RAJAWALI EMAS JILID 047

Tersedu kerongkongan Kwa Hong mendengar pertanyaan yang halus ini. Akan tetapi ia segera menjawab, 

“Baik-baik saja, San-ko, aku sengaja mencarimu dan syukurlah kalau kau sembuh kembali. Marilah kau ikut dengan aku, San-ko. Mari kita pelihara anak kita baik-baik. Tentang musuh-musuhmu ini, jangan kuatir, San-ko, Hong-moimu ini sanggup membunuh mereka seperti orang membunuh anjing!” 

Setelah berkata demikian, Kwa Hong tertawa, suara ketawanya melengking menyeramkan sekali.

Ucapan terakhir dan suara ketawa Kwa Hong itu menusuk jantung Beng San, karena ia maklum bahwa Kwa Hong sekarang sudah bukan Kwa Hong yang dulu lagi. Wajahnya jelas membayangkan watak yang sombong, kejam, dan tidak wajar.

“Hong-moi, kau tahu bahwa tak mungkin aku memenuhi permintaanmu ini. Kau dan aku telah melakukan perbuatan terkutuk, itu memang benar. Akan tetapi hal itu terjadi diluar kesadaran kita, Hong-moi. Tentang anak itu kau sendiri hendak mendidiknya syukurlah. Kalau kau keberatan, boleh kau berikan kepadaku karena juga menjadi tanggung jawabku.”

“Kau… kau…!” 

Kwa Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis terisak-isak. Hatinya sedih bukan kepalang. tadinya ia mengharapkan akan dapat membawa Beng San dengan secara paksa karena Beng San sudah kehilangan kepandaiannya dan ia sanggup merampas Beng San dari tangan siapapun juga. Akan tetapi sekarang Beng San kelihatannya sudah sembuh kembali, bagaimana mungkin?

“Beng San, katakan dimana adanya Beng Kui? Pedangnya kau pegang, kau apakan dia?”

“Dia sudah pergi…” jawab Beng San acuh tak acuh, kemudian ia menoleh ke arah Li Cu dan berkata “Nona Cia, agaknya lebih baik kita segera pergi dari tempat ini. Tapi aku harus membebaskan kau dari totokan lebih dulu…” ia melangkah maju, tapi sebelum ia sempat meyembuhkan Li Cu, tiga bayangan orang berkelebat dan angin-angin pukulan dahsyat datang menyambar dari tiga jurusan disusul berkelebatnya senjata-senjata tajam! 

Beng san maklum bahwa tiga orang sakti itu “sudah turun tangan”. Ia menarik napas panjang dengan sedih, akan tetapi tubuhnya bergerak didahului sinar pedang Liong-cu-kiam di tangannya.

Tiga orang itu menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kepandaian mereka. Namun Beng San sekarang memegang Liong-cu-kiam panjang. Kalau ia boleh diumpamakan seekor harimau, sekarang harimau itu tumbuh sayap dan pandai terbang. 

Memang ilmu silatnya yang paling hebat adalah ilmu Im-yang Sin-kiam-sut, sekarang ilmu pedang ini dimainkan dengan sebatang pedang seperti Liong-cu-kiam yang panjang, sudah tentu hebatnya bukan kepalang. 

Tiga orang itu, biarpun masing-masing memiliki kepandaian luar biasa, namun menghadapi Beng San mereka tak dapat berdaya banyak, seakan-akan menghadapi benteng baja yang tidak saja sukar tembus, malah dari dalam benteng menyambar ujung-ujung pedang runcing dan ampuh, setiap saat mengancam nyawa mereka.

Beng San bukanlah orang yang suka membunuh orang. Sebetulnya dia menpunyai watak yang pantang membunuh orang. Apalagi sekarang yang ia hadapi adalah orang-orang yang sedikit banyak sudah ada hubungan dengannya, yang sudah dikenalnya baik. Tak mungkin ia mau membunuh mereka.

Kelihaiannya bermain pedang memungkinkannya menggoreskan luka ringan pada pundak Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi. Dua orang tua ini menjadi malu dan jerih. Sambil mengeluh mereka berturut-turut lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu. 

Kwa Hong yang seorang diri menghadapi Beng San, tadinya menjadi nekat. Pedang Hoa-san Po-kiam di tangan kiri sedangkan di tangan kanannya memegang pedang Liong-cu-kiam yang pendek. Permainan pedangnya hebat dan liar, dahsyat bukan main sehingga diam-diam Beng San terkejut juga. Namun ilmu pedang itu dimainkan dengan cara yang masih mentah.

