RAJAWALI EMAS JILID 142

Kemarin dikeroyok begitu banyak orang saja mereka tidak mampu menewaskan Beng San, apalagi sekarang satu lawan satu. Akan tetapi karena sudah tak dapat mundur lagi, Siauw-ong-kwi menjadi nekat. Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring tokoh dari utara ini menerjang maju lagi, mempergunakan ilmunya yang paling lihai, yaitu pukulan-pukulan dengan ujung lengan baju yang menyembunyikan pukulan-pukulan tangannya yang mengandung tenaga Iwee-kang hebat, di samping ini diselingi pula dengan ilmu menangkap dan mencengkeram model Mongol.

Makin lama Beng San merasa dadanya makin sesak. Akan tetapi seujung rambutpun ia tidak mundur, malah tidak memperlihatkan penderitaannya, malah ia menandingi serangan Siauw-ong-kwi dengan keras lawan keras. Semua penyerangan dan pukulan kakek itu ia tolak mundur dengan pukulan-pukulannya yang mengandung uap putih.

Akan tetapi pukulan-pukulan ini membutuhkan pengerahan Iwee-kang yang hebat, maka tentu saja makin lama keadaan dalam tubuh Beng San makin payah dan tak dapat dicegah pula, gerakannya menjadi lambat biarpun ia masih bertekad mempergunakan tenaga dalamnya sekuat mungkin tanpa mempedulikan keselamatan sendiri.

Kelambatan gerakan Beng San ini, kepucatan wajahnya dan sedikit darah yang keluar dari pinggir bibirnya, membuat Siauw-ong-kwi girang sekali dan tahulah kakek itu bahwa lawannya ini sebetulnya terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya akan tetapi nekat dan pura-pura tidak menderita. 

Melihat gerakan lawan menjadi kendur, cepat seperti kilat Siauw-ong-kwi mencengkeram dan tanpa dapat dicegah lagi pergelangan tangan kanan Beng San terancam cengkeraman yang berbahaya sekali. Tidak ada lain jalan bagi Beng San kecuali melawan keras dengan keras. Ia membuka jari-jari tangan kanannya dan menyambut cengkeraman itu dengan cengkeraman pula.

Siauw-ong-kwi tertawa mengejek. Ilmu mencengkram merupakan ilmu khusus baginya, sedangkan Beng San adalah seorang ahli pedang dan ahli pukulan, bagaimana dalam keadaan terluka dalam berani menyambut cengkeramannya?

Dua buah tangan itu bertemu, jari-jarinya saling cengkeram tak dapat dicegah lagi. Beng San merasa dadanya seperti tertusuk, akan tetapi ia menahan napas mengerahkan tenaga melawan desakan tenaga dalam lawan.

Sambil menggereng seperti binatang, Siauw-ong-kwi mengangkat tangan kanannya menghantam kearah kepala Beng San. Ketua Thai-san-pai ini tentu saja tidak mau menerima hantaman begitu saja. Ia mangangkat juga tangan kirinya dan menyambut hantaman itu dengan jotosan pula.

“Dukkk!” 

Dua pukulan tangan bertemu diudara sementara tangan yang satunya masih saling cengkeram. Siauw-ong-kwi mengeluarkan suara seperti orang kena ditendang perutnya sedangkan Beng San gemetar seluruh tubuhnya. Dengan nekat Siauw-ong-kwi memukul lagi, diterima lagi oleh kepalan tangan Beng Sen, Begitu kedua pukulan bertemu, Siauw-ong-kwi tentu mengeluarkan suara “hukkk!” seperti tertendang perutnya dan, tubuh Beng San makin keras menggigil. Akan tetapi kakek itu yang menjadi penasaran dan nekat, memukul terus, selalu ditangkis seperti tadi oleh Beng San.

Pergulatan mati-matian ini diikuti oleh para tamu dengan hati penuh ketegangan dan pihak tuan rumah tentu saja merasa cemas bukan main. Sin Lee, Cui Bi dan Kong Bu sudah berdiri dengan pucat. Hanya karena pencegahan Li Cu saja tiga orang muda ini tidak meloncat keatas panggung untuk menolong ayah mereka.

“Jangan bantu, jangan….” kata Li Cu perlahan dengan suara mengandung isak, “ayah kalian akan marah… hal itu akan hina baginya dan lebih hebat daripada mati….”

Dapat dibayangkan betapa gelisah hati Li Cu, akan tetapi nyonya ini kenal betul akan watak suaminya. Malah ia sendiripun sebagai puteri pendekar besar dan isteri pendekar sakti, juga mempunyai pandangan yang sama. 

Dalam pertandingan satu lawan satu seperti itu, biarpun harus menyaksikan suami tewas di depan mata, tak mungkin ia mau turun tangan membantu. Berbeda soalnya kalau suaminya dikeroyok seperti yang terjadi kemarin dulu. Sekarang mereka bertempur di atas panggung, disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw, dan Siauw-ong-kwi tadi mengajukan tantangan yang diterima oleh Beng San. Tidak ada kecurangan atau main paksa disini, yang ada hanya pertandingan bebas seorang lawan seorang, cukup adil biarpun keadaan suaminya sedang sakit.

