RAJAWALI EMAS JILID 146
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Cui Bi dan Kong Bu yang sudah tahu akan persoalannya. Li Eng dan Hui Cu memandang paman mereka dengan penuh iba, lalu menoleh kepada Cui Bi dengan marah. Adapun gadis Thai-san-pai itu tak dapat menahan dua butir air matanya yang meloncat turun keatas kedua pipinya, tapi cepat diusapnya dan ia menundukkan muka.
Keadaan sunyi, tak seorangpun bergerak. Suasana yang mencekam dan tidak menyenangkan ini membuat Beng San cepat-cepat bertindak. Ia berkata lagi, suaranya mengandung keramahan dan kegembiraan paksaan,
“Ayah mertuaku Song-bun-kwi tadi main-main saja. Mana bisa terjadi aku berbesan dengan Ketua Hoa-san-pai? Ketua Hoa-san-pai adalah kakek dari anakku Sin Lee, berarti ayah mertuaku pula. Mana ada mantu berbesan dengan mertua? Gak-hu, katakan bahwa kau tadi hanya main-main saja,”
Song-bun-kwi tertawa bergelak lalu minum araknya. Setelah mengusap mulut dengan ujung lengan baju, ia berkata,
“Ah, mulut lancang! Aku tidak ingat akan semua itu. Ha-ha, memang aku hanya main-main!”
Pada saat itu, Bun Wan menggebrak meja di depannya.
“Ayah, aku tidak dapat menahan lagi!” suaranya serak dan ia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Semua orang memandangnya dengan heran dan tak mengerti, karena itu kini semua mata ditujukan kepada Bun Lim Kwi, ketua dari Kun-lun-pai yang pendiam itu.
Orang setengah tua ini wajahnya mengeras, agak pucat dan ia lalu bangkit berdiri, kedua tangannya dikepalkan dan suaranya jelas membayangkan perasaan yang tertindih.
“Sepekan sudah kami ayah dan anak menahan perasaan karena tidak baik mengemukakan urusan ini selagi tuan rumah menjalankan perkabungan. Akan tetapi benar kata anakku, tak mungkin kami berdua dapat menahan-nahan hal ini yang benar-benar amat menindih perasaan kami”
“Saudara Bun, demi Tuhan, demi persahabatan kita, katakanlah, apa yang telah terjadi?” Beng San berkata penuh kegelisahan.
Suara Bun Lim Kwi terdengar amat pahit, menyatakan keperihan hatinya ketika ia berkata sambil mengeluarkan segumpal kertas dari sakunya.
“Memang urusan ini amat menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Akan tetapi saudara Beng San, kita sebagai orang-orang gagah paling suka akan urusan yang terus terang, kita bersama menjunjung nama kehormatan lebih tinggi daripada nyawa. Kun-lun-pai boleh dibilang perkumpulan kecil, apalagi ketuanya macam aku ini mana ada harganya? Dapat berbesan dengan Thai-san-pai benar-benar merupakan kehormatan yang jatuh dari langit, akan tetapi betapapun rendahnya keadaan aku dan anakku, kiranya tak patut menjadi buah tertawaan orang dan bahan permainan dan ejekan.”
“Saudara Bun, bicaralah sejujurnya, demi Tuhan, apa yang kaumaksudkan ini?” Beng San berseru keras.
“Sebelum pergi, Siauw-ong-kwi menghina kami dan menyerahkan tulisan di kertas ini. Berhari-hari aku menunggu dan menahan, akan tetapi melihat gelagatnya, tak boleh tidak kertas bertulis itu harus kuserahkan kepadamu dan aku harus menginsyafi akan kerendahan kami. Nah, kau terimalah kertas ini, baca dan boleh kalian perbincangkan sendiri. Adapun kami… ah, kami memohon diri, tentang perjodohan, baik kita bicarakan belakangan saja, itupun kalau kau merasa perlu untuk mengajakku bicara, Saudaraku.”
Ketua ini dengan tajam menatap semua orang yang berada disitu, lalu menarik tangan anaknya.
“Wan-ji, mari kita pulang.”
Ayah dan anak itu bangkit dan menuju ke pintu. Beng San berseru,
“Saudara Bun, mengapa pergi? urusan, baik kita bicarakan yang betul, Duduklah kembali.”
Akan tetapi melihat calon besannya itu tidak menjawab, terpaksa Beng San berkata kepada Oei Sun yang duduk di luar ruangan.
“Oei Sun, kau antar tamu kita keluar.”
Ia menyuruh anak muridnya karena kuatir kalau-kalau dua orang tamunya itu akan tersesat jalan dan tidak dapat keluar dari tempat penuh jalan rahasia itu. Kemudian setelah mereka pergi, Beng San mengambil surat diatas meja yang ditinggalkan Bun Lim Kwi itu. Dibukanya surat itu dan seketika wajahnya berubah merah padam hampir menghitam.
Li Cu dan Cui Bi maklum akan sifat Ketua Thai-san-pai ini. Tentu Beng San marah membaca surat itu, maka mereka menanti dengan hati berdebar. Beng San menoleh kepada Cui Bi, suaranya gemetar ketika ia menyerahkan surat itu
“Cui Bi, apa artinya ini?” surat itu melayang diatas meja depan Cui Bi.
Tubuh gadis itu mengigil dan tak berani menjamah surat itu hanya matanya membaca huruf-huruf besar yang ditulis disitu.
DI BAWAH SINAR BULAN PURNAMA PUTERI THAI-SAN-PAI DAN PUTRA HOA-SAN-PAI BERSUMPAH SALING MENCINTA MEMBIARKAN KUN-LUN-PAI DITERTAWAI DUNIA.
Seketika pucat wajah Cui Bi. Kun Hong yang duduk di seberang gadis itu dapat pula membaca tulisan ini, demikian pula yang lain-lain.
“Kun Hong, apa yang kau lakukan? Betulkah tulisan itu?” Kwa Tin Siong membentak kepada puteranya dengan pandang mata tajam.
“Cui Bi, jawablah, tulisan Siauw-ong-kwi itu fitnah ataukah kenyataan?”
Cui Bi tak dapat menjawab, tiba-tiba ia menelungkupkan mukanya diatas meja dan menangis! Kun Hong sejenak menatap pandang mata ayahnya, lalu ia bangkit berdiri perlahan dan berkata, suaranya gemetar,
“Aku bersalah… aku berdosa… telah menggoda Bi-moi… aku siap menerima hukuman….”
“Brakkk!” cawan arak di depan Kwa Tin Siong melayang menghantam pipi Kun Hong yang kanan sehingga kulit pipinya berlubang dan darah mengucur.
Saking marahnya Kwa Tin Siong sudah menyambit muka puteranya dengan cawan itu yang kini jatuh menggeletak diatas meja, berlumuran darah dari pipi Kun Hong.
“Anak celaka! Kiranya kau mendatangkan cemar lebih hebat dari pada yang diperbuat Hong Hong….” suara Ketua Hoa-san-pai mengandung isak, mukanya pucat sekali.
“Tidak… tidak…. Hong-ko tidak bersalah!” tiba-tiba Cui Bi meloncat bangun, mukanya yang pucat penuh air mata. “Akulah yang bersalah! Memang aku bersalah karena tidak memberi tahu kepadanya bahwa aku telah ditunangkan, ditunangkan dengan paksa oleh orang tuaku. Ayah… ibu… aku… cinta kepada Hong-ko, sebaliknya diapun mencintaiku. Aku tidak sudi menikah dengan orang lain!”
Beng San dan Li Cu saling pandang bingung tak tahu harus berbuat dan berkata apa. Akhirnya Beng San berkata lirih,
“Kun Hong banyak jasanya kepada kita, malah dia menolong nyawaku… tapi… tapi… tapi ini soal kehormatan dan nama baik….”
“Ayah, lebih baik aku mati kalau dinikahkan dengan orang lain. Aku dan Hong-ko saling mencinta, sudah bersumpah…”
“Brakk!”
Kun Hong menggebrak meja dan ternyata empat kaki meja itu ambles ke bawah saking hebatnya ia menahan gelora hati dan mempergunakan tenaga dalam tanpa ia sadari.
“Bi-moi, tak boleh begini! Kau sudah ditunangkan dengan putera Kun-lun-pai. Ini menyangkut nama dan kehormatan Kun-lun-pai dan Thai-san-pai, Nama kehormatan yang harus dijaga lebih gigih daripada menjaga nyawa. Apalagi hanya cinta. Bi-moi, tak mungkin aku membiarkan kau melanggar aturan, menyusahkan orang tua, merusak nama Thai-san-pai, menjadikan permusuhan dengan Kun-lun-pai, hanya untuk memuaskan diriku saja. Tak mungkin! Cintaku tak serendah itu, bukan untuk mementingkan diri sendiri. Kau harus menjaga nama orang tuamu, menikah dengan putera Kun-lun-pai.”
“Tidak….! Tidak sudi….! Lebih baik aku mati. Hong-ko… Hong-ko….lupakah kau akan sumpahmu? Hong-ko, tak boleh kau mengorbankan diriku hanya untuk aturan-aturan lapuk. Hong-ko….” gadis itu tersedu-sedu tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
“Kun Hong! Perbuatanmu amat memalukan. Kau benar-benar mencemarkan nama orang-orang tua. Kun Hong, mulai saat ini aku tidak mau mengakui kau Sebagai anak lagi!”
“Ayah….”
Kun Hong pucat, memandang ayahnya, kemudian kepada ibunya yang hanya dapat menunduk dan menangis karena di dalam keadaan segawat itu, menghadapi urusan besar yang menyangkut nama dan kehormatan Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, dan Thai-san-pai, nyonya ini tidak dapat mengeluarkan perasaan hatinya yang penuh cinta kasih dan kasihan kepada putranya. Diam-diam ia membandingkan nasib kedua orang muda itu dengan nasibnya sendiri yang pernah mengalami kehancuran dalam pertunangan dahulu.
Dengan tubuh gemetar, wajah pucat dan hati hancur Kun Hong berdiri perlahan dari tempat duduknya, kakinya menggigil ketika melangkah, kata-katanya perlahan seperti orang berbisik,
“Aku berdosa… aku durhaka… tak patut hadir disini…,” Ia melangkah hendak keluar dari ruangan besar itu.
“Hong-ko….!”
Cui Bi melompat dari tempat duduknya, berlari mengejar, menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, sambil merangkul kedua kakinya, menangis tersedu-sedu,
“Hong-ko… jangan tinggalkan aku….!”
Ia mendongak, mukanya yang pucat penuh air mata, rambutnya awut-awutan, keadaannya mengiris jantung Kun Hong.
Kun Hong menunduk, memandang wajah kekasihnya, menelan ludah beberapa kali, menggigit bibir menahan air mata, lalu meramkan mata dan menggeleng kepala keras-keras.
“Tidak, Bi-moi, tidak boleh….! Kau harus menjaga nama baik keluargamu… aku… aku tidak bisa melanggar aturan, kesopanan dan kesusilaan!”
“Hong-ko…,!”
Tapi dengan cepat Kun Hong mengipatkan kedua tangan Cui Bi, gadis itu tergelimpang, menangis sampai hampir tak dapat bernapas dan Kun Hong melangkah terus keluar.
“Ayah, ini tak boleh terjadi!” tiba-tiba Kong Bu berteriak kepada ayahnya. “Cui Bi sudah berterus terang kepadaku, dia mencinta Kun Hong dan aku sudah berjanji kepadanya hendak bicara dengan Ayah tentang ini! Batalkan perjodohan dengan Kun-lun-pai dan terima Kun Hong sebagai suami Adik Bi!”
Beng San merah mukanya, matanya meram dan ia hanya menggeleng-geleng kepalanya, kelihatan betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum. Li Cu juga menangis dan menahan-nahan hatinya yang ingin sekali menubruk dan memeluk puterinya. Akan tetapi tentu saja ia menahan hatinya karena dalam urusan ini, puterinya boleh dibilang telah melakukan suatu hal yang amat memalukan!
Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Ia teringat akan semua pengalamannya dahulu, betapa iapun bertekad dan melawan ayahnya sendiri karena cinta kasihnya kepada Beng San.
Sin Lee yang juga merasa sayang kepada adik tirinya, mukanya menjadi merah dan matanya meliar. Dia sedang terbenam kedukaan karena kematian ibunya, sekarang menghadapi keadaan Cui Bi, satu-satunya orang di samping ayahnya yang amat ia kasihi, ia tak kuat menahan. Tiba-tiba ia melengking keras dan tubuhnya sudah mencelat keluar dari ruangan mengejar Kun Hong. Ia berdiri di depan Kun Hong dengan beringas.
“Kun Hong! Kau harus berani bertanggung jawab! Kau sudah menjatuhkan hati Cui Bi, tidak boleh kau sekarang meninggalkannya. Apapun yang terjadi, kau harus melanjutkan cinta kasihmu itu, harus menjadi suami Bi-moi!”
Kun Hong menggigit bibirnya, kerongkongannya serasa tersumbat. Setelah menghela napas dan menelan ludah beberapa kali, barulah ia dapat menjawab,
“Sin Lee, justeru sebagai orang berani bertanggung jawab, aku menjauhkan diri. Lebih baik aku sengsara daripada melihat nama baik orang-orang tua dan nama baik Bi-moi sendiri hancur ternoda.”
next>>
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI