JAKA LOLA JILID 013
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Keparat, lihat golok kami merenggut nyawamu!” bentak si kumis.
Sinar golok berkelebat kearah leher Yo Wan, disusul bacokan golok si rambut putih kearah pinggangnya. Memang keistimewaan para anak murid Sin-tung-kai-pang adalah permainan golok. Ketuanya terkenal dengan tongkatnya, maka perkumpulan pengemis itu dinamakan Sin-tung (Tongkat Sakti), namun agaknya si ketua ini tidak mau menurunkan ilmu tongkatnya kepada para murid dan anggautanya. Sebaliknya dia lalu menciptakan ilmu golok dari ilmu tongkat itu dan ilmu golok inilah yang dipelajari oleh semua murid dan anggauta Sin-tung-kai-pang.
Yo Wan menggerakkan kedua kakinya, mainkan langkah ajaib dan….. dua orang pengemis itu seketika menjadi bingung karena pemuda itu lenyap di belakang. Kalau mereka membalik dan menerjang lagi, pemuda itu menggerakkan kedua kaki secara aneh, lenyap lagi dan tiba-tiba belakang siku kanan mereka terkena sentilan jari tangan Yo Wan. Seketika kaku rasanya lengan itu dan golok mereka terlepas tanpa dapat dipertahankan lagi. Sebelum mereka tahu apa yang terjadi, untuk kedua kalinya tubuh mereka melayang karena kaki Yo Wan otomatis telah mengirim dua buah tendangan.
“Aku tidak mau berkelahi, lebih baik kalian pergi. Ganti kudaku dan perkara ini habis sampai disini saja,” kembali Yo Wan berkata.
Akan tetapi kedua orang pengemis itu menjadi begitu kaget, heran dan ketakutan sehingga tanpa berkata apa-apa iagi mereka berdua lalu merangkak bangun dan….. lari turun gunung!
Yo Wan berdiri tertegun, mengikuti mereka dengan pandang mata heran. Kemudian dia mengangkat pundak, lalu memegang kendali dua ekor kuda mereka itu. Kini ada empat ekor kuda di tangannya.
Kuda-kuda itu dia cancang pada sebatang pohon dan dia segera menggali lubang di pinggir jalan untuk mengubur bangkai kuda tadi. Setelah selesai, Yo Wan menuntun empat ekor kuda, melanjutkan perjalanannya mendaki puncak.
Kiranya jalan yang sengaja dibangun menuju ke puncak itu berliku-liku mengelilingi puncak. Memang, satu-satunya cara untuk membuat jalan yang dapat dilalui kuda dan manusia biasa, hanya membuatnya berliku-liku seperti itu sehingga jalan tanjakannya tidak terlalu sukar dilalui.
Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, tentu saja dapat mendaki dengan melalui jalan yang lurus dan dapat cepat sampai di puncak. Akan tetapi melalui jalan buatan ini, apalagi menuntun empat ekor kuda yang kadang-kadang rewel dan mogok di jalan, benar-benar memakan waktu setengah hari lebih. Menjelang senja barulah Yo Wan tiba dipintu gerbang tembok yang mengelilingi Hoa-san-pai yang merupakan kelompok bangunan besar di puncak.
Seorang tosu yang menjaga pintu gerbang menyambut Yo Wan dengan pertanyaan,
“Apakah kau tukang kuda baru?”
Yo Wan mengangguk.
“Aku harus membawa kuda-kuda ini ke kandang. Dapatkah kau menunjukkan dimana adanya kandang kuda?”
Tosu itu kelihatan tidak senang mendengar kata-kata Yo Wan yang sederhana tanpa penghormatan sama sekali itu. Benar-benar seorang anak muda dusun yang bodoh, pikirnya.
“Kandang kuda berada diluar tembok sebelah barat. Kau kelilingi saja tembok ini ke barat, nanti akan sampai disana,” jawabnya lalu duduk kembali, sama sekali tidak mengacuhkan Yo Wan yang berpeluh dan amat lapar itu.
Yo Wan memandang ke barat. Benar saja, di dekat tembok sebelah sana kelihatan kandang kuda, terbuat daripada papan sederhana. Tanpa mengucap terima kasih karena dianggapnya tanya jawab itu sudah semestinya, dia pergi dari situ, menuntun empat ekor kudanya.
Tosu yang menyambutnya di kandang kuda lebih peramah. Tosu ini bertubuh gemuk pendek, mukanya bundar dan matanya seperti dua buah kelereng.
“Ha-ha-ha, ada tukang kuda baru!” serunya. “Orang muda, mana kuda tunggangan Swan Bu yang berbulu hitam? Dan ini ada empat ekor, eh, bagaimana ini, Bong-suheng tadi bilang bahwa kau membawa kuda mereka bertiga, kenapa sekarang ada empat ekor? Kuda siapa yang dua ekor ini dan mana kuda Swan Bu?”
“Lopek, kuda yang hitam itu sudah kukubur di pinggir jalan sana,” kata Yo Wan sambil menyusut peluh dengan ujung lengan baju.
la merasa lelah dan lapar sekali, juga amat haus. Sejak kemarin dia tidak makan, dan tadi dia tidak berani berhenti untuk mencari buah atau air. Sekarang dia masih menghadapi urusan kuda dan tentu akan mendapat marah lagi.
Tosu gendut itu melongo, sepasang matanya makin bundar, memandangnya dengan bingung dan heran.
“Kau kubur? Bagaimana ini? Maksudmu, kau pendam kuda itu?”
Yo Wan mengangguk,
“Benar, karena dia mati.” la berhenti sebentar lalu berkata, “Lopek, aku lapar dan haus, apa kau bisa menolong aku?”
Tosu itu mengangguk-angguk, masih bingung.
“Ah, tentu….. tentu….. tunggu sebentar. Aneh, bagaimana kuda bisa mati dan dikubur? Aneh…..” tapi dia berjalan memasuki kandang kuda sambil mengomel panjang pendek, keluar lagi membawa bungkusan makanan dan sekaleng air minum.
Tanpa banyak sungkan lagi Yo Wan menerima kaleng air dan minum dengan lahapnya. Tosu itu memandangnya penuh kasihan dan tidak mengganggunya ketika Yo Wan mulai makan. Berbeda dengan ketika minum tadi, kini Yo Wan makan dengan lambat dan tenang. Melihat tosu itu memandangnya, Yo Wan bercerita sambil makan.
“Kuda hitam dibunuh orang, Lopek. Untungnya mereka berdua itu lari meninggalkan dua ekor kuda mereka ini, lalu kubawa kesini dan bangkai kuda hitam itu kukubur di pinggir jalan.”
Tosu itu mendengarkan dengan melongo.
“Kuda dibunuh orang? Siapa mereka yang begitu berani main gila di Hoa san?”
“Mereka mengaku utusan-utusan dan Sin-tung-kai-pang. Tadinya mereka tidak mau ganti, aku tetap tidak mau terima. Akhirnya mereka mengalah dan lari pergi, meninggalkan dua ekor kuda ini.”
Tosu itu melebarkan matanya.
“Sin-tung-kai-pang? Mereka mengalah? Hem, kau masih untung, orang muda. Mereka itu jahat. Kalau mereka tidak memandang kebesaran Hoa-san-pai, kiranya bukan hanya kuda itu yang mereka bunuh dan saat ini kau takkan dapat makan minum lagi.”
Yo Wan diam saja, pikirannya melayang kearah Swan Bu. Jangan-jangan anak itu akan menjadi marah sekali karena kuda kesayangannya dibunuh orang dan akan membuat gara-gara dengan pembunuh kuda.
“Lopek, tadi aku sudah melihat anak yang bernama Swan Bu itu. Dia tampan dan pandai main panah. Siapakah dia? Apakah putera Hoa-san-pai?”
Tosu itu menggeleng kepala.
“Kau orang baru, agaknya bukan orang sekitar Hoa-san. Memang Swan Bu tampan dan gagah. Ah, kasihan dia, tentu akan sedih dan marah kalau mendengar kudanya dibunuh orang….. hemmm, aku tidak akan tega menyampaikan berita ini kepadanya. Anak malang…..”
Hemmm, benar-benar orang Hoa-san-pai amat memanjakan anak itu.
“Lopek, kalau dia bukan putera Hoa-san-pai, apakah dia itu anak raja yang sedang bermain-main disini?”
Tosu itu memandangnya dengan mata terbelalak.
“Putera raja? Ha-ha-ha, sama sekali bukan, tapi memang dia patut menjadi putera raja! Dia itu cucu tunggal dari Kwa-lo-sukong, jadi masih terhitung keponakan dari ketua kami yang sekarang”.
Berdebar jantung Yo Wan. Cucu guru besar she Kwa? Suhunya juga she Kwa!
“Lopek, dia itu anak siapakah? Aku belum mengenal orang-orang disini, keteranganmu tadi sama sekali tidak jelas”.
Tosu itu kini tertawa dan mengangkat jempol tangan kanannya keatas.
“Dia keturunan orang-orang gagah, karena itu, dia harus menjadi seorang calon tokoh Hoa-san-pai yang nomor satu. Ayahnya adalah tokoh sakti yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta, ibunya juga memiliki kepandaian setinggi langit. Kakeknya adalah Hoa-san It-kiam. Kwa Tin Siong bekas ketua Hoa-san-pai, pamannya adalah Kui-san-jin (Orang Gunung she Kui) yang sekarang menjadi ketua kami. Paman-paman gurunya adalah orang-orang sakti di samping tokoh-tokoh sakti yang bersama-sama menggemblengnya, bukankah dia kelak akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan?”
Tosu gendut itu nampak bangga sekali sehingga tidak tahu betapa wajah kacung kuda ini menjadi pucat. Kiranya Swan Bu yang pagi tadi memakinya dan hendak memanahnya kalau dia lari, adalah putera suhunya! Pantas saja demikian gagah dan tampan. Ah, aku kurang hati-hati, pikirnya. Dia anak suhu, dan diam-diam dia merasa bangga Juga. Akan tetapi dia kecewa sekali teringat bahwa kuda anak itu telah terbunuh.
“Malam sudah tiba….. eh, siapa namamu tadi?”
“A Wan, Lopek.”
“A Wan, kau jaga baik-baik kuda di kandang ini. Rumput masih cukup di sudut kandang sana, kau beri makan mereka, lalu kau boleh tidur. Kau bikin sendiri tempat tidurmu, banyak rumput kering di kandang kosong sebelah kiri. Beberapa malam ini pinto (aku) juga tidur disana, lebih enak daripada tidur di ranjang. Kalau perlu mandi, tuh di bawah pohon besar itu ada sumber air. Besok saja pinto ajak kau ke dalam, bertemu dengan para pemimpin. Malam ini kau mengaso saja.”
“Baik, terima kasih, Lopek.”
Yo Wan berterima kasih sekali sekarang karena memang dia membutuhkan istirahat untuk memutar otak. Bermacam perasaan teraduk di dalam hatinya. Jadi suhunya sudah mempunyai putera yang demikian tampan dan gagah. Putera itu dididik di Hoa-san-pai. Mungkin saking senangnya mendapatkan putera ini, suhu dan subonya sampai lupa kepadanya. Besok dia harus menghadap suhu dan subonya. Tentu saja dia dapat bekerja disitu, menjadi tukang kuda atau apa saja.
Tapi….. dia ragu-ragu apakah dia akan suka tinggal disini selamanya. Apakah suhunya mau menurunkan ilmu silat setelah mempunyai putera yang amat disayang? Bukankah tosu gendut tadi menyatakan bahwa cita-cita mereka semua adalah membuat Swan Bu menjadi jago nomor satu di dunia? Mungkin suhu dan subonya mau mengajarnya, dia cukup mengenal watak mereka yang budiman. Akan tetapi apakah para orang tua di Hoa-san-pai akan suka menerimanya?
Pusing pikiran Yo Wan. Betapapun juga, besok aku akan menghadap suhu dan lihat saja bagaimana perkembangannya. Kalau tak mungkin tinggal disitu, pikirnya, dia akan tanya kepada suhunya tentang musuh besarnya, The Sun. Akan dicari dan dilawan dengan apa yang dia miliki sekarang.
Berpikir sampai disini dia teringat akan pertempuran tadi dan diam-diam dia menjadi girang. Tadinya dia menganggap bahwa dua orang itu hanya dua manusia sombong yang tidak becus apa-apa, orang-orang lemah yang hanya mengandalkan aksi dan mungkin kedudukan, yang sama sekali tidak memiliki kepandaian silat yang berarti. Apakah tosu gendut tadi yang melebih-lebihkan? Tidak mungkin dua orang yang begitu lemah bisa merajalela berbuat kejahatan.
Orang dengan kepandaian serendah itu mana bisa mengganggu orang lain? Sampai dia tertidur pulas diatas rumput kering yang nyaman ditiduri, Yo Wan tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu.
Memang, pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan dua orang itu yang terlalu lemah, melainkan dia sendirilah yang terlalu tinggi tingkat ilmunya bagi dua orang tadi. la sama sekali tidak menyadari bahwa dalam dirinya telah terkandung ilrnu silat tingkat tinggi yang sudah mendarah daging dengan dirinya.
la menganggap dirinya belum pandai silat, sama sekali tidak sadar bahwa setiap gerakannya adalah mengandung inti sari ilmu silat tinggi yang diwariskan oleh Sin-eng-cu dan Bhewakala! Tentu saja Yo Wan yang sederhana jalan pikirannya ini tidak merasa pandai ilmu silat karena ketika selama tiga tahun dia mainkan jurus-jurus sakti, sama sekali bukanlah “belajar”, melainkan hanya menjadi perantara kedua orang sakti mengadu ilmu.
Tiba-tiba Yo Wan bangkit dari rumput kering. Dia mendengar kuda meringkik dan menyepak-nyepak. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia menjadi tukang kuda dan kewajibannya menjaga kuda, tentu dia tidur lagi. la terlalu lelah. Dengan malas dia bangun dan keluar dari kandang kosong yang menjadi kamar tidurnya, menghampiri kandang kuda. Tidak ada sesuatu. Malam gelap dan kuda-kuda itu masih berada di kandang.
“Ah, kiranya benar hanya tukang kuda…..” terdengar suara lirih, dari atas.
Yo Wan terkejut. Kiranya ada orang diatas kandang kuda. Mendadak dia mendengar sambaran halus dari belakang. Cepat dia miringkan tubuhnya dan “tak!” sebuah benda kecil menyambar lewat, menghantam tiang kandang dan mengeluarkan sinar. Dilain saat, tiang itu dan rumput kering di bawah yang terkena pecahan benda itu sudah terbakar.
Sinar golok berkelebat kearah leher Yo Wan, disusul bacokan golok si rambut putih kearah pinggangnya. Memang keistimewaan para anak murid Sin-tung-kai-pang adalah permainan golok. Ketuanya terkenal dengan tongkatnya, maka perkumpulan pengemis itu dinamakan Sin-tung (Tongkat Sakti), namun agaknya si ketua ini tidak mau menurunkan ilmu tongkatnya kepada para murid dan anggautanya. Sebaliknya dia lalu menciptakan ilmu golok dari ilmu tongkat itu dan ilmu golok inilah yang dipelajari oleh semua murid dan anggauta Sin-tung-kai-pang.
Yo Wan menggerakkan kedua kakinya, mainkan langkah ajaib dan….. dua orang pengemis itu seketika menjadi bingung karena pemuda itu lenyap di belakang. Kalau mereka membalik dan menerjang lagi, pemuda itu menggerakkan kedua kaki secara aneh, lenyap lagi dan tiba-tiba belakang siku kanan mereka terkena sentilan jari tangan Yo Wan. Seketika kaku rasanya lengan itu dan golok mereka terlepas tanpa dapat dipertahankan lagi. Sebelum mereka tahu apa yang terjadi, untuk kedua kalinya tubuh mereka melayang karena kaki Yo Wan otomatis telah mengirim dua buah tendangan.
“Aku tidak mau berkelahi, lebih baik kalian pergi. Ganti kudaku dan perkara ini habis sampai disini saja,” kembali Yo Wan berkata.
Akan tetapi kedua orang pengemis itu menjadi begitu kaget, heran dan ketakutan sehingga tanpa berkata apa-apa iagi mereka berdua lalu merangkak bangun dan….. lari turun gunung!
Yo Wan berdiri tertegun, mengikuti mereka dengan pandang mata heran. Kemudian dia mengangkat pundak, lalu memegang kendali dua ekor kuda mereka itu. Kini ada empat ekor kuda di tangannya.
Kuda-kuda itu dia cancang pada sebatang pohon dan dia segera menggali lubang di pinggir jalan untuk mengubur bangkai kuda tadi. Setelah selesai, Yo Wan menuntun empat ekor kuda, melanjutkan perjalanannya mendaki puncak.
Kiranya jalan yang sengaja dibangun menuju ke puncak itu berliku-liku mengelilingi puncak. Memang, satu-satunya cara untuk membuat jalan yang dapat dilalui kuda dan manusia biasa, hanya membuatnya berliku-liku seperti itu sehingga jalan tanjakannya tidak terlalu sukar dilalui.
Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, tentu saja dapat mendaki dengan melalui jalan yang lurus dan dapat cepat sampai di puncak. Akan tetapi melalui jalan buatan ini, apalagi menuntun empat ekor kuda yang kadang-kadang rewel dan mogok di jalan, benar-benar memakan waktu setengah hari lebih. Menjelang senja barulah Yo Wan tiba dipintu gerbang tembok yang mengelilingi Hoa-san-pai yang merupakan kelompok bangunan besar di puncak.
Seorang tosu yang menjaga pintu gerbang menyambut Yo Wan dengan pertanyaan,
“Apakah kau tukang kuda baru?”
Yo Wan mengangguk.
“Aku harus membawa kuda-kuda ini ke kandang. Dapatkah kau menunjukkan dimana adanya kandang kuda?”
Tosu itu kelihatan tidak senang mendengar kata-kata Yo Wan yang sederhana tanpa penghormatan sama sekali itu. Benar-benar seorang anak muda dusun yang bodoh, pikirnya.
“Kandang kuda berada diluar tembok sebelah barat. Kau kelilingi saja tembok ini ke barat, nanti akan sampai disana,” jawabnya lalu duduk kembali, sama sekali tidak mengacuhkan Yo Wan yang berpeluh dan amat lapar itu.
Yo Wan memandang ke barat. Benar saja, di dekat tembok sebelah sana kelihatan kandang kuda, terbuat daripada papan sederhana. Tanpa mengucap terima kasih karena dianggapnya tanya jawab itu sudah semestinya, dia pergi dari situ, menuntun empat ekor kudanya.
Tosu yang menyambutnya di kandang kuda lebih peramah. Tosu ini bertubuh gemuk pendek, mukanya bundar dan matanya seperti dua buah kelereng.
“Ha-ha-ha, ada tukang kuda baru!” serunya. “Orang muda, mana kuda tunggangan Swan Bu yang berbulu hitam? Dan ini ada empat ekor, eh, bagaimana ini, Bong-suheng tadi bilang bahwa kau membawa kuda mereka bertiga, kenapa sekarang ada empat ekor? Kuda siapa yang dua ekor ini dan mana kuda Swan Bu?”
“Lopek, kuda yang hitam itu sudah kukubur di pinggir jalan sana,” kata Yo Wan sambil menyusut peluh dengan ujung lengan baju.
la merasa lelah dan lapar sekali, juga amat haus. Sejak kemarin dia tidak makan, dan tadi dia tidak berani berhenti untuk mencari buah atau air. Sekarang dia masih menghadapi urusan kuda dan tentu akan mendapat marah lagi.
Tosu gendut itu melongo, sepasang matanya makin bundar, memandangnya dengan bingung dan heran.
“Kau kubur? Bagaimana ini? Maksudmu, kau pendam kuda itu?”
Yo Wan mengangguk,
“Benar, karena dia mati.” la berhenti sebentar lalu berkata, “Lopek, aku lapar dan haus, apa kau bisa menolong aku?”
Tosu itu mengangguk-angguk, masih bingung.
“Ah, tentu….. tentu….. tunggu sebentar. Aneh, bagaimana kuda bisa mati dan dikubur? Aneh…..” tapi dia berjalan memasuki kandang kuda sambil mengomel panjang pendek, keluar lagi membawa bungkusan makanan dan sekaleng air minum.
Tanpa banyak sungkan lagi Yo Wan menerima kaleng air dan minum dengan lahapnya. Tosu itu memandangnya penuh kasihan dan tidak mengganggunya ketika Yo Wan mulai makan. Berbeda dengan ketika minum tadi, kini Yo Wan makan dengan lambat dan tenang. Melihat tosu itu memandangnya, Yo Wan bercerita sambil makan.
“Kuda hitam dibunuh orang, Lopek. Untungnya mereka berdua itu lari meninggalkan dua ekor kuda mereka ini, lalu kubawa kesini dan bangkai kuda hitam itu kukubur di pinggir jalan.”
Tosu itu mendengarkan dengan melongo.
“Kuda dibunuh orang? Siapa mereka yang begitu berani main gila di Hoa san?”
“Mereka mengaku utusan-utusan dan Sin-tung-kai-pang. Tadinya mereka tidak mau ganti, aku tetap tidak mau terima. Akhirnya mereka mengalah dan lari pergi, meninggalkan dua ekor kuda ini.”
Tosu itu melebarkan matanya.
“Sin-tung-kai-pang? Mereka mengalah? Hem, kau masih untung, orang muda. Mereka itu jahat. Kalau mereka tidak memandang kebesaran Hoa-san-pai, kiranya bukan hanya kuda itu yang mereka bunuh dan saat ini kau takkan dapat makan minum lagi.”
Yo Wan diam saja, pikirannya melayang kearah Swan Bu. Jangan-jangan anak itu akan menjadi marah sekali karena kuda kesayangannya dibunuh orang dan akan membuat gara-gara dengan pembunuh kuda.
“Lopek, tadi aku sudah melihat anak yang bernama Swan Bu itu. Dia tampan dan pandai main panah. Siapakah dia? Apakah putera Hoa-san-pai?”
Tosu itu menggeleng kepala.
“Kau orang baru, agaknya bukan orang sekitar Hoa-san. Memang Swan Bu tampan dan gagah. Ah, kasihan dia, tentu akan sedih dan marah kalau mendengar kudanya dibunuh orang….. hemmm, aku tidak akan tega menyampaikan berita ini kepadanya. Anak malang…..”
Hemmm, benar-benar orang Hoa-san-pai amat memanjakan anak itu.
“Lopek, kalau dia bukan putera Hoa-san-pai, apakah dia itu anak raja yang sedang bermain-main disini?”
Tosu itu memandangnya dengan mata terbelalak.
“Putera raja? Ha-ha-ha, sama sekali bukan, tapi memang dia patut menjadi putera raja! Dia itu cucu tunggal dari Kwa-lo-sukong, jadi masih terhitung keponakan dari ketua kami yang sekarang”.
Berdebar jantung Yo Wan. Cucu guru besar she Kwa? Suhunya juga she Kwa!
“Lopek, dia itu anak siapakah? Aku belum mengenal orang-orang disini, keteranganmu tadi sama sekali tidak jelas”.
Tosu itu kini tertawa dan mengangkat jempol tangan kanannya keatas.
“Dia keturunan orang-orang gagah, karena itu, dia harus menjadi seorang calon tokoh Hoa-san-pai yang nomor satu. Ayahnya adalah tokoh sakti yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta, ibunya juga memiliki kepandaian setinggi langit. Kakeknya adalah Hoa-san It-kiam. Kwa Tin Siong bekas ketua Hoa-san-pai, pamannya adalah Kui-san-jin (Orang Gunung she Kui) yang sekarang menjadi ketua kami. Paman-paman gurunya adalah orang-orang sakti di samping tokoh-tokoh sakti yang bersama-sama menggemblengnya, bukankah dia kelak akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan?”
Tosu gendut itu nampak bangga sekali sehingga tidak tahu betapa wajah kacung kuda ini menjadi pucat. Kiranya Swan Bu yang pagi tadi memakinya dan hendak memanahnya kalau dia lari, adalah putera suhunya! Pantas saja demikian gagah dan tampan. Ah, aku kurang hati-hati, pikirnya. Dia anak suhu, dan diam-diam dia merasa bangga Juga. Akan tetapi dia kecewa sekali teringat bahwa kuda anak itu telah terbunuh.
“Malam sudah tiba….. eh, siapa namamu tadi?”
“A Wan, Lopek.”
“A Wan, kau jaga baik-baik kuda di kandang ini. Rumput masih cukup di sudut kandang sana, kau beri makan mereka, lalu kau boleh tidur. Kau bikin sendiri tempat tidurmu, banyak rumput kering di kandang kosong sebelah kiri. Beberapa malam ini pinto (aku) juga tidur disana, lebih enak daripada tidur di ranjang. Kalau perlu mandi, tuh di bawah pohon besar itu ada sumber air. Besok saja pinto ajak kau ke dalam, bertemu dengan para pemimpin. Malam ini kau mengaso saja.”
“Baik, terima kasih, Lopek.”
Yo Wan berterima kasih sekali sekarang karena memang dia membutuhkan istirahat untuk memutar otak. Bermacam perasaan teraduk di dalam hatinya. Jadi suhunya sudah mempunyai putera yang demikian tampan dan gagah. Putera itu dididik di Hoa-san-pai. Mungkin saking senangnya mendapatkan putera ini, suhu dan subonya sampai lupa kepadanya. Besok dia harus menghadap suhu dan subonya. Tentu saja dia dapat bekerja disitu, menjadi tukang kuda atau apa saja.
Tapi….. dia ragu-ragu apakah dia akan suka tinggal disini selamanya. Apakah suhunya mau menurunkan ilmu silat setelah mempunyai putera yang amat disayang? Bukankah tosu gendut tadi menyatakan bahwa cita-cita mereka semua adalah membuat Swan Bu menjadi jago nomor satu di dunia? Mungkin suhu dan subonya mau mengajarnya, dia cukup mengenal watak mereka yang budiman. Akan tetapi apakah para orang tua di Hoa-san-pai akan suka menerimanya?
Pusing pikiran Yo Wan. Betapapun juga, besok aku akan menghadap suhu dan lihat saja bagaimana perkembangannya. Kalau tak mungkin tinggal disitu, pikirnya, dia akan tanya kepada suhunya tentang musuh besarnya, The Sun. Akan dicari dan dilawan dengan apa yang dia miliki sekarang.
Berpikir sampai disini dia teringat akan pertempuran tadi dan diam-diam dia menjadi girang. Tadinya dia menganggap bahwa dua orang itu hanya dua manusia sombong yang tidak becus apa-apa, orang-orang lemah yang hanya mengandalkan aksi dan mungkin kedudukan, yang sama sekali tidak memiliki kepandaian silat yang berarti. Apakah tosu gendut tadi yang melebih-lebihkan? Tidak mungkin dua orang yang begitu lemah bisa merajalela berbuat kejahatan.
Orang dengan kepandaian serendah itu mana bisa mengganggu orang lain? Sampai dia tertidur pulas diatas rumput kering yang nyaman ditiduri, Yo Wan tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu.
Memang, pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan dua orang itu yang terlalu lemah, melainkan dia sendirilah yang terlalu tinggi tingkat ilmunya bagi dua orang tadi. la sama sekali tidak menyadari bahwa dalam dirinya telah terkandung ilrnu silat tingkat tinggi yang sudah mendarah daging dengan dirinya.
la menganggap dirinya belum pandai silat, sama sekali tidak sadar bahwa setiap gerakannya adalah mengandung inti sari ilmu silat tinggi yang diwariskan oleh Sin-eng-cu dan Bhewakala! Tentu saja Yo Wan yang sederhana jalan pikirannya ini tidak merasa pandai ilmu silat karena ketika selama tiga tahun dia mainkan jurus-jurus sakti, sama sekali bukanlah “belajar”, melainkan hanya menjadi perantara kedua orang sakti mengadu ilmu.
Tiba-tiba Yo Wan bangkit dari rumput kering. Dia mendengar kuda meringkik dan menyepak-nyepak. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia menjadi tukang kuda dan kewajibannya menjaga kuda, tentu dia tidur lagi. la terlalu lelah. Dengan malas dia bangun dan keluar dari kandang kosong yang menjadi kamar tidurnya, menghampiri kandang kuda. Tidak ada sesuatu. Malam gelap dan kuda-kuda itu masih berada di kandang.
“Ah, kiranya benar hanya tukang kuda…..” terdengar suara lirih, dari atas.
Yo Wan terkejut. Kiranya ada orang diatas kandang kuda. Mendadak dia mendengar sambaran halus dari belakang. Cepat dia miringkan tubuhnya dan “tak!” sebuah benda kecil menyambar lewat, menghantam tiang kandang dan mengeluarkan sinar. Dilain saat, tiang itu dan rumput kering di bawah yang terkena pecahan benda itu sudah terbakar.
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI