RAJAWALI EMAS JILID 144

Hanya dengan menggulingkan diri ke atas papan saja kakek itu dapat menyelamatkan diri. Ia bergulingan terus dan “brakk!” tahu-tahu kakinya terjeblos kedalam lubang di papan yang tadi amblong oleh pukulannya sendiri. 

Lucu sekali keadaan kakek itu. Ia terperosok sampai ke pinggangnya hanya badan bagian atas saja yang tampak, kedua tangannya melambai-lambai ke atas.

“Tolong….!” dasar sudah tua sekali ia menjadi pikun. 

Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja dengan mudah ia dapat keluar dari lubang itu. Akan tetapi ketuaannya dan kepikunannya membuat ia kebingungan setengah mati dan berseru minta tolong! 

Diantara para tamu ada yang tertawa-tawa dan bersorak-sorak saking gelinya melihat ini. Para tokoh tua, termasuk Song-bun-kwi, menyumpah-nyumpah dan menggeleng-geleng kepala.

Kalau Kun Hong pada saat itu menyerang, kiranya kakek itu takkan mampu membela diri lagi karena sedang kebingungan, berkutetan dalam usahanya membetot tubuhnya keluar. 

Akan tetapi, bukan kakek itu saja yang pikun sehingga kelakuannya aneh, pemuda ini malah lebih aneh lagi. Ia memegang pedang dengan tangan kiri, mengulurkan tangan kanan mendekati kakek itu dan berkata lembah-lembut seperti seorang dewasa menolong seorang kanak-kanak.

“Mari kubantu, Locianpwe, peganglah tanganku nanti kutarik keluar.”

Pak-thian Locu girang, memegang tangan kanan Kun Hong yang segera menariknya keluar dari lubang itu, Akan tetapi begitu dirinya sudah tertolong kakek itu ingat kembali akan pertandingan mereka.

Pedang di tangan kanannya tiba-tiba menyambar ke arah leher Kun Hong. Pada saat itu, tangan kanan Kun Hong masih saling berpegang dengan tangan kiri kakek itu, dan pedangnya masih ia pegang dengan tangan kiri, keadaannya amat tidak menguntungkan. 

Namun berkat nalurinya yang tajam, menghadapi serangan ini ia dapat bereaksi cepat sekali, tangan kirinya mengangkat pedang menangkis sambil menarik kembali tangan kanan yang menolong kakek itu tadi.

“Tranggg!” 

Dua pedang bertemu, pedang putih dan pedang merah, dan… Kun Hong roboh terguling-guling saking hebatnya tenaga kakek ini. Pak-thian Locu tertawa senang, pedangnya terus menyambar kearah tubuh Kun Hong yang cepat mengelak sambil bergulingan dan segera meloncat berdiri lagi. 

Akan tetapi kini permainan pedang kakek itu aneh sekali gerakan-gerakannya, membuat ia bingung dan hanya dapat berloncatan kesana kemari mengandalkan langkah-langkah ajaibnya, Kepandaian kakek itu amat tinggi, lebih tinggi daripada kepandaian Kun Hong.

Kali ini Kun Hong sama sekali tidak ada kesempatan untuk balas menyerang, bahkan langkah-langkah ajaibnya hampir tidak manjur lagi setelah bertempur seratus jurus lebih lamanya.

Pak-thian Locu bukanlah orang yang terlalu bodoh sehingga setelah langkah-langkah ini terus menerus dilakukan oleh Kun Hong, ia mulai dapat mengikutinya dan dapat mengocar-ngacirkan gerak langkah Kun Hong. Kini mulailah pemuda itu didesak hebat, kadang-kadang langkahnya bahkan dipapaki serangan, membuat ia bingung dan kacau gerakan kakinya.

Pak-thian Locu mulai gembira, tertawa-tawa dan terkekeh-kekeh, kadang-kadang ia sengaja membentak sebagai gertakan agar Kun Hong kaget, padahal serangannya terhenti di tengah-tengah. Kakek ini seperti seorang anak kecil menemukan sebuah barang mainan baru, atau seekor kucing tua menemukan seekor tikus. Jelas bahwa Kun Hong dibuat main-main dulu sebelum ditusuk mati.

Tiba-tiba Kun Hong membentak dengan suara aneh, 
“Pak-thian Locu, kau hadapi sekarang seranganku. Awas!”

Pak-thian Lo-cu, kaget dan cepat-cepat menghindar sambil memutar pedangnya menangkis, terus saja ia menangkis ke sana ke mari seakan-akan ia didesak hebat oleh lawannya. Padahal Kun Hong hanya berdiri dan memalangkan pedang di depan dada, sama sekali tidak menyerang. Ternyata pemuda ini setelah terdesak hebat, terpaksa mempergunakan ilmu sihir yang ia pelajari dari Sin-eng-cu Lui Bok.





