JAKA LOLA JILID 062

 “Tentu saja, aku suka padamu seperti pada ayahku sendiri. Tapi aku….. aku… cinta padanya, pada suamiku…..” 


Biarpun mulutnya berkata demikian, namun sepasang mata Siu Bi memandang melotot marah kepada Swan Bu yang hampir tak dapat menahan tawanya. la tersenyum lebar dan memandang Siu Bi dengan mata mengejek dan menggoda.

“Bagus! Aku memang tidak punya anak Heh-heh-heh, bagus!” 

Dan kakek itu berjingkrak-jingkrak, menari-nari kegirangan! Swan Bu dan Siu Bi saling pandang, bingung akan tetapi juga lega bahwa mereka terlepas untuk sementara daripada bahaya.

Akan tetapi tiba-tiba kakek itu berhenti menari dan menoleh kearah Swan Bu dengan sikap marah. 

“Kau suaminya, kau anak mantuku. Tapi kau tidak baik kepadanya, ya? Berani kau tidak mencinta anakku? Dia susah dan marah, tapi kau diam saja? Keparat, hayo kau senangkan hatinya. Awas, ya? Sekali lagi berani kau membikin marah anakku, kupecahkan kepalamu!” 

Kedua tangannya yang berbulu itu diayun kekanan kiri, tiba-tiba memukul dinding batu padas dan somplakan dinding itu terkena pukulan tangannya yang kuat. 

“Nah, kepalamu seperti ini kalau kau berani membikin marah anakku lagi. Dia cinta padamu maka kaupun harus cinta padanya, kalau dia tidak cinta padamu, dia menjadi isteriku. Huh-huh-huh! Sekarang aku ingin sekali punya cucu, ha-ha-ha, cucu laki-laki. Sebaiknya kalian lekas punya anak laki-laki sebelum kesabaranku hilang!”

Swan Bu mengeluh dalam hatinya. Kakek itu benar-benar gila, bicaranya kacau-balau tidak karuan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Siu Bi, biarpun tadinya dia merasa geli dan gembira melihat gadis itu terpojok, akan tetapi sekarang dia dapat mengerti betapa hebat ucapan si gila itu menyinggung perasaan seorang gadis.

“Lopek, kami tentu akan perhatikan pesanmu. Sekarang, kuharap kau suka mengasihani. Kami sedang terluka dan sakit, terutama sekali perlu mendapat perawatan. Kami hampir mati kelaparan…..”

Kakek itu mendengus seperti lembu, lalu menoleh ke arah Siu Bi. “Kau benar laparkah, anakku? Kucarikan buah-buahan untukmu, ya?”

Siu Bi sudah tak mampu bersuara lagi. Ucapan kakek yang kacau-balau tentang anak segala macam tadi membuat wajahnya sebentar pucat seperti kertas sebentar merah seperti dicat. la kini hanya mampu mengangguk-angguk saja.

“Ha-ha-ha, bagus. Tunggu sebentar kucarikan buah-buahan yang masak dan manis!” 

Kakek itu tertawa-tawa lalu berlari keluar dari dalam gua itu. Terdengar suaranya di tempat jauh, tertawa-tawa. Dari sini saja Swan Bu maklum bahwa kakek itu dapat berlari cukup cepat sehingga dalam keadaan terluka dan lemah seperti itu, mereka berdua tidak ada harapan untuk melarikan diri, karena tentu akan tersusul. Kakek itu selain lari cepat, juga sudah hafal tentunya akan keadaan di dalam hutan.

Tiba-tiba dia melihat Siu Bi dengan susah payah bangun, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang menahan sakit, lalu berjalan menghampirinya. Pada wajah cantik itu terbayang sikap mengancam dan kemarahan yang ditahan-tahan. Setelah tiba di depan Swan Bu yang masih duduk bersila, Siu Bi berteriak-teriak, akan tetapi suaranya seperti orang berbisik karena sesungguhnya ia sudah kehabisan tenaga.

“Monyet kau! Keledai jahat kau! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Kau berani bilang aku….. aku…. isterimu….., keparat!”

Swan Bu tersenyum mengejek. 
“Kau yang bodoh seperti keledai! Satu-satunya jalan untuk menolong kau terhina oleh kakek itu hanya dengan mengakuimu sebagai isteri. Kau marah, ya? Hemmm, apakah kau lebih suka menjadi isteri kakek itu?”






“Keparat! Kubunuh kau…..!” 

Siu Bi mengepal tinju dan maju hendak memukul kepala Swan Bu. Akan tetapi ia mengeluh dan terguling roboh! Namun ia terengah-engah dan bangun kembali, berusaha merangkak mendekati Swan Bu.

“Hmmm, perempuan liar! Kita sama-sama terluka hebat, tidak mampus sekarangpun masih untung. Masa kau masih banyak lagak lagi? Lebih baik kau lekas bersila, menyehatkan kembali luka di dalam tubuh dengan pernapasan baru. Setelah kita sama-sama sehat, baru kita boleh bicara lagi dan bersama-sama mengatasi kakek gila itu!” 

Setelah berkata demikian, Swan Bu tidak mempedulikan lagi kepada Siu Bi, dia bersila sambil meramkan mata dan melakukan samadhi. Akan tetapi keadaan gadis itu amat mengganggunya sehingga kembali dia gagal dan terpaksa mengintai Siu Bi dari balik bulu matanya.

Siu Bi duduk terengah-engah dan kedua pipinya basah air mata. Agaknya ia marah sekali. Bibir yang agak pucat itu bergerak-gerak dan Swan Bu dapat mendengar suara perlahan 

“kubunuh kau….. kubunuh kau…..”

