RAJAWALI EMAS JILID 060

Benar-benar amat penasaran bagi Kwa Tin Siong dan isterinya yang merupakan tokoh-tokoh pertama dari Hoa-san-pai, sekarang tak berdaya menghadapi seorang gadis yang juga mainkan ilmu silat Hoa-san-pai, padahal gadis itu hanya bersenjatakan sehelai sabuk sutera!

Makin lama pertempuran itu berjalan makin seru dan akhirnya menjadi pertandingan mati-matian. Pada suatu saat, Kwa Tin Siong dan Sian Hwa menerjang sedemikian hebatnya, dan dalam waktu yang sama sehingga tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh gadis itu. 

Li Eng kaget dan berseru keras, tubuhnya mencelat ke belakang dan sabuk suteranya berkibar, seperti kilat menyambar cepat sekali dan seperti kupu-kupu melayang indahnya, kedua ujung sabuk itu tahu-tahu telah membelit kedua pedang di tangan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa yang mengancamnya. 

Gadis ini memegangi sabuk di tengah-tengah dan berada agak jauh sehingga suami isteri itu tak dapat menyerangnya lagi dengan tangan kiri karena mereka tidak suka mengambil risiko pedang mereka terampas. Ketiganya berdiri memasang kuda-kuda, mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga memperebutkan pedang.

Li Eng mulai berpeluh. Tak kuat ia dikeroyok dua dalam adu tenaga ini. Wajahnya agak pucat. Kalau ia melepaskan libatan sabuknya, ia dapat terluka di dalam tubuhnya. Ia bertekad, akan tetapi kedudukannya mulai bergerak dan terseret ke depan sedikit demi sedikit. Keringat dingin mulai membasahi jidat yang halus itu. Akan tetapi sepasang mata yang jeli dan bening itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut sedikitpun juga.

“Li Eng, jangan kurang ajar!” terdengar bentakan suara wanita.

“Kwa-supek, maafkan anakku yang nakal!” terdengar pula suara seorang laki-laki.

Dua suara ini disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayangan yang tahu-tahu sudah tiba di tempat pertempuran dan langsung bayangan laki-laki itu maju menengah. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa merasa betapa tenaga mereka yang tadi dipersatukan untuk mempertahankan pedang masing-masing itu seperti terlolos dan mencair, lenyap tak tentu sebabnya dan tahu-tahu pedang mereka telah terlepas dari libatan sabuk sutera yang juga sudah ditarik kembali oleh Li Eng.



Ketika suami isteri ini memandang, dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan girangnya hati mereka karena yang sekarang berdiri di depan mereka ini bukan lain adalah Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai yang dahulu lenyap setelah terusir oleh Kwa Hong!



Kui Lok segera menjatuhkan diri berlutut di depan paman guru dan bibi gurunya, sedangkan Thio Bwee juga cepat menyeret tangan Li Eng kemudian ia sendiri bersama gadis itupun berlutut di depan suami isteri Ketua Hoa-san-pai. 

Para tosu Hoa-san-pai yang juga mengenal Kui Lok dan Thio Bwee, menjadi gempar dan terdengar seruan-seruan gembira serta isak tertahan.

Memang mengharukan sekali pertemuan itu. Kwa Tin Siong segera memeluk Kui Lok sedangkan Liem Sian Hwa merangkul Thio Bwee. Mereka bertangisan. Hanya Li Eng gadis nakal itu yang sekarang berdiri bingung memandang kedua orang tuanya yang berpelukan sambil bertangisan dengan dua orang Ketua Hoa-san-pai yang baru saja bertanding mati-matian dengannya.



“Ayah, Ibu… dia ini adalah Ketua Hoa-san-pai she Kwa!” akhirnya ia tak dapat menahan lagi hatinya, menegur ayah bundanya.

Ibunya, Thio Bwee telah dapat menetapkan hatinya dan melepaskan pelukan Liem Sian Hwa, bibi gurunya. Ia memandang kepada puterinya dengan mata penuh teguran lalu berkata, 

“Li Eng, tanpa perkenan Ayahmu, mengapa kau berani lancang sampai kesini dan mengacau Hoa-san-pai?” kemudian nyonya ini memandang ke sekeliling, ke arah mayat-mayat manusia yang amat banyak, lalu suaranya makin bengis, “Kau telah mengacau dan membunuh orang-orang ini?”



“Aku… tidak, tidak, Ibu. Aku tidak membunuh siapa-siapa!” 

Li Eng menjawab cepat dan ketakutan, apalagi ketika melihat ayahnyapun memandangnya dengan wajah bengis. 

“Aku… aku keluar dari tempat kita dan aku melihat serombongan orang-orang di Im-kan-kok yang bicara tentang maksud mereka menyerbu Hoa-san-pai. Karena mereka bicara tentang Ketua Hoa-san-pai pula, hatiku jadi tertarik dan aku lalu datang kesini untuk merampas kembali Hoa-san Po-kiam dari Ketua Hoa-san-pai dan membunuh orang she Kwa ini. Bukankah orang she Kwa ini yang ayah ibu katakan jahat dan merusak Hoa-san-pai?”

“Anak tolol, sama sekali bukan! Dia ini adalah paman guruku, dan yang itu adalah bibi guruku, juga paman guru dan bibi guru ibumu. Jadi kau masih terhitung cucu murid mereka. Hayo lekas berlutut dan minta ampun!” kata Kui Lok.

Li Eng kaget sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut.


“Kakek dan Nenek guru, aku Kui Li Eng mohon ampun….”





Liem Sian Hwa menubruk cucu muridnya itu dan memeluknya. 
“Tak kusangka aku mempunyai cucu murid begini hebat….” katanya girang.

Kwa Tin Siong menarik napas panjang 
“Sudahlah… sekarang aku tahu siapa yang ia maksudkan orang she Kwa itu. Tentu Kwa Hong bukan?”

Kui Lok dan Thio Bwee hanya mengangguk. Pada saat itu terdengar suara berseru, suara wanita, 

“Supek….!” orang memandang dan melihat orang berlari cepat ke puncak itu.



Mereka ini bukan lain adaiah Thian-Beng Tosu bersama dua orang wanita, yang seorang setengah tua dan yang kedua seorang gadis yang cantik dan berpakaian sederhana. Melihat wanita setengah tua itu, Liem Sian Hwa segera lari memapaki dan mereka berangkulan.

“Lee Giok… kau benar-benar telah membuat suamimu hidup menderita!”

Memang benar, wanita itu bukan lain adalah Lee Giok, isteri dari Thio Ki atau Thian Beng Tosu. Dan gadis cantik sederhana itu adalah puterinya! Bagaimana mereka bisa muncul disaat itu bersama Thian Beng Tosu? Untuk mengetahui hal ini mari kita mengikuti perjalanan Thian Beng Tosu beberapa saat yang lalu.

Telah diceritakan bagaimana Thian Beng Tosu berhasil mendesak musuh lamanya, yaitu Hek-houw Bhe Lam. Kepala rampok ini melarikan diri dikejar oleh Thian Beng Tosu dan kejar-mengejar ini membawa mereka turun dari puncak, tiba di hutan tak jauh dari Im-kan-kok. 

Bhe Lam sudah terluka pangkal lengannya, tapi larinya masih cepat sekali. Betapapun juga, karena Thian Beng Tosu lebih biasa di tempat itu, setibanya di dalam hutan ini ia tersusul dan tosu Hoa-san-pai ini membentak,

“Hek-houw, percuma saja kau lari. Kejahatanmu sudah melampaui takaran, hari ini kau harus tewas di tanganku!”

Hek-houw Bhe Lam yang tahu bahwa tak mungkin ia dapat lari lagi mendadak membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak. Belasan buah senjata piauw melayang ke arah lawannya. Namun Thian Beng Tosu sudah menduga akan hal ini, cepat memutar pedangnya menangkis. 

Pada saat itu Hek-houw Bhe Lam bersuit ketika ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawannya. Dengan perlahan tapi tentu Tian Beng Tosu mendesak penjahat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suitan dari dalam hutan dan tak lama kemudian muncullah tiga orang tinggi besar yang segera menerjangnya dengan golok di tangan. 

Mereka ini adalah orang-orang yang sengaja disuruh menjaga disitu oleh kepala rampok ini dan tadi ia memang sengaja memancing Thian Beng Tosu memasuki hutan ini agar ia bisa mendapatkan bantuan tiga orang temannya.

Setelah tiga orang itu mengeroyok, keadaan menjadi terbalik. Kini tosu inilah yang terdesak dan dihujani serangan dari kanan kiri, depan dan belakang. Ia mulai sibuk dan terpaksa hanya dapat mempertahankan dirinya tanpa mampu balas menyerang. Keadaannya benar-benar berbahaya sekali dan Hek-houw Bhe Lam mulai mengejek dan mentertawakan.

Akan tetapi tiba-tlba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis muda yang cantik manis dengan sederhana, diikuti oleh seorang wanita setengah tua yang berpakaian seperti seorang pertapa tahu-tahu muncul dari balik pepohonan dan langsung kedua orang wanita itu menerjang empat orang penjahat tadi. 

Hebat sekali permainan pedang gadis sederhana itu, akan tetapi lebih hebat permainan silat wanita pertapa yang hanya memegang sebatang ranting kecil. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang penjahat itu telah terjungkal dalam keadaan terluka.

Gadis itu dengan gemas menggerakkan pedang hendak membunuh Hek-houw Bhe Lam, akan tetapi tiba-tiba Thian Beng Tosu berseru, 
“Jangan bunuh!” 

Gadis itu menahan pedangnya dan memandang kepada tosu Hoa-san-pai ini dengan sinar mata penuh keharuan. Sebaliknya Thian Beng Tosu dan wanita pertapa ini berdiri seperti patung dan saling pandang seperti terkena pesona.

“Lee Giok… kau Lee Giok….” bibir Thian Beng Tosu bergerak-gerak mengeluarkan bisikan.

Wanita pertapa itu meramkan kedua matanya dan menitiklah air mata diatas kedua pipinya yang masih segar kemerahan. Memang benar dia adalah Lee Giok, isteri Thian Beng tosu!

“Dan dia ini…?” lagi-lagi Thian Beng Tosu berkata perlahan sekali menoleh ke arah gadis yang cantik gagah perkasa itu.

“… dia Hui Cu… anak kita…” terdengar wanita pertapa itu berkata.

Mendengar ini, gadis itu yang bernama Thio Hui Cu, segera menjatuhkan diri berlutut didepan Thian Beng Tosu sambil berkata, 

“Ayah….!”

Tosu ini membungkuk dan meraba kepala anaknya, air matanya bercucuran, kemudian ia menarik bangun anaknya, memandangi sampai lama sekali lalu berdongak ke atas dan berkata, 

“Siancai… Tuhan Maha Adil… siapa sangka aku akan dapat bertemu dengan kalian dalam keadaan selamat? Ya Tuhan, terima kasih atas kemurahan-Mu….”

Setelah keharuan mereka mereda, Lee Giok berkata, 
“Dia ini… bukankah dia penjahat Bhe Lam yang dahulu itu?”

Baru sekarang Thian Beng Tosu teringat akan empat orang penjahat yang masih berada disitu karena tidak berani melarikan diri. 

“Betul, dan mereka inilah yang menjadi lantaran pertemuan kita. Karena itu, biarlah kita ampunkan mereka. “Bhe Lam, sekali lagi kami mengampunimu, harap saja kau dapat sadar dan insyaf bahwa menyimpang dari jalan kebenaran bukanlah hal yang akan dapat menyelamatkan dirimu. Nah, pergilah dan semoga Thian akan memberi bimbingan kepada jiwamu.”

Dengan malu sekali, juga bersyukur karena kembali dia diampuni, Bhe Lam dan teman-temannya pergi terpincang-pincang. Setelah mereka pergi, suami isteri dan anak mereka ini saling berpandangan, penuh kebahagiaan dan penuh keharuan.

“Kau… selama ini di manakah? Kenapa tidak kembali ke Hoa-san mencariku?” 

Dalam pertanyaan yang halus ini sama sekali tidak terkandung suara penyesalan, namun cukup membuat Lee Giok kembali mengucurkan air mata.

“Bagaimana aku berani? Aku… aku… telah ternoda oleh si jahat Giam Kin. Baiknya ada Adik Hong yang menolongku…. dan aku lari kesini, aku… aku bersembunyi dalam hutan, bertapa… dan mendidik anak kita ini… aku telah mengambil keputusan tidak akan mengganggumu kecuali kau yang mendapatkan aku. Siapa duga… kau bertempur dengan mereka itu dan… dan… ah, kenapa kau sekarang telah menjadi tosu?”

Thian Beng Tosu tersenyum, lalu dengan penuh kebahagiaan ia memegang tangan isterinya ditangan kanan, tangan Hui Ci ditangan kiri. 

“Dan kau sendiri? Kaupun menjadi seorang tokouw (pendeta perempuan). Bagus sekali! Ternyata bukan aku saja yang sudah menemukan jalan benar, juga kau, isteriku Lee Giok, sekarang tinggal kita mendoakan saja demi kebahagiaan hidup anak kita. Marilah ikut aku ke puncak menemui Supek. Tahukah kau bahwa sekarang yang menjadi ketua adalah Supek Kwa Tin Siong?”

Dengan penuh kegembiraan Thian Beng Tosu bersama anak dan isterinya lalu menuju ke Puncak Hoa-san dan di tengah perjalanan mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang pahit dan penuh penderitaan. 

Dapat dibayangkan betapa kebahagiaan ini menjadi makin berlimpah ketika mereka tiba di tempat pertempuran tadi melihat bahwa Kui Lok dan Thio Bwee berada pula disitu, malah Li Eng gadis nakal yang lihai itu ternyata adalah puteri mereka!

Hujan tangis terjadi ketika Thian Beng Tosu muncul bersama Lee Giok dan
Hui Cu. Segera Kwa Tin Siong memerintahkan para murid untuk mengurus mayat-mayat itu dan merawat mereka yang terluka. Dia sendiri dengan perasaan duka bercampur suka ria mengajak para murid Hoa-san-pai itu masuk ke dalam kuil. Akan tetapi tiba-tiba Liem Sian Hwa berkata dengan kaget,

“Eh, dimana Kun Hong?”

Beberapa orang tosu menjawab bahwa mereka tadi melihat Kun Hong lari pergi dari tempat itu, turun dari puncak. Ketika para tosu hendak mencegah dan memberi tahu bahwa mungkin ada orang jahat di lereng gunung, Kun Hong malah marah-marah dan membentak mereka, 

“Jangan bicara padaku, kalian semua juga jahat, pembunuh-pembunuh kejam. Aku tidak sudi lagi tinggal disini!”

Tentu saja Liem Sian Hwa berkuatir sekali, akan tetapi Kwa Tin Siong yang sekarang merasa betapa puteranya itu amat lemah dan tak dapat dibandingkan dengan Li Eng atau Hui Cu yang biarpun merupakan anak-anak perempuan namun memiliki kegagahan, segera berkata,

“Biarkanlah, memang sudah tiba waktunya bagi dia untuk meluaskan pengalaman ke bawah gunung. Kalau sudah banyak menghadapi kesukaran, baru ia menjadi dewasa dan dia tentu akan kembali kesini.” 

Iapun mencegah dan menghibur isterinya yang tadinya bermaksud untuk mengejar dan mencari puteranya. Sian Hwa sendiri karena merasa malu kalau harus memperlihatkan kelemahan puteranya dan juga kelemahannya sendiri yang terlalu menguatirkan seorang anak laki-laki, terpaksa menurut walaupun hatinya penuh kegelisahan. 

Mereka semua lalu masuk ke dalam kuil dan menceritakan pengalaman masing-masing. Yang membuat Ketua Hoa-san-pai ini girang dan bangga sekali adalah ketika ia mendengar bahwa Kui Lok dan Thio Bwee kini telah mewarisi ilmu kepandaian yang ditinggalkan oleh Lian Ti Tojin sehingga tingkat kepandaian dua orang murid keponakan ini jauh melampaui tingkatnya sendiri. 

Hal ini berarti memperkuat kedudukan Hoa-san-pai. Keluarga besar keturunan Lian Bu Tojin ini sekarang telah berkumpul di Hoa-san-pai dan dengan adanya mereka, kiranya tidak akan ada sembarang orang berani mengacau Hoa-san-pai lagi.


********






Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)