RAJAWALI EMAS JILID 090

“Apa maksudmu ? Bunga apa yang kau minta ?” Kong Bu yang belum mengerti itu membentak lagi.

“Aih-aih………kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu !” Seorang perampok berolok-olok, “Tentu saja perempuan ini yang ditinggal………..” 

Baru saja sampai sini ia bicara, tiba-tiba tubuhnya terlempar jauh, terbanting keatas tanah dan tidak dapat bangun kembali !

Bukan main marahnya para perampok ketika melihat orang muda yang mereka sangka lemah itu sekali tangkap sanggup melemparkan kawan tadi. Apalagi kepalanya, dengan marah berteriak, 

“Kawan-kawan, bunuh anjing jantan ini, biar aku tangkap yang betina !”

Terjadilah pengeroyokan hebat. Akan tetapi, alangkah kaget hati para pengeroyok itu ketika pemuda itu menggerakan kaki tangan, empat orang perampok roboh dan mengaduh-aduh. Lebih-lebih kekagetan mereka ketika melihat kepala mereka begitu mendekati gadis yang terbelenggu itu tiba-tiba tertendang dadanya oleh gadis itu dan roboh sambil muntahkan darah segar. 

Tidak berhenti sampai disitu saja, gadis terbelenggu ini menggerak-gerakan kedua kakinya dan sebentar saja empat orang perampok roboh pula tak dapat bangun kembali. Juga Kong Bu yang sudah marah menghajar para perampok itu. Sebentar saja beberapa orang roboh lagi. Mereka bagaikan rombongan laron mengeroyok api lilin. Setelah lebih setengah jumlah mereka yang roboh, yang lain lalu melarikan diri menyelinap diantara gerombolan pohon.

Kong Bu tidak memperdulikan mereka, lalu memandang kepada Li Eng. Sejenak ia bengong terlongong, menatap wajah gadis itu yang juga memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Aduh hebatnya mata itu, demikian kesan pertama dihati Kong Bu. 

Malam tadi ia tidak dapat melihat wajah Li Eng dengan terang, tidak sejelas sekarang. Wajah yang luar biasa dan terutama matanya, seperti sepasang bintang pagi. Tapi ia teringat lagi akan kenyataan bahwa gadis ini adalah anak murid Hoa-san-pai, maka kemarahannya timbul pula. 

Apalagi kalau teringat betapa dengan susah payah ia mengalahkan gadis ini malam tadi, malah masih perih dan panas pundaknya yang digigit. Sebaliknya, Li Eng juga tercengang ketika menyaksikan wajah yang tampan dan ganteng, yang sama sekali juh berlainan dengan wajah kakek malam tadi. Pemuda ini benar-benar gagah, mukanya lebar bulat, matanya jeli, alisnya hitam tebal, mulutnya membayangkan kekerasan hati. Tapi kalau ia teringat akan perlakuan pemuda ini kepadanya, hatinya marah dan mendongkol bukan main. Dan dia sudah dipanggul setengah malaman oleh pemuda ini. Tiba-tiba Li Eng merasa mukanya panas dan ia berkata ketus.

“Aku tidak sudi kau …………pondong lagi !”

Merah kedua pipi Kong Bu, dan dengan ketus pula ia menjawab, 
“Siapa sudi memondongmu? Kalau kau tidak rewel dan mau jalan sendiri, akupun tidak sudi memanggulmu !”

Sejenak keduanya diam, saling pandang penuh kemarahan. Kong Bu marah mengapa gadis ini begini kasar dan galak, andaikata sikapnya halus dan penurut, agaknya ia takkan tega memperlakukannya seperti ini. Li Eng marah mengapa pemuda seperti itu bersikap sombong dan memandang rendah kepadanya. Andaikata tidak demikian sikap pemuda itu tentu ia akan menerangkan bahwa mereka mempunyai musuh sama, yaitu Kwa Hong.

Ia merasa yakin bahwa yang membuat pemuda ini dan kakeknya itu membenci anak murid Hoa-san-pai terutama yang perempuan, tentulah Kwa Hong.

“Kau hendak memaksaku pergi kemana ?”

“Akan kau lihat sendiri nanti !”

“Akan kau apakan aku ?”

“Hemm, kau akan lihat sendiri !”

“Iblis kau ! Kalau hendak bunuh padaku, bunuhlah. Siapa takut mampus ?”

“Terlalu enak kalau kau dibunuh begitu saja. Kata kakek, anak murid Hoa-san-pai terutama yang perempuan adalah siluman-siluman jahat, harus disiksa dan dipermainkan dulu sebelum dibunuh.”

“Kakekmu gila !”





“Mungkin, tapi tidak palsu dan hina seperti murid Hoa-san-pai yang menggoda ayahku dan membunuh ibuku !”

“Ah, kau juga gila !”

Kong Bu memandang dengan mata berapi, kemudian ia balas memaki, 
“Kau seorang gadis gila !”

“Kau hanya bisa meniru-niru !”

“Tidak, kau memang gila. Gadis normal tentu akan menangis dan minta ampun, tidak seperti kau yang begini nekat menantang maut.”

“Aku tidak takut !”

“Ha, ingin ku melihat nanti apakah betul-betul kau tidak mengenal takut.”

“Mau kau apakan aku ?”

Kong Bu tersenyum dan karena ingin ia melihat gadis ini membayangkan ketakutan pada wajah yang cantik dan selalu menantang penuh keberanian itu, ia berkata, 

“Aku hendak melepaskan kau di tempat yang penuh dengan anjing-anjing hutan, biar kau dikeroyok anjing hutan !”

Namun keinginan hatinya tidak terpenuhi, malah gadis itu menjebikan bibirnya yang merah sambil mengejek, 

“Phuuhh, siapa percaya omong kosongmu ? Anjing kaki dua seperti kau aku tidak takut apalagi segala macam anjing hutan !”

Kong Bu kalah bicara, lalu berkata marah, 
“Sudah jangan cerewet ! Hayo jalan, ikut denganku !”

“Tidak sudi !” Li Eng berjebi lagi.

“Kepala batu !” 

Kong Bu menerjang maju, disambut tendangan oleh Li Eng. Untuk kesekian kalinya dua orang ini saling serang, Li Eng berusaha merobokan dengan tendangan-tendangannya yang dahsyat, sedangkan Kong Bu berusaha merobohkan gadis itu untuk dapat dipanggulnya seperti malam tadi. 

Tentu saja dengan kedua tangan terbelenggu dan tubuh lemas dan lelah, Li Eng tak dapat melakukan perlawanan berarti dan akhirnya ia kena diringkus kedua kakinya, diangkat dan dipanggul oleh Kong Bu yang berlari cepat.

Li Eng mmemaki-maki, meronta-ronta dan mencoba untuk menggigit lagi, namun Kong Bu tidak perdulikan semua itu dan lari secepatnya menuju ke tengah hutan. Akhirnya berhenti di sebuah lereng dan berkata,

“Nah, kau lihat kebawah !”

Li Eng yang masih dipanggul itu melirik ke bawah. Di depannya terdapat sebuah lembah yang curam dan didalam lembah itu tampaklah puluhan ekor anjing yang berkeliaran. Mereka nampak buas dan begitu melihat dua orang diatas lereng, mereka menggonggong dan menyalak dengan muka ganas. Ngeri juga hati Li Eng, akan tetapi ia mengeraskan hati dan berkata, 

“Aku tidak takut !”

Kong Bu mengeluarkan suara ketawa getir, hatinya kecewa kenapa gadis ini belum juga menyerah kalah dan mengaku takut. Dengan mendongkol ia menurunkan Li Eng, menotok jalan darahnya sehingga gadis itu lemas kaki tangannya. Kemudian ia menggunakan sebuah pedang memutuskan tali belenggu kedua tangan Li Eng.

“Aku tidak sudi membunuhmu dengan kedua tangan sendiri, karena aku bukanlah pembunuh murahan. Akupun tidak sudi menghina dan mempermainkanmu seperti yang dimaksudkan kakek, karena aku bukanlah seorang manusia rendah dan hina. Akan tetapi karena kau seorang anak murid Hoa-san-pai, untuk membalas sakit hati mendiang ibuku kau akan ku lempar ke dalam jurang lembah itu. Kau boleh melawan anjing-anjing itu, kalau kau memang dan dapat naik kembali dengan selamat, aku takkan mengganggumu.”

Tanpa memberi kesempatan kepada gadis yang pandai itu untuk menjawab, Kong Bu menggerakan kedua tanggannya, yang kanan menotok punggung membebaskan aliran jalan darah, yang kiri mendorong tubuh gadis itu ke dalam lembah yang curam itu. 

Tanpa dapat menahan diri lagi Li Eng terdorong ke bawah. Tubuhnya melayang ke tempat yang dalamnya lima enam meter itu. Segera ia dapat menguasai diri dan cepat mengatur keseimbangan tubuhnya, berjungkir balik dan dapat turun kedasar lembah dalam keadaan berdiri. 

Suara hiruk pikuk binatang-binatang itu menyambut kedatangannya. Puluhan ekor anjing liar yang bermata merah dengan lidah terjulur keluar segera mengurungnya, menggonggong dan memperlihatkan gigi dan taring yang runcing mengerikan.

