RAJAWALI EMAS JILID 111

“Ha-ha-ha, kau gadis cantik jelita dan manis, usiamu juga tentu ada tujuh belas tahun, apa anehnya menerima banyak lamaran? Aku sendiri andaikata bukan kakakmu, mau melamar. Ha-ha-ha!”

“Iihh, ceriwis kau!” Wajah itu makin merah. “Jangan mentertawakan aku, Ko-ko, hatiku benar-benar baru resah, nih!”

“Ya sudahlah, kau teruskan ceritamu.”

“Ayah dan Ibu sudah merasa jengkel karena aku selalu menolak keras kalau ada pinangan orang. Akhirnya, Ayah dan Ibu menerima baik pinangan putera Ketua Kun-lun-pai, katanya puteranya seorang she Bun yang menjadi Ketua Kun-lun-pai dan yang menjadi sahabat baik Ayah. Malah menurut cerita Tan-pek-hu dikota raja yang dahulunya adalah tokoh Pek-lian-pai yang terkenal dalam perjuangan, orang she Bun itu adalah keturunan pendekar besar dari Kun-lun-pai sedangkan isterinya adalah keturunan dari patriot pemimpin Pek-lian-pai, she Thio.” 

“Waduh, kiong-hi… kiong-hi (selamat, selamat), adikku….!”

“Selamat hidungmu!” Cui Bi memotong dan melerok, mulutnya cemberut marah. “Orang berkeluh-kesah, berduka dan bingung, kok diberi selamat. Bukankah kau ini malah memperolok aku, Ko-ko? Bagus benar ya menjadi kakak orang begini kejam!”

“Lho-lho-lho, nanti dulu, jangan marah-marah tidak karuan. Orang muda she Bun itu dilihat dari keturunannya, baik dari ayah maupun dari ibunya, benar-benar hebat. Kalau ayah bundamu sudah menerima pinangan itu, bukankah berarti pemuda she Bun itu menjadi calon adik iparku? Tentu saja aku senang mempunyai calon adik ipar keturunan orang-orang ternama dan gagah begitu. Apakah kau tidak senang menjadi… eh, anunya?”

Dengan gemas Cui Bi mengulur tangan mencubit lengan kakaknya sampai Kong Bu mengaduh-aduh kesakitan. 

“Kau nakal benar, Bu-ko. Benci aku kalau begini. Kau mau menolong adikmu atau tidak?”

“Tentu, tentu… tapi lepaskan dulu cubitanmu ah, pecah-pecah kulit lenganku nanti. Teruskanlah ceritamu, aku berjanji takkan menggodamu lagi.” 

Kong Bu yang baru sekarang merasai kenikmatan bergurau dengan seorang yang mendatangkan rasa sayang, benar-benar gembira sekali, akan tetapi juga kuatir melihat betapa adiknya itu bersungguh-sungguh.

“Tentu saja aku menolak keras. Aku tidak sudi menikah apalagi dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat. Ayah dan Ibu marah-marah, akupun marah dan akhirnya aku lari meninggalkan rumah tanpa pamit. Aku bersembunyi di rumah Pek-hu dikota raja. Nah, Bu-ko, sukakah kau menolongku kalau nanti kau bertemu dengan Ayah dan Ibu, kau bujuklah mereka supaya jangan memaksa aku menikah, supaya pinangan yang sudah diterima itu dibatalkan saja dan katakan bahwa aku masih kecil.”

Mau tak mau Kong Bu menahan ketawanya. Senang dan sayang benar ia kepada adiknya yang lucu ini. 

“Usiamu berapa sih, Moi-moi.”

“Kata Ayah, hanya selisih dua tahun denganmu.”

“Nah, kalau begitu sudah tujuh belas tahun. Mana bisa dibilang masih kecil?”

“Kau menggoda lagi. Mau tidak membantuku?”

“Ya, baik… baik… biar kelak aku membujuk orang tuamu.”

Cui Bi memegang tangan kakaknya dan ditarik bangun, menari-nari seperti orang yang kegirangan sekali. 





“Terima kasih, terima kasih… wah, aku percaya Ayah pasti akan meluluskan permintaanmu, kau seorang anak yang disayang, dan baru saja bertemu. Eh, Bu-ko, kau nakal sekali, ya? Gadis Hoa-san-pai yang cantik manis itu, hemmm, kau pura-pura kena ditawan. Hemmm, senang sekali, ya? Hi-hik, kau pembohong besar. Katanya benci perempuan murid Hoa-san-pai, akan tetapi yang satu ini, aku berani bertaruh potong kepala bebek bahwa kau suka kepadanya!”

Kong Bu merenggut lepas tangannya, melotot. 
“Gila kau! Jangan main-main, ya? Siapa suka perempuan galak seperti setan itu?”

“Galak-galak tetapi manis, seperti setan tapi menarik hati, bukan begitu? Ah, Koko, aku tidak boleh kau bohongi, ya? Biarlah aku berjanji, kelak kalau kau benar-benar mau menolongku sehingga ikatanku dengan pemuda Ku-lun-pai itu dapat dibatalkan, aku akan membalas budimu. Aku akan menjadi perantara, akan kubujuk Ayah agar supaya pergi mengajukan pinangan ke Hoa-san!”

“Hush, jangan ngaco!” Kong Bu mendelik dan membentak-bentak, akan tetapi ia sendiri merasa aneh mengapa jantungnya jadi berdebar begini macam? “Bi-moi, aku heran sekali kenapa kau dapat melihat kedatanganku di kuil dengan… ehm, gadis Hoa-san-pai itu? Kulihat tadi yang berada di kuil hanyalah seorang pemuda Hoa-san-pai yang bijaksana dan halus budi, seorang pemuda lemah akan tetapi bicaranya menusuk perasaan benar, tepat dan bijaksana. Katanya dia adalah paman dari gadis Hoa-san-pai itu.” 

“Ah, kau maksudkan Hong-ko?” 

“Eh, Hong-ko siapa? Kau kenal dia?” 

Cui Bi tersenyum. 
“Seorang kutu buku, tapi dia itu putera tunggal Ketua Hoa-san-pai, pandai ilmu surat tidak pandai ilmu silat. Memang dia orang luar biasa.Tentu saja aku kenal dia, malah berhari-hari aku melakukan perjalanan bersama dia.” 

“Hee….?”

“Jangan memandang seperti itu. Ih, pikiranmu agaknya penuh dengan dugaan yang bukan-bukan dan fitnah-fitnah keji. Sampai sekarang dia menganggap aku sebagai laote (adik laki-laki).” Cui Bi tertawa geli dan Kong Bu juga tertawa. 

“Sudahlah, mari kita cepat-cepat ke Thai-san, Bu-ko. Kalau bersamamu aku berani pulang. Akan tetapi karena Ayah hendak merayakan pendirian perkumpuian Thai-san-pai, lebih baik kita melihat-lihat di kaki Gunung Thai-san dan menyelidiki kalau-kalau ada orang jahat hendak datang mengacau. Kau tahu, sudah terlalu banyak Ayah membasmi golongan-golongan jahat sehingga dapat diduga bahwa akan banyak musuh datang mengacau dan berusaha menggagalkan pendirian Thai-san-pai. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu Ayah.”

Kong Bu hanya mengangguk-angguk dan berangkatlah dua orang kakak beradik ini. Mereka sengaja menguji kepandaian masing-masing dan berlari cepat. Alangkah kagum hati mereka karena dalam kemahiran ilmu lari cepat ini mereka berimbang. Cui Bi menang ringan tubuhnya dan menang gesit gerakannya, namun ia kalah napas melawan kakak tirinya itu.


********






Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)