JAKA LOLA JILID 089

 Kakek itu menengok kepadanya, memandang sejenak, lalu memutar pandang matanya kearah mayat bertumpuk-tumpuk di tempat itu. Kembali dia menarik napas panjang lalu berkata, 

“Bunuh-membunuh, dendam-mendendam, apakah hanya untuk ini orang hidup di dunia mempelajari bermacam-macam kepandaian? Bu-tek Kiam-ong, sayang kau yang memiliki kepandaian tinggi memihak kepada sifat merusak, alangkah baiknya kalau kau memihak kepada sifat membangun”

Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan langkahnya, dibantu tongkat, dan mayat Bhok Hwesio tersampir di pundaknya. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, terdengar suara orang memanggilnya.

“Losuhu!”

Thian Seng Losu menengok dan memandang kepada Kun Hong yang memanggilnya tadi. Pendekar Buta ini melanjutkan kata-katanya, 

“Losuhu, perbuatan yang sifatnya merusak amatlah perlu di dunia ini, bahkan amat dipentingkan karena tanpa ada sifat merusak, maka tidak akan sempurnalah sifat membangun. Merusak bukanlah selalu jahat, asal pandai orang memilih, apa yang harus dirusak, apa yang harus dibasmi, kemudian apa yang harus dibangun dan dipelihara. Petani yang bijaksana takkan ragu-ragu mencabuti dan membasmi semua rumput liar yang akan mengganggu kesuburan padi. Seorang gagah yang bijaksana takkan ragu-ragu pula untuk membasmi penjahat-penjahat yang akan mengganggu ketenteraman hidup rakyat. Semua baik-baik saja dan sudah tepat kalau masing-masing mengetahui kewajibannya, melaksanakannya tanpa pamrih dan kehendak demi keuntungan pribadi. Tentang membunuh dan dibunuh….. ah, Losuhu yang mulia dan waspada tentu lebih maklum bahwa hal itu sudah ada yang mengatur-Nya dan kita semua hanyalah alat belaka…..”

Wajah kakek tua yang tadinya muram itu kini berseri-seri, bahkan mulutnya yang ompong membentuk senyum lebar. 

“Omitohud…… ucapan-ucapan peringatan sama nilainya dengan air jernih dingin bagi seorang yang kehausan! Bukankah Sicu ini pendekar Liong-thouw-san yang terkenal dijuluki Pendekar Buta? Hebat….. kau gagah sekali, Sicu, gagah lahir batin! Betul kata-katamu, kita semua hanyalah alat yang tidak berkuasa menentukan sesuatu, akan tetapi….. sama-sama alat, bukankah lebih menyenangkan menjadi alat yang baik dan berguna? Dan kita berhak untuk berusaha ke arah pilihan yang baik, Sicu. Ha-ha-ha, sungguh pertemuan yang menyenangkan. Pinceng akan merasa bahagia sekali kalau Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) sewaktu-waktu sudi mengunjungi Siauw-lim-si untuk melanjutkan obrolan ini. Nah, selamat tinggal!”

Bagaikan segulungan awan, kakek itu bergerak dan seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak bumi. Demikian hebat ginkang dan ilmu lari cepatnya. Biar Raja Pedang sendiri sampai menjadi kagum dan menarik napas panjang. Tidak kelirulah kalau orang-orang kang-ouw menganggap bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya orang-orang sakti yang menjadi murid-murid Buddha.

Sunyi di tempat itu setelah ketua Siauw-lim-pai pergi. Masing-masing merenung dan baru terasa betapa hebat akibat daripada pertempuran itu. Raja Pedang masih duduk bersila, berulang kali menarik napas panjang. Pendekar Buta juga duduk bersila, berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kesehatan secepat mungkin, Hui Kauw dan Cui Sian saling pandang dengan sinar mata terharu karena mereka telah menjadi korban fitnah dan hampir saja saling bunuh. 

Yo Wan masih berdiri seperti patung, merasai betapa hebatnya kakek Siauw-lim yang tadi menjadi lawannya. Hanya Lee Si yang kini terisak kembali. Isak tangis ini menyadarkan mereka. Raja Pedang Tan Beng San berkata kepada Lee Si, 

“Lee Si, hentikan tangismu. Ayahmu tewas sebagai seorang laki-laki gagah, tak perlu disedihkan. Lebih baik sekarang kita urus jenazahnya.”

Kun Hong yang juga sudah sadar dari keadaan termenung dan merasa perlu segera bertindak, segera berkata kepada Yo Wan, 

“Wan-ji (anak Wan), hanya kau yang tidak terluka. Jangan takut lelah, kau galilah lubang untuk semua mayat ini dan kuburkan mereka baik-baik.”