Gadis itu menyedot napas dalam-dalam, mengumpulkan semangat dan tenaga, mengusir rasa jijik dan takut, kemudian ia mendahului anjing-anjing itu, menendang dan memukul. 

Makin berisiklah keadaan di lembah itu. Ada anjing yang terpukul mati seketika, hanya dapat berkelojotan sebentar, ada yang berkuik-kuik, ada yang meraung-raung dan anjing-anjing yang lain semua mengonggong dan menyalak marah. Mereka ini lalu menyergap dan mengeroyok Li Eng. Namun dengan gagahnya gadis ini mengamuk, tangan dan kakinya bergerak-gerak mengelak kesana kemari sambil memukul, menendang lalu meloncat.

Di atas tebing lereng itu, Kong Bu berdiri tegak menonton. Mula-mula mulutnya tersenyum mengejek dan matanya membayangkan kekerasan hatinya. Akan tetapi ketika ia menyaksikan sepak terjang Li Eng, senyumnya menghilang dan matanya berubah membayangkan kekaguman besar. Bukan main gadis ini pikirnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang gadis sedemikian gagah beraninya, jangankan melihat malah mimpipun belum pernah. Sukarlah, malah tak mungkin kiranya, membayangkan seorang dara seperti ini hebatnya ! 

Dadanya berdebar dan kini ia memandang penuh perhatian. Betapapun gagah dan lihainya Li Eng, gadis itu semalam suntuk tidak tidur, pula tubuhnya amat lelah dan berkali-kali ia harus mengerahkan tenaga menghadapi Kong Bu. Kini dikeroyok puluhan ekor anjing yang liar itu, perlahan-lahan ia kehabisan tenaga dan berkuranglah kegesitannya. 

Sudah lebih duabelas ekor anjing menggeletak menjadi bangkai oleh pukulan dan tendangannya, namun yang mengeroyoknya masih berpuluh-puluh ! Pukulannya kini mulai kurang keras, gerakannya lemah dan limbung. Namun sedikitpun juga semangatnya tidak pernah berkurang, dan tidak sedikitpun juga ia nampak takut atau bingung.

Tiba-tiba lima ekor anjing menyerang dengan serentak, menubruk dari kanan kiri dan depan, Li Eng melompat mundur untuk menghindarkan diri. Malang baginya, kebetulan sekali disebelah belakang ada seekor anjing pula sehingga kakinya terhalang dan ia terjengkang kebelakang. Serempak lebih dari sepuluh ekor anjing menubruknya dengan moncong terbuka lebar !

Wajah Kong Bu menjadi pucat seketika akan tetapi ia kagum bukan main ketika gadis itu dengan kegesitan luar biasa telah menggulingkan tubuhnya cepat-cepat kekiri terus melompat berdiri. Namun ia tak dapat menghindar serangan seekor anjing dari sebelah belakang yang menubruk kakinya dan menggigit betisnya. Kain celana di bagian betis robek berikut kulit betisnya. Li Eng menjerit tertahan, membalikan tubuh dan sekali tangan kanannya menghantam pecahlah kepala anjing itu! 

Demikian hebat marahnya sehingga seketika timbul kembali tenaganya, namun kini ia merasa kakinya yang tergigit tadi kaku dan sakit-sakit. Sekilas ia mengerling keatas dan melihat pemuda itu masih berdiri tegak. Kemarahannya bangkit, sampai mati ia tidak akan memperlihatkan rasa takut takkan mau menyerah, biar pemuda gila itu terbuka matanya bahwa dia adalah seorang dara berdarah pendekar sejati. 

Ia melawan terus, memukul menendang, namun pandang matanya mulai berkunang-kunang, tubuhnya terhuyung-huyung, kepalanya pening. Ia masih dapat melihat berkelebatnya sosok bayangan orang diikuti sinar pedang yang membabati anjing-anjing yang mengeroyoknya, kemudian Li Eng mengeluh dan roboh pingsan !

Dalam keadaan setengah sadar Li Eng merasa seolah-olah dunia terbakar di sekelilingnya. Warna merah dan kuning menyelubungi dirinya, dan suara gonggongan anjing terngiang-ngiang di telinganya. 

Kemudian ia melihat kepala-kepala banyak anjing liar dengan moncong terbuka hendak menggigitnya. Ia merasa ngeri sekali, kemudian kepala-kepala anjing ini menyuram, terganti kepala seorang pemuda yang gagah dan ganteng.

“Kenapa kau begini benci kepadaku………..?” Li Eng berbisik, hatinya sakit sekali.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)