RAJA PEDANG JILID 42

Hasilnya luar biasa sekali karena terdengar seruan-seruan kaget Hek-hwa Kui-bo bersama Song-bun-kwi meloncat mundur. Hampir saja tangan mereka terbabat oleh pedang-pedang yang berkilauan dan mendatangkan hawa panas dan dingin sekali itu.

Beng San merasa betapa kedua pundaknya ditempel oleh kedua telapak tangan kakek itu tadi dan betapa di dalam kedua lengannya seperti ada tenaga lembut yang menjalar sampai ke tangannya. 

Semangatnya menjadi besar dan dia tersenyum mengejek ketika melihat dua orang lawannya itu sudah menggerakkan suling dan saputangan. Kedua pedangnya bergerak dengan jurus-jurus terlihai dari Im-yang Sin-kiam, pedang kiri bertemu dengan suling Song-bun-kwi sedangkan pedang tangan kanan beradu dengan ujung Saputangan Hek-hwa Kui-bo. 

Terdengar suara keras dan Hek-hwa Kui-bo memekik kaget sedangkan Song-bun-kwi melompat ke belakang. Ternyata bahwa ujung saputangan Hek-hwa Kui-bo dan ujung suling Song-bun-kwi telah terbabat oleh pedang-pedang itu.

“Liong-cu Siang-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga)…..!” Hek-hwa Kui-bo berseru.

“Ayaaaaa! Kalau begitu dia ini Lo-tong (Bocah Tua) Souw Lee…..!” 

Song-bun-kwi berteriak kaget sambil memandang kepada kakek tua renta yang berdiri di belakang Beng San.

Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa menyeramkan lalu berkata.
“Betul sekali! Eh, Song-bun-kwi, agaknya kita berdua yang selalu mujur. Hayo kita gempur dia dan segala yang kita dapat nanti kita bagi rata dan adil.”

“Bagus! Kui-bo, dengan Liong-cu Siang-kiam dan Im-yang Sin-kiam-sut kita akan menjagoi dunia. Ha-ha-ha!”

Dua orang itu lalu menggerakkan suling dan saputangan, menerjang maju dengan gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya. Saputangan itu mengeluarkan bunyi berdetar-detar seperti sebuah cemeti sedangkan suling itu mengeluarkan suara tangisan yang mengerikan. 

Tergetar juga hati Beng San menghadapi kedahsyatan dua orang itu. Sepasang pedang di tangannya hampir saja terlepas kalau tidak ada tenaga mujijat mengalir masuk melalui pundaknya yang, dipegang oleh kakek tua renta itu.

“Anak baik, ingat…..” bisik kakek itu di belakangnya, “kita harus dapat mengusir mereka….. bukan hanya demi keselamatanmu, apalagi keselamatanku, akan tetapi demi….. demi keamanan dunia….. Jangan terjatuh ke tangan dua iblis ini…..” 

Terpaksa kakek itu menghentikan kata-katanya karena dua orang itu sudah mulai dengan terjangan mereka yang dahsyat.

Beng San menggerakkan kedua pedang di tangannya. la belum pernah bertempur, juga limu Silat Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang dia miliki hanya dia latih dan hafalkan secara teorinya saja, tak pernah dipergunakan untuk bertempur. 

Memang tak dapat disangkal bahwa anak ini bakatnya baik sekali dan gerakan-gerakannya dalam mainkan semua jurus Im-yang Sin-kiam yang digabungkan itu luar biasa dan tepat. Namun menghadapi dua orang kawakan seperti Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, tentu saja dia merupakan sebuah timun melawan dua buah duren! Andaikata dia sendiri harus melawan mereka, biarpun dia diberi sepasang pedang Liong-cu-kiam, dalam satu jurus saja dia pasti akan terjungkal tanpa nyawa lagi.

Baiknya dalam pertandingan ini Beng San tidak maju sendiri, atau dapat dikatakan bahwa dia “dipakai” oleh kakek tua renta itu, dipergunakan pengetahuan-nya tentang Im-yang Sin-kiam-sut. 

Beng San hanya mempergunakan Im-yang Sin-kiam dan tentu saja tanpa disadarinya sendiri, diapun menggunakan tenaga Im dan Yang, dua tenaga yang memang sudah bersarang di dalam tubuhnya. Dua hal yang dimilikinya ini, Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam dan tenaga Im Yang, sekarang dengan hebat dipergunakan oleh kakek itu yang mendorongnya sehingga sepasang pedang di tangan Beng San berkeredepan dan menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga sakti yang bermain-main di angkasa raya. 

Berkali-kali saputangan dan suling di tangan Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi membalik ketika bertemu dengan pedang. Dua orang itu kaget bukan main. Mereka maklum bahwa anak ini “dipergunakan” oleh kakek itu, akan tetapi sama sekali mereka tidak pernah mengira bahwa anak itu dapat mainkan Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam digabung menjadi satu sehingga mereka yang hanya mengerti sebagian-sebagian saja dari ilmu pedang pasangan itu menjadi sibuk dan kewalahan. 





Mereka maklum bahwa tentu saja dalam hal ini bukan Beng San yang berjasa, melainkan kakek tua renta itu. Memang kakek tua renta itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Namun andaikata disitu tidak ada Beng San yang menambah kehebatan kakek itu dengan Im-yang Sin-kiam, dua orang sakti tadi yakin bahwa mereka berdua pasti akan dapat mengalahkannya.

Beng San betul-betul bingung ketika melihat bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan oleh dua orang tua itu berubah-ubah, bahkan kemudian sama sekali dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu. Hal ini memang betul demikian, karena dua orang itu sengaja tidak mainkan Ilmu Silat Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam yang dikenal baik oleh Beng San. 

Andaikata dia sendiri harus menghadapi jurus-jurus yang sama sekali asing baginya itu, tentu dia akan terjungkal dengan sendirinya karena pusingnya. Baiknya dengan “tuntunan” kakek itu melalui penyaluran hawa pada kedua pundaknya, dia masih dapat dengan cepat dan tepat mainkan Im-yang Sin-kiam untuk menghadapi semua serangan lawan, bahkan balas menyerang dengan tak kurang dahsyatnya

Pertempuran itu berjalan seru dan hebat. Kalau Beng San terdesak, tiba-tiba kakek di belakangnya berseru nyaring dan….. jenggotnya yang panjang melambai sampai ke perut itu bergerak menyambar-nyambar ke depan mengeluarkan suara angin bersiutan dan rambut ini yang tadinya halus sekali seakan-akan telah berubah menjadi cemeti baja yang menyambar ke arah kedua lawannya! 

Setelah hari mulai menjadi gelap, Beng San melihat dua orang lawannya berpeluh dan uap keputihan mengebul di atas kepala mereka. lapun mendengar kakek di belakangnya terengah-engah napasnya, kedua tangan yang mencengkeram pundaknya mulai menggetar. 

Napas kakek itu mulai meniup-niup kepalanya, terasa panas sekali. Dia sendiri belum lelah, maklum karena semenjak pertempuran dimulai, dia seakan-akan selalu “menggunakan” tenaga kakek itu dan peranannya sendiri hanya sebagai orang yang mengeluarkan Im-yang Sin-kiam saja.

Song-bun-kwi mulai tertawa-tawa mengejek. 
“Heh-heh-heh, Lo-tong, napasmu sudah empas-empis, jangan-jangan akan putus nanti.”

“Souw Lee, kau sudah tua bangka mau mampus, lebih baik menyerah dan mati dengan tubuh utuh daripada harus mati dengan kepala remuk.” kata Hek-hwa Kui-bo.

Dua orang tokoh ini mau mengajak bicara dan membujuknya, bukan karena mereka merasa amat kagum kepada kakek tua renta yang ternyata masih amat lihai ini. Memang, betapapun jahat dan kejam hati seorang tokoh kang-ouw yang sakti dan aneh, namun ciri khas orang-orang kang-ouw masih ada kepadanya, yaitu mengagumi dan menghargai kegagahan dan kelihaian orang.

“Song-bun-kwi! Hek-hwa Kui-bo…..!” Kakek ini terengah-engah. “Sebelum leherku patah, jangan harap kau akan mendapatkan Liong-cu Siang-kiam dan Im yang Sin-kiam-sut. Tanpa yang dua kalian sudah cukup jahat dan sudah terlalu banyak menyebar kekejaman di dunia.”

Song-bun-kwi mengeluarkan bentakan marah dan sulingnya mendesak makin hebat. Juga Hek-hwa Kui-bo memutar saputangannya yang mengeluarkan beberapa macam warna yang bersinar-sinar, mengurung diri Beng San dan kakek itu. 

Tiba-tiba Beng San merasa betapa kedua tangan kakek di pundaknya itu menjadi dingin sekali. la tidak mengerti apa sebabnya, tidak tahu bahwa dalam kelihaiannya kakek tua renta itu berlaku cerdik, menggunakan tenaga Im untuk menarik keuntungan dari pertempuran itu.

Beng San mulai mengerti akan maksud kakek itu ketika meminta kepadanya supaya jangan mengalah. la sekarang tahu bahwa Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut yang dia pelajari dari dua orang gurunya yang sudah meninggal dunia, ternyata amat dirindukan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, seperti halnya sepasang pedang ini. 

la mengerti bahwa dua orang tua yang kini mengeroyoknya itu adalah orang-orang jahat yang kalau sampai dapat merampas ilmu dan pedang, akan menjadi makin ganas dan jahat lagi. Sekarang saja sudah dapat membayangkan kekejian hati mereka dua orang tokoh besar dalam dunia persilatan yang tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk mengeroyok dan mendesak seorang anak-anak dan seorang kakek tua!

“Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, kalian benar-benar keji dan jahat!” 

Baru saja Beng San mengeluarkan kata-kata ini, kakek di belakangnya mengeluarkan teriakan keras lalu roboh telentang, mulutnya mengeluarkan darah, matanya mendelik dan tak sadarkan diri.

Beng San menjadi merah kehitaman mukanya. la kaget dan menoleh, menjadi makin hitam mukanya saking marah. la mengira bahwa kakek itu tentu telah jatuh karena pukulan dua orang lawannya. 

Sama sekali dia tidak tahu bahwa sebetulnya kakek sakti di belakangnya itu roboh oleh karena dia! Ketika tadi dia memaki Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, tanpa dia sadari Beng San yang marahnya memuncak itu telah menyalurkan hawa “Yang” di tubuhnya, membuat mukanya menjadi merah hitam. 

Tenaga Yang di tubuhnya memang hebat sekali, tidak sewajarnya. Tenaga inilah yang memukul kakek itu melalui kedua tangan yang diletakkan di pundaknya. Kakek itu sedang menggunakan tenaga Im, maka pukulan tenaga Yang dari tubuh Beng San yang amat kuat itu tak tertahankan olehnya, membuat dia terjungkal dan pingsan. 

Andaikata tenaga dahsyat dari tubuh Beng San ini tadi keluar di waktu kakek itu mempergunakan tenaga Yang, tentu kehebatan kakek ini akan bertambah dan mungkin sekali mereka berdua dapat mengusir Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo. Tapi, apa hendak dikata, anak itu memang belum mengerti akan keadaan dirinya sendiri dan belum tahu bagaimana caranya untuk memanfaatkan kekuatan dan kepandaian yang dia miliki secara kebetulan itu.

Untung baginya bahwa dua orang sakti di depannya itu memang tidak mempunyai maksud untuk membunuhnya pada saat itu, karena keduanya membutuhkannya. Hek-hwa Kui-bo dengan suara ketawanya yang menyeramkan sudah maju menubruknya.

“Kui-bo, perlahan dulu” 

Song-bun kwi berseru dan juga menubruk ke depan, mendorong tubuh Hek-hwa Kui-bo. Wanita tua itu marah sekali, dengan bentakan keras ia membalikkan tubuh dan menyerang Song-bun-kwi dengan sapu-tangannya. 

Tentu saja Song-bun-kwi tidak rela kepalanya diancam kehancuran oleh ujung saputangan yang amat ampuh itu. Cepat sulingnya digerakkan menangkis dan di lain saat dua orang ini sudah saling gempur. Kalau tadi mereka bersatu dalam menghadapi sepasang pedang di tangan Beng San yang dibantu oleh kakek Lo-tong Souw Lee, sekarang mereka bertempur satu kepada yang lain. Untuk memperebutkan Beng San berikut sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam.

Pertandingan itu makin lama makin seru dan dasyat, sedangkan cuaca makin lama makin menjadi gelap. Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo memang memiliki ilmu kepandaian yang setingkat, apalagi masing-masing telah mendapatkan kitab Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Berulangkali mereka menukar ilmu untuk merobohkan lawan, namun selalu sia-sia. 

Yang terheran-heran adalah Beng San. Kadang-kadang dia tak dapat melihat dua orang itu yang lenyap ditelan gulungan sinar senjata mereka, akan tetapi ada kalanya dia melihat mereka dengan jelas karena mereka itu berkelahi dengan gerakan-gerakan yang luar biasa, amat lambat seperti orang main-main saja. 

Akhirnya dia tidak dapat melihat mereka sama sekali ketika matahari sudah bersembunyi dan cuaca sudah menjadi hitam gelap. Hanya desir angin pukulan mereka saja yang masih terdengar dan terasa.

Tiba-tiba Beng San merasa tangannya dipegang orang dari belakang, lalu dia ditarik perlahan ke belakang. Ketika dia menengok, di dalam gelap itu dia masih melihat tubuh kakek tua renta yang sekarang telah berdiri dan mengajak dia pergi dari tempat itu. 

Beng San maklum akan maksud hati kakek ini. Tentu melihat dua orang sakti itu sedang saling gempur sendiri, kakek itu mengajaknya menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri di dalam gelap. 

Benar saja dugaannya, tak lama kemudian dia merasa tubuhnya seperti terbang sedangkan tangannya masih digandeng oleh kakek itu. Diam-diam dia kagum sekali. Ternyata bahwa kakek tua ini dalam berlari cepat tidak kalah oleh Song-bun-kwi maupun Hek-hwa Kui-bo.

Beng San mendengar teriakan-teriakan marah dari Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo. Lapat-lapat ia mendengar mereka memaki-maki dan menyuruh dia berhenti. Akan tetapi suara dua orang yang mengejarnya itu makin lama makin jauh, agaknya mereka sesat jalan, tidak tahu kemana larinya Beng San bersama kakek tua itu.





SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)