Yo Wan menyanggupi dan pemuda ini segera menggunakan patahan pedang Pek-giok-kiam untuk menggali lubang yang besar. Melihat pemuda ini mengerahkan tenaga bekerja, tanpa diminta lagi Lee Si bangkit dan membantunya, juga Cui Sian dan Hui Kauw, biarpun terluka, segera membantu sedapatnya. 

Pertama-tama mereka mengubur jenazahnya Tan Kong Bu dengan sikap hormat akan tetapi sederhana tanpa upacara, hanya diiringi tangis Lee Si yang sampai tiga kali jatuh pingsan saking sedihnya, dihibur oleh Cui Sian dan Hui Kauw yang juga menangis. Kemudian mereka menggali lubang besar untuk mengubur semua jenazah itu sekaligus, jenazah Ang-hwa Nio-nio, Maharsi, Bo Wi Sianjin, dan anak buah Ang-hwa Nio-nio.






Setelah lebih setengah hari mereka bekerja, selesailah penguburan itu. Pada waktu itu, Kun Hong yang mengerti akan ilmu pengobatan sudah berhasil menyembuhkan lukanya sendiri, bahkan dia membantu penyembuhan luka yang diderita Raja Pedang. la bersila di belakang Raja Pedang dan menempelkan tangan kiri pada punggung ketua Thai-san-pai itu sambil mengurut jalan darah di pundak dengan jari-jari tangan kanannya.

“Cukuplah, Kun Hong. Tidak berbahaya lagi sekarang.” 

Akhirnya Raja Pedang berkata dan mereka berdua bangkit berdiri. Tiba-tiba Lee Si berlari menghampiri Raja Pedang dan berlutut di depan kakinya sambil menangis tersedu-sedu.

“Sudahlah, Lee Si.” Tan Beng San mengangkat bangun cucunya. “Kehendak Thian tak dapat dibantah oleh siapapun juga. Aku hanya bingung memikirkan bagaimana kita harus menyampaikan berita ini kepada ibumu…..”

Mendengar ini, Lee Si makin keras tangisnya.
“Betapapun juga, pembunuh ayahmu telah kita ketahui, dan dia sudah tewas pula.”

Akan tetapi Lee Si masih menangis dan Raja Pedang berkali-kali menghela napas karena dia dapat menduga bahwa kali ini Lee Si menangis karena mengingat keadaannya sendiri. Betapapun juga, gadis ini telah mengalami hinaan dan fitnah yang merusakkan namanya. Maka dia membiarkan cucunya menangis.

Adapun Hui Kauw yang mendekati Cui Sian, dengan wajah pucat bertanya, 
“Sian-moi, kau tadi bilang tentang Swan Bu…… bagaimanakah dia? Siapa yang membuntungi lengannya?” 

Terang nyonya ini mengeraskan hati dan menggigit bibir untuk menahan tangisnya. Hatinya ngeri dan cemas membayangkan puteranya itu menjadi buntung lengannya.

Cui Sian memeluk Hui Kauw. 
“Maafkan aku, Cici. Kau….. kau telah mengalami tekanan batin berkali-kali, difitnah, dituduh, dan sekarang puteramu menjadi korban lagi. Akan tetapi, hal yang sudah terjadi tak perlu melemahkan hati dan semangat kita, bukan? Swan Bu telah dibuntungi lengannya oleh gadis liar yang bernama Siu Bi…..”

“Ahhh…..!” 

Hui Kauw menahan seruannya, sedangkan Pendekar Buta yang juga mendengarkan penuturan ini, juga mengerutkan kening. Diam-diam dia merasa menyesal sekali bahwa dahulu dia telah menanam bibit permusuhan yang tiada berkesudahan. Terbayanglah dia akan musuh lamanya, The Sun, yang agaknya sekarang menimbulkan bencana hebat, bukan langsung olehnya sendlrl, melainkan oleh keturunannya.

“Aku sudah menangkapnya, menghajarnya, bahkan Lee Si hampir membunuhnya. Akan tetapi….. Swan Bu sendiri yang dibuntungi lengannya oleh iblis betina itu mencegah, malah minta supaya Siu Bi dibebaskan.”

Berdebar jantung Hui Kauw. Aneh sekali! Adakah suatu rahasia di balik itu, ataukah Swan Bu menjadi seorang pemuda yang berwatak aneh dan kadang-kadang lemah penuh welas asih seperti ayahnya. Orang telah membuntungi lengannya, dan orang itu hendak memusuhi ayah bundanya, akan tetapi dia membebaskannya! 

Teringat dia akan wajah Siu Bi. Gadis yang cantik jelita berwatak iblis, hampir saja berhasil membunuh ia dan suaminya. Tiba-tiba dia merasa khawatir. Jangan-jangan kecantikan gadis itu telah melemahkan hati puteranya.

“Dimana dia sekarang, Sian-moi?”

