RAJAWALI EMAS JILID 006

Akan tetapi Lian Bu Tojin tidak berkata apa-apa hanya memandang kesana kemari agaknya mencari Kwa Hong.

“Atong, sekarang juga kau harus tinggalkan tempat ini dan ikut bersama pincengl”

Makin pucat wajah Koai Atong. 
“Apa….? Pergi meninggalkan Enci Hong….? Tidak, Suhu. Aku tidak mau, aku tidak bisa berpisah dari Enci Hong. Aku tidak mau pergi ikut denganmu!”

“Setan! Atong, apakah kau hendak melawan gurumu?”

“Siapapun juga tidak boleh memisahkan aku dengan Enci Hong!” Koai Atong tetap membantah.

“Keparat, kalau begitu lebih baik pinceng melihat kau mati!” 

Tiba-tiba tubuh yang tinggi besar dari Giam Kong Hwesio itu bergerak dan tahu-tahu ia sudah mengirim serangan maut ke arah kepala Koai Atong.




la sudah maklum sampai dimana tingkat kepandaian muridnya ini, yaitu tidak selisih jauh dengan tingkatnya sendiri, maka begitu turun tangan ia segera mengirim pukulan dengan jurus yang mematikan dan yang kiranya takkan dapat dihindarkan oleh muridnya itu.

Akan tetapi, diluar dugaannya sama sekali, tubuh Koai Atong bergerak sedikit, kakinya menggeser dan kedua lengannya dikembangkan seperti sayap dan… serangan itu hanya mengenai tempat kosong. 

Giam Kong Hwesio terkesiap, bukan karena dihindarkannya serangannya, melainkan cara muridnya itu bergerak menyelamatkan diri. Gerakan kaki dan kedua tangan muridnya itu sama sekali asing baginya.

“Murid murtad, kau sudah mempelajari ilmu silat lain pula? Nah, pergunakan llmu silat barumu untuk menghadapi ini!” 

Kembali Giam Kong Hwesio menyerang, kini menyerang sambil mengerahkan tenaga Jing-tok-ciang yang luar biasa hebatnya.

Namun ia kembali kecele sampai berkali-kali. Serangannya susul-menyusul sampai dua puluh empat jurus tanpa berhenti, namun kesemuanya itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya oleh Koai Atong. 

Melihat hal ini tadinya Lian Bu Tojin sendiri mengira bahwa Giam Kong Hwesio hanya menggertak muridnya dan masih merasa sayang untuk menghukumnya. Akan tetapi setelah melihat betapa Giam Kong Hwesio makin lama makin marah dan serangan-serangannya betul-betul amat berbahaya, ia mulai memperhatikan dan amat heranlah hatinya, ia sendiri menyaksikan betapa aneh dan luar biasa gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Koai Atong itu. 

Tubuh Koai Atong yang tinggi besar itu agak membungkuk, kakinya berloncatan ke sana-sini, kedua lengannya dikembangkan seperti burung hendak terbang. Dan setiap kali serangan datang selalu otomatis kaki dan tangannya bergerak secara aneh tapi selalu dapat menghindarkan semua pukulan.

“Kurang ajar, kau benar-benar hendak melawan gurumu sendiri? Atong, kalau begitu biar pinceng mengadu nyawa denganmu!” seru Giam Kong Hwesio yang menjadi marah luar biasa.

Tiba-tiba terdengar suara merdu dari atas, 
“Koai Atong, hwesio buruk itu bukan gurumu lagi, balaslah dengan Jing-tok-ciang yang baru kita latih kemarin!”

Wajah Koai Atong berseri-seri mendengar suara ini, lalu ia menjawab,
“Baiklah, Enci Hong. Eh, hwesio buruk, kau bukan guruku lagi dan sekarang kau rebahlah!” 





Sambil berkata demikian Koai Atong memutar-mutar lengan kiri hendak menggunakan pukulan Jing-tok-ciang. Tentu saja serangan ini dipandang ringan oleh Giam Kong Hwesio. Dialah yang menciptakan ilmu Pukulan Jing-tok-ciang ini, masa sekarang ia diancam dengan ilmu pukulan ciptaannya itu? Hampir ia tertawa melihat bekas muridnya memutar-mutar tangan kirinya. Tepat seperti yang ia ajarkan dulu, tangan kiri Koai Atong mendorong dengan tenaga Jing-tok-ciang.

Tentu saja sebagai penciptanya, Giam Kong Hwesio tahu cara pemecahannya, malah tahu cara untuk membalas secara hebat. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dan dengan Jing-tok-ciang pula tapi dengan tenaga “menyedot” ia menangkis dengan tangan kanannya kepada dorongan tangan kiri muridnya itu

Dua tangan bertemu dan saling menempel. Giarn Kong Hwesio sudah merasa girang karena kali ini ia pasti akan dapat merobohkan bekas muridnya itu. Siapa kira tiba-tiba tangan kanan Koai Atong bergerak mendorong dan… tangan kanan inilah yang mengandung tenaga Jing-tok-ciang sepenuhnya Sedangkan tangan kirinya tadi hanyalah gertak atau tipuan belaka.

“Bukk!!” 

Tubuh Giam Kong Hwesio terhuyung-huyung, matanya terbelalak melotot memandang kepada Koai Atong, kemudian ia roboh terguling dengan mata masih melotot akan tetapi putus nyawanya. Hwesio Tibet ini telah tewas di tangan muridnya sendiri, oleh ilmu pukulan yang dahulu ia ciptakan sendiri. Akan tetapi Jing-tok-ciang yang dipergunakan oleh Koai Atong ini telah berubah banyak, dan gerakannya telah dicampur dengan gerakan aneh yang ia pelajari bersama Kwa Hong dari burung rajawali emas!

Lian Bu Tojin sejak tadi memandang ke atas, ke arah suara. Ternyata Kwa Hong sedang duduk di atas punggung seekor burung rajawali yang berbulu kuning emas. Agaknya burung itu tadi terbang mendatang dengan gerakan sayap yang amat halus sehingga tidak menimbulkan suara dan telah hinggap di cabang dengan Kwa Hong di punggungnya. 

Hampir Lian Bu Tojin tidak mengenal muridnya ini lagi, Kwa Hong memakai pakaian serba putih, tidak merah seperti dulu lagi, dan ia duduk di punggung rajawali dengan lagak angkuh dan agung seperti seorang ratu duduk di atas singgasana dari emas! 

Sama sekali Kwa Hong tidak pernah melirik ke arah Lian Bu Tojin dan begitu melihat Giam Kong Hwesio roboh dan tewas, Kwa Hong tertawa dengan suara yang membikin bulu tengkuk berdiri. Dalam pendengaran Lian Bu Tojin, suara itu setengah tertawa setengah menangis. Betapapun juga, melihat Koai Atong membunuh gurunya sendiri, Lian Bu Tojin menjadi marah sekali.

“Koai Atong benar-benar kau murid durhaka. Berani kau membunuh gurumu sendiri?”

Sementara itu, Koai Atong berdiri seperti patung memandangi tubuh suhunya yang telentang dengan mata mendelik dalam keadaan tidak bernyawa lagi itu. Sekarang, mendengar kata-kata Lian Bu Tojin, ia segera berlutut sambil menangis menggerung-gerung.

“Suhu… Suhu… kenapa kau diam saja? Suhu… apakah betul-betul kau mati? Ah, Suhu, jangan tinggalkan murid seorang diri di dunia ini. Suhu… jangan mati, Suhu…!”

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dari atas pohon dan tahu-tahu Kwa Hong sudah berdiri di dekat Koai Atong, memegang pundak Koai Atong dan diguncang-guncang keras. 

Lian Bu Tojin diam-diam kaget dan kagum menyaksikan gerakan Kwa Hong ketika melayang turun tadi, seperti seekor burung saja gerakannya dan demikian ringan! Dari mana gadis ini mempelajari semua itu?

“Koai Atong, apakah kau sudah gila? Hwesio buruk ini sudah mati, kenapa kau menangis segala macam?”

Koai Atong bangkit berdiri sambil menyusuti air matanya, 
“Dia adalah guruku, Enci Hong. Dia guruku yang baik… uhh-uhhhuu… kalau dia mati, bagaimana dengan diriku? Uhuhuu….”

“Goblok! Apa kau lupa ada aku disini. Kau boleh pilih saja, mau ikut gurumu mampus atau mau hidup bersama aku disini?”

Seketika berubah wajah Koai Atong. la nampak gugup dan cepat sekali tersenyum dan menyusut kering air matanya, 

“Oh, betul juga. Aku keliru tadi, Enci Hong. Biarkan dia mampus, hwesio buruk itu yang mau membawa aku pergi darimu. Ha-ha-ha!”

Mendengar dan melihat ini semua, Lian Bu Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekarang jelaslah baginya bahwa kesalahannya bukan terletak pada diri Koai Atong, melainkan sepenuhnya adalah karena perbuatan Kwa Hong, terang bahwa Koai Atong hanya menurut saja apa kehendak Kwa Hong. Yang ia tidak mengerti mengapa Kwa Hong melakukan ini semua? Mungkinkah Kwa Hong jatuh cinta kepada orang seperti Koai Atong? Ia menggeleng-geleng kepala, kalau ada kemungkinan ini tentu ada kemungkinan lain, yaitu bahwa Kwa Hong telah menjadi gila!

“Eh, tosu tua. Mau apa kau datang ke tempat kami ini?”

Lian Bu Tojin memandang kepada Kwa Hong dengan mata terpentang lebar sekali. Benarkah ini Kwa Hong gadis cucu muridnya yang dulu hanya takut kepadanya seorang?

“Hong Hong, benar-benarkah kau sudah lupa kepada pinto? Lupakah kau kepada kakek gurumu sendiri? Pinto adalah Lian Bu Tojin dari Hoa-san-pai, Hong Hong, setelah kakek gurumu datang, apakah kau tidak lekas berlutut memberi hormat?”

Koai Atong berkata, 
“Enci Hong, dia ini Ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin, kakek gurumu yang galak, Lekas berlutut, kau nanti mendapat marah bisa sulit!”

Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong tertawa bergelak-gelak, lalu berkata dengan nada suara galak,

“Lian Bu Tojin, siapa tidak tahu bahwa kau adalah Ketua Hoa-san-pai yang mulia dan gagah perkasa, guru besar yang hendak membunuh murid sendiri kemudian membuntungi lengan kiri murid sendiri? Hah, kau menjemukan hatiku. “Tosu tua bangka bau, lekaslah pergi dari sini sebelum timbul seleraku untuk membuntungi tanganmu atau lehermu!”

Sesabar-sabarnya manusia, masih ada batasnya. Kalau yang memakinya itu seorang lain yang tidak ada hubungannya dengan dirinya, mungkin Lian Bu Tojin takkan melayaninya dan akan pergi begitu saja. Akan tetapi Kwa Hong adalah cucu muridnya. Seorang cucu murid berani memaki-maki kakek gurunya, hal ini benar-benar diluar batas kesabaran Lian Bu Tojin.

“Kwa Hong, kau benar-benar kurang ajar sekali. Kau sebagai anak murid Hoa-san-pai sudah mengotorkan dan mencemarkan nama Hoa-san-pai dengan perbuatanmu yang kotor tak tahu malu ini. Pinto menjadi Ketua Hoa-san-pai, percuma kalau tidak bisa memberi hukuman kepadamu!”

Setelah berkata demikian, dengan amarah meluap-luap Lian Bu Tojin lalu menerjang maju sambil memutar tongkat bambunya, melakukan serangan kepada Kwa Hong. Dengan amat mudah Kwa Hong mengelak dan membalas dengan pukulan aneh sekali gerakannya, dari samping. 

Melihat betapa gerakan tangan itu ketika memukul agak diputar, tak salah lagi tentu ini sebuah pukulan Jing-tok-ciang, akan tetapi juga lain sekali gerakannya dengan Jing-tok-ciang dari Giam Kong Hwesio yang pernah dilihat Lian Bu Tojin. Betapapun juga Lian Bu Tojin tidak berlaku sembrono dan mengelak sambil menotokkan ujung tongkat bambunya ke arah jalan darah di pinggang bekas cucu muridnya itu. 

Lagi-lagi Kwa Hong mengelak dan diam-diam Lian Bu Tojin menjadi kagum. Gerakan Kwa Hong ini persis gerakan Koai Atong ketika mengelak dari serangan Giam Kong Hwesio tadi. Gerakannya sederhana tapi aneh dan cepat bukan main, sedikit saja pindahkan kaki dan kembangkan kedua lengan, serangan yang sulit-sulit sudah dapat dihindarkannya. 

Dilihat sepintas lalu seperti Ilmu Silat Ho-kun dari Siauw-lim-si, akan tetapi kedudukan kakinya berbeda, lagi pula gerakan ini mengandung kegagahan yang tak dapat disamakan dengan burung ho dari Ilmu Silat Ho-kun.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)