RAJAWALI EMAS JILID 133

Pada hari yang ditentukan, hari kelima belas bulan itu, pagi-pagi sekali Beng San telah menampakkan diri. Mukanya masih agak pucat, tubuhnya masih agak lemah karena biarpun sudah sehat kembali namun tenaganya belum pulih seluruhnya. Namun ia kelihatan gagah tenang seperti biasa. 

Keluarnya pendekar ini diiringkan para anak muridnya yang mengangkat panji-panji dan benda-benda pusaka yang akan dijadikan lambang dari partai baru ini. Beng San berpakaian sederhana, pedangnya tergantung di punggung, hanya kelihatan gagangnya saja yang menonjol diatas pundak. Sikapnya tenang dan keren, tidak merendah dan malu-malu seperti diwaktu mudanya. Langkahnya tegap dan pribadinya membayangkan wibawa besar.

Di sebelah kirinya berjalan Li Cu. Nyonya ini biarpun sudah mengandung tiga bulan, tidak kelihatan kegendutan perutnya, pakaiannya ringkas, mukanya tetap cantik jelita biarpun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Sinar matanya tajam menyapu kekanan kiri, kearah para tamu. Gagang pedang yang sama dengan pedang Beng San tampak di belakang pundaknya. Nyonya ini membayangkan sifat yang berani, keras hati namun lemah lembut.

Yang menarik perhatian semua orang, terutama para tamu muda, adalah tiga orang gadis yang berjalan di belakang nyonya Ketua Thai-san-pai ini. Mereka ini adalah Cui Bi, Li Eng, dan Hui Cu. Tiga orang gadis remaja ini kelihatan cantik-cantik manis, masing-masing mempunyai kelebihan sendiri, akan tetapi ketiganya nampak gagah dan bersemangat, jelas membayangkan kepandaian ilmu silat tinggi. 

Di belakang Beng San berjalan dua orang muda yang tampan gagah, yang berjalan sambil membusungkan dada, mengangkat dada tinggi-tinggi dan kepala tegak dengan mata memandang lurus kedepan, dua orang muda yang membayangkan kekuatan hebat. Mereka ini adalah Kong Bu dan Sin Lee. 

Di belakang dua orang muda ini, kelihatan Kun Hong yang kelihatan lemah lembut dan semua orang tentu mengira dia seorang pemuda pelajar yang lemah. Pedang Ang-hong-kiam dia simpan dibalik jubahnya sehingga tidak kelihatan dari luar, langkahnya lambat dan lebar, bibirnya tersenyum akan tetapi pandang matanya serius, seperti pandang mata orang-orang yang sudah tergembleng oleh pengalaman dan derita hidup.

Memang Kun Hong merasa agak kuatir, juga Li Cu. Kun Hong mengusulkan tadi agar hari pendirian ini ditunda dan diundurkan. Kesehatan pamannya itu biarpun sudah tidak menguatirkan lagi, namun tenaga dalamnya belum pulih sama sekali sehingga kalau menghadapi orang pandai, bisa-bisa akan celaka. 

Dan Kun Hong sudah dapat meramalkan bahwa dalam pertemuan itu sudah pasti orang-orang jahat akan maju mempergunakan kesempatan ini untuk mengacau. Mendengar ini, Li Cu juga membujuk suaminya supaya menunda dan mengundurkan hari itu. Akan tetapi dengan bersikeras Beng San menolak.

“Pendirian sebuah partai tidak boleh dibuat main-main. Kita sudah mengumumkan dan orang-orang gagah dari semua penjuru membanjir datang, bagaimana dapat ditunda lagi? Apalagi kalau alasannya hanya karena aku kurang sehat. Hemm, pendirian ini lebih penting daripada keselamatanku. Biarlah mereka yang bermaksud buruk maju, aku masih ada kekuatan untuk melawannya.”

“Tidak usah Ayah maju, aku sendiripun sanggup mewakilinya memberi hajaran kepada manusia-manusia iblis!” seru Cui Bi dengan muka gemas karena ia teringat kepada Giam Kin dan ingin sekali berhadapan dengan manusia licik itu.

“Ibu tidak usah kuatir, aku Kong Bu tidak percuma berada di samping Ayah,” kata Kong Bu penuh semangat.

“Akupun tidak akan membiarkan orang menghina Ayah!” kata Sin Lee.

“Paman dan Bibi, kalau membolehkan kami berdua juga sanggup untuk mewakili Paman menghadapi orang-orang yang hendak mengacau,” kata Li Eng dan Hui Cu mengangguk membenarkan.

Mendengar ucapan orang-orang muda yang penuh semangat ini, Beng San tertawa gembira,

“Nah, kemana semangatmu yang dulu-dulu?” ia menegur isterinya. “Sikap mereka ini mengingatkan aku akan semangatmu dahulu. Dahulupun kau bersemangat seperti bocah-bocah ini.”

Mereka tertawa dan Li Cu hilang kekuatirannya. Ia cukup maklum akan kelihaian dua orang anak tirinya, juga maklum bahwa selain Cui Bi, Li Eng cukup boleh diandalkan. Apalagi disitu ada dia sendiri, takut apalagi? Juga tidak semua tamu memusuhi mereka, banyak juga teman-teman baik yang tentu takkan membiarkan Thai-san-pai dikacau orang jahat. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan hal ini tidak mau ia sembunyikan.

“Bukannya aku hilang semangat,” katanya kemudian. “Akan tetapi yang agak berat dilawan adalah tosu itu. Entah siapa dia? Gerakan tangannya menunjukkan tenaga Iwee-kang yang hebat sekali.”





Beng San mengerutkan kening, 
“Ah, kau maksudkan suheng dari Siauw-ong-kwi yang bernama Pak-thian Locu itu? Memang dia hebat. Hemm, tak usah kuatir, aku sanggup menghadapinya.” 

Padahal diam-diam Beng San harus mengakui bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tak mungkin ia dapat memandang rendah kepada kakek itu. Ia boleh mengandalkan ilmu pedangnya, akan tetapi dalam hal tenaga, ia kalah jauh. Kalau diwaktu sehat saja ia sudah kalah lihai dalam tenaga dalam, apalagi sekarang. Tenaganya belum ada enam puluh prosen kembali. Tapi kekuatiran ini ia tekan saja didalam hatinya dan tidak diperlihatkan keluar.

Setelah rombongan tuan rumah ini tiba di tempat yang sudah disediakan, yaitu di belakang panggung, Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya.

Dengan rapi dan teratur anak murid Thai-san-pai berbaris mendekati panggung. Beberapa orang naik ke panggung dengan gaya loncatan khas Thai-san-pai, ringan dan gesit tapi tanpa kelihatan mengerahkan tenaga. Beberapa orang ini mengatur meja sembahyang yang sejak tadi memang sudah dipasang di sudut panggung. Dengan hormat mereka menyalakan lilin, mengatur meja sembahyang lalu berdiri dikanan kiri merupakan barisan penghormatan.

Beng San melangkah maju, terus tubuhnya melayang keatas panggung seperti seekor burung terbang, menghampiri meja, memasang hio dan melakukan sembahyang dengan khidmat. 

Dengan suara lantang pendekar ini mengucapkan sumpah dan mohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar supaya Thai-san-pai dapat berdiri kokoh kuat dan para murid tidak menyeleweng dari peraturan-peraturan yang disumpahkan itu. 

Setelah Beng San selesai bersembahyang, sebagai sumpah anggauta, Li Cu dan Cui Bi meloncat keatas panggung. Ibu dan anak ini gerakannya ringan seperti bulu terbawa angin saja, kemudian mereka lalu bersembahyang.

Kemudian datanglah giliran para anggauta yang jumlahnya tiga puluh tujuh orang itu melakukan sembahyang dan selesailah sudah upacara sembahyangan ini. Kini tiba giliran para tamu untuk memberi selamat kepada Thai-san-pai dan menyampaikan bingkisan-bingkisan sebagai tanda mata.

Bukan main gembiranya suasana disaat itu. Apalagi ketika berbondong-bondong datang rombongan sahabat-sahabat Ketua Thai-san-pai, terjadilah gelak tawa, wajah berseri-seri dan berisiklah orang bercakap-cakap. Betapa takkan girang hati Beng San menerima sahabat-sahabat lama dari partai-partai persilatan besar Go-bi-pai, Kong-thong-pai, Siauw-lim-pai dan bahkan yang membuat ia bergembira sekali adalah hadirnya Ketua Kun-lun-pai sahabat lamanya yang bernama Bun Lim Kwi bersama puteranya, Bun Wan.

Tentu saja sahabat dan calon besan ini mendapat penyambutan hangat sekali dan suami isteri Thai-san-pai ini diam-diam merasa makin gembira melihat calon mantu mereka, Bun Wan. Pemuda itu ternyata gagah sekali, dengan tubuh tinggi besar dan tegap, alisnya hitam berbentuk golok, matanya penuh kejujuran dan kesetiaan, gerak-geriknya membayangkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, patut menjadt putera ketua Kun-lun-pai dan calon mantu Ketua Thai-san-pai.

Akan tetapi, ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah tunangannya, Cui Bi membuang muka dan bersembunyi di belakang para anak murid Thai-san-pai. Ia diam-diam harus mengakui bahwa tunangannya itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi karena hatinya telah terampas oleh pemuda Hoa-san-pai yang sederhana itu, mana ia mau memandangnya? Ketika ibunya menarik tangannya kedepan, terpaksa ia memberi hormat “calon ayah mertuanya” tanpa sepatah kata-katapun, lalu dan bersembunyi lagi.

Di pihak Bun Lim Kwi yang sekarang sudah kelihatan setengah tua dan masih gagah, ia tertawa terbahak-bahak menyaksikan sikap calon menantunya yang malu-malu itu. Sikap demikian adalah wajar maka ia tidak merasa tersinggung malah tertawa bergelak. 

