JAKA LOLA JILID 084
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Bhok Hwesio, dua puluh tahun yang lalu kau tersesat kemudian datang Thian Ki Losuhu yang menjadi suhengmu dan membawamu kembali ke Siauw-lim-pai. Apakah selama dua puluh tahun ini kau belum juga dapat mengubah kesesatanmu?”
“Tan Beng San, kau sungguh bermulut besar. Karena kau, pinceng menderita puluhan tahun. Tapi sekarang kau telah terluka, sayang sekali. Tidak enak melawan orang sudah terluka parah, akan tetapi tidak bisa pinceng melepaskanmu begitu saja. Raja Pedang, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun sambil mengangguk tiga kali di depanku, baru pin-ceng mau melepaskanmu dan memberi waktu kepadamu untuk menyembuhkan lukamu, setelah itu baru kita bertanding melunasi perhitungan lama.”
Tidak ada penghinaan bagi seorang pendekar silat yang lebih hebat daripada menyuruhnya mengaku kalah dan berlutut minta ampun! Kalah menang dalam pertandingan bagi seorang pendekar adalah lumrah,
Raja Pedang sendiri tentu takkan merasa penasaran kalau memang dia kalah dalam pertandingan melawan musuh yang lebih pandai. Akan tetapi mengaku kalah sebelum bertanding, apalagi berlutut minta ampun? Lebih baik mati! Perasaan marah yang mendatang karena mendengar penghinaan ini menyesakkan dada Tan Beng San yang terluka, membuatnya sukar bernapas. Oleh karena itu, dia tidak menjawab ucapan Bhok Hwesio, melainkan membalikkan tubuhnya membelakangi hwesio tua itu dan duduk bersila, meramkan mata.
“Tan Beng San, kau berjuluk Raja Pedang, ketua Thai-san-pai. Mana kegagahanmu? Hayo kau lawan aku! Kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun!” bentak Bhok Hwesio pula.
Namun Raja Pedang tidak menjawab, tetap meramkan mata dan duduk bersila tak bergerak seperti patung. la maklum bahwa nyawanya berada di dalam genggaman musuh, kalau musuh menghendaki, dia dan Kun Hong pasti akan tewas karena untuk melawan mereka tidak mampu lagi.
“Bhok-losuhu, kenapa tidak pukul pecah saja kepalanya? Manusia-manusia sombong ini harus dihajar, baru kapok. He, manusia buta, hayo kau lawan aku, Maharsi yang tak terkalahkan. Kau sudah membunuh tiga orang Sam-ci-moi yang menjadi adik-adik seperguruanku, juga sahabatku Bo Wi Sanjin telah tewas. Untuk menebus kematian mereka, kau harus mati empat kali”
Maharsi menghampiri Kun Hong yang juga duduk bersila sambil memusatkan perhatiannya untuk mengobati luka dalam yang amat berat. Seperti juga Raja Pedang, dia maklum bahwa melawan akan sia-sia belaka karena lukanya hebat. Lebih baik berusaha untuk memulihkan tenaga saktinya dari pada melawan dan kalah. Melawan berarti kalah dan mati. Kalau tidak melawan ada dua kemungkinan, pertama, mungkin lawan akan membunuhnya pula, akan tetapi kalau terjadi hal demikian, berarti lawan melakukan kecurangan besar yang akan merupakan hal yang mencemarkan nama sendiri.
Kemungkinan kedua, lawan akan cukup memiliki kegagahan sehingga segan menyerang orang yang terluka dan sedang bersamadhi mengobati lukanya sehingga dia akan terbebas daripada kematian dan kekalahan. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal kedua ini sukar akan dia dapatkan dari lawan yang jahat, maka keselamatan nyawanya berada di dalam genggaman lawan dan dia menyerahkan nasib kepada Tuhan.
“Maharsi,” kata Pendekar Buta perlahan, “aku tidak kenal padamu dan tidak tahu kau manusia macam apa. Akan tetapi aku tahu bahwa hanya seorang rendah budi, seorang pengecut yang curang, seorang yang sama sekali tidak ada harganya saja yang menantang lawan yang berada dalam keadaan terluka parah. Mungkin engkau termasuk orang rendah macam itu, atau mungkin juga tidak, aku tidak tahu.”
