JAKA LOLA JILID 040

 Sernentara itu, Ang-hwa Nio-nio marah sekali, 

“Siu Bi, kau….. kau lancang dan tolol!” 

Setelah berkata demikian ketua Ang-hwa-pai ini menerjang dengan pedangnya. Sinar merah berkelebat ketika pedangnya pedang pusaka ampuh yang sudah direndam racun kembang merah dan diberi nama sesuai pula, yaitu Ang-hwa-kiam, digerakkan menusuk ke depan. Pada saat yang sama, empat ekor ular juga sudah menerjang dari belakang, menggigit kearah kaki Cui Sian.

Akan tetapi, setelah kini Liong-cu-kiam berada di tangannya, Cui Sian seakan-akan menjadi seekor harimau betina yang tumbuh sayap. Sinar putih berkilat-kilat menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam di tangannya beraksi. Pedang pusaka ampuh ini sudah menangkis Ang-hwa-kiam dan tenaga benturan itu ia manfaatkan dengan cara mengayun pedang ke belakang sambil mengubah kedudukan kaki dari kuda-kuda melintang menjadi kuda-kuda membujur. Tenaga benturan membuat Liong-cu-kiam bergerak cepat mengeluarkan suara. 

“Cring!” dan….. empat ekor ular yang menyerang dari belakang tubuhnya itu telah terbabat buntung menjadi delapan potong!

“Hebat…..!” 

Siu Bi bengong dan kagum tiada habisnya. Indah sekali gerakan itu dan ia maklum bahwa dengan pedang pusaka di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan lawan berat dan ia sendiri rnasih sangsi apakah ia dengan Cui-beng-kiam akan dapat mengimbangi kesaktian nona cantik langsing ini.

“Kenapa kau membantunya…..?”

Siu Bi menengok dan alisnya berkerut melihat bahwa yang mengeluarkan pertanyaan dengan suara ketus itu bukan lain adalah Ouwyang Lam. Pemuda itu berdiri dengan pedang terhunus, sikapnya mengancam, Siu Bi mengedikkan kepalanya. 

“Siapa membantunya? Aku tidak sudi membantu sahabat baik musuh besarku, akan tetapi akupun tidak sudi membantu kecurangan, biarpun yang curang adalah teman sendiri. Kau mau apa?”

“Mari kita keroyok dia. Dia lihai sekali dan kalau sampai dia terlepas, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan di belakang hari.”

“Kau mau keroyok, terserah. Twako, apakah kau tidak malu? Lihat, ketua Ang-hwa-pai sudah melawannya dengan bantuan ular-ular mengerikan itu. Hal itu saja sudah tidak adil, masa kau mau ajak aku mengeroyok lagi? Aku tidak sudi mengambil kemenangan secara rendah begitu!”

“Tapi, Moi-moi, dia itu musuh kita. Ayahnya adalah ketua Thai-san-pai, bukan saja sahabat baik Pendekar Buta, malah masih terhitung gurunya!”

“Ahhh…..”

Ouwyang Lam mengira bahwa seruan ini menyatakan perubahan di hati Siu Bi. Akan tetapi sebetulnya bukan demikian, Siu Bi terkejut memang, akan tetapi la terkejut karena teringat bahwa gadis itu saja sudah begitu lihai, apalagi Pendekar Buta!

“Lihat, Moi-moi, dia begitu lihai. Kalau kita tidak turun tangan, bisa berbahaya!” 

Setelah berkata demikian, Ouwyang Lam dengan pedang terhunus lalu menerjang ke medan pertempuran. Ia telah menyebar bubuk anti ular pada sepatu dan celananya sehingga seperti halnya Ang-hwa Nio-nio, dia takkan diganggu lagi oleh ular-ular itu.

Memang Cui Sian hebat sekali setelah Liong-cu-kiam berada di tangannya. Boleh jadi dalam hal keuletan, pengalaman, dan keahlian, ia masih belum dapat menandingi Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi biarpun belum matang betul karena usianya masih muda, namun ilmu pedang yang ia mainkan adalah raja sekalian ilmu pedang yaitu Im-yang Sin-kiam, ilmu pedang inilah yang dahulu membuat ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, menjagoi di dunia persilatan dan membuat Raja Pedang itu berhasil mengalahkan semua lawannya yang sakti (baca cerita Raja Pedang). 

Kini, dengan ilmu pedang sakti itu, ditambah lagi dengan pedang pusaka Liong-cu-kiam yang amat ampuh di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan seorang lawan yang sukar dikalahkan.

Betapapun juga, keroyokan ular-ular itu membuat Cui Sian repot. Menghadapi Ang-hwa Nio-nio saja ia sudah mengerahkan seluruh perhatiannya karena memang wanita itu amat ganas dan berbahaya, apalagi sekarang dibantu oleh Ouwyang Lam yang tidak rendah kepandaiannya. Maka sambaran ular-ular dari belakang dan kanan kiri, benar-benar membuat ia sibuk sekali dan ngeri. la maklum bahwa sekali saja tergigit ular hijau, nyawanya takkan tertolong lagi. 





Sudah puluhan ekor ular terbabat mati oleh pedangnya, dan bangkai ular itu bertumpuk dan berserakan di sekelilingnya, menyiarkan bau yang amis dan memuakkan, bau yang mengandung racun pula.

Cui Sian terkejut dan berusaha sedapat mungkin untuk menahan napas mengerahkan sinkang melawan bau yang memuakkan itu. Akan tetapi karena di lain fihak ia diserang hebat oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dan diancam pula semburan ular-ular beracun, berkali-kali perhatiannya terpecah dan tanpa sengaja ia menyedot dan terserang bau amis itu. 

Kepalanya mulai pening, pandang matanya berputaran. Pedangnya masih ia gerakkan dengan cepat, diputar-putar melindungi tubuhnya, akan tetapi karena matanya makin lama makin gelap, akhirnya ia terkena tusukan ujung pedang Ouwyang Lam yang melukai pundaknya.

Dengan hati merasa muak Siu Bi memandang dan hatinya merasa ngeri juga karena sebentar lagi ia akan menyaksikan gadis perkasa itu roboh mandi darah dan dikeroyok ular-ular hijau. Untuk menolong, ia tidak sudi karena bukankah gadis perkasa itu masih sahabat bahkan saudara seperguruan dengan musuh besarnya? la harus membenci gadis itu, biarpun perasaan hatinya tak memungkinkannya menaruh rasa itu, bahkan ada rasa kagum di lubuk hatinya. 

Namun, ia harus membenci semua yang “berbau” Pendekar Buta! Betapapun juga, rasa bencinya yang dipaksakan ini tidak melebihi rasa tidak senangnya kepada Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam yang dianggapnya berjiwa pengecut dan curang, sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat gagah sedikitpun juga.

“Tranggg!! Tranggg!!” 

Bunga api berpijar dan Ang-hwa Nio-nio, juga Ouwyang Lam melompat ke belakang, kaget sekali karena pedang mereka tersambar sinar hitam, telapak tangan mereka menjadi sakit dan hampir mereka terpaksa melepaskan pedang. Sinar hitam masih berkelebatan dan matilah ular-ular yang berada di sekeliling Cui Sian dalam jarak dua meter!

Siu Bi melompat kaget ketika melihat laki-laki yang memegang pedang bersinar hitam itu. Itulah pedangnya dan laki-laki itu bukan lain adalah Yo Wan!

“Kau…..?!?” serunya, kaget dan heran.

Yo Wan cepat merangkul pundak Cui Sian yang terhuyung dan tak ingat diri dengan Liong-cu-kiam masih tergenggam erat-erat. Kemudian Yo Wan menoleh kearah Siu Bi, tersenyum getir dan melemparkan Cui-beng-kiam. 

“Nona, ini pedangmu kukembalikan. Terimalah!”

Pedang itu melayang dengan gagang di depan kearah Siu Bi yang menangkapnya dengan mudah. Mata gadis ini terbelalak memandang. Entah bagaimana ia sendiri tidak tahu, melihat Yo Wan memondong tubuh Cui Sian yang pingsan itu dan melangkah pergi dengan cepat, hatinya menjadi panas dan marah!

Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam sejenak tercengang. Heran mereka mengapa hari ini, setelah Siu Bi muncul pula orang-orang muda yang amat lihai, padahal orang-orang muda ini sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw.

Namun, melihat betapa pemuda sederhana berpakaian putih itu memondong tubuh Cui Sian yang pingsan, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam menjadi marah. Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio melompat diikuti oleh Ouwyang Lam.

“Jahanam, jangan harap dapat keluar dari Ching-coa-to dalam keadaan bernyawa!” seru Ang-hwa Nio-nio. 

Tangannya bergerak dan sinar kemerahan meluncur ke arah punggung Yo Wan. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang ampuh serta jahatnya tidak kalah dengan Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang dahulu dimiliki oleh majikan pulau itu. Kedua-duanya memang merupakan senjata rahasia yang ampuh dan sekali menyentuh kulit dan menimbulkan luka, korban itu takkan tertolong lagi nyawanya. 

Akan tetapi, tentu saja Ang-hwa Nio-nio lebih lihai dalam penggunaan senjata halus ini karena memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada mendiang Ching-toanio, maka pelepasan jarum-jarum itu amat berbahaya.

Bagi si penyannbit dan orang lain, agaknya jarum-jarum yang sudah berubah menjadi segulung sinar merah itu pasti akan mengenai punggung Yo Wan yang lari memondong tubuh Cui Sian. Akan tetapi, aneh bin ajaib akan tetapi nyata terjadi, pemuda itu masih berlari-lari dan jarum-jarum itu melayang ke depan, hilang di antara pepohonan, sama sekali tidak menyentuh baju Yo Wan! 

Hal ini sebetulnya tidaklah mengherankan oleh karena dalam larinya, Yo Wan yang selalu berhati-hati, apalagi maklum bahwa dia dikejar orang-orang pandai, telah menggunakan langkah ajaib Si-cap-it Sin-po. Tentu saja dengan langkah-langkah ajaib ini, apalagi ditambah pendengarannya yang amat tajam karena terlatih sehingga dia dapat mendengar angin sambaran senjata rahasia, dengan mudah dia dapat menghindarkan serangan gelap dari belakang.

Betapapun lihainya Yo Wan, dia adalah seorang asing di pulau itu, sama sekali tidak mengenal jalan, hanya berlari dengan tujuan ke pantai telaga, maka dalam kejar mengejar ini sebentar saja Ouwyang Lam dan Ang-hwa Nio-nio yang mengambil jalan memotong, dapat menyusulnya. Malah dua orang ini tahu-tahu muncul di depan menghadang larinya Yo Wan!

Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Tadinya dia tidak ingin bertempur, apalagi dengan tubuh gadis itu dalam pondongannya. Akan tetapi agaknya dia tidak dapat menghindarkan pertempuran kalau menghendaki selamat. Cepat dia meraih pedang di tangan gadis itu yang biarpun dalam keadaan pingsan masih memegang erat-erat. 

Sekali renggut dia dapat merampas pedang ini dan tepat disaat itu, pedang Ang-hwa Nio-nio dan pedang Ouwyang Lam sudah menyerangnya dengan ganas. Yo Wan memondong tubuh Cui Sian dengan lengan kiri, tangan kanannya memutar pedang dan sekali bergerak dia berhasil menangkis dua pedang lawannya. Pertempuran hebat segera terjadi dan karena tiga batang pedang itu kesemuanya adalah pedang-pedang pusaka, maka berhamburanlah bunga api tiap kali ada pedang beradu.

“Uuhhh…..” 

Cui Sian mengeluh meronta. Yo Wan yang memondongnya cepat melepaskan nona itu sambil menariknya ke belakang agar menjauh daripada sinar pedang dua orang pengeroyoknya.

“Nona, kau sudah kuat betul?”

Cui Sian adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil. Sinkang di tubuhnya sudah amat kuat, maka pengaruh racun tadi tidak lama menguasai dirinya. Sejenak ia nanar setelah siuman, akan tetapi segera teringat akan segala pengalamannya dan seketika ia maklum bahwa pemuda yang dikeroyok oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dengan menggunakan pedangnya secara aneh itu adalah penolongnya.

“Sudah, terima kasih. Tolong kau kembalikan pedangku dan biarkan aku melawan mereka yang curang ini!”

Yo Wan menggunakan tenaganya menangkis dan sekaligus menerjang ganas sehingga kedua orang lawannya terpaksa menghindar ke belakang. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengembalikan pedang Liong-cu-kiam kepada pemiliknya. Cui Sian dengan hati gemas lalu memutar pedang itu dan menerjang kedua orang lawannya.

“Nona, tidak baik mengacau tempat orang lain lebih baik lari selagi ada kesempatan,” kata Yo Wan sambil mencabut pedang kayu dari balik jubahnya. 

Pemuda ini sebetulnya mempunyai sebatang pedang pusaka pula yaitu pedang pusaka pemberian isteri Pendekar Buta. Akan tetapi dia tidak pernah mempergunakan pedang ini dan hanya mempergunakan pedang kayu cendana yang dibuatnya sendiri di Pegunungan Himalaya. 

Ilmu batin yang dipelajarinya dari Bhewakala dan hal ini membuat hatinya dingin terhadap pertempuran dan permusuhan, maka dia tidak akan menggunakan senjata tajam untuk menyerang orang kalau keselamatannya sudah cukup dilindungi dengan pedang kayunya.

Serangan Cui Sian yang dahsyat diterima Ouwyang Lam. Ang-hwa Nio-mo menghadapi Yo Wan yang ia tahu malah lebih lihai daripada puteri Raja Pedang itu. Bukan main kaget, heran, dan kagumnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedang kayu di tangan pemuda itu dapat menahan senjata pusakanya, Ang-hwa-kiam! 

Maklumlah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan muda yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, merupakan lawan yang amat berat. Adapun Ouwyang Lam yang kini menghadapi Cui Sian sendirian saja, dalam beberapa gebrakan sudah tampak terdesak hebat.





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)