RAJAWALI EMAS JILID 023

“Sam-wi tidak boleh bertempur!” berkali-kali mereka berseru dan perahu itu mulai terombang-ambing. Namun yang bertempur tetap nekat....

“Kalau tidak mau berhenti, kami akan gulingkan perahu!” kata dua orang pendayung. 

Sementara itu, para nelayan dan tukang perahu yang berada di pinggir sungai menonton kejadian yang menarik ini tanpa berani mengeluarkan suara.

Akan tetapi Li Cu tetap tidak mau berhenti menyerang. Dua orang tukang pendayung itu lalu meloncat ke dalam air dan sekali mereka bergerak, perahu kecil itu sudah terguling! Hebat sekali kegesitan tiga orang wanita ini dan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) mereka memang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. 

Sambil berseru keras ketiganya meloncat ke atas. Perahu membalik dan tiga orang itu sudah turun kembali, kini berdiri di atas perahu yang terbalik! Dari pinggir sungai terdengar seruan-seruan memuji. Memang indah dan hebat gerakan mereka, seperti tiga ekor burung saja. 

Akan tetapi sekarang tiga orang wanita ini tidak berani sembarangan bergerak menyerang lagi karena perahu yang terbalik itu sudah bergoyang-goyang hebat, dan pasti mereka akan celaka kalau terjatuh ke dalam air. 

Li Cu berdiri di satu ujung dengan pedang siap di tangan, sedangkan di ujung yang lain berdiri guru dan murid itu, juga siap dengan senjata di tangan. Adapun dua orang tukang perahu itu sambil menyelam lalu berenang dan menarik perahu kecil itu menuju ke perahu besar. Benar-benar keadaan yang amat lucu dan aneh kedatangan tiga orang tamu yang diundang ini!

Li Cu maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Ia tidak mengenal siapa itu Ho-hai Sam-ong dan karena tiga raja itu mengenal Hek-hwa Kui-bo, sudah tentu sekali orang-orang jahat dan ia tentu akan menghadapi pengeroyokan hebat. 

Oleh karena inilah maka ia berlaku nekat. Begitu perahu kecil sudah mendekat dengan perahu besar, Li Cu mengenjot tubuhnya dan bagaikan seekor burung kepinis tubuhnya melayang ke atas perahu besar dan di depannya bergulung-gulung sinar pedang yang ia putar-putar untuk menjaga diri.

Tiga orang laki-laki yang berpakaian gagah sudah berada di depannya sambil tertawa dan mengangkat tangan memberi hormat. Seorang diantara mereka yang paling tua tersenyum lalu berkata,

“Nona muda berkepandaian hebat sekali. Kami kagum sekali…..kagum sekali. Atas desakan Kiang-te (Adik Kiang) yang benar-benar kagum terhadap Nona, kami sengaja mengundang Nona dengan baik-baik. Harap Nona sudi menyimpan kembali pedang pusaka itu.”

Li Cu hanya berdiri tegak, tidak mau menyimpan pedangnya, tetap dalam keadaan siap siaga. Sementara itu, tiga orang itupun berpaling kepada Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang sudah meloncat pula ke atas perahu lalu memberi hormat dan berkata,

“Sudah lama mendengar nama besar Hek-hwa kui-bo dan Kim-thouw Thian li, maka hari ini kami sengaja mengundang Ji-wi. Nona ini juga menjadi tamu kami, maka harap Ji-wi tidak memusuhinya selama dia menjadi tamu undangan kami.”

Hek-hwa Kui-bo membalas penghormatan mereka sambil berkata,
“Sudah lama mendengar nama besar Sam-ong. Hari ini menerima kehormatan dan undangan, hal ini berarti tidak melupakan hubungan dunia kang-ouw di daerah selatan. Tentu saja aku dan muridku tidak akan mengacaukan tempat Sam-ong, kecuali kalau Nona muda galak ini menyerang kami, terpaksa kami mempertahankan diri.”

“Hek-hwa Kui-bo, apakah kau begini pengecut?” Li Cu membentak marah. “Mengapa kau berlindung di tempat orang? Kalau kau gagah, mari kita mendarat dan kita melanjutkan pertempuran.”

Orang tertua dari ketiga Sam-ong itu segera menghadapi Li Cu dan berkata, suaranya tetap halus, 

“Nona, harap kau suka memandang muka kami dan tidak memusuhi dua orang tamu kami ini. Kelak kalau kau sudah tidak bersama kami terserah.”

“Aku tidak mengenal kalian, akan tetapi akupun tahu akan peraturan kang-ouw dan tidak akan mengacaukan tempat kalian ini. Biarlah aku mendarat saja dan menanti sampai dua orang pengecut ini berani mendarat pula.”

“Ha-ha-ha, Nona muda besar sekali nyalimu. Hek-hwa Kui-bo sebagai tokoh terkenal di dunia selatan, masih sungkan menolak undangan kami. Sekarang kami mengundang kau dengan maksud baik, bagaimana kau bisa menolaknya?”





Pedang di tangan Li Cu menggetar. Memang dia adalah seorang gadis muda yang amat berani, apalagi ilmu silatnya memang tinggi sekali dan waktu itu ia memang sedang berada dalam keadaan marah. Sama sekali ia tidak gentar biarpun ia berada di tempat orang lain.

“Mana ada aturan mengundang orang dengan cara memaksa? Aku merdeka, untuk menerima atau menolak tiap undangan dan kali ini aku tidak ingin menerima undangan siapapun juga. Lekas sediakan perahu agar aku dapat mendarat kembali!”

Kini orang ke tiga dari tiga orang itu melangkah maju. Suaranya tinggi kecil dan matanya yang sipit itu bercahaya tajam. Yang hebat adalah warna matanya yang sipit itu, karena warnanya merah seperti orang yang sakit mata.

“Nona, apakah kau belum pernah mendengar nama Ho-hai Sam-ong maka kau berani menolak undangan kami?”

Li Cu balas memandang, tidak berani lama-lama menentang mata yang merah itu karena sebentar saja ia merasa matanya sakit. Tapi ia masih tabah dan tersenyum mengejek. 

“Belum pernah mendengar sama sekali, akan tetapi andaikata pernah mendengar juga, jangankan baru Ho-hai Sam-ong (Tiga Raja Sungai dan Lautan), biarpun Thian-te Sam-ong (Tiga Raja Bumi Langit) yang mengundang, sekali aku bilang tidak mau tetap tidak mau!”

Orang kedua melangkah maju dan tertawa bergelak. Seperti dua orang yang lain, orang kedua inipun usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi ia adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah. 

“Ha-ha-ha-ha, masih begini muda hebat kepandaiannya, dan ketabahannya luar biasa. Eh, Nona manis, kau ini puteri siapakah dan siapa pula namamu?”

Kini Li Cu mendapat kesempatan untuk membanggakan keadaannya. Dengan senyum mengejek dan suara nyaring ia berkata, 

“Aku dari Thai-san. Ayahku adalah Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding) Cia Hui Gan, namaku sendiri Cia Li Cu. Hayo lekas antar aku mendarat.”

Tiga orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak-gelak. Li Cu menjadi heran dan ia mulai memperhatikan mereka. Orang pertama bertubuh tinggi besar dan mukanya buruk sekali, kehitaman dan bopeng. Orang kedua adalah yang tampan dan gagah itu, sedangkan orang ketiga amat mengerikan dengan matanya yang merah. 

Belum pernah ia. mendengar nama Ho-hai Sam-ong dan diam-diam ia menduga-duga sampai dimana kelihaian mereka sehingga Hek-hwa kui-bo yang terkenal sebagai iblis itu kelihatan sungkan bermusuhan.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Mata Kiang-te memang tajam, sudah dapat menduga ilmu pedang baik dan pedang pusaka. Nona, bukankah pedangmu itu yang disebut Liong-cu-kiam? Kemana yang sebuah lagi? Ha-ha-ha, Nona, kau berhadapan dengan Ho-hai Sam-ong. Aku sendiri dijuluki orang Lui Cai Si Bajul Besi, dia ini adalah adikku Kiang Hun Si Naga Sungai dan Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah! Ayahmu Cia Hui Gan sudah pasti pernah mendengar nama kami. Nona, setelah ternyata kau puteri Cia Hui Gan, lebih-lebih lagi kami mengundang kau untuk berkunjung ke tempat kami. Ada sesuatu yang amat penting harus kami bicarakan dengan kau. Bukankah kau ini adik seperguruan dari Tan Beng Kui dan sudah menjadi tunangannya pula? Ha-ha, kebetulan sekali, kebetulan sekali! Kesempatan begini bagus mana kami mau lewatkan begitu saja?”

Li Cu terkejut juga. Agaknya ada sesuatu diantara mereka ini dengan Beng Kui. Akan tetapi ia tidak peduli lagi. Jawabnya marah, 

“Tidak peduli kalian siapa dan ada urusan apa dengan suhengku, aku tetap tidak mau menjadi tamu kalian dan minta turun mendarat.”

“Kalau kami melarang?” tanya Si Naga Sungai Kiang Hon yang tampan itu.

“Kalian sudah tahu akan nama pedangku, kalau kalian melarang, berarti kalian akan berkenalan dengan tajamnya Liong-cu-kiam!”

Tiga orang tua itu tertawa bergelak. 
“Ha-ha-ha,” kata Thio Ek Si Cucut Mata Merah, “Kau belum mengenal kelihaian Ho-hai Sam-ong! Di darat kau boleh mengaku puteri Si Raja Pedang, akan tetapi disungai jangan harap kau akan dapat menjagoi.”

“Tidak peduli, aku tidak takut!” jawab Li Cu marah.

Si Cucut Mata Merah itu lalu tertawa-tawa dan mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah ruyung meruncing yang bentuknya seperti kikir, berduri-duri banyak sekali. Senjata ini mirip dengan senjata ikan cucut, tapi lebih hebat lagi.

“Kita boleh main-main sebentar dengan Nona ini!” kata pula Kiang Hun Si Naga Sungai sambil mengeluarkan senjatanya yang juga aneh, yaitu semacam tambang lemas dan kuat, tambang yang biasanya untuk mengikat perahu di waktu berlabuh.

“Bagus, memang akupun ingin merasai kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang sudah menggegerkan dunia persilatan,” kata Lui Cai Si Bajul Besi sambil menerima senjatanya dari anak buahnya yang sudah siap, yaitu sebatang dayung baja yang panjang dan berat.

Melihat betapa tiga Sam-ong ini sudah siap dengan senjata mereka yang hebat, Li Cu cepat bergerak. Nona ini maklum bahwa ia tidak mempunyai harapan untuk membujuk dengan omongan halus, terpaksa harus mengadu kepandaian untuk memaksa mereka. 

Nyalinya memang besar sekali, biarpun ia sudah dapat menduga bahwa mereka ini terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun ia tidak takut.

“Lihat pedang!” teriaknya dah tubuhnya berkelebat lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya yang luar biasa itu.

“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!” tiga orang kakek itu berseru sambil menggerak-gerakkan senjata masing-masing menangkis. 

Terdengar bunyi trang-trang dua kali ketika pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu bertemu dengan ruyung dan dayung. Ujung ruyung dan dayung itu terbabat sedikit, tapi tangan Li Cu juga tergetar oleh pertemuan senjata itu dan ketika tambang di tangan Kiang Hun membelit pedangnya, hampir saja pedang itu dapat dirampas kalau Li Cu tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya dan melompat mundur dengan cepat.

“Pedang bagus!” 

Lui Cai dan Thio Ek Sui yang terusak ujung senjatanya berseru sambil memeriksa senjata mereka. Juga Li Cu diam-diam kaget bukan main karena dalam gebrakan pertama tadi hampir saja pedangnya terlepas oleh Kiang Hui Si Naga Sungai yang bersenjata tambang itu. 

Di samping ini ia cukup maklum bahwa para lawannya memiliki tenaga yang bukan main besarnya sehingga selanjutnya ia harus berlaku hati-hati sekali. Dilain pihak tiga orang Sam-ong itu kini tidak berani memandang rendah kepada nona muda itu dengan pedangnya yang ampuh. Sejenak saling pandang mereka sudah mengambil keputusan untuk mengerahkan kepandaian agar jangan sampai kalah oleh seorang gadis muda.

Kiang Hun Si Naga Sungai memutar-mutar tambangnya, makin lama ia ulur makin panjang. Tambang itu mendesing di udara, mengeluarkan bunyi mengerikan dibarengi angin sambarannya yang dahsyat. Lui Cai juga menggerakkan dayung bajanya yang panjang dan berat berubah menjadi lingkaran sinar kehitaman yang bersiutan. Adapun Thio Ek Sui memainkan ruyungnya, merubah ruyung yang hanya sebuah itu menjadi belasan buah nampaknya dan setiap bayangan ruyung mempunyai gerakan sendiri seakan-akan ada belasan orang yang main ruyung. 

Hebat sekali tiga orang ini sehingga diam-diam Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li menjadi kagum dan diam-diam bersyukur bahwa mereka tadi tidak memusuhi tiga orang raja bajak itu.

Li Cu sendiri ketika menyaksikan ini maklum bahwa seorang diri saja ia tidak akan menang menghadapi tiga lawan berat ini. Apalagi disitu masih ada Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang kalau setiap waktu maju pula, tentu dia akan celaka. Maka ia segera mengeluarkan suara ejekan, 

“Ho-hai Sam-ong? Tiga orang tua yang menyebut diri raja-raja menghadapi seorang gadis muda dengan mengeroyok?”

“Ha-ha-ha, Nona, apakah kau takut?” kata Lui Cai.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)