Adapun Bun Wan yang mengerling ketika gadis itu tadi memberi hormat kepada ayahnya, merasa jantungnya berdebar. Bukan main tunangannya itu! Cantik jelita sepertl bidadari, melampaui segala yang pernah ia impikan. Diam-diam ia memberi selamat kepada diri sendiri atas kemujuran ini. 

Cui Bi diam-diam gelisah sekali melihat betapa akrab pergaulan antara orang tuanya dan Ketua Kun-lun-pai itu dan ia tetap bersembunyi sampai tamu-tamu yang disambut hangat ini sudah dipersilakan duduk kembali ke daerah kursi kehormatan. Hidangan berupa arak dan daging mulailah dikeluarkan dan keadaan menjadi makin meriah.

Dengan amat singkat Beng San membuka pertemuan itu sambil berdiri diatas panggung dan suaranya lantang terdengar jelas karena semua orang menghentikan percakapan mereka untuk mendengarkan.

“Cuwi sekalian yang terhormat. Saya selaku Ketua Thai-san-pai, menghaturkan banyak terima kasih dan selamat datang atas kunjungan dan perhatian saudara sekalian sebagai saksi dari pendirian partai baru yang kami dirikan, yaitu Thai-san-pai. Terima kasih pula kami ucapkan atas pemberian selamat dan bingkisan-bingkisan, semoga hal ini akan mempererat persaudaraan antara kita dan semoga Thian yang akan membalas segala kebaikan saudara sekalian. Kepada para saudara yang datang dengan kandungan hati yang tulus ikhlas kami persilakan menikmati hidangan sekedarnya. Adapun mereka yang mengandung maksud lain, segala rasa penasaran yang terpendam, sekaranglah kiranya terbuka kesempatan bagi mereka itu untuk mengeluarkannya agar disaksikan oleh semua tamu yang terhormat.” 

Setelah berpidato singkat ini, Beng San kembali ke tempat duduknya. Kata-katanya terakhir itu singkat saja, namun langsung menikam mereka yang memang datang bukan mengandung niat baik, terbukti dari adanya orang yang membunuh anak murid Thai-san-pai, mereka yang berusaha mati-matian untuk memecahkan jalan rahasia, dan mereka yang telah menculik Cui Bi dan mengeroyoknya. Ia terpaksa mengeluarkan pernyataan ini karena dari atas panggung tadi ia masih belum melihat tokoh-tokoh yang mengeroyoknya dua hari yang lalu, juga tidak kelihatan adanya Giam Kin.

Dari tempat ia duduk, sepasang mata Beng San yang amat tajam itu menyapu para tamu dan terlihatlah jelas olehnya kini betapa diantara para tamu itu terdapat bekas-bekas lawan dan orang-orang yang selama ini menganggapnya sebagai musuh. 

Diam-diam pendekar ini menggolongkan para tamunya menjadi tiga golongan. Pertama-tama tentu saja golongan sahabat baik yang datang khusus untuk memberi selamat dan ikut bergembira dengan pendirian Thai-san-pai, mereka ini antara lain adalah Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, tokoh-tokoh Pek-lian-pai dan beberapa tokoh kang-ouw yang dikenalnya baik. 

Golongan kedua adalah golongan yang selama ini memusuhinya dan diantara golongan ini ia mengenal beberapa tosu Ngo-lian-kauw, orang-orang Bu-eng-pai yang dipimpin oleh seorang wanita tua yang ia kenal, yaitu Ang Kim Nio. Juga ia melihat adanya tokoh-tokoh bajak sungai dari Huang-ho yang tentu tidak senang hati mereka semenjak Ho-hai Sam-ong terbunuh oleh Li Cu. Ada pula Koai-sin-kiam Oh Tojin yang dulu membantu kakak kandungnya yang jahat, Tan Beng Kui, dan masih banyak lagi orang-orang dari golongan jahat. 

Bengsan menduga bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok kemarin dulu, tentu bersembunyi dan nanti juga akan muncul kalau sudah tiba saatnya. Orang-orang itu memang termasuk tokoh-tokoh aneh, tidak seperti kebanyakan.

Adapun golongan ketiga adalah yang tidak mudah diraba bagaimana nanti sikapnya. Dalam golongan ini termasuk para wakil Siauw-lim-si, dan sungguhpun Siauw-lim-pai tidak langsung memusuhinya, namun ia melihat dua orang diantara mereka adalah Hek Tung Hwesio dan Pek Tung Hwesio yang dahulunya dianggap telah melarikan diri dari Siauw-lim-pai dan menjadi musuh mendiang Cia Hui Gan. Malah pernah dua orang ini dikalahkah oleh Li Cu (baca Raja Pedang).

Juga guru silat kota raja Lai Tang si pongah itu, sukar dijajaki isi hatinya, dan masih banyak orang-orang aneh dari selatan yang tidak dikenalnya namun yang jelas memiliki kepandaian tinggi.

Suasana makin menegang ketika para tamu sudah minum arak dan minuman keras ini agaknya membuat mereka mulai terlepas bicaranya dan keadaan makin berisik. Namun keadaan tuan rumah dan orang-orang muda yang menemaninya itu tetap tenang-tenang saja, seakan-akan tidak tahu akan perbuatan ini.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)