”

Song-bun-kwi marah sekali kepada Bi Goat. Tangannya bergerak dan tahu-tahu dia telah mengambil pedang dari pinggang seorang tamu tanpa si tamu mengetahuinya! Pedang ini sudah melayang ke arah Bi Goat disertai seruannya.

”Pakailah ini!”

Semua orang kaget. Pedang telanjang itu meluncur seperti anak panah dan seakan-akan hendak menembus dada gadis gagu berpakaian merah itu. Namun dengan mudah Bi Goat menekuk lututnya dan menyambar pedang dari bawah dengan kedua tangan. Kembali mereka bertempur, tapi hanya dalam tiga jurus pedang inipun patah menjadi tiga potong! 

Kembali Song-bun-kwi “mencopet” pedang yang dilemparkan kepada Bi Goat. Patah lagi. Berkali-kali Bi Goat berganti pedang dengan paksaan ayahnya, tapi mana ada pedang yang dapat menahan pedang Liong-cu-kiam? Pertandingan itu tidak menarik lagi, lebih berupa demonstrasi ketajaman pedang Liong-cu-kiam.

“Bi Goat belum kalah!” 

Song-bun-kwi membentak ketika terdengar suara para tamu supaya pertandingan itu disudahi saja dan gadis gagu dinyatakan kalah. 

“Pedangnya patah bukan karena dalam ilmu pedang, melainkan karena pedangnya kalah baik. Kalau dia sudah roboh mandi darah, barulah boleh disebut kalah. Bi Goat, serang lagi, biar dengan gagang pedang atau kepala!”

Bi Goat memang sudah merasa malu sekali karena berkali-kali pedangnya patah. Sekarang mendengar suara ayahnya ia menjadi nekat dan menubruk maju dengan pedang sepotong! 

Li Cu kaget sekali, tidak mengira bahwa gadis gagu yang gagah ini akan berlaku nekat. Kepandaiannya memang tidak terlalu jauh selisihnya, maka menghadapi serangan nekat ini ia tentu akan celaka kalau tidak mendahului. Liong-cu-kiam di tangannya bergerak naik turun dan la sudah mematahkan lagi pedang Bi Goat yang tinggal sepotong lalu ditambah dengan serangan balasan. 

Bagaikan anak panah Liong-cu-kiam meluncur ke arah tenggorokan Bi Goat. Baiknya sebelumnya sudah timbul perasaan suka dan kasihan dalam hati Li Cu, maka gadis inipun memaksa diri menurunkan tusukannya mengarah pundak. Para tamu menahan napas bahkan Song-bun-kwi sendiri mengepal tinjunya melihat puterinya terancam bahaya.

“Plakkk!” 

Pedang di tangan Li Cu tergetar dan gadis ini sendiri terhuyung mundur dua langkah dengan wajah pucat. Pedangnya tadi telah kena dihantam oleh sebuah benda hitam kecil yang membuat tangannya gemetar dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan.

“Song-bun-kwi, jangan main gila!” 

Cia Hui Gan membentak marah, mengira bahwa tentu Song-bun-kwi yang menolong gadis gagu dan mengirim serangan gelap kepada Li Cu.

“Cia Hui Gan, jangan sembarangan menuduh!” 

Song-bun-kwi balas membentak marah. Dua orang tua itu sudah berdiri dan saling pandang dengan mata menantang dan mengancam. Keadaan menjadi tegang. Akan tetapi tiba-tiba banyak orang berseru kaget dan heran dan semua perhatian sekarang ditujukan kepada bayangan seorang laki-laki yang baru saja naik ke tempat itu dengan langkah limbung. 

Laki-laki ini masih seorang pemuda, tapi keadaannya mengerikan sekali. Rambutnya awut-awutan, mukanya hijau, warnanya seperti orang terserang racun hebat, matanya merah, mukanya luka-luka berdarah, pakaiannya kusut tidak karuan.

Selagi semua orang terheran-heran, mereka dibikin lebih heran dan kaget ketika melihat Bi Goat mengeluarkan suara “uh-uh” dan gadis gagu yang cantik jelita ini berdiri menyambut orang itu, terus dipeluknya sambil menangis!

Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo segera mengenal orang ini, bahkan yang lain-lain akhirnya mengenalnya pula. Orang itu bukan lain adalah Beng San!

Memang dia Beng San. Pemuda ini hampir menjadi gila semenjak terjadi peristiwa antara dia dan Kwa Hong di dalam benteng tentara kerajaan. Sekarang, bertemu dengan Bi Goat yang amat mencintanya sehingga tanpa ragu-ragu menunjukkan cinta kasihnya di tempat ramai seperti itu, hatinya makin perih seperti ditusuk-tusuk, merasa berdosa.





SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)