JAKA LOLA JILID 108

 


“Kalau Yo Wan menang, Ibu harus mengawinkan aku dengan dia. Kalau tidak tentu aku akan menganggap Ibu tukang bohong dan penipu!”

“Anak setan! Selain belum tentu dia mampu mengalahkan aku, laki-laki inipun tidak berharga menjadi suamimu! Seperti orang gunung…..”

“Memang aku tidak berharga menjadi mantumu, Twanio (Nyonya Besar),” kata Yo Wan sambil menjura kepada wanita itu.

“Apa kau bilang?” Tan Loan Ki membentak.

“Terus terang saja, aku sama sekali tidak cukup berharga untuk menjadi suami seorang gadis seperti nona Yosiko.”

“Apa? Kau berani menolaknya setelah dia setengah mati merawatmu dan kalian tinggal tiga hari tiga malam dalam segua?”

Wajah Yo Wan menjadi merah padam, dan kembali dia menjura. 
“Harap Twanio sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Akan tetapi Yosiko….. eh, nona Yosiko ini memaksaku dan mengobatiku. Aku amat berterima kasih kepadanya, dan juga amat berterima kasih kepadamu, Twanio, yang sudah memberi obat kepadaku. Percayalah, Yo Wan akan menganggap Twanio sebagai seorang locianpwe terhormat dan Yo….. eh, nona Yosiko sebagai seorang sahabat yang baik…..”

“Cukup! Muak aku dengan pidatomu! Kutanya mengapa kau menolak anakku!
Kau anggap kurang cantik dia? Kurang pandai? Apa kau terlalu bagus untuknya? Kau merasa terlalu pandai menjadi suaminya, terlalu berharga?”

“Bukan begitu, Twanio. Sama sekali tidak, malah aku merasa diri sendiri kurang berharga. Aku tidak berani menerima maksud hati nona Yoslko karena….. sesungguhnya aku tidak setuju dengan dasar pemilihan jodoh itu. Menurut nona Yosiko, Twanio dan dia sendiri sudah mengambil keputusan untuk mencari jodoh bagi nona Yosiko dengan cara menguji kepandaian. Siapa yang dapat mengalahkan dia dan Twanio akan menjadi pilihannya.”

“Kalau betul begitu, mengapa?”

“Maaf, Twanio. Kurasa hal ini amatlah tidak baik, karena perjodohan harus didasari saling pengertian, saling kasih sayang dan saling cocok. Kalau dasarnya hanya kepandaian ilmu silat, aku khawatir sekali kelak nona Yosiko akan mendapat jodoh yang tidak cocok wataknya dan akhirnya akan menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya.”

“Cerewet! Baru ini aku melihat laki-laki yang cerewet! Yosiko, benarkah kau memilih orang macam ini? Dia cerewet sekali, apakah kau tidak menyesal kelak?”

“Tidak, Ibu. Aku tidak mau menikah dengan orang lain kecuali dengan Yo Wan!”

“Kalau dia kalah olehku?” 

“Tak mungkin. Kau takkan menang, Ibu!”

Mendengar ini, diam-diam Yo Wan mengambil keputusan untuk mengalah dan sengaja memberi kemenangan kepada ibu Yosiko apabila dia dicoba kepandaiannya. Akan tetapi seketika maksud hatinya ini buyar sama sekali ketika dia mendengar wanita itu mendengus dan berkata,

“Huh, belum tentu! Dan biarlah aku mengalah dan membolehkan dia menjadi suamimu kalau aku kalah, biarpun dia cerewet dan aku tidak menyukai laki-laki cerewet. Mendiang ayahmu tidak banyak cakap, seorang jantan sejati! Akan tetapi kalau si lidah tak bertulang ini kalah olehku, dia harus mampus karena dia berani menolakmu, Yosiko!”

“Ibu takkan menang!” Yosiko bersungut-sungut.

Tan Loan Ki tidak bicara lagi melainkan meloncat mundur sambil mencabut pedangnya. “Keluarkan senjatamu!” bentaknya.

“Twanio, aku tidak mempunyai senjata,” jawab Yo Wan sejujurnya karena memang tiga macam senjatanya telah habis semua, rusak ketika dia melawan Bhok Hwesio yang sakti.

“Hemnnm, lekas kau cari senjata, aku tidak sudi menyerang orang bertangan kosong!”






Pikiran baik menyelinap di benak Yo Wan. 

“Twanio, memang aku tidak ingin bertempur denganmu, dan aku tidak bersenjata. Nah, selamat tinggal…..” Sambil berkata demikian dia melangkah hendak pergi.

“Berhenti'” Tan Loan Ki berteriak keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan menghadang di depan pemuda itu. “Aku tidak menyerang lawan bertangan kosong, akan tetapi aku akan membunuhmu sekarang juga kalau kau berani menghina dan tidak menerima tantanganku. Hayo lawan!”

Diam-diam Yo Wan mendongkol juga. Wanita ini amat galak, dan perlu ditundukkan. Akan tetapi dia menjadi serba salah. Kalau dia menang, berarti dia “lulus” sebagai calon mantu. Kalau kalah, tentu dia dibunuh. Tak mungkin dia mau dibunuh dan mati konyol. Matanya mencari-cari.

“Yo Wan, kau pakailah pedangku ini!” kata Yosiko dengan suara manis.

Yo Wan hendak menerima pedang, akan tetapi cepat-cepat menarik kembali tangannya yang sudah dia gerakkan. Tidak baik ini. Kalau dia menang dan kemenangannya menggunakan pedang Yosiko, hal itu lebih-lebih akan menguatkan mereka mengikatnya sebagai calon jodoh Yosiko.

“Terima kasih, Yosiko. Aku tidak perlu menggunakan pedang, cukup dengan ini, karena aku memang tidak ingin bertempur sungguh-sungguh dengan ibumu. Bukankah ini hanya ujian saja?” 

Sambil berkata demikian dengan sepatu barunya pemberian Yosiko, Yo Wan mencukil sepotong kayu, agaknya ranting pohon kering yang terletak diatas tanah. Kayu sebesar ibu jari kaki itu tersontek keatas dan dia sambar di tangan kanan. 

Ranting yang kecil ini panjangnya kurang lebih empat kaki, kecil dan hanya kayu kering, mana bisa dipakai senjata menghadapi pedang pusaka? Wajah Tan Loan Ki menjadi merah sekali. Selama hidupnya baru kali ini ia merasa dipandang rendah orang! Wajah yang merah berubah pucat dan merah lagi, tanda bahwa hatinya bergolak dan kemarahannya memuncak.

“Bocah sombong! Kau hendak menghadapi aku dengan ranting itu?”

“Twanio, karena pertempuran ini hanya coba-coba saja, aku yakin kau tidak bermaksud melukaiku, maka dengan sebatang ranting sudah cukuplah.”

“Setan! Kau memandang rendah kepadaku, ya? Berjanjilah, kalau pedangku mengantar nyawamu ke neraka, jangan rohmu menjadi penasaran kepadaku kelak!”

Yo Wan menggelengkan kepalanya dengan sabar. 
“Aku yakin Twanio tidak akan dapat membunuhku.”

“Apa?? Kau begini sombong??” Nyonya itu menjerit.

“Bukan sombong, Twanio. Akan tetapi hldupku adalah pemberian Tuhan, bagaimana kau akan dapat mengakhiri hidupku? Hanya Tuhan yang akan dapat melakukan hal itu!”

“Wah kau bersilat lidah! Lidahmu bercabang, tak bertulang! Kau lihat pedangku!” 

Sambil berkata demikian, Tan Loan Ki menerjang dengan pedangnya, menusuk kearah dada dengan gerakan yang amat cepat dan kuat. Ujung pedang itu bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya melayang merupakan kilatan menyilaukan mata.

“Cring! Cring! Cring!!” 

Tiga kali pedang itu berkelebat dan tiga kali pula membalik seperti terbentur tembok baja.

“liihhhhh!!” 

Nyonya itu meloncat ke belakang dengan gerakan memutar, diam-diam ia merasa terkejut dan mulai percaya akan kata-kata puterinya. Betapa mungkin ranting kayu kecil itu menangkis pedangnya menerbitkan bunyi senyaring itu seakan-akan ranting itu telah menjadi sebatang besi baja pilihan?

Namun ia tidak gentar, dan cepat ia menubruk maju lagi dengan cekatan sekali. Kini ia mainkan ilmu pedang keturunan yang ia pelajari dari ayahnya dahulu. Ayahnya adalah Tan Beng Kui yang dahulu berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) yang menjadi raja kecil dihutan Pek-tiok-lim (Hutan Bambu Putih), di tepi pantai Po-hai. 

Sin-kiam-eng Tan Beng Kui ini adalah murid terkasih dari Bu-tek-kiam-ong Cia Hui Gan (Raja Pedang Tanpa Tanding), dan menjadi suheng dari isteri Raja Pedang kedua, yaitu adik kandungnya sendiri. 

Sebagai murid terkasih Cia Hui Gan, tentu saja dia mewarisi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) yang gerakannya indah dan lemah gemulai, akan tetapi mengandung daya serang dan daya tahan yang luar biasa (baca cerita Raja Pedang dan cerita Rajawali Emas).