“Aku tidak tahu, Cici. Ketika dia dan aku menemukan jenazah Kong Bu koko aku lalu meninggalkan dia disini. Agaknya dia yang menguburkan jenazah Kong Bu koko, yang kemudian, tentu saja dibongkar kembali oleh penjahat-penjahat itu untuk dirusak dalam usaha mereka mengadu domba antara kita. Adapun Swan Bu sendiri, entah kemana dia pergi.”

Tak dapat ditahan lagi Hui Kauw menangis karena ia membayangkan puteranya dalam keadaan buntung lengannya itu masih bersusah payah mengubur jenazah Kong Bu! Pendekar Buta menghampiri isterinya dan menghiburnya.

“Tahan air matamu. Swan Bu tidak apa-apa. la tentu akan pulang ke Liong-thouw-san. Sedikit banyak dia mengerti tentang ilmu pengobatan, luka di lengannya pasti akan sembuh.”

Hui Kauw bangkit amarahnya mendengar sikap suaminya yang begitu dingin, seakan-akan soal buntungnya lengan Swan Bu “bukan apa-apa” bagi suaminya. la hendak membentak, menyatakan marahnya dan menyatakan kehendaknya untuk mencari Siu Bi untuk dibuntungi kedua lengan berikut kakinya! 

Akan tetapi begitu mengangkat muka dan melihat sepasang mata suaminya, hatinya menjadi tertusuk dan kekerasan amarahnya mencair seketika. la sampai lupa saking marahnya, lupa bahwa suaminya sendiri adalah seorang yang cacad, seorang yang buta kedua matanya, namun tetap menjadi pendekar yang tak terkalahkan, menjadi Pendekar Buta yang terkenal. 

Apakah artinya buntung lengan kirinya kalau dibandingkan dengan buta kedua matanya? Masih ringan, hanya cacad yang kecil tak berarti. Itulah sebabnya Pendekar Buta tadi mengatakan “tidak apa-apa dan akan sembuh”.

“Tapi….. tapi….. dia terlunta-lunta melakukan perjalanan dalam keadaan terluka, tidak ada yang merawatnya…..” 

Yo Wan yang mendengar percakapan ini segera menghampiri mereka, dan berkata, 
“Suhu dan Subo harap tenangkan hati. Biarlah teecu yang akan pergi mencari Swan Bu dan menemaninya pulang ke Liong-thouw-san.”

Girang hati Pendekar Buta mendengar ini. Memang tidak ada orang yang lebih dapat dia percaya untuk ini kecuali Yo Wan. la melangkah maju dan tangan kanannya merangkul pundak pemuda itu. 

“Yo Wan, kau anak baik. Kau tahu betapa besar rasa syukur di hati kami terhadapmu. Wan-ji, kau carilah Swan Bu dan ajaklah dia pulang bersama.” 

Suara Kun Hong terdengar menggetar penuh keharuan sehingga tak terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata Yo Wan. Cepat dia mengusapnya, memberi hormat kepada suhu dan subonya.

“Teecu berangkat sekarang juga,” katanya. 

Kemudian dia memberi hormat kepada Raja Pedang yang memandangnya dengan sinar mata kagum. Sungguh diluar sangkaannya sama sekali bahwa murid tunggal Pendekar Buta ternyata begini hebat, kuat menghadapi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio yang kepandaiannya amat luar biasa sehingga dia sendiripun belum tentu akan dapat mengalahkannya. Diam-diam dia tertarik dan kagum, dan makin gembiralah di dalam hati kakek perkasa ini ketika Yo Wan menjura kepada Cui Sian dan berkata halus,

“Adik Cui Sian, selamat berpisah, semoga kita dapat saling bertemu kembali.”

Wajah gadis itu menjadi merah, kerling matanya jelas membayangkan hati yang gugup dan jengah ketika ia balas menghormat. 

“Yo-twako, semoga kau lekas dapat menemukan Swan Bu.”

Yo Wan lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata yang mengandung bermacam perasaan. 

“Kun Hong, muridmu itu….. hemmm, ajaklah dia ke Thai-san sekali waktu. Aku perlu sekali bicara denganmu tentang dia.” 

Ucapan Raja Pedang Tan Beng San ini terdengar jelas dan artinyapun mudah ditangkap sehingga Cui Sian makin merah mukanya sehingga ia menundukkan mukanya itu untuk menyembunyikan debar jantungnya.

Kwa Kun Hong mengangguk-angguk karena diapun tentu saja mengerti bahwa pendekar tua itu bermaksud menjajaki kemungkinan terikatnya jodoh antara Cui Sian dengan Yo Wan. Akan tetapi sebagai seorang yang berperasaan halus, dia tidak berkata apa-apa agar jangan membuat Cui Sian menjadi malu.

“Kong-kong (Kakek), saya tidak berani pulang sendiri, tidak berani menyampaikan kematian ayah kepada ibu. Harap Kong-kong suka memperkenankan bibi Cui Sian menemani saja ke Min-san,” kata Lee Si.





  • Kembali 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)