“Eh, hayo lekas menyerang? Mana seranganmu?” 

Tiba-tiba kakek itu berhenti menangkis-nangkis sendiri dan berbalik menyerang Kun Hong. Pemuda itu terkejut dan cepat mengelak dan dilain saat kembali ia dihujani serangan.

Diam-diam ia kaget dan dapat menduga bahwa tenaga dalam kakek ini sudah sedemikian tingginya sehingga kekuatan batinnya ketika menyihir tadi hanya dapat menguasai sebentar saja. Cepat-cepat ia mengerahkan seluruh kekuatan batin dalam tubuhnya dan membentak lagi, 

“Awas serangan ilmu pedangku!” 

Kembali kakek itu melompat mundur dan menangkis ke sana ke mari, mengelak ke kanan kiri. Para tamu melongo menyaksikan pertempuran yang aneh ini.

Mereka hanya mengira bahwa dua orang aneh itu mempergunakan ilmu yang sedemikian tingginya sehingga penyerangan-penyerangan mereka tak dapat dilihat mata orang lain. 

Beng San memandang dengan kagum, tetapi setelah kini melihat betapa Kun Hong malah duduk bersila di tengah panggung dengan sikap seperti seorang sedang samadhi, pedangnya diacungkan ke depan muka, tepat di depan hidung, lalu Pak-thian Locu sekarang bersilat sendiri, menyerang dan menangkis memutari Kun Hong, pendekar sakti Ketua Thai-san-pai ini melongo.

Memang aneh dan lucu sekali pemandangan di atas panggung sekarang, Kun Hong duduk bersila, pedangnya diacungkan di depan muka, keningnya dikerutkan, ia tak bergerak sama sekali. 

Dilain pihak, Pak-thian Locu seperti orang kemasukan setan, mencak-mencak tidak karuan seperti orang bertanding mati-matian melawan bayangan sendiri, maju mundur mengitari tubuh Kun Hong, pedangnya berkelebatan akan tetapi tidak mendekati tubuh Kun Hong.

Bahkan agaknya kakek itu tidak melihat Kun Hong dan sedang bertanding mati-matian melawan musuh yang tidak tampak.

Akan tetapi, setelah Beng San melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap putih, keheranannya berubah menjadi kekaguman hebat, Bukan main, pikirnya. Kiranya pemuda itu sedang mempergunakan semacam ilmu yang aneh dan tinggi, ilmu yang membutuhkan pengerahan tenaga batin dan hawa murni di dalam tubuh. Ia melihat Cui Bi bergerak gelisah dan Li Eng sudah bangun dari kursinya sambil tangannya meraba gagang pedang.

“Sstt, duduklah kalian kembali,” kata Beng San perlahan. “Jangan ganggu, Kun Hong sedang berjuang mati-matian melawan kakek itu.”

Mendengar ini, orang-orang muda itu kembali duduk dan hati mereka berdebar gelisah, akan tetapi juga merasa amat heran. Kun Hong duduk bersila, lawannya “mengamuk” di sekelilingnya, bagaimana bisa dibilang berjuang mati-matian? Apakah bukannya Kun Hong telah terluka hebat dan menanti kematiannya sedangkan kakek itu berubah gila?

Para tamu saling berbisik dan keadaan menjadi tegang, aneh, dan berisik juga. Orang-orang mulai tidak sabar menyaksikan pertandingan yang luar biasa ini. Akan tetapi Beng San dan juga Song-bun-kwi dan tokoh-tokoh tua, makin tegang karena maklum bahwa pertandingan itu makin hebat juga. Kini seluruh tubuh Kun Hong menggigil dan bercucuran peluh! 

Akan tetapi, kakek itupun bercucuran peluh dadanya, mukanya pucat dan gerakan-gerakannya makin lemah, kelihatan lemah bukan main karena terlampau banyak mengeluarkan tenaga, baik luar maupun dalam.

Tiba-tiba kakek itu memekik tinggi dan tubuhnya roboh diatas panggung, napasnya empas-empis dan tak lama kemudian napas itupun terhenti. Adapun Kun Hong masih duduk seperti patung dengan pedang mengacung ke depan, sama sekali tidak bergerak. 

Cui Bi berseru lirih, tubuhnya melesat keatas panggung dan tanpa ragu-ragu ia menghampiri Kun Hong, menempelkan kedua telapak tangan di punggung dan tengkuk pemuda itu sambil mengerahkan tenaga Iwee-kang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. 

Hampir ia menjerit ketika tangannya menempel, tubuhnya tergetar hebat, akan tetapi dengan mengerahkan tenaga gadis itu memaksa diri, akhirnya seluruh hawa murni di tubuhnya dapat dibuka dan dipaksa memasuki tubuh Kun Hong. 

Para tamu melihat ini makin terheran-heran, kecuali mereka yang berilmu tinggi maklum bahwa puteri Thai-san-pai itu sedang menolong Kun Hong. Ketua Kun-lun-pai ayah dan anak menyaksikan ini dengan muka merah sekali.

Melihat perbuatan puterinya, Beng San sebetulnya tidak setuju dan hendak mencegah, namun melihat bahwa tubuh puterinya tadi tergetar hebat, sekarang ia maklum bahwa kalau dicegah mungkin puterinya itu akan mendapat luka berat malah. Maka ia mendiamkannya saja.

Kun Hong bergerak, menoleh perlahan, tersenyum dan perlahan-lahan ia melepaskan kedua tangan gadis itu dari tempelannya. Lalu ia berdiri akan tetapi tampak kaget sekali melihat tubuh Pak-thian Locu sudah telentang di atas papan tanpa bergerak sedikitpun. 

Cepat ia berjongkok memeriksa dan… pemuda ini berduka sekali melihat bahwa lawannya sudah tak bernapas lagi. Kun Hong memberi isyarat kepada Cui Bi supaya turun panggung, sedangkan dia sendiri setelah menyimpan pedangnya lalu berdiri menghadapi para tamu dan berkata, suaranya penuh kedukaan, tapi juga berpengaruh,

“Cuwi sekalian yang hadir disini sudah cukup menyakitkan betapa nafsu-nafsu beberapa orang tokoh untuk bertempur mengakibatkan kematian-kematian yang amat menyedihkan. Pamanku Tan Beng San Tai-hiap mendirikan Thai-san-pai bukan sekali-kali dengan maksud menanam bibit permusuhan, melainkan untuk menyebar-luaskan ilmu silatnya sehingga kepandaian ini dapat berkembang biak dan dapat dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah menumpas si jahat. Maka biarlah disini aku Kwa Kun Hong, yang muda dan bodoh, mohon dengan hormat dan sangat kepada Cuwi sekalian, agar supaya pertandingan-pertandingan ini disudahi saja. Kepada mereka yang memang tidak mempunyai niat untuk menjual kepandaian dan mencari permusuhan mengacaukan pertemuan ini, kami menghaturkan banyak terima kasih, dan kepada mereka yang bernafsu untuk berkelahi, kami harap sudi membuang jauh nafsu tak baik itu.”

Baru sampai disini pidato Kun Hong, tiba-tiba dari bawah panggung terdengar seruan keras,

“Kwa Kun Hong, kau dan dua orang keponakanmu menyerahlah untuk kami tangkap dan kami bawa kembaii ke kota raja!”

Kun Hong memandang dan kagetnya bukan main melihat Thian It Tosu bersama enam orang lain berdiri berjajar di bawah panggung. Itulah tujuh orang pengawal istana, lengkap!

Mereka bukan lain adalah Tiat-jiu Souw Ki, Thian it Tosu, Bu Sek dan Bu Tai, Bhong-lokoai, Sin-twa-to Liong Ki Nam, dan Ang-moko. Tentu para pengawal ini disuruh oleh pangeran mata keranjang itu untuk menangkap kedua anak keponakannya.

“Celaka… Li Eng, Hui Cu, hayo kita lari pergi!” 

Kun Hong sudah melompat dan berlari kearah dua orang keponakannya itu. Akan tetapi Beng San mencegah mereka yang ketakutan ini lari.

“Tenanglah, biar aku yang mengurusnya.”

Tapi pada saat ketujuh orang pengawal istana itu melompat naik ke atas panggung, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa keras dan tahu-tahu Song-bun-kwi sudah melayang naik pula.

“Ha-ha-ha-ha, kalian tujuh anjing penjilat pantat! Dahulu yang mengacau di istana adalah aku, Song-bun-kwi. Hayo, kalian mau apa? Datang kesini apakah ingin menerima gebukan-gebukan dari aku? Ha-ha-ha!”

Dua saudara kembar Bu Sek dan Bu Tai, juga Thian It Tosu, sudah pernah merasai kelihaian Song-bun-kwi di markas Ngo-lian-kauw dahulu, maka sekarang karena mereka bertujuh dan disitu terdapat pula Ang-moko dan Bhong-lokoai, mereka menjadi tabah dan segera menyerbu Song-bun-kwi tanpa banyak cakap lagi.

Dalam sekejap mata saja Song-bun-kwi sudah dikeroyok oleh tujuh orang pengawal istana itu yang kesemuanya menggunakan senjata mereka masing-masing. Terang bahwa pertempuran kali ini bukanlah adu kepandaian, melainkan pertempuran sungguhan antara pihak bermusuhan dan semua penyerangan ditujukan untuk mematikan lawan. 

Para tamu mulai geger, malah sudah ada yang diam-diam meninggalkan tempat itu untuk turun gunung. Sebagian besar para tamu segan kalau harus berurusan dengan petugas-petugas dari istana.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)