Demikianlah, Tan Loan Ki sekarang mainkan IImu Pedang Sian-li Kiam-sut dengan hebat, dan ditambah dengan gerak langkah Hui-thin-jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi) yang dulu pernah ia pelajari dari Kwa Kun Hong (baca cerita Pendekar Buta). 

Dengan penggabungan kedua ilmu yang ampuh ini, tidaklah mengherankan apabila nyonya setengah tua yang masih cantik dan galak ini jarang menemui tandingan. Dan tidaklah mengherankan pula bahwa puteri tunggalnya menjadi jagoan diantara bajak sehingga diangkat menjadi ketua.

Namun kali ini ia menghadapi Yo Wan! Seperti kita ketahui, Ilmu Langkah Hui-thain-jip-te yang dimainkan Tan Loan Ki itu hanya merupakan sebagian saja daripada Si-cap-it Sin-po yang berdasar pada Kim-tiauw-kun, sedangkan Yo Wan sudah hafal semua, bahkan sudah menguasai dengan sempurna semua langkah Si-cap-it Sin-po. Tentu saja langkah dari nyonya itu dikenalnya baik-baik, seperti seorang guru mengenal langkah muridnya! 

Adapun ilmu pedang yang dimainkan nyonya itu, Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang sukar sekali dikalahkan orang lain, juga tidak membingungkan Yo Wan. Seperti kita ketahui orang muda ini telah digembleng secara hebat oleh dua orang guru sakti yang merniliki tingkat ilmu amat tinggi, sejajar dengan tingkat tokoh besar seperti Si Raja Pedang sendiri. Bahkan ilmu yang dia warisi dari Sin-eng-cu, merupakan ilmu yang sesumber dengan Sian-li Kiam-sut, yaitu ilmu lemas yang menyembunyikan tenaga keras, sebaliknya dari pendeta Bhewakala dia mempelajari ilmu sakti yang kelihatan kasar akan tetapi menyembunyikan tenaga lemas.

Sambil membuat gerakan seperti orang menari-nari, Tan Loan Ki mainkan pedangnya. Pedang itu sama sekali tidak menyerang, melainkan digerakkan seperti orang menari, indah dan lemas sekali. 

Akan tetapi kadang-kadang dari gulungan sinar pedang yang indah itu menyambar keluar kilatan pedang yang merupakan tangan maut. Ketika kilatan pedang macam itu menyambar kearah leher Yo Wan, pemuda ini cepat menangkis dengan rantingnya. Sudah lebih dari lima puluh kali rantingnya tadi menangkis dan membalikkan pedang lawan. Kini dia menangkis lagi.

“Prakkk!” 

Patahlah ranting kayu itu. Yo Wan terkejut dan diam-diam dia memuji kecerdikan lawan. Kiranya Tan Loan Ki yang maklum bahwa pemuda luar biasa ini telah mengetahui rahasia ilmu pedangnya, telah dapat menangkis pedang dengan hanya sebuah ranting karena pemuda itu mengimbangi permainannya dan setiap kali menangkis pedang yang digerakkan secara lemas akan tetapi mengandung tenaga keras itu ditangkis dengan pengerahan tenaga Im yang lemas dan lembek. 

Karena itu, dalam penyerangan kearah leher, diam-diam Tan Loan Ki membalikkan tenaganya, menyimpan tenaga keras dan menggunakan tenaga Iweekang yang lemas disalurkan melalui pedangnya. Inilah sebabnya maka ketika ranting yang mengandung tenaga lemas yang sama itu bertemu pedang yang juga mengandung hawa Im, ranting itu yang pada dasarnya jauh kalah kuat daripada pedang, menjadi patah!

“Hemmm, bocah sombong, kau tidak mengaku kalah?”. bentak Tan Loan Ki, akan tetapi didalam hatinya ia diam-diam merasa kagum bukan main dan mulailah ia percaya bahwa pemuda macam ini sangat boleh jadi murid Kwa Kun Hong!

Yo Wan menjura dan melemparkan ranting di tangannya. 
“Twanio benar-benar lihai bukan main, aku tidak kuat menahan, mengaku kalah!”

Yosiko meloncat keatas. 
“Tidak bisa! Tidak adil! Ibu, kau dengan pedang pusaka dilawannya dengan ranting, sampai lima puluh jurus lebih. Dan rantingnya patah setelah menangkis puluhan kali, apa anehnya? Dia sengaja mengalah, dia tidak kalah olehmu?”

Tan Loan Ki biarpun galak dan keras wataknya namun dia adalah seorang gagah yang jujur. Mendengar ucapan anaknya ia mengangguk.

“Kau benar, Yosiko. Orang muda ini memang hebat dan kalau dia melawan sungguh-sungguh, agaknya aku takkan mudah mencapai kemenangan. He, orang muda yang bernama Yo Wan. Apakah betul kau murid Kwa Kun Hong?”





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)