“Keparat! Kau sudah membunuh adik-adikku, sekarang mengharapkan ampun dariku? Tidak mungkin! Kaulah yang rendah dan hina, Adik-adikku yang lemah kau bunuh, sekarang menghadapi aku karena kau merasa tidak akan menang, kau beraksi luka parah!”
Setelah berkata demikian, Maharsi menendang. Tubuh Kun Hong terguling-guling sampai tiga meter lebih, akan tetapi tetap dalam keadaan bersila, dan setelah berhenti terguling-guling dia juga tetap duduk bersila
Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun keadaannya terluka parah, Pendekar Buta itu benar-benar amat lihai. Diam-diam Maharsi terkejut juga. Dengan langkah lebar dia menghampiri, kedua lengannya digerak-gerakkan karena dia mengerahkan sinkang untuk menghantam dengan Pai-san-jiu, llmu pukulannya yang dia andalkan.
“Kau ingin marnpus? Kau kira aku, Maharsi tidak mampu sekali pukul menghancurkan kepalamu? Batu dan pohon remuk oleh pukulanku ini, tahu?”
la tiba-tiba menghantamkan kepalan tangan kanannya kearah sebatang pohon di sebelahnya dan terdengar suara keras, batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon itu. Maharsi tertawa bergelak.
“Kau melihat itu? Eh….. matamu buta, kau tidak pandai melihat. Kau tentu mendengar itu, bukan? Nah, apakah kepalamu lebih keras daripada batang pohon?”
Kun Hong tersenyum dan berkata, nadanya mengejek,
“Kasihan sekali kau, Maharsi. Menilik suaramu, kau seorang tua bangka yang kembali seperti kanak-kanak. Dengan ilmu pukulanmu itu, kau seperti kanak-kanak mendapat permainan baru dan menyombong-nyombongkannya, padahal kelak kau akan menyadari bahwa ilmu itu tiada gunanya sama sekali, seperti kanak-kanak bosan pada permainan yang sudah butut. Menumbangkan pohon, apa sukarnya? Segala sifat merusak mudah dilakukan, anak kecilpun bisa. Apa anehnya?”
Maharsi marah sekali dan kakinya mencak-mencak.
“Setan, kau akan kubunuh sedikit demi sedikit, jangan kira kau akan dapat memanaskan hatiku sehingga aku akan membunuhmu begitu saja! Kau memanaskan hati agar aku membunuhmu seketika sehingga kau tidak menderita? Ho-ho-ho, aku tidak sebodoh itu. Kau akan kusiksa, kubunuh sekerat demi sekerat untuk membalaskan sakit hati adik-adikku!”
Pendeta barat itu kini melangkah maju, tangannya yang berlengan panjang diulur ke depan, siap mencengkeram tubuh Kun Hong dan menyiksanya. Pendekar Buta hanya tersenyum dan bersila, sikapnya tenang.
Kebetulan sekali Cui Sian sadar lebih dulu daripada pingsannya. Gadis ini berada dekat dengan Maharsi yang melangkah maju. Melihat sikap yang mengancam dari pendeta itu terhadap Kun Hong yang tidak mampu melawan, Cui Sian marah sekali. la juga sudah terluka, namun tidak sehebat Kun Hong lukanya. Sambungan tulang pundak kanan terlepas dan dadanya agak sesak akibat pukulan Katak Sakti yang dilontarkan Bo Wi Sianjin kepadanya.
Melihat Kun Hong terancam maut, dan mengingat bahwa ia dan ayahnya telah menuduh secara keliru sehingga terjadi malapetaka ini, Cui Sian melompat dengan nekat dan menyerang Maharsi untuk menolong Kun Hong.
Biarpun keadaannya terluka, namun serangan Cui Sian yang nekat ini cukup hebat. la menggunakan jurus Sian-Ii-siu-goat (Dewi Sambut Bulan), tentu saja ia hanya dapat memukul dengan tangan kiri, maka ia sengaja menggunakan pukulan yang mengandung tenaga lemas untuk menyesuaikan keadaannya yang terluka.
Namun pukulan yang halus ini merupakan jangkauan tangan maut karena yang diserang adalah bagian yang mematikan di ulu hati. Biarpun penyerangnya hanya seorang gadis jelita yang sudah terluka parah, namun kalau Maharsi berani menerimanya tanpa mengelak maupun menangkis, jurus puteri Raja Pedang ini masih cukup kuat untuk menamatkan riwayat Maharsi!
