JAKA LOLA JILID 026

 Demikianlah, dengan penuh keheranan Yo Wan lalu kembali ke dalam gedung setelah menotok penjaga itu dan meninggalkan di tempat sunyi. la tahu bahwa penjaga itu tak mungkin akan dapat melepaskan diri sebelum besok pagi. la tidak langsung mencari tempat gadis itu ditahan melainkan mencuri masuk secara diam-diam kedalam kamar Bun-goanswe dan dengan kepandaiannya yang luar biasa ia berhasil mencuri pedang Siu Bi yang disimpan di dalam kamar itu! Setelah menyimpan pedang di balik jubahnya, baru ia mencari tempat tahanan di belakang dan tepat kedatangannya pada saat Hui Siang menyerang Siu Bi.


Siu Bi kini berdiri dekat jeruji. Mereka saling pandang dan gadis itu berdebar jantungnya karena merasa serem melihat laki-laki itu berdiri seperti patung diluar kamar tahanan.

“Kau siapa? Apa maksud ucapanmu tadi?” 

Akhirnya ia menegur, sambil menatap wajah yang tampan dan agak pucat, tubuhnya yang kurus sehingga tulang pundaknya tampak menjendul di balik bajunya yang sederhana.

“Maksud ucapanku tadi sudah jelas, Nona. Selagi ada kesempatan untuk lari, mengapa membiarkan dirimu terkurung disini”.

Siu Bi merasa heran. Apa kehendak orang ini dan siapa dia? Apa yang diucapkan orang ini memang menjadi suara hatinya. Memang ingin ia melarikan diri, tidak sudi ditahan seperti binatang buas. Akan tetapi bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ia tidak kuat membongkar daun pintu dan jeruji baja? Bahkan pedangnyapun ditahan, bagaimana ia suka pergi tanpa mendapatkan pedangnya kembali? Akan tetapi untuk menjawab seperti ini, tentu saja ia tidak sudi. Hal itu hanya akan merendahkan dirinya sendiri, mengakui kebodohan dan kelemahannya. Maka ia menjawab dengan suara ketus,

“Kau peduli apa? Aku harus tunduk kepada hukum, aku bukan manusia liar yang tidak mengenal hukum.”

Laki-laki rnuda itu tertawa, hanya sebentar saja. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik itu, selagi tertawa, laki-laki itu dalam pandang mata Siu Bi kelihatan tampan dan lenyap semua kekeruhan pada mukanya. Akan tetapi hanya sebentar saja, senyum dan tawa itu melenyap, kembali wajah itu tampak suram muram.

“Hukum, kau bilang? Nona, aku lebih banyak mengalami hal-hal mengenai hukum. Semua pembesar bicara tentang hukum, bersembunyi di belakang hukum, dan tahukah kau apa arti hukum sebenarnya? Hukum hanya menjadi alat penyelamat mereka belaka, bahkan alat penindas mereka yang lebih lemah! Hukum dapat mereka putar balik, dapat ditekuk-tekuk kearah yang menguntungkan dan memenangkan mereka. Kau akan kecewa kalau kau mempercayakan keselamatanmu kepada hukum, Nona. Karena itu, pokok terpenting, kau tidak bersalah dalam suatu persoalan. Perbuatanmu membela para petani miskin yang tertindas itu adalah perbuatan orang gagah, sama sekali tidak seharusnya dihukum atau ditahan.”

Di dalam hatinya, Siu Bi setuju seribu prosen. Akan tetapi bagaimana ia dapat menyatakan setuju kemudian menyatakan bahwa ia tidak mampu keluar?

“Eh, kau ini siapakah, berlagak pandai dan membelaku? Hemmm, lagaknya saja hendak menolong. Apa sih yang dapat kau lakukan untuk menolongku? Pula, akupun tidak membutuhkan pertolonganmu, dan andaikata kau mau menolong, mengapa pula kau yang sama sekali tidak kukenal ini hendak menolongku? Apakah bukan maksudmu untuk mencari muka belaka?”

Yo Wan tersenyum kecut. la kagum menyaksikan sepak terjang gadis ini, juga senang menyaksikan ketabahan dan kelincahannya, akan tetapi watak gadis ini amat sombong. Yo Wan sudah mencapai tingkat tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu batin, berkat gemblengan selama sepuluh tahun di puncak Pegunungan Himalaya. Maka ia tidak menjadi marah oleh sikap kasar dan ketus dari gadis itu. 

Dengan tenang ia lalu mengeluarkan pedang Cui-beng-kiam dari balik jubahnya, menaruh pedang itu diatas lantai, kemudian ia menggunakan kedua tangannya mernegang jeruji baja, mengerahkan sedikit sinkang dan….. jeruji-jeruji itu melengkung, membuka lubang yang cukup lebar untuk dilalui tubuh orang!

“Aku datang sekedar memenuhi kewajiban membantu yang benar, tak perlu bicara tentang pertolongan. Tentang kau mau keluar atau tidak, adalah menjadi hakmu untuk menentukan, Nona. Pedangmu ini tadi kuambil dari kamar Bun-goanswe. Tidak baik seorang gagah berjauhan dari senjatanya. Selamat tinggal.”





Siu Bi bengong terlongong. la berdiri seperti patung memandang bayangan laki-laki itu yang berjalan perlahan, meninggalkannya dan menghilang di dalam gelap. Setelah bayangan orang itu tidak tampak, baru ia sadar. Kerangkeng terbuka, pedangnya disitu, mau tunggu apa lagi? Cepat ia menyelinap keluar diantara dua jeruji yang sudah melengkung, disambarnya pedang Cui-beng-kiam dan dilain saat ia sudah melompat ke atas genteng, memandang ke sana ke mari. Namun sunyi di atas gedung itu, tidak tampak bayangan laki-laki tadi. Hatinya bimbang. 

Apakah ia akan pergi melarikan diri sekarang juga keluar kota. Memang sesungguhnya lebih baik dan lebih aman begitu. Akan tetapi, setelah Jenderal Bun itu melakukan hal yang tak patut terhadapnya, mengurungnya dalam kerangkeng, seperti binatang, kemudian nyonya jenderal itu tanpa sebab menyerangnya dengan jarum dan pukulan, masa ia harus pergi begitu saja seperti orang lari ketakutan? Tidak, tidak ada penghinaan yang tidak dibalas. 

Sebelum ia pergi meninggalkan kelihaiannya dan memberi sedikit hajaran kepada Jenderal Bun dan isterinya yang galak. Tentu saja Bun Hui tidak termasuk dalam daftarnya untuk diberi hukuman karena pemuda itu bersikap baik sekali kepadanya.

Pikiran ini mendorong Siu Bi membatalkan niatnya untuk melarikan diri. la lalu bergerak-gerak seperti seekor kucing ringannya, meloncati genteng diatas gedung itu menuju ke bangunan besar, kemudian ia mengintai untuk mencari dimana adanya kamar Jenderal Bun dan isterinya, mendekam dan mendengarkan. la mendengar suara Jenderal Bun dan isterinya.

“Masa tengah malam begini hendak pergi? Urusan bagaimana pentingnyapun, kan dapat diurus besok pagi?” terdengar suara nyonya Jenderal Bun, suara yang merdu dan halus.

“Harus sekarang kuselesaikan. Selain menyelidiki ke Pau-ling, aku juga harus cepat menyuruh seorang pengawal yang tangkas untuk mengabarkan kepada Kwa Kun Hong di Liong-thouw-san tentang ancaman gadis liar itu.” suara yang berat dari Jenderal Bun ini mendebarkan hati Siu Bi yang mendengarkan terus.

“Ah, tentang urusan itu, apa sangkut pautnya dengan kita? Kalau dia mempunyai dendam pribadi dengan Kun Hong, biarlah ia menyelesaikannya sendiri. Urusan pribadi orang lain, bagaimana kita dapat ikut campur?” Isterinya mencela.

“Orang lain? Kurasa Kwa Kun Hong dengan keluarganya tidaklah dapat dikata orang lain!” Bun-goanswe berseru keras, suaranya mengandung penasaran. “Bukankah isterinya adalah cicimu (kakakmu)?”

“Enci Hui Kauw hanyalah saudara pungut.”

Hening sejenak, lalu terdengar suara jenderal itu penuh penyesalan.
“Hui Siang, isteriku, harap kau jangan merusak perasaan hatiku dengan sikapmu seperti ini terhadap mereka. Aku tahu bahwa kau masih menaruh dendam akan urusan lama, bukankah itu merupakan sifat kanak-kanak? Kita bukan kanak-kanak lagi. Perbuatanmu tadi mendatangi kamar tahanan dan menyerang gadis itu, juga merupakan sisa daripada sifat waktu mudamu. Ah, Hui Siang, aku dapat menduga isi hatimu, setelah kau menguji gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa dia cukup lihai, kau ingin sekali melihat dia itu mengacau Liong-thouw-san. Begitukah?”

Nyonya itu berseru kaget. 
“Kau….. kau mengintai…..?” Kemudian disusul suaranya menantang, “Betul, aku… aku memang masih benci kepada Kun Hong dan enci Hui Kauw!” Disusul isa tangis tertahan dan tarikan napas panjang Jenderal itu,

“Hui Siang, mengapa kau masih juga belum dapat memadamkan api dendam terhadap mereka? Lupakah kau bahwa Kun Hong adalah penolong kita? Dia seorang pendekar besar yang telah terkenal kegagahan dan budi pekertinya. Dia merupakan penolong kita!”

Isak tangis itu makin keras. 
“Aku….. akupun tidak bisa lupa….. bahwa kau….. kau membutakan mata kananmu karena dia…?”.

Bun-goanswe tertawa. 
“Ha-ha-ha, itukah yang membuat dendammu tak dapat hilang? Tak usah dipusingkan, isteriku. Kebutaan sebelah mataku dapat membuka kebutaan mata hatiku, bukankah itu baik sekali?”

“Lalu. apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis itu?” 

“Aku akan membujuknya agar supaya ia membatalkan niatnya mengacau tempat tinggal Kun Hong. Kalau ia bersikeras, apa boleh buat, aku akan memasukkannya ke dalam tahanan sampai ia bertobat.”

“Jenderal busuk, kau benar-benar hendak mempergunakan hukum untuk mencari kebenaran dan kemenangan sendiri. Aku, Cui-beng Kwan Im, mana sudi kau perlakukan demikian?” 

Sesosok bayangan melayang turun dari jendela dan sinar pedang hitam menerjang Bun-goanswe, Jenderal ini kaget sekali, cepat dia menghunus pedangnya dan menangkis. 

Adapun Hui Siang, isteri jenderal itu, kaget dan khawatir, untuk sejenak hanya dapat memandang dengan kaget. Akan tetapi, beberapa menit kemudian nyonya ini sudah mendapatkan pedangnya lalu menyerbu dan mengeroyok Siu Bi. 

Dara ini tidak menjadi gentar, malah berseru keras dan segera pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kehitaman, diseling pukulan-pukulannya yang mengandung tenaga Hek-in-kang! Memang hebat gadis ini, ilmunya tinggi nyalinya sebesar nyali harimau, akan tetapi dia terlalu memandang rendah orang lain. Terjangannya yang dahsyat dan ganas memang, membuat suami isteri itu kaget dan terdesak mundur.

Akan tetapi, jenderal itu adalah Bun Wan putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya juga hebat. Dan isterinya adalah puteri dari Ching-toanio yang memiliki ilmu silat segolongan dengan Siu Bi, yaitu golongan hitam. Biarpun tingkat ilmu silat kedua orang suami isteri ini tidak sedahsyat ilmu silat Siu Bi warisan dari kakek sakti Hek Lojin, namun gadis itu kalah ulet dan kalah pengalaman sehingga terjangan-terjangannya biarpun mendesak dan mengejutkan, namun belum mampu merobohkan mereka.





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)