Terpaksa dia membuka matanya dan berkata tenang, 
“Kau tenanglah dan pikir baik-baik. Aku tidak takut kau bunuh, tapi kalau kau membunuhku, kau tentu akan diambil isteri oleh kakek gila itu. Sebaliknya kalau melawan dan kau yang mampus, aku tentu akan dibunuhnya pula…..”

Siu Bi memandang marah. 
“Kubunuh kau lalu aku melarikan diri!” katanya sambil merangkak makin dekat. 

Akan tetapi Swan Bu sudah meramkan mata lagi dan tidak mempedulikan Siu Bi. Tentu saja dia hanya berpura-pura begini karena diam-diam dia siap siaga menjaga penyerangan tiba-tiba. Betapapun juga, dia tidak sudi untuk dibunuh begitu saja.

Agaknya kemarahan Siu Bi sudah bertumpuk-tumpuk kepadanya. Pertama, hendak membuntungi lengan tangannya belum berhasil, ditambah pertempuran yang juga belum dapat ditentukan kalah menangnya. Kemudian pengakuan Swan Bu bahwa gadis itu isterinya, ditambah lagi omongan kacau-balau tentang anak segala oleh kakek gila. Tentu saja Siu Bi tidak mau menerima hal ini dan menganggapnya penghinaan yang tiada taranya. Setelah dekat, Siu Bi lalu mengayun tangan memukul.

Swan Bu yang tidak meram betul, mengintai dari balik bulu matanya, cepat miringkan tubuh dan menarik kepala kebelakang. Pukulan mengenai angin dan tubuh Siu Bi yang berjongkok itu hampir tertelungkup. Begitu lemah dia sekarang,

la menyeringai dan dadanya terasa makin sakit, kemudian ia terbatuk. Darah segar muncrat dari mulutnya.

“Tenanglah, bernapas yang panjang, kumpulkan sinkang…..” 

Swan Bu berkata khawatir sekali karena maklum bahwa setiap kali memukul, gadis itu memukul dalam dadanya sendiri yang membuat lukanya makin parah. la tidak ingat lagi bahwa gadis ini musuhnya, dan tidak ingat bahwa sungguh janggal betapa ia mengkhawatirkan keadaan gadis ini.

Namun Siu Bi tidak mau menurut, bahkan dengan nekat lalu menerjang lagi, kini kedua tangannya bergerak menghantam, yang kiri menyodok ulu hati yang kanan mencengkeram kearah leher. 

Swan Bu maklum bahwa kalau dia menangkis atau mengelak, gadis itu akan terluka makin parah. Cepat dia menggerakkan kedua tangan dan dilain saat dia telah menangkap kedua pergelangan tangan Siu Bi.

“Lepaskan…. lepaskan…..!” 

Siu Bi meronta-ronta, akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mau melepaskannya karena maklum bahwa sekali lepas, gadis itu akan mengirim pukulan lagi dari jarak dekat. Sekali dia kena pukul, mungkin dia takkan kuat menahannya, sebaliknya kalau pukulan itu tidak kena, Siu Bi yang mungkin akan tewas. Maka dia memegang kedua pergelangan tangan itu erat-erat, tidak mau melepaskannya.

Selagi mereka bersitegang, berkutetan seperti orang bergulat itu tiba-tiba terdengar suara, 

“Heh-heh-heh, kalian berkelahi…..??”

Siu Bi dan Swan Bu kaget sekali. Kalau kakek itu tahu mereka berkelahi hanya dua akibatnya, Swan Bu akan dibunuh dan Siu Bi akan dipaksa menjadi isterinya!

“Lekas…..” bisik Swan Bu dan mendadak dia melepaskan kedua pergelangan tangan Siu Bi, dan kedua lengannya merangkul leher gadis itu, dipeluk dan didekapnya. 

Ketika matanya mengerling dan melihat kakek itu masih ragu-ragu berdiri melihat mereka, Swan Bu lalu menarik kepala Siu Bi ke atas dan….. dia menciumi muka Siu Bi.

“Auhhh….. ahhh…..” 

Siu Bi hampir pingsan ketika merasa betapa pemuda itu menciumi pipinya, bibirnya, hidungnya, matanya. Serasa kepalanya disambar pelir menjadi tujuh keliling, matanya melihat seribu bintang menari-nari dan telinganya mendengar seribu suara melengking-lengking, akhirnya ia roboh….. pulas atau setengah pingsan di atas pangkuan dan dada Swan Bu!

“Heh-heh-heh, bagus….. bagus. Nah begitulah seharusnya! Kalau begitu aku akan lekas mendapatkan cucu laki-laki, heh-heh-heh!” 

Kakek itu melangkah maju dan menurunkan banyak sekali buah-buah yang masak, kemerahan dan harum baunya. Swan Bu melihat betapa pedang hitam milik Siu Bi terselip di ikat pinggang kakek itu, berlepotan getah, agaknya pedang itu oleh si kakek dipergunakan untuk menebang pohon!

“Aku memanggang daging diluar, kalian beristirahat. Akan tetapi kelak kalau sudah sembuh, kalian harus melayani aku. Wah, masa orang tua disuruh payah-payah melayani anak dan mantu. Aturan mana ini?” Kakek itu mengomel panjang pendek.

“Maafkanlah, Lopek. Kami berdua sedang sakit dan terluka. Tunggulah paling lama sepekan, kami tentu akan sehat kembali dan dapat melayanimu.” 

Kakek itu masih tetap mengomel sambil berjalan keluar dari dalam gua. Langkahnya seperti langkah monyet berjalan. Swan Bu mengusap peluhnya, peluh dingin. Hampir saja, pikirnya. Mereka berdua tadi sudah berada di ambang jurang maut! la melirik kearah Siu Bi yang masih “pulas” diatas pangkuannya.





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)