Tentu saja sebagai seorang berilmu tinggi, Maharsi dapat membedakan mana serangan ampuh dan mana yang bukan. la tahu bahwa selama itu, gadis puteri ketua Thai-san-pai ini masih amat berbahaya dan serangannya tak boleh dipandang ringan. la mengeluarkan suara ketawa mengejek, kedua lengannya yang panjang itu menyambut, menangkap lengan Cui Sian dan dengan gentakan kuat dia melemparkan tubuh Cui Sian kearah ayahnya!
Karena nadi pergelangan tangannya sudah dipencet, Cui Sian kehabisan tenaga dan ia tentu akan terbanting pada tubuh ayahnya yang duduk bersila kalau saja orang tua sakti itu tidak mengulur tangan dan menyambutnya. Biarpun Tan Beng San sudah terluka hebat dan parah, namun menyambut tubuh puterinya ini masih merupakan hal yang mudah baginya.
Cui Sian memeluk ayahnya dan menangis,
“Ayah….. kita harus tolong Suheng…..”
Beng San menggeleng kepala.
“Keadaanku tidak mengijinkan untuk menolong orang lain maupun menolong sendiri, Sian-ji. Kun Hong hebat sekali tadi sehingga luka di tubuhku amat parah. Biarlah, mari kita menonton orang-orang gagah perkasa tewas di tangan orang-orang pengecut rendah dan hina!”
Ucapan ini keluar dengan suara nyaring dari mulutnya sehingga Bhok Hwesio menjadi merah sekali mukanya.
“Ketua Thai-san-pai, aku bukan pengecut yang suka membunuh lawan yang terluka. Akan tetapi untuk menebus dosamu dan untuk mencegah perjalananku tidak sia-sia, kau harus berlutut minta ampun kepada pinceng. Baru pinceng mau melepaskanmu untuk bertanding dilain hari,” katanya marah.
“Hwesio sesat, kau mau bunuh boleh bunuh, apa artinya mati? Yang harus dikasihani adalah kau yang pada lahirnya merupakan seorang hwesio, namun di sebelah dalam kau bergelimang dengan kesesatan!”
“Pinceng takkan membunuhmu, kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, pinceng hanya akan mencabut kesaktianmu agar selanjutnya pinceng dapat hidup tenteram, tidak memikirkan soal balas dendam lagi,” jawab Bhok Hwesio, nada suaranya seperti orang kesal.
Diam-diam Beng San dan puterinya kaget bukan main. Mereka maklum apa artinya mencabut kesaktian. Berarti bahwa kakek gundul itu hendak melumpuhkan kaki tangan sehingga Raja Pedang takkan mungkin melakukan gerakan silat lagi. Dan perbuatan seperti itu lebih menyiksa daripada membunuh. Lebih ringan dibunuh daripada dijadikan seorang tapadaksa yang hidupnya tiada gunanya lagi.
“Ha-ha-ha. Losuhu benar sekali! Mengapa aku tidak berpikir sampai disitu?” Maharsi tertawa bergelak mendengar ini. “Alangkah akan menyenangkan begitu, melihat musuh besar menjadi seorang yang hidup tidak matipun tidak. Orang buta, aku juga tidak akan membunuhmu, aku akan membikin kau dan isterimu menjadi orang-orang tiada guna, ho-ho-ha-ha-hah!”
Sambil berkata demikian, Maharsi melangkah maju mendekati Hui Kauw yang masih setengah pingsan. Sekali meraih dia telah menyambar tubuh nyonya itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi diatas kepalanya.
“Ho-ho-ho, Pendekar Buta, kau dengar baik-baik betapa aku akan membuat isterimu seorang tapadaksa selama hidupnya dan kau boleh menyesalkan perbuatanmu membunuh adik-adik seperguruanku!”
Muka Kun Hong pucat sekali. Telinganya dapat mengkuti setiap gerakan Maharsi dan tahulah dia bahwa keadaan isterinya takkan dapat ditolong lagi. Suaranya terdengar dalam dan menyeramkan ketika dia berkata,
“Maharsi, kau benar-benar gagah perkasa, menghina seorang wanita yang tak berdaya lagi. Kalau memang kau laki-laki gagah, jangan ganggu wanita dan kau boleh berbuat sesuka hatimu terhadap aku!”