Lebih-lebih terhadap Kwa Hong, Beng San sama sekali tidak mau melukainya. Setelah ia menindih pedang Hoa-san Po-kiam dengan pedangnya sendiri, tangannya bergerak mencengkeram ke depan dan di lain saat pedang Liong-cu-kiam yang pendek telah berpindah ke tangan kirinya.

“Kembalikan pedang itu!” teriak Kwa Hong sambil menangis.

“Yang ini bukan pedangmu, Hong-moi. Tak boleh kau merampasnya,” jawab Beng San.





Dengan pekik panjang Kwa Hong memanggil burungnya. Terdengar suara genteng hancur berantakan, langit-langit diatas ruangan itu tiba-tiba menjadi rusak dan berlubang besar dimana menerobos masuk seekor burung rajawali emas. 

Beng San pernah melihat burung ini dan kembali ia menjadi kagum bukan main. Kwa Hong terisak lalu meloncat ke punggung burung, kemudian burung itu terbang menerobos melalui pintu depan dan sebentar saja menghilang dari situ. 

Sampai beberapa lama Beng San berdiri bengong. Pedang Liong-cu-kiam berada dikedua tangannya. Kemudian ia membalikkan tubuh menghampiri Li Cu yang masih rebah tak bergerak dan tadi menonton semua itu dengan hati terharu. Ternyata bahwa pengorbanannya terhadap diri Beng San tidak sia-sia. Buktinya baru saja sembuh Beng San lagi-lagi telah melindungi dan membebaskannya dari ancaman bahaya maut.

“Nona Cia, maafkan kelancanganku!” kata Beng San. 

Tangannya bergerak cepat menotok dua jalan darah di tubuh Li Cu, lalu mengurut punggungnya sebentar. Setelah itu ia membalikkan tubuh dan berkata,

“Nona, setelah kau dapat bergerak, harap bajuku itu kau pakai dulu.”

Li Cu menjadi merah mukanya. Ia bergerak perlahan, tubuhnya masih sakit semua rasanya. Ketika ia bangun, baju yang menyelimuti tubuhnya itu jatuh dan cepat-cepat ia menutupi dadanya. 

Akan tetapi usahanya ini sebetulnya tak perlu karena Beng San berdiri membelakanginya. Karena terpaksa dan tak mungkin hanya memakai bajunya yang sudah dikoyak-koyak pedang Beng Kui tadi, ia mengenakan baju Beng San yang terlalu besar itu. Setelah selesai, ia berkata,

“Kenapa… kau tidak membunuh mereka?” ,

“Membunuh siapa?” tanya Beng San tanpa menoleh.

“Beng Kui jahanam itu….”

“Dia itu jelek-jelek kakak kandungku, bagaimana aku tega membunuhnya?” jawab Beng San cepat.

“Hek-hwa Kui-bo yang pernah melukaiku dengan racun dan hampir membunuhku….” desak pula Li Cu yang merasa penasaran mengapa semua orang yang jahat itu dibiarkan pergi oleh Beng San.

“Dia itu dahulu pernah menurunkan ilmu silat kepadaku, secara tidak resmi dia adalah guruku pula. Bagaimana aku dapat membunuhnya? Dan pula, Nona, bukankah kau selamat terhindar dari racunnya itu?” 

Jantung Beng San berdebar ketika ia teringat cara ia menolong gadis itu dari pengaruh racun di paru-parunya!

Di belakangnya, wajah Li Cu juga tiba-tiba menjadi merah. Gadis ini merasa heran bukan kepalang. Hampir dua tahun ia merawat Beng San, otomatis ia sudah merasa menjadi isteri Beng San biarpun hanya dalam sebutan. Akan tetapi kenapa sekarang ia menjadi begini canggung, sungkan dan malu-malu kepada Beng San? 

Diam-diam rasa kuatir dan gelisah menggerogoti hatinya. Beng San yang kehilangan ingatannya, mau saja hidup di sampingnya, malah menganggap dia sebagai isterinya yang bernama Bi Goat. Akan tetapi setelah sekarang sadar dan mendapatkan kembali ingatannya, apakah masih mau hidup seperti itu? Apakah ini bukan berarti saat perpisahan?

“Kwa Hong itu… kenapa tidak kau-bunuh….?” Ia berusaha menekan hatinya dengan melanjutkan pertanyaan ini.

“Tak mungkin, Nona. Dia itu… secara tidak sadar… telah menjadi ibu anakku… perbuatan terkutuk di luar kesadaran kami berdua… dia sudah amat menderita… karena aku, mana bisa aku membunuhnya? Biarpun dia akan membunuhku, agaknya aku tetap akan mengalah….”

“Hemm….” suara Li Cu terdengar kaku dan kalau Beng San melihat sinar matanya ia akan tahu-bahwa gadis itu marah! “Dan Song-bun-kwi,…?”

“Apalagi dia. Dia itu ayah mertuaku, sama juga dengan ayahku. Mana boleh aku membunuh ayah Bi Goat?”

Sudah jelas! Beng San sekarang sudah kembali ingatannya. Beng San yang terlalu mencinta isterinya, Bi Goat. Sampai-sampai mengorbankan Kwa Hong. Mana sudi hidup bersama dia? Teringat akan ini, tak tertahankan lagi Li Cu terisak menangis.

Beng San cepat membalikkan tubuh. 
“Eh, kenapa kau menangis, Nona?” 

Suara ini mengandung penuh perhatian sehingga tangis Li Cu makin menghebat. Beng San sampai menjadi bingung, lalu menyerahkan pedang Liong-cu-kiam pendek.

“Ini… ini pedangmu… jangan kau menangis….”

Li Cu menerima pedang tanpa berkata apa-apa.

“Nona Cia, setelah semua pertanyaanmu kujawab, kenapa kau menangis?” Beng San bertanya, matanya yang tajam memandang penuh selidik.

Li Cu yang sekarang menjadi gugup. Tentu saja ia tidak sudi menyatakan isi hatinya. Ia mencari alasan dan pada saat itu ia teringat akan ayahnya. Wajahnya menjadi pucat dan serentak ia meloncat sampai Beng San menjadi kaget.

“Celaka! Ayahku….! Mereka tadi mengeroyoknya… tak mungkin bisa sampai kesini kalau tidak… ah, Ayah….!” 

Li Cu menjerit lalu melompat keluar dan berlari cepat sekali. Beng San baru saja kembali ingatannya, maka yang diketahui olehnya hanyalah semenjak saat ia sembuh tadi. Sebelum itu gelap baginya maka ia tidak ingat betapa Bu-tek Kiam-ong untuk melindunginya telah dikeroyok oleh tiga orang tokoh sakti tadi. 

Melihat Li Cu yang berlari-lari sambil menjerit memanggil-manggil ayahnya dan menangis, iapun ikut pula berlari dan sebentar saja ia dapat menyusul gadis itu, lalu lari di sebelahnya tanpa banyak bertanya.

Setibanya di puncak Gunung Thai-san, dua orang muda ini melihat betapa penduduk perkampungan di kaki gunung sedang sibuk mengurus dan menangisi jenazah Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan!

“Ayaaaahhh….!!” Li Cu menubruk mayat ayahnya dan roboh pingsan.

Li Cu jatuh sakit. Demam panas menyerang tubuhnya setelah berkali-kali ia pingsan. Sampai sepekan ia rebah di pembaringan dalam keadaan setengah sadar.

Selama itu Beng San merawat dan melayaninya dengan penuh perhatian. Beng San mengalami hal-hal aneh ketika ia berhadapan derigan para penduduk yang dulu membantu Cia Hui Gan merampungkan rencana tempat tinggalnya. Mereka itu menyebutnya “tuan muda” yang dianggapnya sebagai suami dari “nyonya muda” yang sekarang sakit. 

Kemudian, setelah mereka semua menyatakan kegembiraan hati bahwa nyonya muda dan suaminya dapat kembali dengan selamat, mereka menyatakan kegirangan pula bahwa tuan muda sudah sembuh dari sakitnya lupa ingatan. Mereka pulalah yang menceritakan tentang pertempuran itu sehingga terbuka mata Beng San akan segala yang telah terjadi kepada dirinya selama hampir dua tahun ini. 

Tahulah ia bahwa ia sebagai seorang gila menganggap Li Cu sebagai isterinya, sebagai Bi Goat dan betapa selama hampir dua tahun ini Li Cu merawatnya penuh kecintaan. Juga ia tahu sekarang bahwa Cia Hui Gan tewas dalam membela dia!

Semua ini ditambah lagi dengan keadaan Li Cu yang mengigau ketika demam panas menyerangnya. Li Cu mengigau tentang masa lalu, tentang cinta kasihnya kepada Beng San. Semua ini membuat Beng San demikian terharu sehingga ia menitikkan air mata ketika duduk di pinggir pembaringan gadis itu. Dengan amat tekun ia merawat Li Cu dan siang malam tidak pernah meninggalkan kamar itu.

Sembilan hari kemudian demam meninggalkan tubuh Li Cu dan gadis ini pada pagi hari itu sadar. Dilihatnya Beng San duduk di kursi tertidur! Namun suara gerakan Li Cu cukup untuk membangunkannya. Mereka berpandangan sejenak.

“Kau… kau masih disini….?”

“Di mana lagi kalau tidak disini….?” jawab Beng San halus, sinar matanya gembira sekali.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)