JAKA LOLA JILID 054

 


“Aku Kwa Swan Bu, hanya rakyat biasa. Kau seorang pembesar yang digaji dengan uang hasil keringat rakyat, karena itu setiap orang berhak untuk menilai dan mencela tugasmu jika kau menyeleweng, ketahuilah bahwa puluhan tahun yang lalu, nenek moyang dan ayahku berjuang mati-matian membela negara dan rakyat, bahkan ayahku ikut pula membantu perjuangan kaisar sekarang, namun tidak murka akan kedudukan. Pamanku seorang pejuang yang besar jasanya, sekarang menjadi Jenderal Bun yang terkenal jujur dan berwibawa sebagai jaksa agung di Tai-goan. Kau ini, mungkin tak pernah ikut berjuang, setelah sekarang menemukan pangkat sedikit saja lalu kau pergunakan untuk memeras rakyat jelata, berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu. Hemmm, mana bisa aku mendiamkan saja kau membunuhi rakyat tidak berdosa?”

Pucat wajah Lo-ciangkun. Tentu saja dia mengenal siapa adanya Bun-goanswe di Tai-goan. Kiranya pemuda perkasa ini adalah keponakan jenderal itu! Dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri duduk diatas bangkunya.

“Siapa membunuh? Mereka itu disuruh bekerja, dijamin…..”

“Omong kosong!” Kini Toan-kiam Lo-kai yang bicara. “Mereka meninggalkan anak isteri yang harus makan setiap hari. Kalau mereka dibawa pergi, anak isterinya harus makan apa? Pula, ditempat mereka hampir tidak diberi makan”.

“Sudahlah….. sudahlah….. semua itu terjadi karena terpaksa…..” akhirnya Lo-ciangkun berkata dengan muka pucat, “Bukan salahku….. bukan salahku…..” la menutupi mukanya seperti orang ketakutan.

“Lo-ciangkun, tidak perlu main sandiwara lagi, apa artinya semua ini?” Swan Bu berkata, keningnya berkerut.

“Kau lihat empat orang tadi….. mereka bukanlah orangku, mereka adalah orang-orang….. dia…..”

“Dia siapa?” Swan Bu mendesak, terheran-heran melihat pembesar itu begitu ketakutan.

“Peraturan dari kota raja sudah cukup adil. Memang yang dapat menyumbangkan harta, boleh bebas dari kerja suka rela, dan uang itu diperlukan untuk menjamin para sukarelawan dan menjamin keluarga mereka yang ditinggalkan selama tiga bulan sebelum diganti dengan rombongan lain. Semua sudah diatur yang sakit tidak akan dipaksa, hanya yang sehat dan tidak mempunyai pekerjaan penting….. tapi….. tapi….. di daerah ini….. dikuasai dia…. kami terpaksa menyerahkan uang tebusan, kalau tidak….. ahhhhh!” Pembesar itu tiba-tiba roboh terguling.

Swan Bu cepat melompat keluar melalui sebuah jendela sambil menendang daun jendela, pedangnya merupakan gulungan sinar putih menerjang keluar dan terdengar jeritan diluar jendela. Seorang bermuka kuning yang kecil pendek roboh mandi darah.

“Siapakah kau? Mengapa menyerang Lo-ciangkun dengan jarum beracun?” Swan Bu membentak,

“Aku….. aku….. atas perintah….. Toa-nio…..!” 

Orang itu, berhenti bicara dan napasnya putus. Kiranya terjangan Swan Bu tadi tidak saja melukai lehernya, akan tetapi juga beberapa batang jarum beracun yang sudah meluncur masuk, kena ditangkis pedang membalik dan melukai si penyambit sendiri.

Geger di ruangan itu. Lo-Ciangkun rebah dengan muka biru dan napas putus! Toan-kiam Lo-kai berkata lirih, 

“Nah, agaknya Ang-jiu Toa-nio dan orang-orangnya yang tadi turun tangan. Siauw-hiap, terang bahwa para pembesar itu diperas dan dipaksa oleh Ang-jiu Toa-nio. Sekarang, apa yang hendak kau lakukan?”

“Lopek, agaknya wanita yang bernama Ang-jiu Toa-nio itu mempunyai banyak kaki tangan. Yang menyambit jarum itu tentu kaki tangannya yang tidak menghendaki Lo-ciangkun membuka rahasia. Lopek, harap kau suka kumpulkan teman-temanmu Hwa-i-kai-pang dan kita menyerbu ke kuil itu. Biarkan Aku yang menghadapi Ang-jiu Toa-nio dan kalau anak buahnya bergerak, kau dan teman-teman membasmi mereka.”

Gembira wajah kakek itu. 
“Baik, Siauw-hiap. Sedikitnya ada tujuh orang temanku disini, cukup untuk membasmi setan-setan itu.”

