RAJAWALI EMAS JILID 056

“Heh-heh-heh, Pak-thian Sam-lojin benar-benar seperti bunglon, plin-plan!” kata Yok-mo sambil tertawa terkokeh-kekeh, “Dahulu kau menjadi begundal Kaisar, diam-diam dahulu menganggap Hoa-san-pai sebagai musuh, biarpun di luarnya kalian pura-pura baik. Sekarang, kalian mendekati Hoa-san-pai, heh-heh-heh, bukankah karena tertarik oleh kedudukan Ketua Hoa-san-pai? Memang bagus sekali, bagus untuk kalian tentu, kalau kalian bisa memimpin para tosu di Hoa-san.”

Wajah tiga orang tosu itu menjadi merah sekali dan diam-diam Kwa Tin Siong heran mendengar ini dan memandang ke arah tiga orang tamunya dengan tajam penuh selidik.

“Isteriku yang manis, katakanlah, bukankah tiga orang keledai tua ini teman seperjuanganmu membantu Kaisar Mongol? Heh-heh-heh.”

Kim-thouw Thian-li menjebirkan bibirnya yang masih digincu merah sekali. 
“Memang betul, tapi mereka ini hanya mendesak-desak kalau ada rejeki untuk dibagikan, sebaliknya segera kabur kalau ada bahaya mengancam. Siapa sudi mengaku mereka sebagai teman?”

Makin merah wajah tiga orang kakek itu. 
“Jangan buka mulut seenaknyal” kata Kui Tosu sambil mencabut pedang. “Apakah kalian kira kami Pak-thian Sam-lojin takut kepada kalian?”

Bu Tosu segera menyambung. 
“Yok-mo, aku bicara baik padamu tapi kau malah menghina. Sebetulnya menurut pendapat kami, tidak ada perlunya kalian memusuhi Hoa-san-pai. Apalagi datang-datang kalian sudah membunuh seorang tosu Hoa-san-pai, benar-benar ini keterlaluan. Kalau kau mau bicara tunggulah aku menyingkirkan mayat ini, kasihan sekali saudara ini menggeletak disini.”

Dari atas pohon Kun Hong bicara perlahan, 
“Hemmm, aneh sekali. Tadinya tiga orang kakek itu sombong dan keras, kenapa sekarang tosu itu begitu baik hatinya?”

“Hi-hik, baik apanya. Sebentar lagi ia akan mampus!” jawab Li Eng.

“Apa maksudmu….?” 

Kun Hong kaget bukan main. Memang ia merasa paling ngeri kalau mendengar orang bicara tentang mati begitu gampangnya.

“Begitu ia menyentuh mayat ia akan mati….” kata pula Li Eng tak pedulikan.

Kun Hong terkejut dan cepat memandang ke bawah. Pada saat itu, dengan lagak gagah, dan hal ini terutama sekali untuk mencuci muka dari semua hinaan dan untuk memamerkan di depan para tosu Hoa-san-pai bahwa dia adalah seorang yang berhati penuh welas asih, Bu Tosu berlutut dan mengangkat mayat itu dengan kedua tangannya.



Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget dan disusul suara ketawa terkekeh-kekeh dari Yok-mo, Bu Tosu melepaskan lagi mayat itu dan ia cepat meloncat berdiri, akan tetapi terhuyung-huyung ke belakang.

“Kenapakah, Suheng….?” tanya Lai Tosu dan hendak memegang kakak seperguruannya.



“Mundur dan jangan sentuh!” seru Kui Tosu sambil mendorong pergi Lai Tosu. 

Keadaan Bu Tosu amat mengerikan. Kedua tangannya menjadi kehitaman dan ia menjerit-jerit kesakitan.

“Ji-sute, terpaksa untuk menolong nyawamu!” Kui Tosu berseru dan menggerakkan pedangnya membacok. 

“Crokk!” 

Kedua lengan Bu Tosu terbabat putus sebatas pergelangan tangan. Dua buah tangan itu yang sudah hitam sekali jatuh ke atas tanah dan sedikitpun tidak ada darah keluar. Mengerikan sekali.

“Bagaimana, Ji-sute?” Kui Tosu melihat penuh perhatian.



Bu Tosu masih menjerit-jerit dan ternyata warna kehitaman sudah menjalar di lengannya yang kanan, adapun lengan kirinya yang buntung mulai mengeluarkan darah. Hal ini berarti bahwa racun itu sudah menjalar terus ke lengannya yang kanan. Melihat ini, dengan muka sedih sekali Kui Tosu menggerakkan pedangnya lagi dan… lengan kanan Bu Tosu sebatas pundak terbabat putus! Dan dari luka di pundak itu mengucur darah merah, berarti bahwa racun itu sudah tidak berada di tubuhnya.





“Tertolong jiwamu, Ji-sute….” kata Kui Tosu dengan lega. 

Akan tetapi tiba-tiba Bu Tosu mengeluarkan suara serak yang amat keras dan tubuhnya yang sudah tak bertangan lagi itu menerjang maju, kepalanya menyeruduk ke arah perut Yok-mo.



Kakek iblis ini terkekeh-kekeh lagi, tangan kanannya bergerak dan ujung tongkat hitamnya menotok ubun-ubun kepala lawannya. Tanpa mengeluarkan suara lagi Bu Tosu roboh dan… tubuhnya berubah menjadi hitam. Kiranya ujung tongkat itu mengeluarkan racun yang amat hebatnya.

“Keparat keji!” teriak Kui Tosu dan Lai Tosu yang telat mengerjakan pedang mereka mengempur Yok-mo. 

Karena urusan Hoa-san-pai belum disinggung-singgung dan pertempuran antara tiga orang tamunya melawan pihak musuh ini terjadi karena pembunuhan atas diri Bu Tosu, maka Kwa Tin Siong ragu-ragu dan belum mau turun tangan, hanya melihat betapa dua orang tosu itu mengeroyok Yok-mo. 

Juga dari pihak Yok-mo, hanya iblis tua ini saja yang bergerak dan menghadapi pengeroyokan itu. Kim-thouw Thian-li, Bhe Lam yang lain-lain hanya menonton. Malah Kim-thouw Thian-li hanya tersenyum mengejek saja, seakan-akan pertempuran yang terjadi antara suaminya dan dua orang tosu itu hanya main-main saja.

Diatas pohon terjadi keributan. Dengan muka pucat Kun Hong melihat semua itu. Hatinya ngeri bukan main, tubuhnya menggigil, tapi ia masih dapat memandang kepada Li Eng dengan mata melotot marah.



“Kau… kau gadis berhati kejam. Jadi kau sudah tahu bahwa siapa yang memegang mayat itu akan mati?”

Li Eng balas memandang, masih tersenyum lalu mengangguk lucu. Bibirnya tertutup tapi mulutnya bergerak-gerak seakan-akan giginya menggigit-gigit sesuatu dan kebiasaan ini membuat ia nampak makin manis saja.

Bukan kepalang kemarahan Kun Hong. 
“Kau… kau patut dihajar!” 

Tangannya diangkat lalu digerakkan menampar pipi gadis itu. Li Eng dengan enaknya menundukkan kepalanya sehingga tamparan itu mengenai angin saja dan… tubuh Kun Hong terguling dari atas cabang. 

Dalam kemarahannya tadi ia sampai lupa kalau ia duduk diatas cabang pohon, maka ia berani menampar sekuat tenaga. Karena tamparannya tidak mengenai sasaran, maka ia terpelanting dan jatuh!

Tubuh Kun Hong tiba-tiba terhenti di tengah udara, dan ia merasa pinggangnya dilibat sutera hitam, lalu perlahan-lahan ia dikerek naik, bukan di cabang yang tadi, melainkan di sebuah cabang yang berada paling tinggi di pohon itu.



Disitulah ia didudukkan, diatas cabang yang kecil sehingga cabang itu melengkung dan bergoyang-goyang ketika ia duduk diatasnya. Li Eng sambil tertawa turun lagi dan duduk di atas cabang besar yang tadi, jauh di bawah Kun Hong.

“Hee…, turunkan aku….!” 

Kun Hong berteriak-teriak sambil memeluk ranting-ranting di dekatnya. Bukan main ngerinya melihat ke bawah, begitu tinggi tempatnya dan cabang itu bergoyang-goyang keras.

Li Eng menoleh ke atas, tersenyum mengejek. 
“Diamlah jangan berteriak-teriak, dan lebih baik nonton pertunjukan hebat dibawah. Kalau kali ini kau banyak bergerak dan jatuh, aku malas untuk menolongmu lagi.”

Menghadapi gadis yang nakal itu, Kun Hong yang biasanya pandai berdebat dan tak mau kalah, menjadi diam dan memeluk cabang kuat-kuat sambil memandang ke bawah. 

Apa yang dilihatnya di bawah membuat ia makin ngeri. Ia melihat betapa kedua pihak, yaitu pihak Hoa-san-pai dan pihak Bhe Lam dan teman-temannya, sudah mulai bertempur merupakan perang kecil.

Ternyata bahwa Kui Tosu dan Lai Tosu tak dapat menandingi permainan tongkat Yok-mo yang luar biasa dan amat ganas itu. Kakek ompong bongkok ini biarpun dikeroyok dua oleh Kui Tosu dan Lai Tosu yang memiliki tingkat ilmu pedang yang tinggi, tidak menjadi gugup. Terutama sekali ia mengandalkan kepada tongkat hitamnya yang benar-benar membuat dua orang tosu itu agak jerih dan ngeri mengingat akan keampuhan racun yang berada dalam tongkat itu. 

