RAJAWALI EMAS JILID 103

“He, mata juling, kenapa hanya menonton saja dan tidak ikut turun tangan? Matamu akan menjadi makin juling nanti, kalau kau banyak menonton.”

Si mata juling agaknya tak dapat dibikin panas hatinya, hanya berdiri menonton dengan penuh perhatian. Akan tetapi tak lama kemudian, benar saja matanya menjadi semakin juling ketika ia melihat betapa pemuda itu bergerak bagaikan seekor lalat gesitnya, berputar-putar beterbangan di sekeliling tubuh Teng Houw. 

Orang ketiga dari Lam-thian Si-houw ini masih mencoba menyabet bayangan lawannya yang luar biasa gesitnya itu dengan cambuknya, namun sia-sia belaka, ia hanya dapat menyerang dengan sabetan-sabetan yang menbabi buta, seakan-akan menyerang bayangan setan. 

Tiba-tiba terdengar pemuda itu tertawa dan Teng Houw terkejut bukan main. Entah bagaimana, tahu-tahu ujung cambuknya melilit batang lehernya sendiri. Ia berusaha membetot gagangnya namun makin dibetot makin erat lilitan itu sehingga ia mendelik karena lehernya tercekik! 

Kiranya dalam kegesitannya pemuda itu tadi berhasil menyambar ujung cambuk dan melilitkannya dileher lawan sambil tertawa-tawa. Saking bingung dan kuatirnya, Teng Houw melompat keluar dari kalangan dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar.

Baru setelah twakonya menghampiri dan melepaskan lilitan cambuknya, ia sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali saking malunya, dan di lehernya terlihat garis-garis merah bekas lilitan cambuknya sendiri. Orang ini tidak bisa berbuat lain kecuali memandang ke arah pemuda itu dengan heran dan gentar.

“Sudah kukatakan tadi, lebih baik maju sekaligus agar lebih cepat beres. Kalian benar-benar tak tahu diri, Lam-thian Si-houw!” 

Pemuda itu menantang dan menertawakan ketika melihat si mata juling, Ban Houw, melangkah maju dengan ruyung di tangan kanan. Ban Houw ini adalah seorang jagoan tua yang jarang menemui tandingannya di daerah pantai selatan. Ia sudah banyak pengalaman maka tak berani ia memandang rendah kepada pemuda aneh itu. 

Melihat gerak-gerik pemuda ini dalam pertempuran-pertempuran terdahulu diam-diam kakek juling ini dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid seorang yang amat sakti, memiliki kepandaian yang hebat sekali. Diam-diam ia menghubungkan pemuda ini dengan si Raja Pedang Tan Beng San, yang hanya pernah ia dengar namanya dan kelihaiannya.

“Orang muda, kau benar-benar lihai sekali. Sebegini muda sudah memiliki kepandaian sehebat itu. Orang muda, aku tidak percaya bahwa engkau hanyalah seorang anak murid biasa saja dari Thai-san-pai. Si Raja Pedang ketua Thai-san-pai itu apamukah ?”

Pemuda itu memang kurang ajar sekali. Orang tua bicara baik-baik, ia tetap menyambut dengan ejekan. 

“Eh, kakek mata juling, kau bertanya-tanya tentang aku apakah kau ingin menarik aku sebagai mantumu ? Apakah anak perempuanmu tidak juling seperti kau ? Sudahlah jangan banyak tanya, cukup kukatakan kalau aku murid Thai-san-pai. Kalian ini orang-orang banyak lagak tapi tidak becus apa-apa, berani hendak mengacau Thai-san-pai? Hayo, kalian boleh kalahkan aku lebih dahulu, murid kecil Thai-san-pai !”

Diam-diam Kun Hong mendongkol juga menyaksikan sikap pemuda itu. Harus ia akui bahwa kepandaian pemuda itu hebat sekali. Dari gerak-geriknya tadi ketika bertempur, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa biarpun masih amat muda, orang itu benar-benar telah matang kepandaiannya dan mempunyai dasar yang amat kuat, baik Iweekang maupun ginkangnya dari tingkat tinggi. 

Akan tetapi ia menganggap pemuda itu terlalu sombong dan agaknya juga mata keranjang. Sudah dua kali ia mendengar pemuda ini bicara tentang perempuan, yaitu ketika di gedung Tan-taijin dahulu pemuda ini menyatakan iri hati kepada pangeran mahkota yang selalu mendapatkan wanita cantik untuk menjadi selir. Sekarang, terhadap si mata juling lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan sikap ceriwisnya.

Ban Houw tidak marah mendengar ejekan-ejekan pemuda itu. Ia melintangkan ruyung didepan dadanya, lalu berkata, 

“Orang muda, setidaknya kau tentu suka memberi tahu siapa namamu ? Kau sudah mengenal kami semua, memang kau memiliki mata yang amat tajam, dan harus kuakui bahwa kami tidak dapat menduga siapakah sebetulnya kau orang muda yang lihai ini?”

Agaknya kesabaran dan ketenangan Ban Houw ini membuat pemuda itu berhati-hati, hal ini ternyata dari jawabannya yang tidak main-main lagi. 

“Orang tua, namaku tiada artinya bagimu. Kuberi tahu juga kau takkan pernah mendengarnya dan takkan mengenalnya. Yang jelas bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai dan kalau kalian hendak mengganggu Thai-san-pai, harus dapat mengalahkan aku lebih dulu.”





Kakek juling ini mengangguk-angguk.
“Kau memang tekebur, akan tetapi juga sesuai dengan kepandaianmu. Marilah kau layani ruyungku ini ! Apakah menghadapi aku kaupun akan bertangan kosong saja?”

Pemuda itu sejenak meragu. Biarpun ia masih muda, namun agaknya ia sudah mengerti bahwa menghadapi lawan yang begini tenang, ia harus berhati-hati sekali. Akan tetapi dasar wataknya memang manja seperti biasanya anak orang berpangkat atau orang kaya, agaknya ia sudah biasa dipuji dan diangkat, maka kinipun ia merasa segan untuk untuk mengurangi kesan setelah beberapakali ia mendapat kemenangan.

“Kau sudah tua, aku masih muda sudah sepatutnya kalau aku mengalah sedikit, boleh kau serang aku, kakek juling.” 

Ucapan ini benar-benar amat tekebur karena keadaannya terbalik. Yang patut mengeluarkan kata-kata itu adalah si tua, bukan si muda karena dalam hal ilmu silat, pada umumnya yang lebih tua itu lebih matang dan lebih banyak pengalamannya sehingga lebih patut kalau yang tua mengalah.

Namun kakek juling itu tidak menjadi panas perutnya seperti yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh pemuda itu, sebaliknya kakek ini lalu memasang kuda-kuda dan berkata, 

“Kau sendiri yang menetapkan, jangan menyesal nanti. Nah, kau lihat senjataku !” 

Baru saja habis ucapannya ini, ruyung telah menyambar dekat sekali dengan kepala pemuda itu. Bukan main cepatnya gerakan kakek itu dan yang hebat ruyungnya yang berat itu bergerak tanpa mendatangkan angin dan tahu-tahu sudah mendekati kepala lawan!

“Bagus !” 

Pemuda itu berseru girang karena ia benar-benar kaget dan tahu bahwa lawannya kali ini benar-benar seorang yang “berisi”, jauh bedanya dengan yang sudah-sudah. Maka ia berlaku waspada, cepat menggeser kedua kakinya dan mempergunakan langkah-langkah yang amat teratur dan amat indah, sementara kedua tangannya bergerak-gerak untuk mengimbangi tubuh dan kadang-kadang juga untuk membalas menyerang. 

Anehnya, kedua tangan itu gerakannya sama sekali berlainan dan bahkan berlawanan sehingga memperlihatkan cara bersilat yang amat janggal, aneh, dan membingungkan. Kalau tadi pemuda ini hanya mempermainkan sekalian lawannya, kali ini ia tidak hanya main loncat dan kelit, akan tetapi dengan sengit juga balas menyerang setiap kali mendapat kesempatan. Hebatnya tak pernah ada serangan lawan yang tidak dibalas, sambil mengelak atau mendorong ruyung dari samping, tentu ia balas menyerang dengan pukulan atau tendangan.

Berkali-kali kakek juling itu berseru memuji karena ternyata segera bahwa serangan balasan pemuda itu dengan tangan dan kakinya ternyata tidak kalah hebatnya dengan serangan ruyungnya. Dan yang amat membingungkan hatinya adalah gerakan tangan pemuda itu. Sebegitu jauh belum juga ia dapat mengenal ilmu silat itu. Maka ia segera menggerakkan ruyungnya lebih gencar pula agar pemuda itu mengeluarkan simpanannya dan ia dapat mengenal ilmu silatnya.

Hebat gerakan ruyung ini. Kalau tadi gerakannya sama sekali tidak mendatangkan angin, sekarang begitu ruyung diputar, angin menderu dan terdengar suara mengiung. Ruyung itu kelihatannya menjadi puluhan buah banyaknya mengancam diri pemuda itu dari segala jurusan. 

Melihat itu, Kun Hong mengerutkan keningnya dan otomatis kedua tangannya sudah memegang lagi dua buah butir batu kecil yang tadi dilepasnya. Si juling ini benar-benar hebat, pikirnya, sekali saja kepala pemuda itu terlanggar ruyung, tentu akan pecah berantakan dan habislah riwayat pemuda sombong dan nakal ini. 

Betapapun tak senangnya terhadap pemuda itu, melihat orang membela mati-matian kepada Thai-san-pai, yaitu perkumpulan yang didirikan oleh Tan Beng San, orang yang dipuji-puji dan dihormati ayahnya, tentu saja ia tidak akan membiarkan pemuda ini tertimpa bencana. 

Disamping ini, iapun mempunyai kesan baik atas sikap pemuda yang tidak mau membunuh lawannya itu. Dua hal inilah, yaitu membela Thai-san-pai dan tidak membunuh lawan, merupakan penawar dari kebenciannya terhadap si pemuda, kebencian yang dia sendiri tidak tahu mengapa bisa mengotori hatinya. 

Belum pernah selama hidupnya ia bisa membenci orang seperti perasaannya terhadap pemuda itu. Banyak sudah ia melihat orang sombong, banyak melihat orang manja, akan tetapi belum pernah ia merasakan kebencian dalam hatinya seperti terhadap pemuda ini.

Agaknya desakan ruyung yang dimainkan secara ganas itu membuat si pemuda harus mengerahkan kepandaiannya dan bersilat dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring sekali sampai memekakan telinga, kemudian tubuhnya melesat kesana kemari dan kedua tangannya mengirim serangan-serangan jarak jauh yang membuat si pemegang ruyung beberapa kali mengeluarkan seruan tertahan. 

Pada saat si mata juling menghantamkan ruyungnya untuk menyerang pinggang, pemuda itu dengan gerakan yang amat ringan seperti burung walet terbang, meloncat keatas. Namun lawannya juga gesit sekali karena ruyung itu tidak dibiarkan melewat, hanya langsung ia babatkan ke atas untuk memukul kedua kaki pemuda yang tubuhnya masih berada di udara itu!

Kedua tangan Kun Hong sudah gemetar dan menegang, siap melontarkan sambitan batu untuk menolong si pemuda ketika terjadi pertunjukan yang amat luar biasa oleh pemuda itu. 

Biarpun dirinya diserang selagi berada di udara, pemuda itu tidak menjadi gugup, malah ujung kaki kirinya dari samping ditotolkan kepada ujung ruyung lawannya dan………tubuhnya mencelat mumbul lagi keatas berjungkir-balik dan ketika turun ia disambut hantaman ruyung, kembali ia menotolkan ujung kaki pada ruyung dan kembali tubuhnya mencelat keatas. 

Pertunjukan ini hebat sekali sampai-sampai semua orang yang memandang mengeluarkan seruan memuji. Agaknya si mata juling menjadi penasaran. Ia sudah menang diatas angin, pemuda itu tak dapat turun lagi dan posisinya amat buruk, masa ia tidak mampu mengalahkannya? Dengan penuh semangat, ketika pemuda itu kembali melayang turun, ruyungnya melakukan hantaman dari kiri kekanan sehingga tak mungkin disambut oleh kaki pemuda itu lagi!

“Cringgg ! Aduhhh…………!” 

Tampak bunga api berpijar dan si mata juling terhuyung-huyung ke belakang, sedangkan pemuda itu sudah turun dengan wajah tersenyum dan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya berada di tangan kanannya! 

Entah kapan ia mencabut pedangnya, tahu-tahu ia sudah dapat mempergunakan itu, tidak saja untuk menangkis, bahkan untuk membikin sapat senjata lawan dan sekaligus mendesak lawannya mundur terhuyung-huyung.

“Lepaskan senjata !” serunya dengan suara nyaring, tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan, pedangnya bergerak seperti kilat berputaran kearah tangan si pemegang ruyung dan………….mau tak mau si mata juling harus melepaskan ruyungnya karena ujung pedang lawan yang hebat itu telah berputar disekitar pergelangan tangannya yang memegang gagang ruyung !

Pemuda itu melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Si mata juling dengan wajah pucat memandang, mulutnya berkata gagap, 

“Kau………kau apanya si Raja Pedang………?”

Pemuda itu hanya tersenyum tidak menjawab, sebaliknya menghadapi orang pertama dari Lam-thian Si-houw, yaitu orang berusia limapuluh tahun yang bertubuh pendek gemuk gendut dengan muka seperti kanak-kanak.

“Kau adalah orang pertama dari Lam-thian Si-houw. Nah, setelah bawahanmu kalah semua, apakah kau pun ingin coba-coba ?”

Si gendut ini tersenyum lebar, matanya jelas membayangkan kekaguman.
“Hebat………..hebat………….aku orang kasar yang puluhan tahun berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah bertemu dengan seorang muda seperti kau ini! Beranikah kau menyambut sebuah pukulanku?”

Pemuda itu memandang tajam, bibirnya tersenyum manis akan tetapi matanya bergerak-gerak penuh kecerdikan. 

“Mengapa tidak berani ? Kau adalah seorang ahli Iweekang, namun Thai-san-pai tidak pernah gentar terhadap ahli Iweekang !”








Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)