JAKA LOLA JILID 006
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Heh, kenapa menangis? Cengeng! Sejak dahulu kau sudah yatim piatu, kau si jaka lola (anak laki-laki yatim piatu), hidup di dunia seorang diri, mengapa bersedih hati ditinggal suhu dan subo? Ihhh, kalau subo melihatmu, kau tentu akan ditampar!”
A Wan tertawa kepada diri sendiri, tertawa bahagia karena teringat dia betapa selama dia berada disini, belum pernah dia dibentak Kun Hong atau ditampar Hui Kauw. Kedua orang itu amat baik kepadanya.
Mereka orang-orang mulia, aku tidak boleh mengganggu mereka. Harus kupelihara baik-baik tempat ini, kelak kalau mereka kembali, tempat ini telah bersih dan terjaga! Setelah berpikir demikian, anak ini bangkit dan lari berloncatan ke ladangnya, mukanya sudah jernih kembali dan dia tertawa-tawa melihat burung-burung kaget beterbangan oleh loncatannya itu.
Yo Wan selalu teringat akan nasihat suhunya. la tekun berlatih ilmu silat. Karena gurunya lebih mementingkan dasar ilmu silat, maka selama ini dia tidak banyak diajar ilmu pukulan, lebih diutamakan pelajaran pernapasan, samadhi dan mengatur jalan darah untuk menghimpun kemurnian hawa dalam tubuhnya.
Juga ilmu meringankan tubuh diajarkan lebih dulu oleh subonya, karena hal ini amat perlu baginya untuk naik turun puncak. Sebelum turun gunung suhunya mengajarkan ilmu langkah yang terdiri daripada empat puluh satu langkah. Langkah-langkah ini merupakan perubahan-perubahan dalam kuda-kuda dan jika dilatih terus-menerus, selain dapat mempertinggi kegesitan dan memperkokoh kedudukan, juga dapat memperkuat tubuh, terutama kedua kaki.
Suhunya hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini dapat dilatih terus-menerus sampai belasan tahun, makin terlatih makin baik dan kelak akan hebat kegunaannya. Kun Hong hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini diberi nama Si-cap-it Sin-po (Empat puluh satu Langkah Sakti).
Tentu saja Yo Wan sama sekali tidak pernah mimpi bahwa langkah-langkah ini adalah langkah-langkah ajaib yang gerakan-gerakannya mencakup seluruh inti sari daripada gerakan ilmu silat, karena biarpun jurusnya hanya empat puluh satu, akan tetapi kalau dijalankan dan susunan jurusnya diubah-ubah, merupakan gerak jurus yang tak terhitung banyaknya!
Dua tahun sudah Yo Wan hidup seorang diri di puncak Liong-thouw-san. Tekun bekerja dan berlatih. Setiap hari dia mengharap-harapkan kedatangan suhu dan subonya, namun pengharapannya sia-sia belaka. Setelah lewat tiga tahun, belum juga kedua orang yang dikasihinya itu pulang. Ingin dia menyusul ke Hoa-san karena sudah amat kangen, akan tetapi dia takut kalau-kalau kedua orang itu akan menganggapnya kurang setia menanti.
la menanti terus, empat tahun, lima tahun! Waktu berjalan amat pesatnya, tanpa dia rasakan, lima tahun sudah dia hidup menyendiri di tempat sunyi itu. Dan kedua orang yang dinanti-nantinya belum juga pulang!
“Sudah amat lama aku menunggu, kenapa mereka belum juga pulang?”
Yo Wan termenung duduk diatas bangku depan pondok. Bukan bangku lima tahun yang lalu. Sudah ada lima kali dia mengganti bangku itu dengan bangku baru buatannya sendiri. Sudah penuh tiang pondok itu dengan guratan-guratannya. Setiap bulan purnama dia tentu menggurat di tiang. Tadi dihitungnya guratan-guratannya itu, sudah lebih dari enam puluh gurat!
“Besok aku menyusul ke Hoa-san,” demikian dia mengambil keputusan karena sudah tidak kuat menanggung rindunya lagi.
