JAKA LOLA JILID 060

 “Percaya atau tidak terserah, akupun tidak akan memaksa kau percaya. Akan tetapi yang jelas, kau berani melawan aku bertangan kosong?”


Siu Bi duduk termenung, tanpa ia sadari jari-jari tangan kirinya bergerak-gerak dan ujungnya memukul-mukul pahanya sendiri. la penasaran sekali. la tahu bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat sekali, tadi malam ia sudah menyaksikannya. Akan tetapi kalau bertangan kosong melawan ia berpedang? Ah, tidak mungkin ia akan kalah! Pula, kalau membuntungi lengannya dalam keadaan tertotok seperti ini, benar-benar sukar baginya untuk melakukannya. Lebih baik bebaskan dia dan tantang berkelahi, dalam kesempatan itu ia akan membuntungi lengannya. Dengan begitu barulah perbuatan gagah.

“Kau tidak akan lari?”

“Kata-kata lari tidak terdapat dalam kamus hatiku.”

“Berani sumpah?”

Hampir Swan Bu tertawa. Gadis ini aneh, liar, akan tetapi juga lucu.
“Ucapan yang keluar dari mulut orang gagah dengan sendirinya sudah merupakan sumpah yang lebih berharga daripada nyawa.”

“Baik, kau kubebaskan dan kau lawanlah pedangku dengan tangan kosong. Kalau kau melarikan diri, tidak apa, aku akan menganggap kau seorang yang paling curang dan pengecut di seluruh permukaan bumi ini.” 

Sebelum pemuda itu sempat menjawab yang menyakitkan hati, Sui Bi sudah menerjang maju, tangan kirinya menotok dan terbebaslah Swan Bu. Pemuda ini bergerak dan bangkit berdiri, kaki tangannya kesemutan dan masih kaku-kaku. la menggerak-gerakkan lengan dan kakinya sampai jalan darahnya pulih kembali sambil mengatur napas mengerahkan sinkang. 

Terasa hawa panas mengelilingi seluruh bagian tubuhnya dan beberapa detik kemudian dia sudah segar kembali. Inilah cara memulihkan jalan darah dan tenaga warisan ajaran ayahnya. la melirik kearah pundaknya dimana terdapat guratan dan tikaman pedang. Lukanya tidak berbahaya, akan tetapi terasa perih dan darahnya cukup banyak. Swan Bu menggerakkan jari tangan menekan pinggir luka, darahnya berhenti dan dia menghadapi Siu Bi dengan senyum mengejek tak pernah meninggalkan bibirnya.

“Kalau kau betul jantan, lawanlah pedangku. Awas pedang!” 

Siu Bi segera menerjang dengan kecepatan kilat. la sudah maklum bahwa putera Pendekar Buta ini benar-benar lihai, maka begitu menerjang ia sudah menggunakan jurus yang berbahaya sambil membarengi dengan pukulan Hek-in-kang dari tangan kirinya.

Biarpun baru segebrakan saja Swan Bu pernah melawan Siu Bi, namun dia tahu bahwa gadis itu selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan amat ganas, juga tangan kirinya mengandung hawa pukulan yang keji, hawa pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam. Oleh karena inilah maka serta merta dia menggunakan ilmu langkah ajaib Kim-tiauw-kun dan mainkan jurus-jurus Im-yang-sin-hoat yang sukar dicari tandingnya itu. Tubuhnya bergerak aneh, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang jongkok, berdiri miring, membungkuk dan berloncatan, seperti bukan orang main silat.


Melihat gerakan ini, hampir saja Siu Bi tak dapat menahan seruan heran dari mulutnya. la mengenal gerakan ini. Pernah ia dibikin tidak berdaya oleh gerakan-gerakan seperti ini, yang dimainkan oleh Yo Wan! Malah ia pernah, sebelum berpisah dari Yo Wan secara menyedihkan, minta supaya Yo Wan mengajarkan ilmu langkah ajaib itu karena dengan ilmu langkah itu saja ia pernah dibikin tidak berdaya. Dan sekarang, pemuda ini menggunakan ilmu langkah itu! Saking kaget dan herannya, penyerangannya berhenti.

“He, kenapa berhenti? Kau takut?” Swan Bu mengejek.


“Takut hidungmu! Aku hanya heran….. apa engkau kenal orang yang bernama Yo Wan Si Jaka Lola?” 

Swan Bu tertegun. Gadis aneh, ada-ada saja pertanyaannya dan aneh-aneh tak terduga-duga pula.

“Yo Wan? Tentu saja kenal, dia itu suhengku, murid ayahku. Mau apa kau sebut-sebut dia?”

Mampus kau! Hampir saja di depan Swan Bu ia mengeluarkan ucapan ini, dan betapa herannya Swan Bu ketika melihat tiba-tiba gadis itu menampar kepalanya sendiri.

“Eh,apa kau gila?”






Siu Bi tidak mendengar pertanyaan ini, pikirannya berputaran tujuh keliling. Siapa kira siapa duga, Yo Wan itu malah murid Pendekar Buta! Dan ia sudah mengajak Yo Wan bersekongkol membantunya melawan Pendekar Buta! Anehnya, mengapa Yo Wan mau saja? Dan pemuda yatim piatu itu baru marah dan meninggalkannya setelah mengetahui bahwa ia adalah puteri tiri The Sun yang katanya membunuh ibunya? Wah, wah, kalau Yo Wan itu murid Pendekar Buta, celaka dua belas. Sampai matipun mana mungkin ia menang melawan Pendekar Buta? Tapi, ia sudah menantang pemuda ini, harus dapat memenangkannya, kalau tidak, lagi-lagi ia akan menderita malu.

“Bagaimana kau mengenal suhengku itu? Dimana dia?”

“Aku tidak kenal dia! Kau makanlah pedangku ini!” 

Siu Bi menerjang lagi, kini gerakannya lebih dahsyat lagi karena ia telah mengeluarkan jurus yang paling lihai setelah maklum bahwa pemuda ini adalah adik seperguruan Yo Wan dan karenanya tentu memiliki ilmu yang sakti seperti Yo Wan pula sehingga ia khawatir kalau-kalau ia akan kalah, biarpun hanya dilawan dengan tangan kosong.

Swan Bu cepat mengelak dan dilain saat mereka telah bertempur lagi dengan seru. Sebentar saja puluhan jurus telah lewat dan sama sekali Siu Bi belum dapat mendesak lawannya, sungguhpun bagi Swan Bu juga tidak mudah untuk mengalahkan gadis yang gesit dan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan luar biasa itu.


Kalau saja dia berpedang, agaknya tidak akan begitu sukar baginya untuk menundukkan Siu Bi. Dengan ilmu Pedang Im-yang-sin-kiam, kiranya dia akan dapat mengalahkannya. Betapapun juga, kekerasan hatinya tidak mengijinkan Swan Bu untuk mengalah terhadap gadis liar yang hendak membuntungi lengannya ini.

Pada saat pertempuran sedang berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan orang, 
“Ini dia! Mari bantu nona The! Serang dan bunuh dia!!” 

Jarum-jarum halus menyambar kearah Swan Bu ketika tiga orang yang baru muncul ini menggerakkan tangan mereka, kemudian menyusul serangan senjata halus itu mereka menerjang maju dengan golok, menyerang Swan Bu dengan hebat. 

Mereka ini bukan lain adalah tiga orang anggauta Ang-hwa-pai yang tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat Ang-hwa Nio-nio karena hal itu memang dirahasiakan sehingga setahu rnereka hanya bahwa pemuda putera Pendekar Buta yang tertawan itu telah berhasil lolos. Kini melihat pemuda itu bertanding melawan Siu Bi, tentu saja mereka segera membantu karena mereka maklum bahwa nona The Siu Bi adalah “keponakan” ketua mereka.


Pada saat mereka menyerang dengan jarum-jarum halus itu, Siu Bi sedang mengurung Swan Bu dengan sinar pedang dan pukulan Hek-in-kang. Swan Bu sibuk menghadapi serangan dahsyat ini, maka alangkah kagetnya ketika dia merasa adanya sambaran angin halus dari sebelah belakang. 

Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sanibil mengerahkan sinkang sehingga angin pukulannya menyambar ke belakang. Namun, diantara jarum-jarum halus yang dapat dia sampok runtuh itu terdapat sebatang yang menyelinap dan menancap pada pundak kanannya. Swan Bu merasa pundaknya kaku dan gatal-gatal, maka tahulah dia bahwa dia telah menjadi korban senjata rahasia halus yang beracun! 

Namun dengan nekat dia lalu melawan, cepat menghindar dari sambaran tiga batang golok dan pada saat tubuhnya miring itu kakinya melayang dan seorang pengeroyok roboh dengan tulang iga patah!

Sementara itu, Siu Bi juga marah sekali melihat munculnya tiga orang Ang-hwa-pai yang tanpa diminta telah lancang turun tangan membantunya. Ia berseru keras, 

“Cacing busuk, siapa butuh bantuan kalian? Mundur!”

Akan tetapi dua orang Ang-hwa-pai ketika melihat seorang teman mereka roboh, mana mau mundur. Yang memerintah mereka kali ini bukanlah seorang pemimpin Ang-hwa-pai, tentu saja mereka tidak peduli dan terus menerjang Swan Bu dengan hebat.

“Trang-trang…..!!” 

Golok di tahgan mereka terpental dan sebelum mereka dapat mengelak, mereka telah roboh dengan pangkal lengan dan paha pecah kulit dan dagingnya dimakan pedang Siu Bi! Mereka begitu kaget sehingga mudah roboh karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan diserang oleh gadis itu.

“Lancang!” 

Dia memaki lagi dan kini pedangnya bergulung-gulung menyambar kearah Swan Bu yang cepat menjatuhkan diri ke samping, lalu bergulingan menyelamatkan diri. Ketika Siu Bi mendesak, pemuda ini sudah berhasil melompat berdiri dan kembali mereka bertanding hebat. 

Adapun tiga orang Ang-hwa-pai itu, setelah dapat merangkak bangun, segera pergi dari situ terpincang-pincang. Dua orang yang terluka pedang Siu Bi, dengan susah payah dan sedapat mungkin menggotong temannya yang masih pingsan karena tendangan Swan Bu mematahkan sedikitnya dua buah tulang iganya. Mereka bergegas pergi untuk mencari bala bantuan.


Kini perlawanan Swan Bu tidak segesit tadi. Pemuda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan kelemahan, tidak sudi mengaku bahwa dia telah terluka oleh jarum beracun. la melakukan perlawanan sedapat mungkin biarpun kini lengan kanannya setengah lumpuh. 

Diam-diam Siu Bi amat kagum. Benar-benar hebat pemuda ini dan seperti yang ia khawatirkan, sama sekali ia tidak mampu merobohkannya. Padahal pemuda ini bertangan kosong dan ia memegang Cui-beng-kiam dan malah menggunakan Hek-in-kang. Bukan main! 

Didalam hatinya, Siu Bi merasa sayang sekali mengapa pemuda sehebat ini ditakdirkan menjadi putera musuh besar kakeknya yang harus ia buntungi lengannya. Kalau saja tidak demikian halnya, alangkah akan senangnya mempunyai seorang sahabat seperti dia ini, sebagai pengganti Yo Wan yang sekarang sudah memusuhinya karena perbuatan ayah tirinya.

Siu Bi diam-diam merasa menyesal bukan main. Mau rasanya ia menangis, apalagi ditambah kejengkelan hatinya bahwa begitu lama ia masih juga belum berhasil mengalahkan dan membuntungi lengan Swan Bu. Akan tetapi tiba-tiba Swan Bu mengeluh, terhuyung-huyung ke belakang lalu jatuh terduduk. 

Siu Bi menahan pedangnya, kaget dan terheran-heran. Terang bahwa bukan dia yang merobohkan pemuda itu. Baru saja pemuda itu menangkis pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Hek-in-kang di tangan kiri. Swan Bu tak dapat mengelak dan terpaksa menangkis dengan tangan kanan. Dalam pertemuan tenaga ini, Siu Bi merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat. 

Makin kagum ia karena jarang ada orang dapat menangkis tenaga Hek-in-kang sedemikian rupa sampai dia tergetar ke belakang. Dan sehabis menangkis itulah, ketika ia menerjang lagi dengan pedangnya, Swan Bu mengelak lalu terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk, meringis menahan sakit sambil menekan pundak kanannya.


Siu Bi melangkah maju, memandang penuh perhatian. Dilihatnya kulit pundak kanan yang putih itu ternoda bintik merah membengkak. 

“Kau terluka Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)!” serunya diluar kesadarannya.

Swan Bu mengangguk lesu. 
“Tiga orang tadi…..”

“Kalau tidak segera dikeluarkan, kau akan mati…..”

“Lebih baik begitu, jadi kau tidak usah bersusah-susah lagi…..”

Siu Bi maju lagi dan berlutut. 
“Tidak boleh mati! Kalau mati aku takkan dapat melaksanakan sumpahku. Jangan bergerak, biar kukeluarkan Jarum itu! Siu Bi memegang pedangnya dekat ujung, lalu dengan hati-hati ia merobek kulit di pundak itu, Swan Bu menggigit bibir menahan sakit, jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Siu Bi hanya beberapa senti saja jauhnya dari pipi kanannya. Jelas dia melihat kulit muka yang putih halus, dengan rambut hitam dan sinom rambut kacau terurai di jidat dan melingkar indah di depan telinga. Melihat bibir yang basah itu bergerak dan saling himpit dalam ketekunan usaha membelek dan mengeluarkan jarum dari pundaknya, hidung yang kecil mancung itu menyedot dan mengeluarkan napas panas halus yang membelai leher dan pipinya, mata seperti bintang itu tanpa berkedip menuntun jari-jari tangan halus bekerja. Ahhh, wajah seperti ini pantasnya dimiliki dewi kahyangan, bukan iblis betina yang kejam”.

Akhirnya Siu Bi berhasil menjepit keluar jarum halus itu dari dalam pundak Swan Bu. Dibuangnya jarum itu sambil berkata, 

“Nah, sudah keluar sekarang. Akan tetapi racunnya tentu telah mengotori darah, sebaiknya kau mendorongnya keluar dengan sinking”.





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)