RAJAWALI EMAS JILID 075

Kun Hong makin gugup, apalagi ketika melihat Hwa-i Lo-kai sendiri menjura dan mengangguk-angguk berkali-kali. Ketika ia memandang kepada Coa-lokai yang memelopori para anggauta itu, ia melihat wajah pengemis tua ini berpeluh, dan jelas kelihatan ia menderita rasa sakit yang hebat, sedangkan lengan pergelangan membengkak. Teringatlah ia betapa dalam membela ketuanya, pengemis ini tadi terluka oleh Sin-eng-cu Lui Bok. Ia segera memberi isyarat dengan tangannya, berkata,

“Lo-kai, kau kesinilah!”

Dengan sikap hormat dan juga terheran-heran Coa-lokai bangkit dan menghampiri Kun Hong, Pemuda ini tanpa ragu-ragu lagi lalu memegang lengan kanan Coa-lokai. Beberapa kali memijat saja tahulah Kun Hong bahwa tulang lengan itu tidak patah, melainkan terlepas sambungannya. Memang semenjak ia membaca kitab pelajaran ilmu pengobatan dari Toat-beng Yok-mo, pengetahuannya tentang luka dalam dan segala macam penyakit menjadi luar biasa sekali.

“Untung Susiok tadi masih menaruh kasihan kepadamu,” katanya perlahan. “Lain kali jangan kau memandang rendah orang seperti dia, Lo-kai.” 

Ia memijat sana menotok sini dan sebentar saja sambungan tulang pergelangan itu telah baik kembali dan lengan itu mengempis lagi. 

“Masukkan tanganmu yang ini ke dalam saku dan jangan digerak-gerakkan selama sehari semalam. Tentu akan sembuh kembali.”

Tidak hanya Coa-lokai yang kegirangan dan terheran-heran, namun semua orang disitu terheran-heran, termasuk Li Eng dan Hui Cu.

“Terima kasih banyak atas pertolongan Pangcu,” kata Coa-lokai sambil melangkah mundur.

“Aku bukan ketuamu, ketuamu adalah Hwa-i Lo-kai itulah,” kata Kun Hong.

“Tidak, kaulah Pangcu yang baru, Siauw-sicu. Dan inilah tanda ketua, harap kau sudi menerimanya dariku.” 

Hwa-i Lo-kai lalu mengeluarkan sebatang tongkat kecil yang berlukiskan kembang-kembang indah, diangsurkan kepada Kun Hong.

Tentu saja Kun Hong tidak mau menerimanya. 
“Jangan, Pangcu. Aku tidak berani menerimanya. Kau tetaplah menjadi Pangcu atau pilihlah diantara pembantumu. Aku akan pulang ke Hoa-san.”

Berkerut kening Hwa-i Lo-kai dan wajah kakek ini menjadi pucat. 
“Sicu, ada satu peraturan yang kami pegang keras, yaitu apabila kami dihina, kami harus mempertahankan nyawa untuk menebus hinaan. Penolakanmu terhadap pemilihan ketua merupakan penghinaan bagi kami. Akan tetapi, karena kau adalah seorang mulia dan budiman yang telah menolong nyawaku dari ancaman mati ditangan Sin-eng-cu, bagaimana aku dapat berbuat dosa terhadapmu? Karena itu, apabila kau tetap menolak untuk menerima tawaran kami menjadi Pangcu dari Hwa-i Kai-pang, aku tua bangka akan membunuh diri di depan kakimu untuk menebus penghinaan ini dan selanjutnya tentang Hwa-i Kai-pang kuserahkan kepadamu!” 

Setelah berkata demikian, kakek itu mencabut pedangnya, siap untuk melakukan pembunuhan diri.

“Heeiii, jangan…!” Kun Hong maju dan memegang lengan Ketua itu yang memegang pedang, “Sabarlah, Pangcu… wah, bagaimana ini baiknya? Kau tidak boleh membunuh diri!”

“Kalau Sicu menolak, terpaksa aku membunuh diri menebus penghinaan.”

Kun Hong memutar otaknya dan pemuda yang cerdik ini sudah mendapat jalan.
“Baiklah… baiklah, kau simpan dulu pedangmu.”

Dengan muka girang Hwa-i Kai-pang menyimpan pedangnya dan memberikan tongkat kecil itu. Terpaksa Kun Hong menerimanya dan para pengemis anggauta Hwa-i Kai-pang bersorak girang, kecuali mereka yang tidak setuju.

“Begini Hwa-i Lo-kai. Setelah aku menjadi ketua, tentu semua anggauta Hwa-i Kai-pang, termasuk kau sendiri, akan taat dan menurut perintahku, bukan?”

“Tentu saja, biarpun disuruh menyerbu ke dalam lautan api, kami akan taat terhadap perintah pangcu” kata Hwa-i Lo-kai penuh semangat.





“Nah, bagus! Sekarang perintahku yang pertama. Aku mengangkat kau menjadi Ji-pangcu (ketua ke dua) yang mewakili aku memimpin Hwa-i Kai-pang jika aku tidak berada disini. Kau boleh memilih pembantu sendiri, dan selama aku tidak berada disini, kaulah yang menjadi wakilku dengan kuasa sepenuhnya. Sekarang aku mempunyai keperluan penting sekali, harus kembali ke Hoa-san, maka kaulah yang menjadi wakilku untuk sementara.”

Semua orang tahu belaka bahwa ini adalah akal pemuda itu, akan tetapi karena merupakan perintah, tentu saja tidak ada yang berani membantah.

“Tentu saja Lo-kai taat terhadap perintah Pangcu, akan tetapi harap saja Pangcu tidak menganggap ini sebagai main-main dan jangan meremehkan kami Hwa-i Kai-pang,” kata kakek itu.

Li Eng adalah seorang gadis yang banyak pengertiannya tentang kang-ouw, maka ia segera berkata kepada Hwa-i Lo-kai, 

“Lo-kai, harap kau maklumi keadaan Pamanku ini. Ketahuilah, dia adalah putera tunggal dari Ketua Hoa-san-pai, sebelum menerima ijin ayahnya, mana dia berani berdiam disini menjadi ketua Hwa-i Kai-pang?”

Hwa-i Lo-kai nampak terkejut. Memang sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai! Akan tetapi Kun Hong sudah menerima tongkat dan sudah menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang, maka diam-diam ia menjadi makin girang.

“Ah, kiranya Pangcu kita yang baru adalah putera Hoa-san-pai Ciang-bunjin! Tentu saja perintah Pangcu kami taati dan kami harap saja setelah tiba di Hoa-san dengan selamat, lain kali Pangcu memerlukan membuang waktu untuk menengok keadaan kami.”

Kun Hong girang. Ia menganggap bahwa akalnya berhasil. Hanya namanya saja menjadi ketua, apa salahnya? Ia mengangguk-angguk dan tersenyum.

Akan tetapi dengan marah Beng-lokai dan Sun-lokai melompat maju. Beng-lokai dan Sun-lokai ini tadinya masih tidak berani banyak tingkah ketika Sin-eng-cu Lui Bok masih berada disitu karena maklum akan kelihaian kakek itu. Akan tetapi sekarang setelah kakek itu pergi, mereka tidak takut lagi, lebih-lebih karena memang mereka ini mempunyai pendukung-pendukung di belakang mereka.

“Tidak adil sekali keputusan ini!” seru Sun-lokai.

“Aku tidak setuju kalau ketua baru dipilih orang luar!” seru Beng-lokai.

“Kalau Pangcu hendak mengundurkan diri, seharusnya yang menjadi calon adalah kami bertiga lo-kai, dan diantara kami bertiga dipilih yang paling cakap untuk menjadi ketua baru. Kenapa sekarang memilih seorang bocah luar yang masih ingusan? Aku tidak setuju akan keputusan ini!” kata pula Sun-lokai.

“Betul sekali ucapan Sun-lokai. Akupun tidak mau terima, kalau bocah tolol ini dapat memecahkan dadaku, baru aku mau mengakui Ketua Hwa-i Kai-pang! Eh, bocah sombong, hayo maju dan lawanlah aku!” Beng-lokai menantang.

“Hayo, perlihatkan kegagahanmu, kalau kau memang laki-laki!” tantang pula Sun-lokai dan dua orang kakek itu sudah mencabut pedang masing-masing.

“Aku tidak bisa berkelahi, juga tidak mau berkelahi, Ji-wi Lo-kai harap sabar dan mundur karena mulai sekarang Ji-wi kuanggap bukan pengurus Hwa-i Kai-pang lagi. Aku tidak mau melihat pengurus atau anggauta Hwa-i Kai-pang yang suka berkelahi dan kelihatan sekali hasratnya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan. Ji-wi akan memberi contoh yang buruk kepada para anggauta. Harap Ji-wi mundur.”

Bukan main marahnya Beng-lokai. Terang-terangan mereka dipecat! 
“Kau… kau…!” 

Beng-lokai hendak memaki akan tetapi saking marahnya tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya, sedangkan Sun-lokai maju dengan sikap mengancam.

Hwa-i Lo-kai membentak, 
“Beng-lokai dan Sun-lokai, kalian sudah mendengar perintah Pangcu. Mulai saat ini kalian bukan pembantu pengurus dan dikeluarkan dari keanggautaan. Lepaskan tali-tali putih dari pinggang kalian.”

Muka dua orang pengemis itu menjadi pucat saking marahnya, tanpa berkata sesuatu mereka melepaskan ikat pinggang putih tujuh helai dari pinggang masing-masing, kemudian dengan suara lantang mereka berkata kepada Kun Hong,

“Kami sekarang sebagai orang luar menantang kepada ketua baru dari Hwa-i Kai-pang untuk mengadu kepandaian. Kalau tidak berani, maka ketua baru dari Hwa-i Kai-pang hanyalah seorang pengecut hina….” 

Yang mengeluarkan kata-kata ini adalah Beng-lokai dan terpaksa ia berhenti karena tiba-tiba Hui Cu sudah berdiri di depannya dengan pedang di tangan.

“Keparat bermulut kotor!” gadis ini membentak dengan suara nyaring dan mata berapi-api, “Manusia tak tahu diri, pamanku sengaja mengalah kepadamu akan tetapi malah membuat kepalamu membesar dan mulutmu melebar. Siapa sih yang takut kepada manusia macammu? Biar ada sepuluh orang macam kau, majulah semua dan tidak usah Paman Hong menggerakkan tangan biar yang sepuluh itu dilawan oleh aku seorang!”

“Hi-hik!” Li Eng mengeluarkan suara ketawa ditahan. “Biasanya Enci Cu pendiam dan penyabar, sekarang mendadak pintar memaki dan mudah marah!”

Kun Hong yang kuatir kalau-kalau keponakannya mencari gara-gara, segera maju dan berkata kepada Hui Cu, 

“Hui Cu, jangan kau sembarangan membunuh orang. Aku larang kau membunuh orang!!”

Hui Cu mengerling sekilas ke arah Kun Hong sambil menjawab, 
“Paman Hong, yang begini ini sebetulnya tak patut disebut orang dan kalau tidak dibunuh hanya akan mengotori dunia. Akan tetapi karena kau melarang, baiklah, aku takkan membunuhnya, cukup membikin dia bertobat.”

Tentu saja Beng-lokai menjadi makin marah. Orang bicara seenaknya saja tentang dirinya, seakan-akan dia ini seekor tikus saja. Dan yang bicara hanya seorang gadis muda yang lebih patut disebut kanak-kanak. Ia mengeluarkan suara menggereng,

“Ketua baru benar-benar pengecut! Tidak berani maju sendiri mengandalkan wanita….”

“Plakk!” 

Entah bagaimana, tahu-tahu tangan kiri Hui Cu telah menampar pipi kanan Beng-lokai, membuat kakek ini sempoyongan dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak. Matanya melotot, mukanya merah dan napasnya berat, tanda bahwa kemarahannya sudah memuncak. Saking marahnya ia sampai tidak memperhitungkan bahwa dengan gerakannya tadi Hui Cu sudah memperlihatkan kelihaiannya.

“Hi-hik, Enci Cu. Kalau kau nanti tidak mencuci tanganmu dengan air panas, aku tidak mau menyentuh tangan kirimu yang berbau keledai!” 

Li Eng berkata dan terdengarlah suara ketawa disana-sini, terutama dari pihak para anggauta yang tldak suka kepada Beng-lokai. Memang Li Eng seorang gadis yang berwatak nakal dan pandai bicara.

Beng-lokai yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi itu, sudah menerjang Hui Cu dengan serangan pedangnya. Hui Cu cepat meloncat ke tengah pelataran dan kakek itu mengejarnya. 

Di sinilah Hui Cu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan gerakan yang amat indah ia mainkan pedangnya sehingga Kun Hong yang melihat menjadi melongo. Sebagai putera pendekar, tentu saja ia seringkali melihat orang bermain pedang, akan tetapi belum pernah ia melihat permainan pedang yang begini indahnya, seperti orang menari saja. 

Beng-lokai juga bermain pedang, akan tetapi dibandingkan dengan permainan Hui Cu, permainan pedangnya jelek sekali sehingga mereka merupakan pasangan penari pedang yang tidak seimbang. Hampir lupa Kun Hong bahwa dua orang itu sama sekali bukannya sedang menari, melainkan sedang saling serang dan bahwa dua pedang yang berkelebat itu sebetulnya sedang mengarah nyawa!

Memang indah gerakan pedang Hui Cu. Hal ini tidak aneh kalau diingat bahwa ibunya, Lee Giok, adalah murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan dan biarpun ia belum mewarisi seluruhnya ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang hebat dan indah, sedikit banyak ia telah mewarisi gayanya yang indah seperti orang menari. Dan tentu saja Lee Giok menurunkan seluruh ilmu pedang dan kepandaiannya kepada puterinya ini.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)