Malam itu sibuk dia menambal pakaianya yang robek-robek. Selama lima tahun ini, dia dapat mencari ganti pakaian ke dalam dusun di bawah gunung dengan jalan menukarkan hasil ladangnya yang berupa sayur-sayuran segar yang tak mungkin tumbuh di bawah puncak.
Dasar watak Yo Wan polos, jujur dan tidak murka, dia hanya memilih pakaian sekedarnya saja, bersahaja asal kuat. Yang membuat dia kesal menanti lebih lama lagi, sesungguhnya adalah kalau dia teringat akan pelajaran ilmu silatnya.
Enam puluh bulan lebih dia ditinggal gurunya, hanya ditinggali ilmu langkah yang sudah dia latih setiap hari sampai dia menjadi bosan. Padahal dia bercita-cita untuk mempelajari ilmu silat tinggi dari suhunya, karena dia masih ingat betul akan musuh besarnya, musuh besar yang menyebabkan kematian ibunya yang tercinta, The Sun!
Muka orang ini masih selalu terbayang di depan matanya, dan dia mendengar dari gurunya bahwa The Sun memiliki kepandaian yang amat tinggi. Sekarang dia hanya diberi pelajaran langkah-langkah yang aneh, bagaimana mungkin dia dapat membalas kematian ibunya pada musuh besar yang lihai itu kalau dia hanya pandai melangkah?
la ingin menyusul untuk mohon diberi pelajaran ilmu silat selanjutnya, untuk bekal mencari musuh besar yang telah menyebabkan kematian ibunya yang mengerikan itu. Masih terbayang di depan matanya betapa ketika dia masih kecil, dia melihat ibunya menggantung diri, dengan susah payah dia tolong, akan tetapi ibunya tak tertolong lagi.
Masih bergema di telinganya akan pesan ibunya, agar supaya dia memenuhi dua buah permintaan ibunya, dua buah tugas yang selama hidupnya harus dia usahakan pelaksanaannya, yaitu pertama membalas budi kebaikan Kwa Kun Hong Pendekar Buta, kedua membalas dendam kepada The Sun (baca cerita Pendekar Buta)!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yo Wan sudah menutup pintu depan pondok dan berjalan keluar halaman. Di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan dia melangkah lebar menuju ke jurang dimana terdapat tangga tali itu.
Sebelum melangkahkan kaki ke tangga, dia memandang sekeliling seakan-akan merasa kasihan kepada puncak yang akan ditinggalkan. Tiga batang pohon cemara didepan pondok itu kini sudah besar, dia yang menanam semenjak suhu dan subonya pergi. Tadinya dia ingin sekali melihat suhu dan subonya memuji dan girang melihat tiga batang pohon yang indah itu, bahkan dia sudah memberi “nama” pada tiga batang pohon itu, nama suhunya, nama subonya dan namanya sendiri!
Setelah menarik napas partjang, Yo Wan lalu melangkah dan menuruni tangga tali dengan kecepatan yang amat luar biasa, seakan-akan dia melorot saja tanpa melangkah turun.
Setibanya di bawah, dia berlari-lari menuju ke jembatan pertama yang melintasi jurang lebar. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh sekali, suara mendesis-desis keras bercampur aduk dengan suara melengking tinggi. Suara itu datangnya dari seberang jurang pertama.
Cepat dia lalu meloncat keatas tambang dan berlari-lari menyeberang. Melihat bocah tiga belas tahun ini menyeberang dan jalan diatas tambang, benar-benar membuat orang terheran-heran dan ngeri, jurang itu dalamnya tak dapat diukur lagi. Tambang itu sama sekali tak bergerak ketika dia berlari di atasnya, dan hebatnya, anak ini berlari seenaknya saja, sama sekali tidak melihat kebawah lagi seakan-akan kedua kakinya sudah terlalu hafal dan dapat menginjak dengan tepat.
Setelah meloncat diatas tanah di seberang. Yo Wan dapat melihat apa yang menimbulkan suara aneh itu. Kiranya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebat dan aneh. Seorang diantaranya, yang berdesis-desis, adalah seorang laki-laki yang tinggi kurus dan kulitnya hitam, rambutnya yang keriting itu terbungkus sorban kuning, telinganya pakai anting-anting hitam, juga kedua pergelangan tangan ketika bergerak dan keluar dari lengan baju yang lebar, tampak memakai sepasang gelang hitam.
Orang asing yang aneh sekali. Usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tangannya memegang cambuk kecil panjang dan agakpya cambuk inilah yang menerbitkan suara mendesis-desis aneh itu ketika digerakkan berputar-putar di udara.
Di depan orang bersorban ini tampak seorang kakek tua sekali, kakek yang agak bongkok, yang kadang-kadang terkekeh dan kadang-kadang mengeluarkan suara melengking tinggi rendah menggetarkan lembah dan jurang. Kakek inipun bergerak-gerak, tapi tidak bersenjata, melainkan tubuhnya yang bergerak-gerak dengan tangan menuding dan menampar ke depan.
Yo Wan berdiri bengong. Biarpun dia murid seorang sakti seperti Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta, namun selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan orang bertanding. Apalagi kalau yang bertempur itu dua orang tingkat tinggi yang mempergunakan cara bertempur yang begini aneh, seperti dua orang badut sedang berlagak di panggung saja.
la masih menduga-duga, apakah yang dilakukan oleh dua orang itu, karena biarpun dia menduga mereka sedang bertempur, namun dia maslh ragu-ragu. Tiba-tiba pandang matanya kabur dan cepat dia menutup telinganya yang terasa perih ketika lengking itu makin meninggi dan desis makin nyaring.
Matanya dibuka lebar, namun tetap saja dia tidak dapat mengikuti gerakan mereka yang kini menjadi makin cepat. Beberapa menit kemudian, gerakan kedua orang aneh itu begitu cepatnya sehingga tubuh mereka lenyap dari pandangan mata Yo Wan yang hanya dapat melihat gulungan sinar yang berkelebatan.
Tiba-tiba sinar itu seperti pecah, gulungan sinar lenyap dan dia melihat dua orang itu rebah telentang, terpisah antara sepuluh meter keduanya terengah-engah dan terdengar mereka merintih perlahan.
“Bhewakala, kau hebat…..” Kakek tua itu berseru sambil terkekeh ketawa diantara rintihannya.
“Sin-eng-cu (Garuda Sakti), kau tua-tua merica, makin tua makin kuat…..” terdengar orang asing bersorban itupun memuji dengan suara terengah-engah dan nada suaranya kaku dan lucu.
Melihat kedua orang itu tak dapat bangun kembali, Yo Wan mengerti bahwa keduanya terluka. la cepat berlari menghampiri, keluar dari tempat persembunyiannya karena tadi dia mengintai dari balik batu gunung yang besar.
Tentu saja dia mengenal kakek itu. Sin-eng-cu Lui Bok, paman guru dari suhunya, yang dulu membawanya ke puncak Liong-thouw-san (baca Pendekar Buta) dan yang kemudian pergi merantau membawa kim-tiauw (rajawali emas) bersamanya.
“Susiok-couw….. (Kikek Paman Guru)!” serunya sambil meloncat mendekati.
Akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok sudah tak bergerak-gerak lagi, malah napasnya sudah empas empis, tinggal satu-satu. Yo Wan kaget dan bingung, diguncang-guncangnya tubuh kakek itu, namun tetap tak dapat menyadarkannya. Alangkah kagetnya ketika dia mengguncang-guncang ini, dia melihat muka kakek itu agak biru dan tubuh bagian depan, dari leher sampai ke perut, terluka dengan guratan memanjang yang menghancurkan pakaiannya.
Selagi dia dalam bingung sekali, dia mendengar di belakangnya suara orang mengaduh-aduh. Cepat dia bangkit dan membalik. Dilihatnya orang itupun mengerang kesakitan. Suaranya begitu mendatangkan iba, maka tanpa ragu-ragu lagi Yo Wan lalu menghampirinya, dan berlutut di dekatnya.
Orang itu mukanya hitam, matanya lebar, dilihat dari jauh tadi amat menakutkan, akan tetapi setelah dekat, sepasang mata yang agak biru itu ternyata mengandung sinar yang menyenangkan. Tanpa diminta, Yo Wan lalu membantu orang itu bangkit dan duduk. Terpaksa dia merangkul pundak orang asing ini karena begitu dilepaskan segera akan terguling kembali, begitu lemas dia. Orang asing itu mengedip-ngedipkan matanya, melirik kearah tubuh Sin-eng-cu, lalu memandang kepada Yo Wan.
“Dia susiok-couwmu? Jadi kau ini murid Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta?”
Suaranya amat lemah, napasnya terengah-engah, agak sukar bagi Yo Wan untuk dapat menangkap arti kata-kata yang kaku dan asing itu. Namun dia seorang bocah yang cerdik, maka dapat dia merangkai kata-kata itu menjadi kalimat yang berarti.
Yo Wan mengangguk, dan menjawab lantang,
“Betul Locianpwe (Orang Tua Gagah). Mengapa Locianpwe bertempur dengan susiok-couw? Dia terluka hebat, apakah Locianpwe terluka?”
Sejenak orang asing itu memandang tajam. Yo Wan merasa betapa sinar mata dari mata yang kebiruan itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hatinya. Kemudian suara orang itu terdengar makin kaku dan agak keras,
“Kau murid Kwa Kun Hong? Kau melihat kami bertempur? Mengapa kau sekarang menolongku? Mengapa kau tidak segera menolong susiok-couwmu yang pingsan itu?”
Diberondongi pertanyaan-pertahyaan ini, Yo Wan tidak menjadi gugup, karena memang dia tidak mempunyai maksud hati yang bukan-bukan. Semua yang dia lakukan adalah suatu kewajaran, tidak dibuat-buat dan tidak mengandung maksud sesuatu kecuali menolong. Maka tenang saja dia menjawab,
“Sudah saya lihat keadaan susiok-couw, dia terluka dari leher ke perut, dia tidak bergerak lagi, saya tidak tahu bagaimana saya harus menolongnya. Karena Locianpwe saya lihat dapat bergerak dan bicara, maka saya membantu Locianpwe sehingga nanti Locianpwe dapat membantu saya, untuk menolong susiok-couw.”
Sepasang mata itu masih menyorotkan sinar bengis.
“Kau tadi melihat kami bertempur?”
Yo Wan mengangguk, tangannya masih merangkul pundak orang asing itu dari belakang, menjaganya agar jangan roboh terlentang.
“Jadi kau tahu bahwa aku adalah musuh susiok-couwmu, musuh gurumu?”
Yo Wan menggeleng kepala, pandang matanya penuh kejujuran.
A Wan tertawa kepada diri sendiri, tertawa bahagia karena teringat dia betapa selama dia berada disini, belum pernah dia dibentak Kun Hong atau ditampar Hui Kauw. Kedua orang itu amat baik kepadanya.
Mereka orang-orang mulia, aku tidak boleh mengganggu mereka. Harus kupelihara baik-baik tempat ini, kelak kalau mereka kembali, tempat ini telah bersih dan terjaga! Setelah berpikir demikian, anak ini bangkit dan lari berloncatan ke ladangnya, mukanya sudah jernih kembali dan dia tertawa-tawa melihat burung-burung kaget beterbangan oleh loncatannya itu.
Yo Wan selalu teringat akan nasihat suhunya. la tekun berlatih ilmu silat. Karena gurunya lebih mementingkan dasar ilmu silat, maka selama ini dia tidak banyak diajar ilmu pukulan, lebih diutamakan pelajaran pernapasan, samadhi dan mengatur jalan darah untuk menghimpun kemurnian hawa dalam tubuhnya.
Juga ilmu meringankan tubuh diajarkan lebih dulu oleh subonya, karena hal ini amat perlu baginya untuk naik turun puncak. Sebelum turun gunung suhunya mengajarkan ilmu langkah yang terdiri daripada empat puluh satu langkah. Langkah-langkah ini merupakan perubahan-perubahan dalam kuda-kuda dan jika dilatih terus-menerus, selain dapat mempertinggi kegesitan dan memperkokoh kedudukan, juga dapat memperkuat tubuh, terutama kedua kaki.
Suhunya hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini dapat dilatih terus-menerus sampai belasan tahun, makin terlatih makin baik dan kelak akan hebat kegunaannya. Kun Hong hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini diberi nama Si-cap-it Sin-po (Empat puluh satu Langkah Sakti).
Tentu saja Yo Wan sama sekali tidak pernah mimpi bahwa langkah-langkah ini adalah langkah-langkah ajaib yang gerakan-gerakannya mencakup seluruh inti sari daripada gerakan ilmu silat, karena biarpun jurusnya hanya empat puluh satu, akan tetapi kalau dijalankan dan susunan jurusnya diubah-ubah, merupakan gerak jurus yang tak terhitung banyaknya!
Dua tahun sudah Yo Wan hidup seorang diri di puncak Liong-thouw-san. Tekun bekerja dan berlatih. Setiap hari dia mengharap-harapkan kedatangan suhu dan subonya, namun pengharapannya sia-sia belaka. Setelah lewat tiga tahun, belum juga kedua orang yang dikasihinya itu pulang. Ingin dia menyusul ke Hoa-san karena sudah amat kangen, akan tetapi dia takut kalau-kalau kedua orang itu akan menganggapnya kurang setia menanti.
la menanti terus, empat tahun, lima tahun! Waktu berjalan amat pesatnya, tanpa dia rasakan, lima tahun sudah dia hidup menyendiri di tempat sunyi itu. Dan kedua orang yang dinanti-nantinya belum juga pulang!
“Sudah amat lama aku menunggu, kenapa mereka belum juga pulang?”
Yo Wan termenung duduk diatas bangku depan pondok. Bukan bangku lima tahun yang lalu. Sudah ada lima kali dia mengganti bangku itu dengan bangku baru buatannya sendiri. Sudah penuh tiang pondok itu dengan guratan-guratannya. Setiap bulan purnama dia tentu menggurat di tiang. Tadi dihitungnya guratan-guratannya itu, sudah lebih dari enam puluh gurat!
“Besok aku menyusul ke Hoa-san,” demikian dia mengambil keputusan karena sudah tidak kuat menanggung rindunya lagi.
Malam itu sibuk dia menambal pakaianya yang robek-robek. Selama lima tahun ini, dia dapat mencari ganti pakaian ke dalam dusun di bawah gunung dengan jalan menukarkan hasil ladangnya yang berupa sayur-sayuran segar yang tak mungkin tumbuh di bawah puncak.
Dasar watak Yo Wan polos, jujur dan tidak murka, dia hanya memilih pakaian sekedarnya saja, bersahaja asal kuat. Yang membuat dia kesal menanti lebih lama lagi, sesungguhnya adalah kalau dia teringat akan pelajaran ilmu silatnya.
Enam puluh bulan lebih dia ditinggal gurunya, hanya ditinggali ilmu langkah yang sudah dia latih setiap hari sampai dia menjadi bosan. Padahal dia bercita-cita untuk mempelajari ilmu silat tinggi dari suhunya, karena dia masih ingat betul akan musuh besarnya, musuh besar yang menyebabkan kematian ibunya yang tercinta, The Sun!
Muka orang ini masih selalu terbayang di depan matanya, dan dia mendengar dari gurunya bahwa The Sun memiliki kepandaian yang amat tinggi. Sekarang dia hanya diberi pelajaran langkah-langkah yang aneh, bagaimana mungkin dia dapat membalas kematian ibunya pada musuh besar yang lihai itu kalau dia hanya pandai melangkah?
la ingin menyusul untuk mohon diberi pelajaran ilmu silat selanjutnya, untuk bekal mencari musuh besar yang telah menyebabkan kematian ibunya yang mengerikan itu. Masih terbayang di depan matanya betapa ketika dia masih kecil, dia melihat ibunya menggantung diri, dengan susah payah dia tolong, akan tetapi ibunya tak tertolong lagi.
Masih bergema di telinganya akan pesan ibunya, agar supaya dia memenuhi dua buah permintaan ibunya, dua buah tugas yang selama hidupnya harus dia usahakan pelaksanaannya, yaitu pertama membalas budi kebaikan Kwa Kun Hong Pendekar Buta, kedua membalas dendam kepada The Sun (baca cerita Pendekar Buta)!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yo Wan sudah menutup pintu depan pondok dan berjalan keluar halaman. Di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan dia melangkah lebar menuju ke jurang dimana terdapat tangga tali itu.
Sebelum melangkahkan kaki ke tangga, dia memandang sekeliling seakan-akan merasa kasihan kepada puncak yang akan ditinggalkan. Tiga batang pohon cemara didepan pondok itu kini sudah besar, dia yang menanam semenjak suhu dan subonya pergi. Tadinya dia ingin sekali melihat suhu dan subonya memuji dan girang melihat tiga batang pohon yang indah itu, bahkan dia sudah memberi “nama” pada tiga batang pohon itu, nama suhunya, nama subonya dan namanya sendiri!
Setelah menarik napas partjang, Yo Wan lalu melangkah dan menuruni tangga tali dengan kecepatan yang amat luar biasa, seakan-akan dia melorot saja tanpa melangkah turun.
Setibanya di bawah, dia berlari-lari menuju ke jembatan pertama yang melintasi jurang lebar. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh sekali, suara mendesis-desis keras bercampur aduk dengan suara melengking tinggi. Suara itu datangnya dari seberang jurang pertama.
Cepat dia lalu meloncat keatas tambang dan berlari-lari menyeberang. Melihat bocah tiga belas tahun ini menyeberang dan jalan diatas tambang, benar-benar membuat orang terheran-heran dan ngeri, jurang itu dalamnya tak dapat diukur lagi. Tambang itu sama sekali tak bergerak ketika dia berlari di atasnya, dan hebatnya, anak ini berlari seenaknya saja, sama sekali tidak melihat kebawah lagi seakan-akan kedua kakinya sudah terlalu hafal dan dapat menginjak dengan tepat.
Setelah meloncat diatas tanah di seberang. Yo Wan dapat melihat apa yang menimbulkan suara aneh itu. Kiranya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebat dan aneh. Seorang diantaranya, yang berdesis-desis, adalah seorang laki-laki yang tinggi kurus dan kulitnya hitam, rambutnya yang keriting itu terbungkus sorban kuning, telinganya pakai anting-anting hitam, juga kedua pergelangan tangan ketika bergerak dan keluar dari lengan baju yang lebar, tampak memakai sepasang gelang hitam.
Orang asing yang aneh sekali. Usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tangannya memegang cambuk kecil panjang dan agakpya cambuk inilah yang menerbitkan suara mendesis-desis aneh itu ketika digerakkan berputar-putar di udara.
Di depan orang bersorban ini tampak seorang kakek tua sekali, kakek yang agak bongkok, yang kadang-kadang terkekeh dan kadang-kadang mengeluarkan suara melengking tinggi rendah menggetarkan lembah dan jurang. Kakek inipun bergerak-gerak, tapi tidak bersenjata, melainkan tubuhnya yang bergerak-gerak dengan tangan menuding dan menampar ke depan.
Yo Wan berdiri bengong. Biarpun dia murid seorang sakti seperti Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta, namun selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan orang bertanding. Apalagi kalau yang bertempur itu dua orang tingkat tinggi yang mempergunakan cara bertempur yang begini aneh, seperti dua orang badut sedang berlagak di panggung saja.
la masih menduga-duga, apakah yang dilakukan oleh dua orang itu, karena biarpun dia menduga mereka sedang bertempur, namun dia maslh ragu-ragu. Tiba-tiba pandang matanya kabur dan cepat dia menutup telinganya yang terasa perih ketika lengking itu makin meninggi dan desis makin nyaring.
Matanya dibuka lebar, namun tetap saja dia tidak dapat mengikuti gerakan mereka yang kini menjadi makin cepat. Beberapa menit kemudian, gerakan kedua orang aneh itu begitu cepatnya sehingga tubuh mereka lenyap dari pandangan mata Yo Wan yang hanya dapat melihat gulungan sinar yang berkelebatan.
Tiba-tiba sinar itu seperti pecah, gulungan sinar lenyap dan dia melihat dua orang itu rebah telentang, terpisah antara sepuluh meter keduanya terengah-engah dan terdengar mereka merintih perlahan.
“Bhewakala, kau hebat…..” Kakek tua itu berseru sambil terkekeh ketawa diantara rintihannya.
“Sin-eng-cu (Garuda Sakti), kau tua-tua merica, makin tua makin kuat…..” terdengar orang asing bersorban itupun memuji dengan suara terengah-engah dan nada suaranya kaku dan lucu.
Melihat kedua orang itu tak dapat bangun kembali, Yo Wan mengerti bahwa keduanya terluka. la cepat berlari menghampiri, keluar dari tempat persembunyiannya karena tadi dia mengintai dari balik batu gunung yang besar.
Tentu saja dia mengenal kakek itu. Sin-eng-cu Lui Bok, paman guru dari suhunya, yang dulu membawanya ke puncak Liong-thouw-san (baca Pendekar Buta) dan yang kemudian pergi merantau membawa kim-tiauw (rajawali emas) bersamanya.
“Susiok-couw….. (Kikek Paman Guru)!” serunya sambil meloncat mendekati.
Akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok sudah tak bergerak-gerak lagi, malah napasnya sudah empas empis, tinggal satu-satu. Yo Wan kaget dan bingung, diguncang-guncangnya tubuh kakek itu, namun tetap tak dapat menyadarkannya. Alangkah kagetnya ketika dia mengguncang-guncang ini, dia melihat muka kakek itu agak biru dan tubuh bagian depan, dari leher sampai ke perut, terluka dengan guratan memanjang yang menghancurkan pakaiannya.
Selagi dia dalam bingung sekali, dia mendengar di belakangnya suara orang mengaduh-aduh. Cepat dia bangkit dan membalik. Dilihatnya orang itupun mengerang kesakitan. Suaranya begitu mendatangkan iba, maka tanpa ragu-ragu lagi Yo Wan lalu menghampirinya, dan berlutut di dekatnya.
Orang itu mukanya hitam, matanya lebar, dilihat dari jauh tadi amat menakutkan, akan tetapi setelah dekat, sepasang mata yang agak biru itu ternyata mengandung sinar yang menyenangkan. Tanpa diminta, Yo Wan lalu membantu orang itu bangkit dan duduk. Terpaksa dia merangkul pundak orang asing ini karena begitu dilepaskan segera akan terguling kembali, begitu lemas dia. Orang asing itu mengedip-ngedipkan matanya, melirik kearah tubuh Sin-eng-cu, lalu memandang kepada Yo Wan.
“Dia susiok-couwmu? Jadi kau ini murid Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta?”
Suaranya amat lemah, napasnya terengah-engah, agak sukar bagi Yo Wan untuk dapat menangkap arti kata-kata yang kaku dan asing itu. Namun dia seorang bocah yang cerdik, maka dapat dia merangkai kata-kata itu menjadi kalimat yang berarti.
Yo Wan mengangguk, dan menjawab lantang,
“Betul Locianpwe (Orang Tua Gagah). Mengapa Locianpwe bertempur dengan susiok-couw? Dia terluka hebat, apakah Locianpwe terluka?”
Sejenak orang asing itu memandang tajam. Yo Wan merasa betapa sinar mata dari mata yang kebiruan itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hatinya. Kemudian suara orang itu terdengar makin kaku dan agak keras,
“Kau murid Kwa Kun Hong? Kau melihat kami bertempur? Mengapa kau sekarang menolongku? Mengapa kau tidak segera menolong susiok-couwmu yang pingsan itu?”
Diberondongi pertanyaan-pertahyaan ini, Yo Wan tidak menjadi gugup, karena memang dia tidak mempunyai maksud hati yang bukan-bukan. Semua yang dia lakukan adalah suatu kewajaran, tidak dibuat-buat dan tidak mengandung maksud sesuatu kecuali menolong. Maka tenang saja dia menjawab,
“Sudah saya lihat keadaan susiok-couw, dia terluka dari leher ke perut, dia tidak bergerak lagi, saya tidak tahu bagaimana saya harus menolongnya. Karena Locianpwe saya lihat dapat bergerak dan bicara, maka saya membantu Locianpwe sehingga nanti Locianpwe dapat membantu saya, untuk menolong susiok-couw.”
Sepasang mata itu masih menyorotkan sinar bengis.
“Kau tadi melihat kami bertempur?”
Yo Wan mengangguk, tangannya masih merangkul pundak orang asing itu dari belakang, menjaganya agar jangan roboh terlentang.
“Jadi kau tahu bahwa aku adalah musuh susiok-couwmu, musuh gurumu?”
Yo Wan menggeleng kepala, pandang matanya penuh kejujuran.
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI