JAKA LOLA JILID 034

 


“Tidak peduli. Aku tidak takut!” 

Ang-hwa Nio-nio membelalakkan kedua matanya. la tak berdaya menghadapi gadis ini yang begini sukar diajak berunding. la mulai tidak sabar dan hal ini dapat dilihat oleh Ouwyang Lam yang segera berkata sambil tersenyum.

“Tentu saja adik Siu Bi tidak takut. Masa terhadap seorang musuh yang buta kedua matanya saja takut? Kalau takut kan bukan orang gagah namanya! Akan tetapi kami yang lemah memerlukan bantuan dan kami mohon bantuan adik Siu Bi yang gagah perkasa untuk bersama-sama menghadapi Pendekar Buta. Kita mempunyai kepentingan bersama dan kita sama-sama bersakit hati terhadap dia.”

Enak didengar ucapan Ouwyang Lam ini dan seketika hati Siu Bi dapat dikalahkan. Gadis ini menjadi tidak enak sendiri mendengar ia diangkat-angkat dan mereka berdua yang ia tahu tidak kalah lihai itu merendahkan diri. Untuk menghilangkan rasa tidak enak ini ia bertanya. 

“Mengapakah kalian juga bermusuh dengan Pendekar Buta? Kalau kakek sudah terang dibuntungi lengannya.”

Ang-hwa Nio-nio girang melihat hasil bujuk dan kata-kata halus muridnya, maka kini ia yang memberi penjelasan, 

“Siu Bi, agaknya kakek dan ayahmu tidak memberi penuturan yang lengkap kepadamu. Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu sebelum kau terlahir, ayahmu merupakan musuh besar Pendekar Buta, dan karena ayahmu tidak dapat menangkan musuhnya maka kakekmu Hek Lojin datang membantu. Akan tetapi ternyata kakekmu juga kalah, malah dibuntungi lengannya. Adapun aku sendiri, bersama dua orang adik perempuanku, juga memusuhi Pendekar Buta untuk membalas dendam suci (kakak seperguruan) kami, akan tetapi dalam pertempuran itu, kedua orang adikku tewas, hanya aku seorang yang berhasil menyelamatkan diri. Karena itulah, aku bersumpah untuk membalas dendam atas kematian saudara-saudaraku dan juga atas kekalahan para kawan segolonganku, termasuk ayahmu dan kakekmu. Dengan demikian, bukankah kita ini orang sendiri dan segolongan?”

Siu Bi diam-diani terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa Pendekar Buta sedemikian lihainya sehingga dikeroyok begitu banyak orang sakti masih dapat menang! Makin ragu-ragu ia apakah ia akan dapat menangkap musuh besar itu, dan mulailah ia melihat kenyataan akan pentingnya bekerja sama dengan orang-orang pandai seperti Ang-hwa Nio-nio dan muridnya yang tampan ini. Apalagi dengan adanya Ang-hwa Nio-nio, akan lebih mudah mengenal kelemahan-kelemahan lawan karena Ang-hwa Nio-nio pernah bertempur menghadapi Pendekar Buta.

“Kau betul, Bibi. Maafkan keraguanku tadi. Kalau begitu, marilah kita berangkat ke Liong-thouw-san mencari musuh besar kita.”

Ang-hwa Nio-nio tertawa. 
“Hi-hi-Hik, kau benar-benar seorang gadis yang keras hati dan penuh semangat Siu Bi, tidak mudah menyerbu ke Liong-thouw-san. Kita harus menghubungi teman-teman segolongan. Banyak yang akan suka ikut menyerbu kesana untuk menyelesaikan perhitungan lama. Diantaranya ada pamanku Ang Moko yang sudah menyanggupi. Di samping itu, kau harus membantu kami lebih dulu, karena kami pada saat ini sedang menanti kedatangan musuh-musuh kami yang datang dari Kun-lun. Sebagai orang segolongan, tentu kau tidak suka melihat kami dihina orang dan tentu kau mau membantu kami, bukan?”

“Tentu saja, Bibi. Akan tetapi tidak enaklah membantu sesuatu tanpa mengetahui persoalannya. Mengapa kau bermusuhan dengan orang-orang Kun-lun? Aku pernah mendengar dari kakek bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar.”

Ang-hwa Nio-nio menarik napas panjang dan mengangguk-angguk, 
“Sebetulnya, dengan Kun-lun-pai langsung kami tidak mempunyai urusan. Yang menjadi biang keladinya adalah Bun-goanswe sehingga menyeret Kun-lun-pai berhadapan dengan kami.”

“Jenderal Bun di Tai-goan?” tanya Siu Bi, kaget.

Tercenganglah Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam mendengar ini. 
“Kau kenal dia?”

“Tidak kenal, tapi aku tahu. Pernah aku dijadikan tahanan disana karena aku membantu para petani yang ditindas.”

“Dia memang sombong!” kata Ouwyang Lam. “Puteranya juga sombong sekali. Dumeh (mentang-mentang) jenderal itu sahabat baik Pendekar Buta dan putera dari ketua Kun-lun-pai, sama sekali tidak memandang mata kepada orang-orang seperti kita!”

Mendengar bahwa Jenderal Bun itu adalah sahabat baik musuh besarnya, tentu saja Siu Bi menjadi makin tak senang kepada keluarga Bun. 

“Apakah yang terjadi?” tanyanya.





“Ketahuilah, adik Siu Bi. Kami dari Ang-hwa-pai selalu melakukan hubungan baik dengan para pembesar, malah kami tidak pernah berlaku pelit. Semua pembesar dari yang rendah sampai yang tinggi di wilayah ini, apabila mengalami kesukaran, tentu minta bantuan kami dan tidak pernah kami menolak mereka. Akan tetapi, Jenderal Bun dan puteranya itu malah menghina kami, dan ada empat orang anak buah Ang-hwa-pai mereka tangkap dan mereka jatuhi hukuman. Tiga orang anak buah kami yang melawan mereka bunuh. Coba kau pikir, bukankah mereka itu bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kepandaian?”

“Hemmm, lalu apa yang terjadi?”

“Agaknya urusan ini terdengar oleh ketua Kun-lun-pai yang menjadi ayah dari Jenderal Bun. Kun-lun-pai mengirim utusan memberi teguran kepada partai kami, dinyatakan oleh partai Kun-lun bahwa setelah negara menjadi aman, kami tidak semestinya mengacau. Tentu saja aku tidak dapat menahan kemarahan mendengar pernyataan yang amat memandang rendah ini, kumaki utusan itu dan terjadi pertandingan yang mengakibatkan utusan Kun-lun-pai itu tewas. Dan dalam beberapa hari ini, kurasa akan datang pula utusan Kun-lun-pai kesini. Kalau terjadi keributan dengan fihak Kun-lun-pai yang sombong, kuharap saja kau suka membantu kami, adik Siu Bi.”

Siu Bi kembali mengangguk-angguk. Dia sendiri memang tidak suka kepada Jenderal Bun, apalagi karena jenderal itu adalah sahabat musuh besarnya. Dengan Kun-lun-pai ia tidak mempunyai hubungan apa-apa, sedangkan orang-orang Ching-coa-to ini adalah orang segolongan dengannya, sama-sama musuh besar Pendekar Buta.

“Baiklah, tentu aku membantu. Setelah melihat lurah Bhong yang jahat itu dan sikap Jendepal Bun, akupun tidak suka kepada para pembesar itu. Kalau mereka keterlaluan harus kita lawan.”

Hidangan yang mewah dikeluarkan oleh para pelayan cantik dan tiga orang ini berpesta-pora. Siu Bi diam-diam merasa girang juga karena nenek dan pemuda itu benar-benar amat ramah kepadanya, malah pesta itu diadakan untuk menghormatinya! la merasa beruntung dapat bertemu dengan Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, karena jelas bahwa pertemuan ini akan mendekatkan ia kepada hasil gemilang tujuan perjalanannya. Juga di samping ini, ia tertarik dan suka kepada Ouwyang Lam yang tampan, gagah perkasa dan amat manis budi terhadapnya. Tidak mengecewakan mempunyai seorang sahabat seperti dia, pikirnya.

Baru saja mereka selesai makan minum, seorang penjaga berlari masuk, memberi laporan bahwa ada dua orang tosu menyeberangi telaga dan datang berkunjung ke pulau.

“Mereka mengaku datang dari Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Paicu,” penjaga itu mengakhiri laporannya.

Ouwyang Lam meloncat berdiri. 
“Biarkan aku yang pergi menemui mereka,” katanya kepada Ang-hwa Nio-nio, kemudian menoleh kepada Siu Bi. “Adik Siu Bi, adakah hasrat main-main dengan orang-orang Kun-lun-pai?”

Dasar Siu Bi berwatak nakal dan pemberani. Mendengar bahwa dua orang Kun-lun-pai datang ke pulau ini, tentu dengan maksud mencari perkara, ia menjadi ingin tahu dan gembira sekali kalau ia dipercaya mewakili tuan rumah. la menoleh ke arah Ang-hwa Nio-nio yang tersenyum kepadanya dan berkata,

“Pergilah, Siu Bi, dan bergembiralah bersama kakakmu Ouwyang Lam.”

Pemuda itu sudah meloncat keluar, diikuti Siu Bi dan dua orang muda ini berlari-lari menuju ke pantai. Benar saja seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi, di pantai berdiri dua orang tosu setengah tua yang bersikap keren dan angker. Perahu mereka yang kecil berada di darat dan tak jauh dari tempat itu tampak orang-orang Ang-hwa-pai berjaga-jaga sambil memasang mata penuh perhatian. 

Semenjak terjadi peristiwa utusan Kun-lun-pai, mereka telah menerima perintah dari ketua mereka supaya jangan bertindak sembrono kalau bertemu dengan orang-orang Kun-lun-pai, akan tetapi langsung melaporkan kepada ketua, inilah sebabnya mengapa para anggauta Ang-hwa-pai tidak mengganggu dua orang tosu itu.

Dua orang tosu itu ketika melihat munculnya dua orang muda-mudi yang tampan dan cantik jelita, menjadi tercengang dan saling pandang. Apalagi ketika melihat dua orang muda itu langsung menghampiri mereka dan menatap mereka sambil tersenyum-senyum mengejek. Ouwyang Lam segera bertanya,

“Apakah Ji-wi (Kalian) tosu dari Kun-lun-pai?”

Tosu yang mempunyai tahi lalat besar di bawah mulutnya menjawab, 
“Betul, Orang muda. Pinto (Aku) adalah Kung Thi Tosu dan ini sute Kung Lo Tosu. Kami berdua mentaati perintah ketua kami mengantar seorang suheng (kakak seperguruan) kami menyampaikan pesan ketua kami kepada Ang-hwa-pai. Oleh karena itu, harap kau orang muda suka memberi tahu kepada Ang-hwa-pai bahwa kami datang berkunjung.”

Ouwyang Lam tertawa. 
“Totiang berdua tak perlu sungkan-sungkan. Kalau ada perkara, beritahukan saja kepadaku. Aku Ouwyang Lam mewakili ketua kami, dan segala urusan cukup kalian bicarakan dengan aku.”

“Hemmm, begitukah?” Kung Thi Tosu berkata sambil menatap wajah Ouwyang Lam tajam-tajam. “Sudah lama pinto mendengar nama Ouwyang-kongcu. Kedatangan kami ini tidak lain akan menanyakan tentang suheng kami yang beberapa hari yang lalu datang kesini. Dimanakah suheng kami itu?”

Wajah yang tampan itu menjadi muram. 
“Totiang, apa kau kira aku ini seorang pengembala keledai maka kau tanya-tanya kepadaku tentang keledai yang hilang? Sudahlah, lebih baik kalian pergi, cari di tempat lain. Pulau kami bukan tempat bagi para tosu.”

Jawaban ini biarpun terdengar halus namun amat menghina dan menyakitkan hati karena menyamakan suheng mereka dengan keledai! Kung Lo Tosu yang bermuka kuning menjadi makin pucat mukanya ketika dia melangkah maju dan berkata dengan suara keras.

“Orang muda she Ouwyang bermulut lancang! Kami dari Kun-lun-pai tidak biasa menelan hinaan-hinaan tanpa sebab. Ketua kami mendengar tentang sepak terjang Ang-hwa-pai yang mengacau ketenteraman, lalu ketua kami mengutus suheng dan kami berdua untuk datang mengunjungi kalian guna memberi peringatan secara halus, mengingat sama-sama partai persilatan. Akan tetapi suheng yang amat hati-hati dan tidak ingin kalian salah faham, menyuruh kami menanti di seberang dan suheng seorang diri yang datang kesini empat hari yang lalu. Suheng tidak kelihatan kembali, maka kami datang menyusul. Kiranya datang-datang kami hanya kau sambut dengan ucapan menghina. Orang muda lekas katakan dimana adanya Kun Be Suheng”.

Berubah wajah Ouwyang Lam, agak merah karena dia menahan kemarahannya.
“Aku tidak tahu yang mana itu suhengmu, akan tetapi beberapa hari yang lalu memang ada seseorang kurang ajar mengacau disini. Karena dia tidak mau disuruh pergi, terpaksa aku turun tangan dan dia sudah tewas”.

“Keparat, jadi kau….. kau membunuh suheng…..?” Kun Thi Tosu kinipun menjadi marah sekali. “Kalau begitu Ang-hwa-pai benar-benar jahat sekali, membunuh seorang utusan…..”

Ouwyang Lam tertawa mengejek 
“Tosu bau, dengar baik-baik. Kalau terjadi sesuatu pertengkaran dan pertempuran, jelas bahwa yang salah adalah orang yang datang menyerbu. Aku membela tempatku sendiri yang dikacau orang, mana bisa dianggap jahat? Adalah kalian ini yang bukan orang sini, datang-datang mengeluarkan omongan besar, kalianlah yang jahat!”

“Ang-hwa-pai partai gurem yang baru muncul berani memandang rendah Kun-lun-pai! Benar-benar keterlaluan. Bocah sombong, kau harus mengganti nyawa suheng!”

Ouwyang Lam menoleh kearah Siu Bi. 
“Kau lihat, betapa menjemukan. Mau membantuku melempar mereka ke dalam telaga?”

Siu Bi sudah biasa dengan watak aneh kasar dan liar. Watak kakeknya, Hek Lojin, jauh lebih kasar, liar dan aneh lagi. lapun tadi jemu menyaksikan lagak orang-orang Kun-lun-pai ini dan dalam pertimbangannya, Ouwyang Lam berada di fihak benar. Orang dihargai karena sikapnya, karena kebenarannya, sama sekali bukan karena kedudukannya, atau karena partainya yang besar. Dalam hal ini, Kun-lun-pai terlalu memandang rendah Ang-hwa-pai, tidak semestinya mencampuri urusan partai orang lain, apalagi menegur. Orang-orang Kun-lun-pai mencari penyakit sendiri dengan sikap tinggi hati dan tekebur.

“Mari…..!” kata Siu Bi, juga dengan senyum mengejek.

Dua orang tosu itu sudah marah sekali mendengar betapa suheng mereka yang datang di pulau ini sebagai utusan, telah ditewaskan. Serentak mereka menerjang maju, dengan maksud untuk menangkap pemuda sombong ini untuk ditawan dan dipaksa ikut mereka ke Kun-lun, dihadapkan kepada ketua mereka agar diadili.





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)