JAKA LOLA JILID 110

 dalam permusuhan dendam-mendendam antara orang-orang tua mereka itu, melarikan diri tanpa tujuan, dengan niat menjauhkan diri daripada ancaman fihak musuh.

Rasa sakit pada lengannya tidak membuat Swan Bu terlalu berduka. Yang membuat dia merasa amat bersedih adalah karena urusannya membuat hal-hal yang amat ruwet dan hebat terjadi. 

Nama baik Lee Si ternoda sebagai seorang gadis, malah ayah gadis itu telah dibunuh orang dengan pedang ibunya menancap di dada, pedang yang kini berada di tangannya. Dengan terjadinya peristiwa ini, dia tidak berani pulang! Bagaimana kalau ternyata ibunya yang membunuh ayah Lee Si? Bagaimana kalau paman Tan Kong Bu benar-benar dibunuh ibunya karena kesalah fahaman? Ah, hebat perkara itu dan dia tidak ada keberanian untuk menghadapi peristiwa menyedihkan itu. 

Selain itu, juga dia tidak dapat berpisah dari Siu Bi. Andaikata ayah Siu Bi tidak meninggal, dia tentu akan memaksa diri meninggalkan Siu Bi. Akan tetapi kini Siu Bi tidak berayah ibu lagi, tidak ada sanak saudara, hidup sebatangkara. Bagaimana dia tega melepaskan Siu Bi merawat seorang diri begitu saja?

Perjalanan mereka penuh dengan kenang-kenangan memilukan. Kadang-kadang mereka memadu kasih dan janji, ingin sehidup semati. Ada kalanya mereka bertangis-tangisan mengingat keadaan keluarga mereka. Bahkan ada kalanya mereka cekcok mulut karena berbeda pendapat. Namun betapapun juga, Siu Bi selalu tekun dan rajin merawat Swan Bu sehingga luka pada lengannya sembuh.

Pada hari itu mereka tiba di lembah Sungai Huang-ho dengan maksud melanjutkan perjalanan dengan perahu karena perjalanan dengan perahu tidak melelahkan tubuh Swan Bu yang perlu banyak istirahat. 

Akan tetapi sejak pagi tadi, sambil berjalan perlahan, mereka cekcok kembali ketika Swan Bu mendesak agar Siu Bi suka ikut dia pulang saja ke Liong-thouw-san, menghadap ayah bundanya dan berterus terang mengaku bahwa mereka sudah saling mencinta dan tak dapat terpisah lagi.

“Aku takut, Swan Bu. Aku takut untuk bertemu dengan ayah ibumu. Bagaimana kalau mereka tidak memperbolehkan aku dekat denganmu? Bagaimana kalau aku diusir? Aku pernah hendak membunuh mereka. Ibumu amat benci kepadaku! Ah, Swan Bu….. jangan paksa aku kesana, lebih baik kita pergi yang jauh, biar kita mencari pulau kosong, hidup berdua sampai kematian memisahkan kita…..” demikian keluh-kesah Siu Bi..

“Siu Bi!” Swan Bu membentak marah. “Kau hanya ingat kepada dirimu sendiri saja! Apa kau tidak ingat betapa akupun tidak mungkin selamanya harus berpisah dari ayah bundaku? Anak macam apa kalau begitu aku ini? Apa kau hendak memaksa aku menjadi seorang anak yang paling puthauw (murtad) di dunia ini?”

“Sesukamulah! Boleh kau tinggalkan aku, akan tetapi kau harus membunuh aku lebih dulu. Swan Bu, aku lebih baik mati daripada kau tinggalkan!”

Demikianlah percekcokan itu yang dilanjutkan di sepanjang jalan. Ketika mereka tiba di dekat tempat sembunyi Yosiko, percekcokan mereka sudah memuncak dan jelas terdengar oleh Yosiko ketika Siu Bi berseru keras,

“Sudahlah! Kau boleh pergi dan kalau kau tidak mau membunuh aku, aku akan membunuh diriku sendiri di depanmu sebelum kau pergi!” 

Sambil berkata demikian, Siu Bi mencabut pedangnya dan sinar menghitam menyambar kearah lehernya. Hampir saja Yosiko mengeluarkan jeritan ngeri karena gadis ini melihat betapa gerakan pedang di tangan Siu Bi amat cepat sehingga agaknya sukar untuk menghindarkan gadis itu daripada kematian. 

Akan tetapi alangkah kagum hatinya ketika tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangan kanannya dan sinar keemasan berkelebat kemudian membentur sinar hitam menerbitkan suara berkerontangan nyaring. Kiranya pedang bersinar hitam di tangan gadis itu sudah ditangkis dan bahkan runtuh diatas tanah!

“Siu Bi, jangan gila kau! Kalau kau membunuh diri, mana aku dapat hidup lebih lama lagi?” kata Swan Bu sambil menyimpan pedangnya yang bersinar emas, yaitu pedang Kim-seng-kiam, pedang ibunya yang dia cabut dari dada jenazah Tan Kong Bu.

Siu Bi menangis. Swan Bu mendekatinya dan keduanya lalu berpelukan mesra sambil bertangisan,

“Siu Bi, bukankah kau sudah setuju bahwa aku harus mengawini Lee Si? Kau tahu, hanya itu satu-satunya jalan untuk mengusir awan kegelapan yang meliputi keluargaku. Hanya pengorbanan itu yang dapat kulakukan untuk menebus nama baik keluarga paman Tan Kong Bu. Kemudian bersama Lee Si aku harus mencari keterangan bagaimana matinya paman Tan Kong Bu. Betapapun juga, aku masih belum percaya benar bahwa ibuku yang membunuh paman Kong Bu.”






“Swan Bu, kau sudah bersumpah sehidup semati dengan aku. Biarpun tidak secara resmi, bukankah aku ini isterimu yang sah karena sumpah kita? Bukankah Tuhan yang menyaksikan, langit, bumi, bintang dan bulan? Swan Bu, aku tidak akan menentang kau mengawini Lee Si, akan tetapi….. jangan kau tinggalkan aku.”

Swan Bu mencium dan mengelus-elus rambut Siu Bi sehingga tangis gadis itu mereda.
“Siu Bi, harap kau suka berpikir dengan panjang. Aku mengajakmu menghadap ayah ibuku, kau merasa takut dan tidak mau. Kemudian kalau aku pulang lebih dulu seorang diri untuk kelak kita bertemu lagi, kau tidak membolehkan aku meninggalkanrnu. Bagaimana ini? Siu Bi, kau tahu betapa aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sudah bersumpah dan apapun yang akan terjadi, sudah pasti aku akan kembali kepadamu. Sebaiknya kalau untuk sementara kita berpisah. Biarkan aku menghadap orang tuaku dan menyelesaikan urusan kami. Syukur kalau mereka tidak memaksaku mengawini Lee Si, andaikata begitu, aku tetap hendak menceritakan mereka tentang dirimu dan aku tetap hendak mengajukan syarat, yaitu aku mau menikah dengan Lee Si asal kau juga menjadi isteriku.”

Untuk sejenak Siu Bi diam, hanya menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. 
“Betulkah, kau tidak akan lupa kepadaku?”

“Apa kau kira aku gila? Marilah kita mencari tempat untukmu, dimana kau dapat menantiku. Begitu urusanku selesai, aku pasti akan datang menjemputmu dan kau tidak perlu merasa khawatir lagi bertemu dengan orang tuaku.”