Kun Hong berkali-kali menutup mukanya. Tak tahan ia melihat pertandingan yang merupakan perjuangan antara mati dan hidup ini. Tapi telinganya masih mendengar pertemuan dua kepalan bertubi-tubi itu, 

“Dukk….! Dukk….!” ingin ia mencegahnya akan tetapi mendengar ucapan Li Cu tadi, iapun tidak berani bergerak. 





Tak tega ia melihat muka Beng San karena tadi ia lihat pucat dan malah kehijauan seperti bukan muka manusia lagi, lebih pucat dari muka mayat. Ia memang tidak mengenal keadaan Beng San yang sebenarnya, tidak tahu bahwa di dalam tubuh pendekar sakti ini sudah mengalir hawa Im dan Yang, dua hawa yang bertentangan dan yang amat kuatnya menghuni tubuhnya sehingga sewaktu-waktu mukanya bisa merah sampai menghitam, dan ada kalanya muka yang gagah itu bisa berubah pucat sampai menghijau. Ini adalah pengaruh dari dua macam hawa sakti di tubuhnya itu, terdorong dari keadaan dan perasaannya di waktu itu.

“Duk…!! Duk….!! Dukk…!!” 

Kedua kepalan tangan itu masih saling bertemu bertubi-tubi dan makin keras. Siauw-ong-kwi yang merasa penasaran memandang dengan mata mendelik, sebaliknya Beng San yang mukanya kehijauan itu menatap tajam.

Keduanya berhenti sebentar, tangan yang saling mencengkeram masih menjadi satu, napas terengah-engah. Kemudian Siauw-ong-kwi meramkan kedua matanya, menahan napas atau lebih tepat menarik napas dalam, mengumpulkan seluruh tenaganya pada tangan kanannya, Beng San yang maklum akan hal inipun mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya pada lengan kiri sehingga lengan itu mengeluarkan uap putih.

Siauw-ong-kwi mengayun tangan kanan, jari-jari dibuka, dengan tangan terbuka menghantam ke depan hebat bukan main, Beng San juga mengayun tangan kiri dengan jari-jari terbuka, didahului uap putih.

“Dessss!!” 

Kedua telapak tangan berseru, hampir tak mengeluarkan suara, namun akibatnya hebat sekali. Tubuh Siauw-ong-kwi terpelanting sampai ke bawah panggung, bergulingan di atas tanah, sedangkan tubuh Beng San terpental ke belakang, terhuyung-huyung, tapi pendekar ini masih dapat berdiri, lalu tiba-tiba mulutnya dibuka dan… ia muntahkan darah segar banyak sekali. Li Cu merintih dan mencelatlah tubuhnya ke atas panggung, memeluk suaminya dan dituntun turun panggung perlahan-lahan.

Adapun Siauw-ong-kwi setelah bergulingan, lalu merangkak bangun, tertawa-tawa dengan suara menyeramkan, namun melihat mukanya yang membiru, para tokoh berilmu disitu maklum bahwa kakek ini menderita luka dalam yang luar biasa parahnya. Dari pinggir mulutnya juga mengalir darah menghitam! 

Sambil terkekeh-kekeh Siauw-ong-kwi menengok ke sana ke mari, lalu menghampiri tempat tamu dimana rombongan Kun-lun-pai duduk. Ia menghampiri Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi yang segera berdiri dengan ragu-ragu dan curiga karena kakek aneh itu jelas hendak mendekatinya. Siauw-ong-kwi berdiri di depan Bun Lim Kwi dan Bun Wan yang juga sudah bangkit berdiri di sebelah ayahnya menjaga segala kemungkinan.

Siauw-ong-kwi merogoh saku bajunya, mengeluarkan kertas yang digumpal-gumpal lalu… menyambitkan kertas ini ke arah Bun Wan. Pemuda ini cepat mengulur tangan menyambut gumpalan kertas itu. Ia merasa tangannya tergetar namun kertas itu dapat ditangkapnya. Ini saja menandakan bahwa ia telah mewarisi kepandaian ayahnya.

“Heh-heh-heh, selamat…. selamat….!”

Secara aneh Siauw-ong-kwi mengangkat kedua tangan ke dada memberi selamat. 
“Selamat berbesan dengan ketua Thai-san-pai yang sakti!” 

Lalu ia membalikkan tubuh, terhuyung-huyung, menghampiri Pak-thian Lo-cu, berkata perlahan.

“Suheng, balaskan nyawaku….” lalu ia melompat dan lari terhuyung-huyung, sebentar saja lenyap dari tempat itu.

Bun Wan dan ayahnya duduk kembali. Pemuda ini membuka gumpalan kertas, kedua matanya membaca, wajahnya tiba-tiba pucat dan matanya terbelalak seakan-akan tidak percaya akan isi kertas bertulis itu. 

Ayahnya melihat hal ini lalu mengambil kertas dari tangan anaknya, membaca dan juga Ketua Kun-lun-pai ini membelalakkan kedua matanya, mukanya merah sekali. Ia melihat Bun Wan bergerak di kursinya hendak berdiri lalu ia menyentuh lengannya, diberi isyarat supaya tenang dan duduk kembali, kadang-kadang menengok ke arah rombongan tuan rumah, mukanya sebentar pucat sebentar merah.

Dengan cepat Kun Hong memeriksa keadaan Beng San setelah Ketua Thai-san-pai ini duduk kembali di kursinya. 

“Syukur….” bisik pemuda ini perlahan, “Isi dada Paman memang tergetar hebat, tenaga dalam hampir habis, akan tetapi benar-benar Paman hebat sekali, dapat menahan semua itu. Tak berbahaya, dengan istirahat beberapa pekan akan sembuh kembali. Tapi Paman sekarang tidak boleh mengerahkan tenaga dalam lagi, bisa berbahaya sekali.”

Beng San mengangguk dan tersenyum duka. Tak disangkanya bahwa perkumpulannya baru dibuka saja menghadapi persoalan sehebat ini. Ia juga menyesal akan kenekatan Siauw-ong-kwi yang ia tahu menderita luka parah dan agaknya sukar tertolong nyawanya. 

Pihak tuan rumah demikian sibuk dan gelisah tadi menyaksikan keadaan Beng San sehingga peristiwa di rombongan Kun-lun-pai tadi tak seorangpun diantara mereka melihatnya.

Sementara itu, diatas panggung berdiri seorang kakek tua renta. Kakek ini bukan lain adalah Pak-thian Locu, Diatas panggung ia kelihatan begitu tua dan kelihatannya lemah sekali sehingga tubuhnya tak pernah dapat berdiri diam, bergoyang-goyang seperti rumput tertiup angin. 

Agaknya kalau ada angin keras tubuh itu takkan kuat berdiri lagi. tetapi dalam penglihatan para ahli tubuh yang bergoyang-goyang ini bahkan menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga Iwee-kang. yang sudah mencapai puncaknya!

“Haaii, Ketua Thai-san-pai! Kau benar-benar kosen, telah dapat menewaskan suteku, hayo jangan kepalang, majulah lagi dan lawanlah aku, suheng dari Siauw-ong-kwi. Kalau hari ini aku Pak-thian Locu tewas di tanganmu, akupun takkan merasa penasaran lagi!”

Mendengar suara ini, Beng San bergerak dalam kursinya. Akan tetapi Li Cu merangkul dan membujuknya,

“Kau tak mungkin dapat melawannya. Kau tidak boleh bertanding lagi!”

“Ayah, biarkan aku mewakilinya!” kata-kata ini hampir berbareng keluar dari mulut Cui Bi, Kong Bu dan Sin Lee.

Beng San menggoyang-goyang tangannya. 
“Tidak boleh… tidak boleh… dia itu lihai sekali. Pukulannya penuh hawa yang tak terlawan, akupun hampir tak kuat menandinginya. Tidak boleh kalian maju, kalian… anak-anakku… bisa celaka ditangannya!” Ia bangkit berdiri. “Hanya aku seorang yang kuat menghadapi tenaganya yang mujijat.”

“Jangan… kau sudah terluka hebat, mana bisa melawannya? Biarlah aku yang melawannya belum tentu aku kalah oleh tua bangka itu!” Li Cu berkata, marah memandang kearah panggung.

“Apa aku gila membiarkan kau dan anak yang kau kandung terancam bahaya? Tidak, ini urusan Thai-san-pai, urusanku. Apa artinya mati dalam mempertahankan nama dan kehormatan? Anak-anakpun tidak boleh maju karena aku tahu pasti bahwa seorang diantara kalian bukan lawannya. Aku seoranglah yang bertanggung jawab!”

“Paman!” tiba-tiba Kun Hong memegang tangan Beng San dan berkata tegas, “Aku tidak mendahului kehendak Tuhan. Akan tetapi aku yakin betul bahwa kalau kali ini Paman bertanding, jangankan bertemu dengan ahli Iwee-kang, biarpun bertemu dengan seorang yang lebih rendah tingkatannya dari Siauw-ong-kwi tadi, Paman akan terluka hebat dan sukar ditolong lagi. Paman biarlah aku saja menandinginya, aku mempunyai akal untuk mengalahkannya.”

Beng San tersenyum, menepuk-nepuk bahu pemuda itu. 
“Kau memang hebat, akan tetapi kakek itu lain lagi, Kun Hong. Tak bisa kau samakan dengan Yok-mo. Kau memang bisa mengendalikan langkah-langkah ajaib itu untuk menyelamatkan diri dari serangan-serangan cepat, akan tetapi tak mungkin kau dapat menggunakannya untuk menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga Iwee-kang luar biasa. Tidak, tidak layak aku mengorbankan kau yang sudah besar sekali jasamu terhadap Thai-san-pai dan aku.” Keputusan Beng San sudah bulat, ia sudah nekat.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)