Makin lama makin terdesaklah Kui Tosu dan Lai Tosu. Melihat keadaan demikian itu, hati Kwa Tin Siong menjadi tidak enak sekali. Memang harus diakui bahwa dua orang tosu ini bertempur untuk membalas kematian saudara mereka, dan tidak ada hubungannya dengan Hoa-san-pai. Akan tetapi maksud kedatangan mereka mula-mula adalah untuk membantu Hoa-san-pai sungguhpun tadi ia meragukan akan maksud-maksud tersembunyi lain yang masih belum terbukti. 

Andai kata tiga orang tosu tua itu tidak datang ke Hoa-san-pai disaat Hoa-san-pai didatangi musuh-musuh, sudah pasti mereka takkan menemui kesulitan, Bu Tosu tak akan tewas dan kedua orang tosu itu tidak akan bertempur melawan Yok-mo yang lihai itu. 

Namun, Kwa Tin Siong tetap merasa enggan untuk mencampuri pertempuran ini. Dia adalah seorang Ketua Hoa-san-pai, maka untuk menjaga nama baik Hoa-san-pai, segala sepak terjangnya ia perhitungkan betul.

Pada saat ia meragu, tiba-tiba Hek-houw Bhe Lam sambil tertawa melangkah, maju menghadapi Thian Beng Tosu dan berkata, 

“Thio Ki, biarpun kau sudah menyamar sebagai tosu, jangan kira kau akan terlepas dari tanganku!”

“Bhe Lam, sungguh sayang sekali bahwa selama belasan tahun ini kau masih belum mau kembali ke jalan benar. Pinto tidak menyamar, memang pinto sekarang bukan Thio Ki lagi melainkan Thian Beng Tosu dan kalau kau masih saja menaruh dendam atas hukuman yang jatuh kepadamu ketika kau melakukan kejahatan dahulu, majulah. Kali ini pinto takkan memberi ampun lagi kepadamu.”

“Ha-ha-ha, keledai busuk yang sombong. Kematian sudah di depan mata masih hendak berlagak lagi?” 

Hek-houw Bhe Lam meloloskan golok besarnya dan segera maju menerjang. Thian Beng Tosu juga sudah mencabut pedangnya dan dua orang musuh lama ini segera bertanding.

Melihat betapa pihak lawan sudah mulai menyerang, Kwa Tin Siong membuang keraguannya dan segera ia berseru keras, 

“Toat-beng Yok-mo, sebagai seorang tokoh besar tidak seharusnya kau mengacau Hoa-san-pai. Aku yang bertanggung jawab disini, tidak bisa membiarkan kau menyebar kematian!” 

Dengan Hoa-san Po-kiam di tangannya ia lalu melompat ke gelanggang pertempuran, membantu Kui Tosu dan Lai Tosu yang sudah terdesak hebat oleh tongkat hitam di tangan Yok-mo itu. Makin hebatlah pertandingan itu dan Toat-beng Yok-mo tetap melayani tiga orang lawannya sambil terkekeh-kekeh.

Kim-thouw Thian-li sudah mencabut pedangnya dan dilain saat ia sudah dihadapi oleh Liem Sian Hwa yang juga sudah memegang pedang telanjang. Dua orang musuh besar ini saling berhadapan dan saling memandang penuh kebencian.

Memang semenjak dahulu Sian Hwa amat membenci Ketua Ngo-lian-kauw ini. Wanita inilah yang mendatangkan segala penderitaan bagi dia dan Hoa-san-pai, yaitu Kwee Sin murid Kun-lun-pai (baca cerita Raja Pedang). Gara-gara wanita ini pula maka ia dan suaminya yaitu Kwa Tin Siong bekas suhengnya, lari dari Hoa-san-pai dan suaminya itu sampai terbabat putus tangan kirinya. 

Sekarang wanita ini berani datang lagi mengacau Hoa-san-pai, mengacau penghidupannya yang sudah belasan tahun dalam ketenteraman. Dapat dibayangkan betapa kemarahan dan kebenciannya memuncak.

“Siluman betina dari Ngo-lian-kauw, hari ini aku Liem Sian Hwa harus mengadu nyawa denganmu!”

“Hemmm, perempuan tak tahu malu, kebetulan sekali kalau kau sudah bosan hidup. Majulah, aku akan mengantarmu ke neraka!” 

Kim-thouw Thian-li mengejek. Sian Hwa berseru keras dan pedangnya berkelebat menyerang ditangkis oleh Kim-thouw Thian-li. Merekapun segera terlibat dalam pertempuran dahsyat yang mati-matian.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)