RAJA PEDANG JILID 21

Pertempuran berjalan seru sekali. Ternyata kepandaian dua orang tosu itupun lihai bukan main. Gerakan joan-pian mereka amat hebat, seperti dua ekor ular yang menggeliat-geliat dan menyambar-nyambar. 

Namun semua serangan mereka dapat dihindarkan oleh Koai Atong dengan mudah. Sebaliknya, dengan anak panahnya itu pun Koai Atong tidak mampu mendesak dua orang lawannya, malah nampaknya Koai Atong dalam gerakan-gerakannya terlampau lemah sedangkari dua orang lawannya itu makin cepat dan kuat daya serangannya. 

Hal ini tidak aneh karena dua orang itu rnenggunakan ilmu silat yang mengandung tenaga Yang, sebaliknya Koai Atong memang memiliki kepandaian yang berdasarkan tenaga Im yang lebih halus dan lemas. Namun hanya tampaknya saja dia kalah cepat dan kalah kuat, padahal sesungguhnya tidak demikian karena dengan tenaga lemas dia dapat mempergunakan tenaga lawan untuk balas menyerang.

Pada jurus ke lima puluh, tiba-tiba dua orang tosu itu mengeluarkan bunyi aneh melengking tinggi dan serentak mereka menggerakkan tangan kirinya ke depan. Hanya tampak sinar beraneka warna menyambar ke arah Koai Atong. 

Orang aneh ini tampak kebingungan, cepat dia memutar anak panahnya sambil mengibaskan tangan kirinya seperti orang menghadapi sambaran banyak senjata rahasia yang kecil. Akan tetapi tetap saja dia mengaduh ketika terasa pundak kirinya gatal-gatal.

“Aduh, curang….. auh, curang…” 

Dan orang tinggi besar yang berjiwa anak-anak ini lalu menangis! Akan tetapi sambil menangis dia menyerang ! Lebih hebat sehingga kedua lawannya terpaksa banyak main mundur saja karena memang bukan main berbahayanya sepak terjang Koai Atong yang seperti seorang anak-anak sedang marah itu.

Kwa Hong khawatir sekali melihat bahwa temannya menangis dan agaknya kesakitan.
“Tosu-tosu bau! Kakek-kakek mau mampus! Tak tahu malu, cih, tak tahu malu. Sudah main keroyokan masih berlaku curang!” Kwa Hong memaki-maki sehingga kedua orang tosu itu rnenjadi merah mukanya.

“Diam, anak setan!” bentak kakek yang bertahi lalat pipinya



”Kau yang diam, tosu bau! Ahhh, kalau aku sudah besar, kucongkel tahi lalatmu di pipi itu, kuganti dengan tahi kerbau!” 

Kwa Hong memaki dan makian ini membuat Koai Atong yang tadi menangis menjadi tertawa terbahak-bahak.

“Ha-ha-ha, betul-betul! Ganti dengan tahi orang, lebih bau lagi!” 

Akan tetapi setelah dia tertawa, penyerangannya kurang kuat dan dia kena didesak mundur lagi. Kwa Hong melihat ini menjadi makin khawatir. Koai Atong boleh jadi lihai, akan tetapi dia kurang siasat dan seperti anak kecil saja, pula kedua orang lawannya itu ternyata amat lihai.

Pada saat itu, si penculik diam-diam mendekati Kwa Hong. la menganggap anak ini mengganggu kedua orang susioknya, pula melihat orang aneh itu terdesak, dia mendapat kesempatan untuk menangkap Kwa Hong. 

Setelah dekat dia menubruk anak itu. Kwa Hong yang sudah banyak belajar ilmu silat, cepat membanting diri ke belakang sehingga tubrukan itu meleset dan….. tiba-tiba Koai Atong menggerakkan tangan kirinya dari jauh dengan cara mendorong. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh penculik itu terlempar masuk ke dalam air telaga!

Koai Atong tertawa cekakakan, dan Kwa Hong mau tak mau tertawa geli juga melihat betapa si penculik yang sial itu sekali lagi menyumpah-nyumpah sambil berenang ke pinggir dan merayap naik dengan pakaian basah kuyup. Akan tetapi Kwa Hong yang agaknya lebih cerdik daripada Koai Atong, segera teringat akan gerakan tangan kiri orang aneh itu.

“Koai Atong, gunakan tangan kirimu, putar-putar dan pukul…..”



la teringat betapa lihainya tangan kiri Koai Atong yang pernah memukul mundur rombongan penculik, juga tadi baru saja diperlihatkan lagi ketika mendorong tubuh si penculik ke dalam telaga.

Seperti orang baru teringat, Koai Atong menghentikan suara ketawanya dan berkata, 
“Wah, iya, aku sampai lupa. Eh, Ini rasakan pukulanku, tosu-tosu hidung kerbau!” 





la memutar-mutar tangan kirinya dengan gerakan lucu seperti orang….. menyelinger mobil, lalu mendorong dua kali ke depan.

Dua orang tosu itu masih belum menduga bahwa gerakan yang aneh dan lucu ini adalah gerakan pukulan Jing-tok-ciang, maka begitu mereka terdorong, mereka mengeluarkan teriakan kaget, mundur terhuyung-huyung dengan muka pucat dan napas sesak.

“Celaka…..!” 

Mereka berteriak dan cepat mereka melarikan diri seperti dikejar setan. Padahal yang mengejar mereka bukan lain adalah si penculik yang lebih ketakutan lagi melihat susiok-susioknya melarikan diri.

“Kejar, Koai Atong. Tangkap!” seru Kwa Hong berkali-kali.



Akan tetapi Koai Atong hanya tertawa-tawa, lalu berjingkrakan sambil bertepuk-tepuk tangan kegirangan, seperti seorang anak-anak bergirang karena menang dalam permainan.

“Bagus, ya? Bagus, ya?” katanya kepada Kwa Hong. “Sayang ikan-ikan itu dimakan monyet tadi. Ikan-ikan sisik kuning emas tulen tadi.”

“Sudahlah, aku sudah bosan. Aku mau kembali kepada ayah, Hayo antarkan aku”.

“Kenapa kembali? Habis aku bagaimana? Eh, Enci….. siapa namamu?”

Geli juga hati Kwa Hong mendengar orang itu menyebutnya enci (kakak perempuan), orang setua ayahnya kok menyebut enci. Benar-benar gila

“Namaku Hong, she Kwa.”

“Jangan kembali dulu, Enci Hong. Aku masih senang bermain-main dengan kau. Mari kuperlihatkan puncak yang ada bunga cengger ayam. Bagus sekali.” Koai Atong membujuk-bujuk seperti anak merengek-rengek.

“Tidak, aku sudah lama pergi, takut ayah mengharap-harap kembaliku.”



“Kau takut dimarahi ayahmu? Jangan takut. Kalau dia berani marah, kupukul dia!”

Tiba-tiba Kwa Hong memandang kepada Koai Atong dengan muka beringas dan mata berapi. 

“Apa katamu? Kau mau pukul ayah? Kau berani pukul dia? Kubunuh kau!”

Koai Atong nampak kaget dan cepat dia berkata halus, 
“Ah, tidak….. ,tidak, Enci Hong….. aku tidak berani…..”



Kwa Hong biarpun masih kecil sekarang mengerti bahwa orang ini memang tidak normal, merasa seperti seorang anak yang kecil, lebih kecil dari dia sendiri. Maka ia lalu berkata dengan suara marah, menakut-nakuti.

“Kalau begitu, lekas antar aku kembali kepada ayah. Kalau kau tidak mau, aku tidak suka lagi menjadi temanmu.”

“Oh, baik, baik, Enci Hong, baik. Marilah…..” 

Koai Atong memegang lengan tangan Kwa Hong dan seperti tadi, dia berlari cepat sekali kembali ke dalam hutan dimana tadi mereka menihggalkan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, mereka tidak dapat menemui dua orang itu yang sudah lama pergi. Hari telah menjadi senja dan Kwa Hong gelisah bukan main.

“Kau yang salah! Kenapa kau ajak aku pergi? Sekarang bagaimana? Kemana aku harus mencari ayah?” 

Gadis cilik ini rnembanting-banting kakinya sehingga Koai Atong juga ikut bingung dan ketakutan.

“Habis bagaimana baiknya? Salahnya ayahmu yang tidak mau menunggu disini,” ia membela diri.

“Kau persalahkan ayah? Lekas sekarang kita menyusul. Kau harus dapat membawa aku bertemu dengan ayah, kalau tidak, awas kau…..!”

Koai Atong mengangguk-angguk. 
“Baiklah…… mari kita susul ayahmu.”

Mereka keluar dari hutan itu, akan tetapi terpaksa mereka berhenti karena malam telah tiba. Kwa Hong meraba bingung dan gelisah sekali, ingin menangis, akan tetapi ia maklum bahwa kalau dia menangis, maka hal itu bahkan akan membuat Koai Atong menjadi bingung, ia menahan perasaannya dan bersikap seolah-olah ia menjadi kakak yang memimpin sedangkan Koai Atong seperti adiknya.

“Aku mau mengaso dan tidur di bawah pohon sini, kau buatkan api unggun dan menjaga disini,” katanya. 

Akan tetapi Koai Atong begitu bodohnya, sehingga membuat api unggun saja tidak becus. Kwa Hong terpaksa memberi petunjuk cara membuat api dari dua kayu yang digosok secara keras. Tentu saja dengan tenaga Iweekangnya yang tinggi, beberapa kali gosok saja Koai Atong sudah berhasil menimbulkan api. 

Orang aneh ini bersorak-sorak girang melihat api dan sekiranya dia tidak bersama Kwa Hong yang mencegahnya, tentu dia akan membuat api yang amat besar yang akan membakar seluruh hutan!

Dengan Koai Atong menjaga di dekatnya Kwa Hong merasa aman dan anak ini segera tertidur. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwa Hong sudah sadar karena merasa amat dingin. Ketika ia melihat, ternyata orang aneh itupun sudah tertidur mengorok sambil duduk bersandar pohon. 

Seketika Kwa Hong merasa ketakutan karena di dalam tidurnya, lenyaplah sifat kanak-kanak pada diri orang aneh itu, kelihatan seperti seorang laki-laki yang setengah tua dan menakutkan. Rasa takut membuat KwaHong segera bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkah Koai Atong yang masih tertidur. 

Bagaimanapun juga, dia belum mengenal watak orang aneh ini sebenarnya dan makin lama kelakuan Koai Atong makin aneh menakutkan. Siapa tahu kalau-kalau akan timbul sifat jahatnya, demikian Kwa Hong berpikir sambil pergi meninggalkan orang itu dengan maksud mencari sendiri ayahnya.

Lama ia berjalan sampai ia tiba di luar sebuah dusun ketika matahari telah mulai naik. Kwa Hong mulai merasa lapar perutnya. Aduh, bagaimana ia harus mencari makan? Rasa lapar hampir tak tertahankan di waktu pagi itu, perutnya melilit-lilit dan terasa perih. Hampir ia menangis. Mulai ia merasa menyesal mengapa ia meninggalkan Koai Atong. Sekiranya ada orang aneh itu, tentu dapat ia suruh mencari makanan.

Tiba-tiba Kwa Hong terkejut ketika mendengar suara tinggi melengking yang amat aneh. la menoleh ketakutan kekanan kiri, akan tetapi tidak melihat sesuatu. Suara melengking itu makin lama makin dekat dan akhirnya ia melihat seorang anak laki-laki berwajah putih pucat datang berjalan perlahan sambil meniup sebuah suling yang bentuknya seperti ular. 

Anak itu pakaiannya berwarna kuning, bajunya terlalu panjang pada lengannya dan belakangnya sampai hampir menyentuh tanah. Wajahnya tampan, matanya berkilat, alisnya hitam, menambah wajah yang pucat itu menjadi makin pucat. 

Kwa Hong tertegun melihat anak yang aneh itu. Tadinya ia tidak melihat sesuatu ketika anak itu masih jauh, akan tetapi setelah anak itu datang makin dekat, Kwa Hong hampir menjerit karena ngerinya. 

Di belakang anak itu berjalan ratusan ekor ular besar kecil yang agaknya teratur sekali. Tidak seekor pun menyeleweng jalannya, semua mengikuti jejak pemuda itu, ada yang kepalanya menyusur tanah, ada yang mengangkat kepala dan berlenggang-lenggok, akan tetapi kesemuanya mengikuti pemuda yang menyuling tadi seakan-akan dikomandani oleh suara suling!

Kwa Hong merasa ngeri bukan hanya karena melihat ular demikian banyaknya, akan tetapi terutama sekali karena ia melihat betapa pemuda itu seakan-akan tidak tahu bahwa di belakangnya ada ratusan ular yang mengikutinya, masih melangkah enak-enakan sambil menyuling.

“Lari…..! Lekas kau lari…… di belakangmu banyak ular…..!” 

Kwa Hong berteriak-teriak sedangkan anak ini sendiri lalu meloncat ke arah sebatang pohon besar dan memanjat pohon dengan ketakutan. Di atas pohon ia masih berteriak-teriak menyuruh anak laki-laki itu segera lari.

Akan tetapi anak itu bukannya lari malah dengan perlahan sekarang dia memutar arahnya menuju ke arah pohon itu! Ular-ular itu pun terus mengikutinya dan kini semua binatang yang menjijikkan ini telah berkumpul di bawah pohon.






SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)