Demikianlah, pada petang hari itu Swan Bu melakukan perjalanan ke kuil di sebelah selatan kota setelah siang tadi dia menyelidiki tempat itu. Dan secara kebetulan dia bertemu dengan Lee Si yang bermalam di kamar hotel. Swan Bu terkejut sekali dan merasa heran mengapa hatinya menjadi tidak karuan ketika sepasang matanya bentrok dengan sepasang mata yang seperti mata burung hong itu. 






Beberapa kali dia menengok, kemudian dia merasa malu kepada diri sendiri dan mempercepat langkahnya meninggalkan nona cantik jelita yang berdiri di depan pintu rumah penginapan itu. Ia dapat menduga dari gerak-gerik si nona bahwa gadis itu tentulah bukan orang sembarangan. Mungkin seorang tamu rumah penginapan, dan melihat kebebasannya, tentu seorang wanita kang-ouw. 

Akan tetapi karena dia menghadapi urusan besar, Swan Bu mengusir bayangan nona itu dari ingatannya dan dia langsung menuju ke kuil tua yang berdiri sunyi di pinggir kota.

Setelah tiba di depan kuil yang sunyi itu, dia berhenti. la maklum bahwa dikanan kiri kuil, bersembunyi di balik pohon-pohon, terdapat Toan-kiam Lo-kai yang berjaga dan menyembunyikan diri. Hati Swan Bu meragu. Kuil itu sudah tua, kotor dan agaknya kosong.

Jangan-jangan Ang-jiu Toa-nio yang menjadi biang keladi daripada penindasan di kota Kong-goan, sudah melarikan diri. Tak mungkin, pikirnya. Wanita itu tentu memiliki kepandaian tinggi, sebelum bertanding melawannya mana mungkin mau lari? Tempat itu menyeramkan, sunyi seperti kuburan akan tetapi tidak gelap karena berada di tempat terbuka sehingga matahari yang sudah hampir menyelam itu masih menerangi halaman depan. 

Halaman kuil tadinya tertutup pagar tembok yang tinggi, akan tetapi karena pagar tembok itu banyak yang runtuh, sekarang menjadi terbuka dan disana-sini tampak pintu yang terjadi daripada tembok runtuh berlubang. Rumah tua yang menyeramkan, kotor dan sunyi, patutnya menjadi tempat tinggal siluman-siluman.

Tiba-tiba dari pintu yang butut itu keluarlah seorang wanita tua, wanita yang tersenyum-senyum dan sanggul rambutnya dihias setangkai bunga merah. Wanita itu setibanya di halaman kuil berkata, suaranya penuh ejekan,

“Bocah she Kwa, kau berani datang kesini? Lihatlah di sebelah kiri kuil dimana teman-temanmu sudah mendapat hukuman!”

Mendengar ini, Swan Bu terkejut, teringat akan Toan-kiam Lo-kai dan teman-temannya anggauta Hwa-i-kai pang.

Dengan gerakan cepat dia melompat dan lari kearah kiri kuil dan….. wajahnya berubah merah sekali. Nenek itu ternyata tidak membohong. Di pelataran pinggir itu tampak tujuh mayat bergelimpangan, diantaranya adalah Toan-kiam Lo-kai dan yang enam lagi jelas anggauta Hwa-i-kai-pang karena pakaian mereka semua penuh tambalan berkembang! 

Dengan kemarahan memuncak Swan Bu berlari kembali ke depan kuil, berdiri diluar tembok dan menghadap nenek yang masih berada disitu dari balik pecahan pagar tembok.

“Apakah kau yang bernama Ang-jiu Toa-nio?” tanya Swan Bu, suaranya ditekan agar tidak menggigil saking marahnya. “Dan kaukah yang membunuh tujuh orang Hwa-i-kai-pang itu?”

Nenek itu tersenyum, kembang merah diatas kepalanya bergoyang-goyang. 
“Dan kau Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong, bukan? Hi-hik-hik, kebetulan sekali kita bertemu disini. Disini aku disebut Ang-jiu Toa-nio, akan tetapi di tempatku aku adalah Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai, musuh besar ayahmu. Kau berani masuk kesini dan mengadu kepandaian melawanku?”

Kalau tadi Swan Bu sudah marah sekali, sekarang serasa meledak dadanya. Kiranya inilah orangnya yang mengumpulkan teman-teman untuk menyerbu Liong-thouw-san? Kebetulan sekali!

“Siapa takut padamu? Orang macammu inikah yang hendak menantang ayah? Ha-ha-ha, nenek tua hampir mampus, tak usah dengan ayah ibu, cukup dengan aku puteranya!”

Sekali menggerakkan kaki, tubuh Swan Bu sudah melayang masuk dan menghadapi Ang-hwa Nio-nio yang sudah siap memasang kuda-kuda dengan sikap mengejek itu. Pembaca tentu heran mengapa Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai di Ching-coa-to itu bisa berada di Kong-goan? Bukanlah hal kebetulan karena memang sengaja Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya datang ke Kong-goan ini untuk menyambut suhengnya, Maharsi. 

Kedatangan Ang Mo-ko bekas tokoh pengawal istana dari kaisar yang lalu, juga ikut, serta Ouwyang Lam dan Siu Bi! Seperti kita ketahui, gadis ini menangis ketika ditinggalkan Si Jaka Lola Yo Wan setelah ia mengaku bahwa ia adalah puteri angkat The Sun. 

Dalam keadaan berduka ini ia ditemukan oleh Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya yang tentu saja segera menggunakan kesempatan baik ini untuk membujuknya, kembali menggabungkan diri dengan mereka untuk menghadapi musuh besarnya, Pendekar Buta. 

Tadinya Siu Bi menyandarkan harapannya pada bantuan Yo Wan, akan tetapi setelah Yo Wan ternyata adalah musuh besar ayah tirinya dan tak mungkin mau membantunya, memang paling baik baginya adalah menggabungkan diri dengan rombongan Ang-hwa Nio-nio yang kuat.

Kong-goan, Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya mengambil tempat di kuil tua itu karena memang disitulah ia berjanji dalam pesannya kepada Maharsi untuk menyambul kedatangan suhengnya dari barat ini. Tentu saja, untuk melayani segala keperluan mereka, Ang-hwa Nio-nio diikuti pula oleh serombongan anak buahnya yang cukup kuat. 

Karena pada dasarnya memang penjahat, di Kong-goan Ang-hwa Nio-nio melihat kesempatan baik untuk mendapatkan uang banyak ketika datang pembesar dari kota raja untuk mengumpulkan sukarelawan yang pada masa itu dibutuhkan sekali untuk memperbaiki bangunan tembok besar dan saluran air. 

Kong-goan amat jauh dari kota raja, merupakan kota yang terpencil dan dengan kepandaiannya yang tinggi Ang-hwa Nio-nio dapat menguasai pembesar-pembesar itu, mengancam mereka untuk melakukan pemerasan dalam kesempatan mengumpulkan tenaga-tenaga kerja paksa. 

Mudah saja ia lakukan hal ini tanpa khwatir akan terganggu, dan ia menaruh beberapa orang anak buahnya untuk “menjaga” para pembesar yang bersangkutan, diantaranya Lo-ciangkun. Tentu saja mula-mula ia mendapatkan tentangan hebat, namun setelah banyak orang roboh oleh pukulan tangannya yang berubah merah, ia mendapat julukan Ang-jiu Toa-nio (Nyonya Besar Tangan Merah) dan tak seorangpun berani membantahnya lagi. 

Akhirnya para pengemis Hwa-i-kai-pang mendengar tentang hal ini turun tangan, namun mereka roboh pula di tangan Ang-jiu Toa-nio atau Ang-hwa Nio-nio bersama teman-temannya yang amat lihai.

Demikianlah ringkasan tentang kehadiran Ang-hwa Nio-nio di Kong-goan dan kita kembali ke depan kuil dimana Swan Bu berhadapan dengan nenek itu. Swan Bu maklum bahwa lawannya ini lihai, namun melihat nenek itu tidak mempergunakan senjata, diapun tidak mengeluarkan Gin-seng-kiam yang tersimpan di balik jubahnya. 

Matanya yang tajam menatap kearah kedua tangan nenek itu yang perlahan-lahan berubah merah ketika nenek itu mengerahkan Ang-see-ciang. Swan Bu tidak menjadi gentar, dia sudah mendengar banyak tentang Tangan Pasir Merah ini dari ayah bundanya dan karenanya dia maklum bagaimana harus menghadapinya. 

Segera dia menyalurkan sinkang di tubuhnya dan “mengisi” kedua lengannya dengan tenaga lemas yang mengandung Im-kang sehingga kedua tangannya menjadi lunak halus dan gerakannya mengeluarkan hawa dingin seperti es.

Akan tetapi sebelum nenek itu menyerangnya, Swan Bu mendengar gerakan orang disebelah belakangnya. Cepat dia menggeser kaki mengubah kuda-kuda miring dan matanya mengerling kearah luar. Kiranya disitu telah berdiri belasan orang anggauta Ang-hwa-pai yang memegang senjata, berjajar menutup jalan keluar, diantara mereka terdapat empat orang yang dia robohkan di gedung Lo-ciangkun! 

Mengertilah dia bahwa dia kini berada di gua harimau dan harus berjuang mati-matian karena agaknya lawan berusaha benar-benar untuk menjebaknya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk lolos dari tempat itu.

Pada saat itu, muncul pula tiga orang dari pintu kuil. Mereka ini bukan lain adalah Ouwyang Lam, Siu Bi, dan seorang kakek yang pakaiannya serba merah dan mukanya tersenyum-senyum, usianya sudah sangat tua, sedikitnya tujuh puluh lima atau delapan puluh tahun, memegang sebatang tongkat barnbu yang dipakai menunjang tubuhnya yang agak bongkok. Kakek ini bukan lain adalah Ang Mo-ko, seorang tokoh yang cukup terkenal selama puluhan tahun di kota raja.





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)