RAJAWALI EMAS JILID 131

Tak lama kemudian muncullah Cui Bi di ruangan itu. 
“Ibu sudah minum obat dan sekarang tidur nyenyak. Aku harus membantu Hong-ko.” 

Tanpa memberi kesempatan kepada empat orang muda itu untuk mencegahnya, ia terus saja membuka pintu kamar itu masuk dan menutup pintu dari dalam. Empat orang itu saling pandang dan tersenyum maklum. Li Eng dan Kong Bu, juga Sin Lee, berseri wajahnya. Hui Cu menunduk, kelihatan malu dan jengah.

Kun Hong menoleh. ketika mendengar ada orang memasuki kamar. Ketika melihat bahwa yang masuk adalah Cui Bi, ia memandang dengan mata bertanya dan alis berkerut.

“Jangan marah, Hong-ko. Aku harus membantumu. Ibu sudah minum obat dan tidur. Kebetulan obat-obat yang kau tulis itu tersedia di kamar obat kami.”

Kun Hong tidak tega menolak permintaan kekasihnya. Ia hanya mengangguk dan memasukkan belasan batang jarum kedalam mangkok yang sudah ia isi dengan air mendidih. 

“Kalau begitu, tolong kau buka baju ayahmu.”

Dengan sigap Cui Bi melakukan perintah ini, gelisah sekali melihat luka-luka di tubuh ayahnya, terutama sekali luka dalam yang hanya tampak membiru dan kemerahan ditempat-tempat berbahaya seperti lambung, dada, dan leher. Dengan hati-hati ia membuka baju ayahnya yang terkena noda darah yang dimuntahkan, lalu menyingkirkan baju itu ke sudut kamar. Adapun Kun Hong melanjutkan pekerjaannya memasukkan jarum-jarum ke dalam air panas tadi.

Dengan isyarat tangan ia lalu minta bantuan Cui Bi untuk mengangkat tubuh Beng San yang masih tak sadarkan diri dan membaringkan tubuh itu telungkup.

“Bi-moi, jangan dekat, kau mundurlah dan jangan mengeluarkan suara.”

Mendengar suara yang penuh wibawa ini, meremang bulu tengkuk Cui Bi. Bukan main laki-laki ini, kadang-kadang kelihatan bodoh dan halus lemah-lembut, akan tetapi pada saat ini kelihatan amat berpengaruh, penuh wibawa dan suaranya mengandung kekuatan dan kekuasaan yang hebat. Ia cepat melangkah mundur dan berdiri disudut kamar, memandang penuh perhatian, penuh harapan, dan penuh kekaguman.

Kun Hong mengeluarkan sembilan batang jarum perak dari dalam air panas, memegang jarum-jarum itu pada tangan kiri, mengambil sebatang dengan tangan kanan, dijepit diantara ibu jari dan telunjuk, lalu ia melangkah mundur tiga tindak dari pembaringan.

Jarak antara dia dan tubuh Beng San ada satu setengah meter, matanya memandang tajam, semangat dikumpulkan, napas ditahan, tenaga Iwee-kang digerakkan dan tiba-tiba ia menubruk ke depan, jarum pertama telah ia tusukkan tepat pada jalan darah tiong-cu-hiat yang letaknya dibelakang leher. 

Secepat cara ia menusuk ke depan, ia telah melompat ke belakang pula, lalu mengambil jarum kedua dan ditusukkan pada jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kanan, lalu jalan darah hong-hu-hiat di belakang kedua pundak, di punggung bawah kanan kiri, jalan darah sin-teng-hiat di kedua pergelangan tangan sampai sembilan batang jarum itu habis ditusukkan semua, menancap di pelbagai jalan darah yang penting.

Kun Hong lalu berdiri tegak dengan mata meram, kedua tangan disilangkan, menarik napas panjang memulihkan tenaga dalam yang banyak dikeluarkan untuk melakukan penusukan-penusukan jarum itu. 