Keduanya berjalan lagi perlahan, Yo-siko yang berada di tempat sembunyinya, merasa kasihan kepada Siu Bi. Gerak-gerik gadis itu menarik hatinya, menimbulkan rasa suka. Agaknya, seperti juga dia, gadis bernama Siu Bi itupun tidak beruntung dalam soal perjodohan. Dia ingin berjodoh dengan Yo Wan tapi pemuda itu memilih Tan Cui Sian. Agaknya gadis bernama Siu Bi itupun ingin bersuamikan pemuda buntung itu, namun si pemuda hendak mengawini gadis lain! Dengan seorang yang senasib ini boleh sekali ia berkawan.

Tiba-tiba terdengar seruan, 
“Swan Bu…..!!”

Swan Bu dan Siu Bi terkejut, berhenti dan menengok. Seorang gadis tampak datang dengan lari cepat sekali, sebentar saja sudah tiba di tempat itu. Dari tempat sembunyinya Yosiko menyaksikan ini dan menjadi kagum. Gadis yang baru datang inipun hebat sekali ilmu lari cepatnya dan ia mulai merasa heran. Mengapa begini banyak berkumpul orang-orang muda yang lihai? Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendengar pemuda buntung itu menyebut nama gadis yang baru tiba.

“Sukouw (Bibi Guru) Cui Sian…..!!” teriak Swan Bu kaget karena dia benar-benar sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu dapat datang ke tempat sejauh ini.

Yang datang memang benar adalah Tan Cui Sian, gadis Thai-san, puteri Raja Pedang yang amat lihai. Dengan pandang rnata tajam Cui Sian mengerling kearah Siu Bi yang biarpun tadi sudah didorong dari dadanya oleh Swan Bu, masih saja memegangi tangan kanan pemuda itu dengan erat, seakan-akan ia khawatir kalau-kalau kekasihnya akan direnggut orang.

“Swan Bu, mengapa kau berada disini….. dengan dia ini? Ayah ibumu mencarimu, mereka amat mengharapkan kau pulang. Mau apa kau berkeliaran disini bersarna dia?” 

Kembali ia melirik tajam kearah Siu Bi, jelas wajahnya memperlihatkan hati tidak senang.

“Sukouw…..” bingung sekali hati Swan Bu dan mau tak mau dia harus melepaskan tangannya dari pegangan Siu Bi karena merasa tidak enak di depan bibi gurunya itu memperlihatkan kasih sayangnya kepada Siu Bi, gadis yang tentu saja oleh bibinya dianggap musuh karena sudah membuntungi lengannya.

“Sukouw, bagaimana dengan….. ibu? Tidak apa-apakah? Siapa….. yang membunuh paman Kong Bu?”

“Tak usah khawatir, bukan ibumu yang membunuhnya, melainkan….. kawan bocah liar ini,” kata Cui Sian sambil melirik lagi kearah Siu Bi.

Watak Siu Bi memang keras dan ia pantang mundur menghadapi musuh yang bagaimanapun. Tadi ia sudah mendongkol melihat sikap Cui Sian, akan tetapi ditahan-tahannya. Mendengar bahwa yang membunuh ayah Lee Si bukan ibu Swan Bu, diam-diam ia merasa lega dan girang juga. Akan tetapi mendengar ia disebut-sebut gadis liar dan pembunuh itu adalah kawannya, kemarahannya bangkit. Lalu segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke muka Cui Sian sambil berseru nyaring.

“Enak saja kau bicara! Aku tidak punya kawan pembunuh! Hayo buktikan bahwa yang membunuh adalah kawanku, jangan hanya pandai melempar fitnah!”

Cui Sian tersenyum mengejek. 
“Yang biasa melakukan fitnah adalah manusia macam kau dan teman-temanmu. Pembunuh kakakku Kong Bu adalah Ang-hwa Nio-nio! Nah, bukankah dia kawanmu?”

“Bukan! Ngaco kau, dia bukan kawanku, aku benci kepadanya!”

“Siapa tidak tahu akan kejahatanmu? Ang-hwa Nio-nio sudah mampus dan sekarang kaupun harus mampus!” 

Cepat sekali gerakan Cui Sian yang maju dan menerjang Siu Bi dengan pedangnya. Pedang hitam Siu Bi belum sempat ditarik untuk menangkis, namun gadis ini dengan gesit sudah meloncat ke kiri untuk menghindarkan diri daripada sambaran pedang, kemudian ia sudah mencabut pula pedangnya, siap bertanding mati-matian.

“Tahan! Sukouw, harap jangan serang dia!” kata Swan Bu sambil melompat ke depan, menghadang Cui Sian. 

Biarpun pemuda buntung ini tidak mencabut pedangnya, namun sinar matanya jelas memperlihatkan bahwa dia tidak akan membiarkan Siu Bi diganggu. Cui Sian ragu-ragu dan membentak,

“Swan Bu! Kau membela bocah liar ini, setelah apa yang terjadi semua? Setelah lenganmu dibuntungi dan setelah keluarga kita hampir rusak berantakan?”

“Sukouw, dia….. aku….. aku cinta kepadanya.”

Siu Bi sudah menyimpan pedangnya dan kini ia kembali menggandeng tangan kanan Swan Bu. Wajahnya berseri memperlihatkan sinar kemenangan dan mengejek.

Cui Sian tertegun, heran dan tidak tahu harus berkata apa. Dengan tarikan napas panjang, ia menyimpan kembalil pedangnya. Cinta memang aneh sekali, pikirnya, atau lebih tepat orang muda yang dilanda cinta memang tidak waras otaknya, seperti…. seperti.,… dia sendiri!

“Swan Bu, omongan apa yang kau keluarkan ini? Kau diharapkan pulang dan perjodohanmu dengan Lee Si sudah diatur orang tuamu.”

“Aku hanya mau menikah dengan Lee Si asal Siu Bi juga diperkenankan menjadi isteriku.”

Terbelalak mata Cui Sian, akan tetapi karena hal itu bukan urusannya, ia menjawab, 
“Sudahlah, aku tidak tahu akan hal itu. Kau boleh bicara sendiri dengan orang tuamu dan dengan ibu Lee Si. Sekarang kau harus pulang dulu. Bocah ini kalau betul-betul mencintaimu….. hemm, aku masih ragu-ragu akan hal ini, melihat betapa ia tega membuntungi lenganmu, kalau betul ia mencinta, ia harus setia dan suka menantimu.”

Swan Bu menoleh kepada Siu Bi. 
“Moi-moi, kau mendengar sendiri. Memang sebaiknya aku pulang lebih dulu. Aku yakin orang tuaku akan setuju dan kalau sudah demikian, baru aku akan menjemputmu.”

“Tapi….. tapi….. aku akan tidak senang sekali kalau kau pergi…..”

Cui Sian mendapat pikiran baik. Betapapun juga, Swan Bu harus dipisahkan dari gadis liar ini dan sekaranglah terbukanya kesempatan itu. Maka ia cepat berkata,

“Yang tidak berani berkorban adalah cinta palsu! Kalau bocah ini tidak membolehkan kau pulang untuk membereskan semua urusan, maka cintanya itu pura-pura saja.”

Usahanya berhasil. Memang Siu Bi orangnya keras dan jujur, tidak merasa diakali orang. Mukanya menjadi merah dan ia membentak, 

“Kalau kau bukan sukouw dari Swan Bu, sudah tadi-tadi kuterjang kau! Siapa bilang cintaku palsu? Swan Bu, kau pulanglah, aku akan menantimu. Pulanglah, kau dan semua orang di dunia ini akan melihat bahwa cintaku tidak palsu dan aku setia kepadamu!”

Lega hati Swan Bu, akan tetapi khawatir juga.
“Siu Bi, kita harus mencari tempat untukmu, dimana kau dapat menantiku…..”

“Bukankah disini merupakan tempat juga? Aku akan tinggal disini, Swan Bu di lembah sungai ini, menanti sampai kau datang menjemputku. Pergilah!”





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)