JAKA LOLA JILID 047
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Keduanya lalu melompat dan berdiri berhadapan dalam keadaan biasa. Keduanya agak pucat dan si pendek gendut tertawa dengan suaranya yang parau dan dalam,
“Ha-ha-ha, sobat Maharsi, hebat bukan main pukulanmu tadi. Aha, agaknya inilah Pai-san-jiu (Pukulan Mendorong Gunung) yang terkenal hebat itu!”
“Hemmmi, Bo Wi Sianjin, kami orang-orang barat hanya mempunyai sedikit hasil latihan, mana dapat disamakan dengan kau, seorang tokoh utara yang hidupnya menentang keadaan alam yang buas dan kuat? Sudah lama aku mendengar bahwa Ilmu Pukulan Katak Sakti darimu tiada bandingnya dan ternyata hari ini aku telah membuktikan sendiri kehebatannya. Kalau kau tidak memandang persahabatan, agaknya aku tadi takkan kuat menahan!”
“Ha-ha-ha-ha-ha, kau orang barat memang pandai sekali mengelus hati merayu perasaan dengan pujian muluk! Bagiku, tidak ada kesenangan yang melebihi bertanding ilmu untuk membuktikan sampai dimana hasil jerih payah yang kita derita selama puluhan tahun. Akan tetapi, karena kita perlu sekali menyatukan tenaga menghadapi lawan yang lihai, biarlah aku bersabar dan kelak masih banyak waktu bagi kita untuk memuaskan hati menengok siapakah diantara kita yang lebih berhasil.”
“Hemmm, aku selalu akan mengiringi keinginan hatimu, Sobat. Akan tetapi betul sekali kata-katamu tadi, saat ini kita perlu menghimpun tenaga. Lawan-lawan kita bukanlah orang-orang yang mudah dikalahkan,” jawab si jangkung dengan bahasa yang terdengar kaku namun cukup jelas bagi Lee Si yang masih mengintai sambil mendengarkan.
“Kau benar, Maharsi. Kau katakan tadi bahwa kau menerima permintaan bantuan dari adik seperguruanmu Ang-hwa Nio-nio? Jadi sekarang kau hendak pergi mengunjunginya ke Ching-coa-ouw (Telaga Ular Hijau)?”
“Betul, Sianjin. Adikku Kui Ciauw itu sekarang menjadi ketua Ang-hwa-pai di Pulau Ching-coa-to. Memang dulu sudah kujanjikan akan membantunya, karena kedua orang adikku Kui Biauw dan Kui Siauw telah tewas di tangan Pendekar Buta dan teman-temannya. Kau sendiri, kukira turun dari pegunungan utara untuk urusan kematian suhengmu Ka Chong Hoatsu. Bukankah begitu?”
“Betul, Maharsi. Kakak seperguruanku itu tewas di tangan Raja Pedang yang sekarang menjadi ketua Thai-san-pai”
“Hemmm, lawan kita memang berat. Pendekar Buta biarpun masih muda, kepandaiannya luar biasa sekali. Untuk menghadapinya maka selama hampir dua puluh tahun aku melatih dengan Pai-san-jiu.”
Si pendek gendut mengangguk-angguk.
“Sama halnya dengan aku, Sobat. Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San memiliki ilmu kepandaian yang lihai, terutama ilmu pedangnya Im-yang-sin-kiam. Karena itulah maka aku menyembunyikan diri selama dua puluh tahun lebih, khusus untuk melatih Ilmu Pukulan Katak Sakti guna menghadapinya. Mudah-mudahan jerih payah kita takkan, sia-sia dan roh-roh saudara kita akan dapat tenteram.”
Lee Si yang mendengarkan percakapan ini menjadi kaget sekali. Baiknya dia seorang gadis yang cukup cerdik dan tidak sembrono. la dapat menduga bahwa dua orang ini merupakan lawan-lawan yang amat tangguh, maka ia tidak mau sembarangan keluar dari tempat persembunyiannya.
Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa bergelak, tepat di belakang Lee Si dan sebelum gadis ini sempat berbuat sesuatu, pundaknya telah dicengkeram orang dan ternyata yang menangkapnya adalah seorang hwesio yang sudah amat tua, mukanya pucat seperti mayat, tubuhnya tinggi besar dan kedua matanya selalu meram seperti orang buta, bajunya yang terbuat dari-pada kain kasar terbuka lebar di bagian dada memperlihatkan sebagian perut yang gendut.
“Tokoh-tokoh utara dan barat diintai bocah diluar tahu mereka, benar-benar aneh!” kata hwesio itu dengan suara tak acuh, kemudian tangannya bergerak dan….. tubuh Lee Si melayang kearah dua orang aneh itu seperti sehelai daun kering tertiup angin!
Tentu saja Lee Si yang tadinya sudah kaget, kini menjadi takut setengah mati. la maklum bahwa tubuhnya melayang kearah dua orang aneh itu dan tidak tahu bagaimana akan jadinya dengan dirinya. Tentu saja dengan mempergunakan ginkang, setelah kini terbebas dari pegangan hwesio sakti itu, ia dapat melayang ke samping untuk melarikan diri.
Akan tetapi iapun cukup maklum bahwa hal ini akan sia-sia belaka. Tak mungkin ia melarikan diri dari tiga orang aneh ini kalau mereka tidak menghendaki demikian. la teringat akan cerita ayah bundanya tentang keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia persilatan. Jalan satu-satunya hanya menyerah tanpa mengeluarkan kepandaian sehingga tiga orang itu akan merasa malu untuk mengganggu seorang lawan yang tidak memiliki kepandaian seimbang. la harus mempergunakan kecerdikan dimana kepandaiannya takkan dapat menolongnya. Oleh karena inilah, ia hanya memutar agar dalam melayang ini ia dapat memandang kepada kedua orang tokoh dari barat itu.
Siapakah tiga orang sakti ini? Seperti dapat diketahui dari percakapan antara si jangkung dan si pendek yang didengarkan oleh Lee Si tadi, si jangkung adalah seorang tokoh barat berbangsa India sebelah timur, seorang pertapa dan pendeta yang disebut Maharsi (Pendeta Agung).
Maharsi ini adalah kakak seperguruan dari Ang-hwa Sam-ci-moi, yaitu Kui Ciauw, Kui Biauw dan Kui Siauw. Sebagaimana kita ketahui, Kui Biauw dan Kui Siauw ini tewas ketika Ang-hwa Sam-ci-moi bentrok dengan Pendekar Buta dan teman-temannya, adapun Kui Ciauw sekarang menjadi ketua Ang-hwa-pai yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio.
Sudah bertahun-tahun lamanya Ang-hwa Nio-nio menaruh dendam kepada Pendekar Buta atas kematian kedua orang saudaranya, dan untuk membalas dendam ia telah minta bantuan Maharsi. Akan tetapi, karena maklum betapa lihainya Pendekar Buta, mereka berdua menunda niat membalas dendam ini dan masing-masing menggembleng diri untuk membuat persiapan menghadapi musuh lama yang amat sakti itu.
Adapun si pendek itu adalah seorang tokoh dari daerah Mongol. Bo Wi Sianjin dahulu mempunyai seorang suheng (kakak seperguruan) bernama Ka Chong Hoatsu yang tewas di tangan Raja Pedang Tan Beng San. Juga karena maklum betapa lihainya musuh besar ini, Bo Wi Sianjin tidak tergesa-gesa dan berlaku sembrono, melainkan dia malah menyembunyikan diri untuk menyakinkan sebuah ilmu yang ampuh untuk menghadapi musuhnya. Selama dua puluh tahun lebih dia menggembleng diri dan sekarang dia mulai turun dari tempat persembunyiannya untuk mencari musuh lama, yaitu Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Di tengah jalan kebetulan bertemu dengan Maharsi dan kebetulan sekali terlihat oleh Lee Si.
Hwesio tua renta yang tinggi besar dan amat lihai itu bukanlah seorang yang tidak dikenal para pembaca cerita Pendekar Buta. Dia itu bukan lain adalah Bhok Hwesio, seorang tokoh yang amat terkenal dari perkumpulan besar Siauw-lim-pai.
Akan tetapi, berbeda dengan para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai pendeta-pendeta berbudi yang hidup suci dan biasanya menggunakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang hebat untuk membela kebenaran dan keadilan. Bhok Hwesio ini semenjak dahulu merupakan seorang anak murid atau tokoh yang murtad. Ilmu kepandaiannya memang tinggi dan lihai sekali. Boleh dibilang jarang tokoh Siauw-lim-pai yang dapat menandinginya, kecuali para pimpinan dan ketuanya saja.
Di dalam cerita Pendekar Buta diceritakan betapa Bhok Hwesio ini, dua puluh tahun yang lalu, dapat terbujuk oleh mereka yang memusuhi Pendekar Buta dan kawan-kawannya. Akhirnya dia ditawan oleh suhengnya sendiri, Thian Ki Losu tokoh Siauw-lim-pai yang sakti, dibawa kembali ke Siauw-lim-pai dan seperti sudah rnenjadi peraturan keras Siauw-lim-pai kalau ada anak murid menyeleweng, Bhok Hwesio di “hukum” di dalam “kamar penunduk nafsu” selama sepuluh tahun! la tidak boleh keluar dari kamar yang pintunya di “segel” dengan tulisan “hu” (surat jimat) diberi makan melalui lubang sehari sekali, dan diharuskan bersamadhi dan menindas hawa nafsu duniawi.
Karena yang menjaga agar hukuman ini terlaksana baik adalah Thian Ki Losu sendiri, Bhok Hwesio tidak berdaya dan terpaksa dia menyerah. Suhengnya itu terlampau sakti baginya. Akan tetapi sesungguhnya hanya pada lahirnya saja dia menyerah. Di dalam hatinya dia menjadi marah dan sakit hati terhadap Pendekar Buta, Raja Pedang dan lain-lainnya yang dianggapnya menjadi biang keladi daripada penderitaannya ini.
Diam-diam dia bersamadhi untuk menggembleng diri, memupuk tenaga dan memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktian di dalam kamar kecil dua meter persegi itu! Saking tekunnya melatih diri, sudah sepuluh tahun lewat dan sudah lama Thian Ki Losu yang amat tua itu meninggal dunia, namun dia malah tidak mau keluar dari kamar hukuman ketika pintu dibuka sendiri oleh ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu. Akhirnya dia dibiarkan saja karena hal ini dianggap malah amat baik dan bahwa Bhok Hwesio agaknya sudah mendekati ambang pintu “kesempurnaan”!
Demikianlah, setelah bertapa menyiksa diri selama dua puluh tahun, pada suatu malam para hwesio di Siauw lim-pai kehilangan hwesio tua yang dianggap hampir berhasil dalam tapanya itu. Tak seorangpun diantara para tokoh Siauw-lim-si itu menduga bahwa kepergian Bhok Hwesio kali ini adalah untuk mencari musuh-musuhnya yang dianggapnya membuat dia menderita selama dua puluh tahun untuk membalas dendam!
Dan secara kebetulan sekali dia melihat Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang sudah dia kenal namanya. Girang hatinya mendengar bahwa mereka berdua itupun mempunyai tujuan yang sama, maka dia lalu muncul sambil menangkap dan melemparkan tubuh gadis yang dia ketahui sejak tadi mengintai. Sengaja dia menggunakan tenaga sakti dalam lemparan itu untuk “menguji” kelihaian dua orang tokoh utara dan barat yang akan menjadi teman seperjuangan menghadapi musuh-musuh besarnya yang sakti, yaitu Pendekar Buta, Raja Pedang dan teman-teman mereka.
Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang selama dua puluh tahun bersembunyi di tempat pertapaan rnasing-masing dan sudah lama tidak turun gunung, tidak mengenal hwesio tua renta yang tinggi besar dan bermuka pucat seperti mayat itu. Sekilas pandang saja ketika mereka tadi memandang wajah pucat tak berdarah itu, mereka sebagai orang-orang sakti maklum bahwa hwesio tua itu benar-benar telah menguasai ilmu mujijat yang disebut I-kiong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah)!
Hanya orang yang sinkang atau hawa sakti dalam tubuhnya sudah dapat diatur secara sempurnalah yang akan dapat menguasai ilmu “hoan-hiat” ini yang berarti bahwa hwesio itu sudah mencapai titik yang sukar diukur tingginya.
Sekarang melihat tubuh seorang gadis muda melayang kearah mereka, tahulah kedua orang itu bahwa hwesio tua ini hendak menguji kesaktian. Mereka tidak mengenal Lee Si dan biarpun jelas bahwa gadis itu mengintai, namun mereka tidak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan. Namun karena gadis itu sudah dilontarkan kearah mereka, Maharsi mengeluarkan suara melengking tinggi, sambil mendorongkan kedua lengannya ke depan, ke arah tubuh Lee Si sambil mengerahkan sinkang dengan tenaga lembut.
Demikianpun Bo Wi Sianjin mengeluarkan suara “kok-kok” sambil mendorongkan lengannya, juga dengan tenaga lembut karena diapun seperti Maharsi, tidak mau melukai atau mencelakakan gadis yang tak dikenalnya.
Untung bagi Lee Si bahwa ia berlaku hati-hati dan cerdik, tadi tidak menggunakan ginkang untuk melarikan diri, karena ternyata Bhok Hwesio hanya sementara saja melepaskannya. Begitu kedua orang kakek itu menyambut, Bhok Hwesio sudah menggerakkan lengan lagi kearah tubuh yang melayang itu.
Lee Si merasa betapa tenaga yang hebat sekali dan panas datang menyambar dan menyangga punggungnya dari belakang! Pada saat itu, dari depan datang rnenyambar dua tenaga gabungan dari kakek jangkung dan kakek pendek. Gabungan tenaga ini bertemu dengan tenaga Bhok Hwesio sehingga tubuh Lee Si yang tergencet di tengah-tengah diantara dua tenaga sakti yang saling bertentangan berhenti di tengah udara seakan-akan tertahan oleh tenaga mujijat dan tidak dapat jatuh ke bawah.
Memang hal ini sebetulnya amat tidak masuk diakal tampaknya, karena menyalahi hukum alam. Namun, harus diakui bahwa didalam tubuh manusia terdapat banyak sekali rahasia-rahasia yang belum dapat dimengerti oleh manusia sendiri, dan sudah banyak yang mengakui bahwa terdapat tenaga-tenaga mujijat yang masih merupakan rahasia dalam diri manusia.
Diantaranya adalah sinkang (hawa sakti) yang selalu terdapat dalann diri setiap orang manusia. Hanya sebagian besar orang belum sadar akan hal ini dan karena tidak mengenalnya maka tidak kuasa pula mempergunakannya.
Sebagai puteri suami isteri pendekar yang berilmu tinggi, sungguhpun tingkatnya belum setinggi itu, namun Lee Si sudah maklum apa yang terjadi dengan dirinya. Ia dijadikan alat untuk mengukur tenaga sinkang, andaikata diambil perumpamaan, ia merupakan sebatang tongkat yang dijadikan alat untuk main dorong-dorongan mengadu tenaga otot. Hanya dalam hal ini, bukan tenaga otot yang dipertandingkan, melainkan tenaga sinkang yang merupakan dorongan-dorongan dari jarak jauh!
Lee Si tidak begitu bodoh untuk mencoba-coba mengerahkan sinkangnya sendiri dalam arena pertandingan ini, karena hal ini akan membahayakan nyawanya. Kecuali kalau ia memiliki tenaga yang mengatasi tenaga tiga orang itu, atau setidaknya mengimbangi. la sengaja mengendurkan seluruh tenaga dan sedikitpun tidak melawan, namun dengan penuh perhatian ia merasakan getaran-getaran hawa sakti yang saling mendorong melalui tubuhnya itu.
Segera ia dapat menduga bahwa diantara tiga orang kakek itu, si hwesio tinggi besar inilah yang paling hebat tenaganya, juga tenaga sinkang hwesio ini yang mencengkeramnya. Akan tetapi dibandingkan dengan tenaga si jangkung dan si pendek digabung menjadi satu, ternyata hwesio tua itu masih kalah kuat sedikit. Inilah yang perlu diselidiki oleh Lee Si dalam waktu singkat.
Tentu saja ia tidak sudi menjadi “alat” mengukur sinkang seperti itu, karena kalau dibiarkan saja, akibatnya amatlah buruk. Kalau hanya berakibat tenaga sinkangnya sendiri melemah saja masih belum apa-apa, akan tetapi kalau ada yang kurang hati-hati sedikit saja dari ketiga orang itu, ia bisa menderita luka parah di sebelah dalam tubuhnya.
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI