RAJAWALI EMAS JILID 001

PEGUNUNGAN Lu-liang-san terkenal sebagai gunung yang indah dan subur, terutama sekali hal ini disebabkan oleh Sungai Kuning yang mengalir diantara pegunungan ini. Banyak terdapat hutan-hutan lebat dan bagian-bagian yang amat indah penuh dengan pohon-pohon berbuah dan tanaman berbunga. Hutan-hutan ini sebagian besar masih merupakan hutan liar yang asli, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia.

Oleh karena itu, penghuni-penghuni asli hutan itu, binatang-binatang besar kecil berkembang biak amat suburnya sehingga daerah Pegunungan Lu-liang-san terkenal sebagai tempat yang amat baik akan tetapi juga amat berbahaya bagi para pemburu.

Keindahan alam yang belum terjamah tangan manusia memang merupakan keindahan asli. Apalagi dimusim semi diwaktu pohon-pohon penuh daun, sedangkan dimusim rontok saja terdapat keindahan aseli yang menggerakan hati setiap orang yang dapat menghargai keindahan alam yang aseli.



Lihatlah daun-daun yang melayang-layang turun, rontok dari tangkainya. Melayang-layang bebas lepas seakan-akan kupu-kupu bercanda menimbulkan suara gemerisik yang tiada hentinya. Daun-daun kering merontok dengan rela untuk memberi kesempatan berseminya daun-daun baru yang akan menggantikan kedudukannya. 

Daun-daun kering merontok untuk membusuk dan menjadi pupuk bagi daun-daun baru. Rontok dan semi, hilang yang tua muncul yang baru. Didunia ini mana yang tidak terlewat oleh hukum alam ini? Yang tua lenyap untuk memberi tempat bagi yang muda, yang muda akhirnya pun tua dan lenyap untuk mengulang sejarah yang lalu.

Gemerisik daun-daun kering rontok melayang turun diselingi suara air Sungai Huang Ho yang tidak penuh airnya. Air bermain dengan batu-batu, berdendang lagu bahagia tak kunjung henti. Suara daun kering rontok dan air sungai berdendang merupakan perpaduan suara yang amat indah, kadang-kadang diramaikan suara burung di pohon dan sekali-kali terdengar raungan binatang buas dari dalam semak-semak belukar.



Betapapun besar bahaya rnengancam keselamatan manusia yang berani memasuki hutan-hutan ini, yaitu bahaya dari ancaman binatang-binatang buas, namun tetap saja akhirnya ternyata bahwa manusialah mahluk yang paling kuat diantara segala mahluk hidup di dunia ini. 

Pagi hari itu, dikala sinar matahari berebutan menerobos ke celah-celah daun pohon yang mulai menggundul dan burung-burung tengah ramai bersaing kemerduan kicau mereka terdengar suara lain di dalam hutan itu. Suara manusia! 

Burung-burung yang terdekat menghentikan kicaunya, sebagian terbang pergi ketakutan. Binatang-binatang kecil lari menyelinap ke dalam semak-semak, binatang-binatang besar mengintai penuh kecurigaan dari balik gerombolan. Seluruh perhatian para mahkluk dalam hutan tertuju kepada mahkluk aneh yang tak pernah mereka lihat itu. Manusia!

Manusiakah yang menjadi pusat perhatian para binatang-binatang itu? Jangankan para binatang yang tak pernah atau jarang sekali melihat manusia, sedangkan manusia-manusia sendiri kiranya akan tercengang keheran-heranan kalau melihat orang yang tengah berada di dalam hutan seorang diri ini.



Dia seorang laki-laki tinggi besar, Pakaiannya berpotongan longgar, terbuat dari bemacam-macam kain berwarna-warni yang disambung-sambung. Sepatunya, sepatu besar, juga berkembang! Sukar menaksir usia orang ini. 

Yang terang dia sudah lewat dewasa, Karena tubuhnya demikian tinggi besar. Melihat perawakan dan wajahnya yang sudah masak, sedikitnya dia berusia empat puluh lima tahun. Akan tetapi melihat kebodohan kanak-kanak yang membayang pada wajahnya, melihat bentuk pakaian dan warna sepatunya serta sikapnya yang sedang main-main seorang diri, dia masih seorang kanak-kanak!. 

Memang dia seorang kanak-kanak yang sudah tua, atau seorang tua yang berjiwa kanak-kanak. Karena keanehan inilah maka di dunia kang-ouw ia terkenal sekali dengan nama poyokan Koai Atong (Bocah Aneh).

Jangan dipandang rendah Koai Atong ini. Banyak orang Kang-ouw, jagoan ternama yang berkepandaian tinggi, akhirnya kecele ketika mereka berani memandang rendah Koai Atong. Dia adalah murid tunggal seorang sakti dari Tibet, seorang hwesio yang bernama Ban-tok-sim Giam Kong. Melihat nama julukannya saja, Ban-tok-sim (Hati Selaksa Racun), mudah dibayangkan orang macam apa hwesio Tibet ini. Namanya saja cukup membuat seorang tokoh Kang-ouw lari tunggang langgang.

Koai Atong tertawa-tawa dan berkata-kata seorang diri di dalam hutan itu. Ia sedang melatih Jing-tok-ciang (Tangan Racun Hijau), semacam ilmu pukulan yang paling diandalkan oleh suhunya. Biarpun anak tua ini kelihatan ketolol-tololannya, akan tetapi bakatnya dalam hal ilmu silat bukan main hebatnya. Kalau tidak demikian, masa seorang sakti seperti Ban-tok-sim Giam Kong mau mengambilnya sebagai murid tunggal? 





Hampir seluruh ilmu kepandaian Giam Kong sudah diwarisi Koai Atong, malah dalam hal ilmu Pukulan Jing-tok-ciang, Koai Atong tak pernah berhenti untuk berlatih dan memperdalam.

“Kau harus roboh, harus roboh!” katanya sambil memutar lengan kirinya seperti orang memutar gilingan kopi, kemudian tiba-tiba tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah sebatang pohon.



Tidak terdengar suara apa-apa akan tetapi semua daun kering di pohon itu merontok dan… pohon yang batangnya sebesar paha orang itu mulai tumbang karena batangnya sudah membusuk. Bukan main lihainya pukulan Jing-tok-ciang ini, dan demikian jahatnya sehingga batang pohon yang tadinya masih segar menjadi busuk terkena hawanya yang beracun. Koai Atong terkekeh-kekeh girang, lalu melanjutkan latihannya dari memukul pohon yang lebih besar. 

Sebentar saja disitu telah rebah beberapa batang pohon, akan tetapi ia juga terduduk kelelahan karena terlampau banyak mengerahkan tenaga Iwee-kang dalam latihan pukulan mujijat ini. 

Seperti orang gendeng anak tua ini tertawa-tawa girang karena hasil latihannya tadi memuaskan hatinya. Akan tetapi tiba-tiba ia kaget mendengar bunyi kelepak sayap burung besar dan ia melihat seekor burung rajawali berbulu putih menukik turun tak jauh dari tempat ia duduk beristirahat. Cepat ia melompat dan berindap-indap mendekati tempat itu.

Bukan main hebatnya burung ini. Besar sekali, kalau berdiri semeter lebih tingginya. Burung ini menukik turun dan menerjang ke arah semak-semak dan… dalam sekejap mata saja ia menerkam seekor kijang yang bersembunyi disitu. Kasihan binatang ini, sama sekali tak dapat melawan. Sekali cengkeram, kuku-kuku runcing melengkung itu menusuk perut menembus kulit dan daging. Kijang berkelojotan sebentar dan mati tak lama kemudian. Rajawali dengan sepasang matanya yang bening berapi itu mendengus, melepaskan korbannya lalu terbang pergi meninggalkan bangkai kijang begitu saja. 

Koai Atong terheran-heran. Gilakah burung itu, pikirnya. Sudah membunuh kijang kenapa tidak terus dimakan, malah ditinggal pergi? la masih bersembunyi, seperti anak kecil ia girang dapat mengintai perbuatan “orang” lain.



Akhirnya ia jemu juga karena si rajawali yang amat gagah dan bagus itu tidak datang kembali. Tadinya ia berniat menanti kalau burung itu datang kembali akan ditubruk dan ditangkapnya. 

Selagi ia hendak keluar dari tempat sembunyinya untuk mengambil bangkai kijang dan dipanggang dagingnya, terdengar auman keras dan muncullah seekor harimau dari balik semak belukar. Harimau itu keluar perlahan-lahan, hidungnya mendengus-dengus dan mulutnya menyeringai dengan air liur menetes-netes turun. Agaknya ia telah mencium bangkai kijang, atau bau darah maka ia datang ke tempat itu. 

Begitu melirik ke kanan kiri tidak terdapat bahaya, harimau itu memburu kearah bangkai kijang. Akan tetapi tiba-tiba dari arah lain muncul seekor harimau hitam yang langsung menerjang harimau belang itu.




Terjadi pergumulan seru, cakar-mencakar, gigit-menggigit amat hebatnya.

Koai Atong terkekeh-kekeh senang, bertepuk-tepuk tangan seperti anak kecil menonton pertunjukan wayang dimana tokoh-tokohnya berperang tanding.

“Hayo gigit hidungnya, cakar kupingnya. Hah-hah, heh-heh-heh!”

Akhirnya si harimau belang harus tunduk terhadap hukum rimba yang berlaku semenjak dunia berkembang sampai sekarang ini. Siapa kuat dia benar dan menang. Siapa lemah dia salah dan kalah! 

Sambil meraung-raung dan lehernya terluka berdarah, harimau belang lari tunggang-langgang. Lawannya, si harimau hitam tidak mengejarnya, sebaliknya segera menghampiri biang keladi pertempuran tadi, si bangkai kijang. Ia mencium-cium, agaknya menikmati bau bangkai dan darah kijang, lalu menjilat-jilat darah yang mulai mengering.

“Heh-heh-heh, sergap! Sergap dari atas!” tiba-tiba Koai Atong berteriak-teriak girang, anak tua itu dengan pandang matanya yang tajam dan telinganya yang terlatih dapat mendengar suara menggelesernya tubuh ular besar di pohon, sebelah atas harimau hitam itu. 

Mendengar suara Koai Atong, si harimau kaget, akan tetapi tiba-tiba ia menjadi lebih kaget dan marah lagi ketika pada saat itu seekor ular sebesar paha manusia meluncur dari atas dan serta-merta menyerang, kembali terjadi pertandingan mati-matian untuk menentukan berlakunya hukum rimba. 

Harimau hitam itu ganas sekali, mencakar menggigit sampai robek-robek kulit ular. Akan tetapi setelah ia kena dibelit, mulailah ia merasa-payah, lalu membanting diri ke kanan kiri. Si ular tidak mau melepaskan belitannya, malah segera menggigit leher harimau itu, tak mau melepaskan lagi.

Ramai sekali pertandingan ini dan makin Sukalah hati Koai Atong. Akhirnya harimau roboh tak berkutik lagi, mati karena gigitan dan belitan ular yang amat kuatnya itu. Binatang yang kali ini menang, melepaskan lilitannya, lalu terjadilah hal lucu yang membuat Koai Atong terkekeh-kekeh ditempat persembunyiannya. 

Ular besar itu agaknya bimbang ragu, yang mana harus ia ganyang lebih dulu diantara dua hidangan lezat ini. Sebentar merayap ke bangkai kijang, menjilat-Jilat, lalu kembali merayap kebangkai harimau hitam. Ada empat lima kali ia beragu seperti itu.

Tiba-tiba Koai Atong berseru,
“Ha-ha-ha, pemiliknya datang!”

Benar saja. Dari atas melayang turun dua ekor burung rajawali putih. Sekarang tahulah Koai Atong bahwa rajawali yang menerkam kijang tadi pergi untuk memanggil anaknya. Sekarang ia datang kembali bersama seekor rajawali putih lain yang lebih kecil dan kelihatan masih amat muda. 

Dan sekarang ternyata bahwa binatang ular itu agaknya lebih cerdik daripada binatang-binatang yang lain, begitu melihat dua ekor burung yang besar dan kuat ia maklum bahwa ia takkan kuat melawannya. Ia mengeluarkan suara mendesis karena kecewa dan marah, akan tetapi lalu menggeleser lari bersembunyi ke dalam semak-semak.

“Heei!! Pengecut kau! Datang yang kuat lari tunggang-langgang!” Koai Atong berteriak-teriak dan memaki-maki ular.

Dua ekor burung rajawali putih itu kaget mendengar suara orang. Mereka menengok kekanan kiri, nampaknya marah sekali. Pada saat itu Koai Atong sudah siap sedia untuk meloncat keluar dan menangkap burung yang besar, akan tetapi kembali ia terkejut mendengar suara melengking yang amat nyaring dari atas dan daun-daun pohon bergerak-gerak tertiup angin keras. 

Mendadak tanpa memperdengarkan kelepak sayap seperti dua ekor rajawali putih tadi, dari atas menyambar turun bayangan kuning keemasan yang menyilaukan mata. Ternyata yang menyambar turun ini adalah seekor burung rajawali pula. Besarnya tidak luar biasa, tidak lebih besar daripada rajawali putih itu, malah kepalanya lebih kecil dan dadanya lebih kurus. 

Akan tetapi yang aneh adalah bulunya yang berwarna kuning keemasan, bersih dan mengkilap amat indahnya seakan-akan bulu-bulunya terbuat daripada sutera emas.





Next»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)