Beberapa menit kemudian ia bergerak lagi, kini melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk, menotok dari belakang kepala terus menurun sampai di lutut. Caranya menotok juga aneh karena ia mempelajari dari kitab pengobatan ajaib Toat-beng Yok-mo. Seperti tadi, ia menotok dari jarak jauh, melompat dan menotok seperti orang menyerang lawan, akan tetapi totokannya selalu tepat mengenai sasaran!

Melihat semua gerakan Kun Hong ini, Cui Bi melongo saking herannya. Ia tidak mengenal ilmu tusuk jarum itu, akan tetapi ilmu menotok tentu saja ia kenal baik. Yang membuat ia kagum adalah cara menotok dengan sebuah jari ini. Belum pernah ia melihat cara menotok seperti itu dan ia hanya mendengar saja cerita ayahnya bahwa dijaman dahulu ada semacam ilmu menotok yang disebut It-ci-san, akan tetapi Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) ini sekarang hanya tinggal dongengan saja dan belum pernah ayahnya sendiri melihat tokoh silat mempergunakan dalam pertandingan. Akan tetapi sekarang ia melihat Kun Hong menggunakan ilmu itu, hanya bukan untuk bertanding, melainkan untuk mengobati secara hebat sekali.





Kali ini, setelah menotok semua jalan darah yang penting, Kun Hong nampak lelah sekali, Ia segera bersila diatas lantai untuk mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga sampai sepuluh menit lebih. Baru ia bangun dan memeriksa detik nadi tangan Beng San. 

Wajahnya nampak berseri karena tepat seperti petunjuk di dalam kitab pengobatan, cara pengobatan pada babak pertama ini berhasil apabila detik nadi menjadi cepat luar biasa, dan detik nadi yang dipegangnya itu pun cepat sekali. Dengan tenang tapi cepat ia mencabuti jarum-jarum itu dan memasukkannya kembali ke dalam mangkok lain yang sudah diisi air panas. Air di mangkok itu segera berubah menjadi kehitaman!

“Bi-moi, mari bantu aku.” 

Ia memerintah dan Cui Bi cepat melangkah maju, penuh kekaguman. Namun Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan nona ini dan ia bersama Cui Bi mengangkat tubuh Beng San untuk ditelentangkan kembali. Alangkah lega hati Cui Bi ketika melihat betapa wajah ayahnya yang tadinya pucat seperti mayat sekarang merah kembali, malah terlalu merah dan ketika ia membantu tadi, tubuh ayahnya dirasakan panas seperti api.

Kun Hong memberi isyarat supaya gadis itu mundur lagi, lalu ia mulai lagi dengan pengobatan, babak kedua, yaitu dengan cara menusuk-nusukkan sembilan batang jarum perak ke pelbagai jalan darah di tubuh bagian depan, kemudian setelah mengaso sebentar lalu melakukan totokan-totokan seperti tadi. Kali ini seluruh tubuh Kun Hong mengeluarkan peluh dan terpaksa ia beristirahat lebih lama dari tadi.

Cui Bi mendekat dan melihat wajah dan pernapasan ayahnya, girang bukan main hatinya. Ia memandang pemuda yang bersila di lantai itu penuh kekaguman, penuh cinta kasih dan ingin rasa untuk memeluknya. Ia berterima kasih sekali dan memandang dengan mesra. Cepat ia menuangkan arak yang tersedia di kamar itu dalam sebuah cawan, lalu ikut duduk bersila di dekat Kun Hong, cawan arak di tangan, menanti sampai pemuda itu menyudahi samadhinya.

Tercenganglah Kun Hong ketika ia membuka mata, ia melihat Cui Bi duduk mendeprok di depannya, memandang mesra dan mengangsurkan secawan arak.

“Kau minumlah dulu….” suaranya merdu sekali, bisikan yang membuat wajah Kun Hong seketika menjadi merah dan jantungnya berdebar keras. Cepat ia menindas perasaan ini, sambil tersenyum menerima cawa itu dan meminumnya.

“Terima kasih, memang perlu bagiku….” jawabnya sambil mengembalikan cawan yang telah kosong.

Kemudian ia mencabuti jarum-jarum itu dan terdengarlah Beng San mengeluh. Pendekar sakti itu batuk-batuk tiga kali dan membuka matanya. Dengan gerakan ringan ia mengangkat kedua tangannya, lalu seperti orang kaget dan heran ia bangun duduk.

“Ayah, kau sembuh….!” teriak Cui Bi.

“Ah… Orang muda, kau benar-benar luar biasa….” kata Beng San.

“Harap Paman jangan bergerak lebih dulu, perlu mengembalikan tenaga dalam, maaf, akan saya bantu, harap Paman mengerahkan tenaga pusar ke dalam rongga dada, terutama di sebelah kiri untuk memperkuat jantung. Bi-moi, kau hangatkan arak untuk ayahmu nanti.”

Sambil berjingkrak-jingkak menari-nari kegirangan Cui Bi membuka pintu keluar dari kamar itu. Empat orang muda yang menanti diluar kaget, akan tetapi mereka girang sekali ketika dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar gadis itu berkata,

“Ayah sembuh… ohh, Ayah sembuh… Hong-ko hebat….!” 

Ia lalu lari untuk menghangatkan arak dan menyampaikan berita girang ini kepada ibunya. Mendengar ucapan ini, empat orang itu segera melongok melalui pintu kamar yang sudah terbuka oleh Cui Bi tadi. 

Dengan penuh kekaguman dan juga keheranan mereka melihat Beng San sudah duduk bersila tanpa baju, wajahnya tampak merah dan bibirnya tersenyum, matanya meram. Di belakangnya duduk Kun Hong bersila pula sambil menempelkan tangan kiri di belakang leher dan tangan kanan di belakang punggung Beng San. Juga pemuda ini memeramkan matanya.

Terdengar tindak kaki tergesa-gesa dan ketika mereka menengok, ternyata Li Cu yang berlari-lari datang, matanya berlinang air mata. Seakan-akan tidak melihat adanya empat orang muda di depan pintu itu, ia terus langsung memasuki kamar, terhenti di ambang pintu, menahan napas, matanya memandang ke arah suaminya, lalu ia terisak-isak ditahan dan menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, menangis perlahan.

Kong Bu dan Sin Lee yang melihat ini semua tiba-tiba mendengar isak di belakang mereka dan ternyata ketika mereka menengok, Hui Cu dan Li Eng juga sedang terisak menangis!

“Eh, mengapa menangis?” Sin Lee berbisik kepada Hui Cu.

“Karena girang!” jawab Li Eng dan ternyata ketika menurunkan tangan, wajah gadis ini berseri-seri.

“Girang tapi menangis?”. Kong Bu menyela. “Aneh, kalau girang menangis, habis kalau berduka bagaimana?”

“Tentu saja menangis juga,” sekarang Hui Cu yang menjawab, dan baru kali ini terdengar gadis pendiam ini bergurau, agaknya saking gembira hatinya melihat pamannya betul-betul dapat menyembuhkan Ketua Thai-san-pai itu

Agaknya Beng San mendengar juga isak tertahan itu, ia membuka matanya memandang kepada Li Cu yang berlutut di pinggir pembaringan, lalu tersenyum. 

“Kwa-hiante, cukuplah, aku sudah yakin sekarang bahwa aku akan sembuh. Kau turunlah.”

Mendengar ini, Kun Hong melepaskan kedua tangannya dan mukanya agak pucat, tapi wajahnya berseri. Ia segera turun dari pembaringan ketika isteri Beng San berlutut disitu, Beng San memandang dengan wajah berseri. 

“Tak kusangka bahwa hari ini nyawaku tertolong oleh putera Kwa Tin Siong Lo-enghiong. Hiante, tak perlu aku mengucapkan terima kasih, cukup kalau kunyatakan bahwa aku berhutang nyawa kepadamu. Hiante, kalau aku boleh bertanya, dari siapakah kau mendapat ilmu pengobatan yang luar biasa ini?”







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)