“Ha-ha-ho-ho-ho! Ngeri hatimu, Pendekar Buta? Ada banyak cara membikin orang kehilangan kepandaiannya, di antaranya, memutuskan otot-otot dan menghancurkan tulang-tulang. Isterimu cantik, biar sudah setengah tua masih cantik dan kau tidak bermata, tiada bedanya bukan? Biar kupatahkan tulang-tulangnya, tulang kaki tangan dan punggung. Ha-ha-ha, tentu menjadi bengkok-bengkok kaki tangannya, dan punggungnya menjadi bongkok! Pendekar Buta, kau dapat mendengarkan patahnya tulang-tulang tubuh isterimu…..!”
Kun Hong diam saja, hanya berdo’a semoga isterinya tewas saja dalam penghinaan itu. Mati adalah jauh lebih ringan. la sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan sudah amat kritis dan agaknya tidak ada yang dapat menolong isteri Pendekar Buta daripada malapetaka yang hebat itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang berkata-kata. Akan tetapi tak ada yang mengerti artinya, karena suara itu berkata-kata dalam bahasa asing. Kecuali Maharsi yang agaknya mengerti artinya, karena tiba-tiba dia menurunkan tubuh Hui Kauw, tidak jadi menggerakkan tangan memukul.
Matanya terbelalak menoleh kearah suara. Betapa dia tidak akan kaget sekali mendengar kata-kata dalam bahasa Nepal, dan kata-kata itu justeru merupakan sumpah di depan gurunya dahulu yang berbunyi,
“Tidak akan mempergunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan.”
Alangkah herannya ketika dia melihat disitu muncul seorang pemuda berpakaian putih sederhana, yang memandangnya dengan sepasang mata penuh wibawa.
“Siapa kau? Apa yang kau katakan tadi?” Ia membentak, tubuh Hui Kauw masih di tangan kiri, dicengkeram baju di punggungnya.
“Maharsi, setelah gurumu tidak ada lagi, kau hidup tersesat. Guruku yang mulia, pendeta Bhewakala telah dua kali memberi ampun kepadamu, mengingat kau masih murid sutenya. Akan tetapi tidak ada kejahatan yang bisa diampuni sampai tiga kali. Kalau kau melanjutkan perbuatanmu yang biadab, menggunakan kepandaian untuk menghina wanita yang tak berdaya, aku akan mewakili guruku memberi hukuman kepadamu!”
“Tan Beng San, kau sungguh bermulut besar. Karena kau, pinceng menderita puluhan tahun. Tapi sekarang kau telah terluka, sayang sekali. Tidak enak melawan orang sudah terluka parah, akan tetapi tidak bisa pinceng melepaskanmu begitu saja. Raja Pedang, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun sambil mengangguk tiga kali di depanku, baru pin-ceng mau melepaskanmu dan memberi waktu kepadamu untuk menyembuhkan lukamu, setelah itu baru kita bertanding melunasi perhitungan lama.”
Tidak ada penghinaan bagi seorang pendekar silat yang lebih hebat daripada menyuruhnya mengaku kalah dan berlutut minta ampun! Kalah menang dalam pertandingan bagi seorang pendekar adalah lumrah,
Raja Pedang sendiri tentu takkan merasa penasaran kalau memang dia kalah dalam pertandingan melawan musuh yang lebih pandai. Akan tetapi mengaku kalah sebelum bertanding, apalagi berlutut minta ampun? Lebih baik mati! Perasaan marah yang mendatang karena mendengar penghinaan ini menyesakkan dada Tan Beng San yang terluka, membuatnya sukar bernapas. Oleh karena itu, dia tidak menjawab ucapan Bhok Hwesio, melainkan membalikkan tubuhnya membelakangi hwesio tua itu dan duduk bersila, meramkan mata.
“Tan Beng San, kau berjuluk Raja Pedang, ketua Thai-san-pai. Mana kegagahanmu? Hayo kau lawan aku! Kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun!” bentak Bhok Hwesio pula.
Namun Raja Pedang tidak menjawab, tetap meramkan mata dan duduk bersila tak bergerak seperti patung. la maklum bahwa nyawanya berada di dalam genggaman musuh, kalau musuh menghendaki, dia dan Kun Hong pasti akan tewas karena untuk melawan mereka tidak mampu lagi.
“Bhok-losuhu, kenapa tidak pukul pecah saja kepalanya? Manusia-manusia sombong ini harus dihajar, baru kapok. He, manusia buta, hayo kau lawan aku, Maharsi yang tak terkalahkan. Kau sudah membunuh tiga orang Sam-ci-moi yang menjadi adik-adik seperguruanku, juga sahabatku Bo Wi Sanjin telah tewas. Untuk menebus kematian mereka, kau harus mati empat kali”
Maharsi menghampiri Kun Hong yang juga duduk bersila sambil memusatkan perhatiannya untuk mengobati luka dalam yang amat berat. Seperti juga Raja Pedang, dia maklum bahwa melawan akan sia-sia belaka karena lukanya hebat. Lebih baik berusaha untuk memulihkan tenaga saktinya dari pada melawan dan kalah. Melawan berarti kalah dan mati. Kalau tidak melawan ada dua kemungkinan, pertama, mungkin lawan akan membunuhnya pula, akan tetapi kalau terjadi hal demikian, berarti lawan melakukan kecurangan besar yang akan merupakan hal yang mencemarkan nama sendiri.
Kemungkinan kedua, lawan akan cukup memiliki kegagahan sehingga segan menyerang orang yang terluka dan sedang bersamadhi mengobati lukanya sehingga dia akan terbebas daripada kematian dan kekalahan. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal kedua ini sukar akan dia dapatkan dari lawan yang jahat, maka keselamatan nyawanya berada di dalam genggaman lawan dan dia menyerahkan nasib kepada Tuhan.
“Maharsi,” kata Pendekar Buta perlahan, “aku tidak kenal padamu dan tidak tahu kau manusia macam apa. Akan tetapi aku tahu bahwa hanya seorang rendah budi, seorang pengecut yang curang, seorang yang sama sekali tidak ada harganya saja yang menantang lawan yang berada dalam keadaan terluka parah. Mungkin engkau termasuk orang rendah macam itu, atau mungkin juga tidak, aku tidak tahu.”
“Keparat! Kau sudah membunuh adik-adikku, sekarang mengharapkan ampun dariku? Tidak mungkin! Kaulah yang rendah dan hina, Adik-adikku yang lemah kau bunuh, sekarang menghadapi aku karena kau merasa tidak akan menang, kau beraksi luka parah!”
Setelah berkata demikian, Maharsi menendang. Tubuh Kun Hong terguling-guling sampai tiga meter lebih, akan tetapi tetap dalam keadaan bersila, dan setelah berhenti terguling-guling dia juga tetap duduk bersila
Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun keadaannya terluka parah, Pendekar Buta itu benar-benar amat lihai. Diam-diam Maharsi terkejut juga. Dengan langkah lebar dia menghampiri, kedua lengannya digerak-gerakkan karena dia mengerahkan sinkang untuk menghantam dengan Pai-san-jiu, llmu pukulannya yang dia andalkan.
“Kau ingin marnpus? Kau kira aku, Maharsi tidak mampu sekali pukul menghancurkan kepalamu? Batu dan pohon remuk oleh pukulanku ini, tahu?”
la tiba-tiba menghantamkan kepalan tangan kanannya kearah sebatang pohon di sebelahnya dan terdengar suara keras, batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon itu. Maharsi tertawa bergelak.
“Kau melihat itu? Eh….. matamu buta, kau tidak pandai melihat. Kau tentu mendengar itu, bukan? Nah, apakah kepalamu lebih keras daripada batang pohon?”
Kun Hong tersenyum dan berkata, nadanya mengejek,
“Kasihan sekali kau, Maharsi. Menilik suaramu, kau seorang tua bangka yang kembali seperti kanak-kanak. Dengan ilmu pukulanmu itu, kau seperti kanak-kanak mendapat permainan baru dan menyombong-nyombongkannya, padahal kelak kau akan menyadari bahwa ilmu itu tiada gunanya sama sekali, seperti kanak-kanak bosan pada permainan yang sudah butut. Menumbangkan pohon, apa sukarnya? Segala sifat merusak mudah dilakukan, anak kecilpun bisa. Apa anehnya?”
Maharsi marah sekali dan kakinya mencak-mencak.
“Setan, kau akan kubunuh sedikit demi sedikit, jangan kira kau akan dapat memanaskan hatiku sehingga aku akan membunuhmu begitu saja! Kau memanaskan hati agar aku membunuhmu seketika sehingga kau tidak menderita? Ho-ho-ho, aku tidak sebodoh itu. Kau akan kusiksa, kubunuh sekerat demi sekerat untuk membalaskan sakit hati adik-adikku!”
Pendeta barat itu kini melangkah maju, tangannya yang berlengan panjang diulur ke depan, siap mencengkeram tubuh Kun Hong dan menyiksanya. Pendekar Buta hanya tersenyum dan bersila, sikapnya tenang.
Kebetulan sekali Cui Sian sadar lebih dulu daripada pingsannya. Gadis ini berada dekat dengan Maharsi yang melangkah maju. Melihat sikap yang mengancam dari pendeta itu terhadap Kun Hong yang tidak mampu melawan, Cui Sian marah sekali. la juga sudah terluka, namun tidak sehebat Kun Hong lukanya. Sambungan tulang pundak kanan terlepas dan dadanya agak sesak akibat pukulan Katak Sakti yang dilontarkan Bo Wi Sianjin kepadanya.
Melihat Kun Hong terancam maut, dan mengingat bahwa ia dan ayahnya telah menuduh secara keliru sehingga terjadi malapetaka ini, Cui Sian melompat dengan nekat dan menyerang Maharsi untuk menolong Kun Hong.
Biarpun keadaannya terluka, namun serangan Cui Sian yang nekat ini cukup hebat. la menggunakan jurus Sian-Ii-siu-goat (Dewi Sambut Bulan), tentu saja ia hanya dapat memukul dengan tangan kiri, maka ia sengaja menggunakan pukulan yang mengandung tenaga lemas untuk menyesuaikan keadaannya yang terluka.
Namun pukulan yang halus ini merupakan jangkauan tangan maut karena yang diserang adalah bagian yang mematikan di ulu hati. Biarpun penyerangnya hanya seorang gadis jelita yang sudah terluka parah, namun kalau Maharsi berani menerimanya tanpa mengelak maupun menangkis, jurus puteri Raja Pedang ini masih cukup kuat untuk menamatkan riwayat Maharsi!
Tentu saja sebagai seorang berilmu tinggi, Maharsi dapat membedakan mana serangan ampuh dan mana yang bukan. la tahu bahwa selama itu, gadis puteri ketua Thai-san-pai ini masih amat berbahaya dan serangannya tak boleh dipandang ringan. la mengeluarkan suara ketawa mengejek, kedua lengannya yang panjang itu menyambut, menangkap lengan Cui Sian dan dengan gentakan kuat dia melemparkan tubuh Cui Sian kearah ayahnya!
Karena nadi pergelangan tangannya sudah dipencet, Cui Sian kehabisan tenaga dan ia tentu akan terbanting pada tubuh ayahnya yang duduk bersila kalau saja orang tua sakti itu tidak mengulur tangan dan menyambutnya. Biarpun Tan Beng San sudah terluka hebat dan parah, namun menyambut tubuh puterinya ini masih merupakan hal yang mudah baginya.
Cui Sian memeluk ayahnya dan menangis,
“Ayah….. kita harus tolong Suheng…..”
Beng San menggeleng kepala.
“Keadaanku tidak mengijinkan untuk menolong orang lain maupun menolong sendiri, Sian-ji. Kun Hong hebat sekali tadi sehingga luka di tubuhku amat parah. Biarlah, mari kita menonton orang-orang gagah perkasa tewas di tangan orang-orang pengecut rendah dan hina!”
Ucapan ini keluar dengan suara nyaring dari mulutnya sehingga Bhok Hwesio menjadi merah sekali mukanya.
“Ketua Thai-san-pai, aku bukan pengecut yang suka membunuh lawan yang terluka. Akan tetapi untuk menebus dosamu dan untuk mencegah perjalananku tidak sia-sia, kau harus berlutut minta ampun kepada pinceng. Baru pinceng mau melepaskanmu untuk bertanding dilain hari,” katanya marah.
“Hwesio sesat, kau mau bunuh boleh bunuh, apa artinya mati? Yang harus dikasihani adalah kau yang pada lahirnya merupakan seorang hwesio, namun di sebelah dalam kau bergelimang dengan kesesatan!”
“Pinceng takkan membunuhmu, kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, pinceng hanya akan mencabut kesaktianmu agar selanjutnya pinceng dapat hidup tenteram, tidak memikirkan soal balas dendam lagi,” jawab Bhok Hwesio, nada suaranya seperti orang kesal.
Diam-diam Beng San dan puterinya kaget bukan main. Mereka maklum apa artinya mencabut kesaktian. Berarti bahwa kakek gundul itu hendak melumpuhkan kaki tangan sehingga Raja Pedang takkan mungkin melakukan gerakan silat lagi. Dan perbuatan seperti itu lebih menyiksa daripada membunuh. Lebih ringan dibunuh daripada dijadikan seorang tapadaksa yang hidupnya tiada gunanya lagi.
“Ha-ha-ha. Losuhu benar sekali! Mengapa aku tidak berpikir sampai disitu?” Maharsi tertawa bergelak mendengar ini. “Alangkah akan menyenangkan begitu, melihat musuh besar menjadi seorang yang hidup tidak matipun tidak. Orang buta, aku juga tidak akan membunuhmu, aku akan membikin kau dan isterimu menjadi orang-orang tiada guna, ho-ho-ha-ha-hah!”
Sambil berkata demikian, Maharsi melangkah maju mendekati Hui Kauw yang masih setengah pingsan. Sekali meraih dia telah menyambar tubuh nyonya itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi diatas kepalanya.
“Ho-ho-ho, Pendekar Buta, kau dengar baik-baik betapa aku akan membuat isterimu seorang tapadaksa selama hidupnya dan kau boleh menyesalkan perbuatanmu membunuh adik-adik seperguruanku!”
Muka Kun Hong pucat sekali. Telinganya dapat mengkuti setiap gerakan Maharsi dan tahulah dia bahwa keadaan isterinya takkan dapat ditolong lagi. Suaranya terdengar dalam dan menyeramkan ketika dia berkata,
“Maharsi, kau benar-benar gagah perkasa, menghina seorang wanita yang tak berdaya lagi. Kalau memang kau laki-laki gagah, jangan ganggu wanita dan kau boleh berbuat sesuka hatimu terhadap aku!”
“Ha-ha-ho-ho-ho! Ngeri hatimu, Pendekar Buta? Ada banyak cara membikin orang kehilangan kepandaiannya, di antaranya, memutuskan otot-otot dan menghancurkan tulang-tulang. Isterimu cantik, biar sudah setengah tua masih cantik dan kau tidak bermata, tiada bedanya bukan? Biar kupatahkan tulang-tulangnya, tulang kaki tangan dan punggung. Ha-ha-ha, tentu menjadi bengkok-bengkok kaki tangannya, dan punggungnya menjadi bongkok! Pendekar Buta, kau dapat mendengarkan patahnya tulang-tulang tubuh isterimu…..!”
Kun Hong diam saja, hanya berdo’a semoga isterinya tewas saja dalam penghinaan itu. Mati adalah jauh lebih ringan. la sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan sudah amat kritis dan agaknya tidak ada yang dapat menolong isteri Pendekar Buta daripada malapetaka yang hebat itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang berkata-kata. Akan tetapi tak ada yang mengerti artinya, karena suara itu berkata-kata dalam bahasa asing. Kecuali Maharsi yang agaknya mengerti artinya, karena tiba-tiba dia menurunkan tubuh Hui Kauw, tidak jadi menggerakkan tangan memukul.
Matanya terbelalak menoleh kearah suara. Betapa dia tidak akan kaget sekali mendengar kata-kata dalam bahasa Nepal, dan kata-kata itu justeru merupakan sumpah di depan gurunya dahulu yang berbunyi,
“Tidak akan mempergunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan.”
Alangkah herannya ketika dia melihat disitu muncul seorang pemuda berpakaian putih sederhana, yang memandangnya dengan sepasang mata penuh wibawa.
“Siapa kau? Apa yang kau katakan tadi?” Ia membentak, tubuh Hui Kauw masih di tangan kiri, dicengkeram baju di punggungnya.
“Maharsi, setelah gurumu tidak ada lagi, kau hidup tersesat. Guruku yang mulia, pendeta Bhewakala telah dua kali memberi ampun kepadamu, mengingat kau masih murid sutenya. Akan tetapi tidak ada kejahatan yang bisa diampuni sampai tiga kali. Kalau kau melanjutkan perbuatanmu yang biadab, menggunakan kepandaian untuk menghina wanita yang tak berdaya, aku akan mewakili guruku memberi hukuman kepadamu!”
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI