JAKA LOLA JILID 119

 


“Aku tetap belum mengaku kalah!” kata pula Yosiko yang merasa penasaran dan cepat menerjang lagi. 

Diam-diam Bun Hui menarik napas panjang. Tepat betul penafsiran Yo Wan tentang gadis ini. Keras dan liar wataknya, namun gerak-geriknya benar-benar telah mencengkeram hati Bun Hui.

la telah melakukan pesan Yo Wan dengan baik. Menurut petunjuk Yo Wan, dia tidak boleh sekaligus merobohkan gadis ini, karena hal itu akan melukai harga dirinya. Maka setelah dua kali memperlihatkan keunggulannya, baru Bun Hui menanti kesempatan baik untuk mengalahkannya. 

Kesempatan itu tiba setelah Yosiko mulai mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Memang sudah diperhitungkan oleh Yo Wan bahwa setelah dua kali berturut-turut menderita kekalahan, pasti Yosiko yang keras hati itu akan mengeluarkan jurus-jurus yang paling hebat dan oleh karena inilah untuk menjatuhkan Yosiko, dia sengaja mengajar Bun Hui untuk menghadapi jurus yang paling berbahaya. 

Pada saat Yosiko menerjang dengan bacokan pedang kearah leher diteruskan sabetan ke bawah mengarah pinggang dibarengi dengan dorongan-dorongan tangan kiri yang mengandung hawa pukulan jarak jauh, terbukalah kesempatan ketiga itu bagi Bun Hui.

Tepat seperti ajaran Yo Wan yang sudah dilatihnya baik-baik, karena tahu bahwa pedang lawan yang membacok leher itu akan terus menyabet pinggang, otomatis pedang Bun Hui menjaga leher dan pinggang sehingga dua serangan itu otomatis gagal. 

Adapun pukulan atau dorongan tangan kiri Yosiko itu oleh Bun Hui sengaja diterima dengan pundak kanannya. Girang sekali hati Yosiko karena ia melihat bahwa ia bakal menang, karena sekali pukulannya mengenai pundak, tak dapat tidak pemuda itu tentu akan roboh, sedikitnya terhuyung-huyung sehingga memudahkan dia untuk mendesak terus.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pada saat pukulannya mampir ke pundak, tangan kiri Bun Hui dengan kecepatan luar biasa telah menotok bawah siku kanannya, membuat lengan kanannya setengah lumpuh dan sebelum ia dapat mencegahnya, tangan kiri pemuda itu sudah berhasil merampas pedangnya dari tangan kanan yang setengah lumpuh itu. 

Memang betul pukulan kirinya tepat mengenai pundak Bun Hui dan membuat pemuda itu terhuyung ke belakang dengan muka pucat, akan tetapi pedangnya telah berada di tangan kiri pemuda itu. Hal ini berarti ia kalah mutlak!

Dengan pandang mata penuh kekaguman Yosiko berdiri memandang Bun Hui. Tak mungkin ia melawan terus setelah pedangnya terampas. Jelas bahwa pemuda ini lebih lihai dari padanya!

“Kau lihai sekali, Nona. Pundakku terluka oleh pukulanmu!” kata Bun Hui merendah sambil mengangsurkan pedang rampasannya kepada Yosiko.

“Tidak, aku telah kalah dan aku mengaku kalah. Tak dapat aku menerima kembali pedangku. Aku sudah berjanji dan biarkan aku kembali untuk membubarkan mereka, besok baru aku akan datang kepadamu dan selanjutnya terserah.”

Saking girangnya Bun Hui tak dapat berkata-kata, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebahagiaan dan dia hanya dapat menjura ketika nona itu mengundurkan diri. Dari tempat dia berdiri, dia melihat Yosiko memberi tanda dengan tangan kepada anak buahnya dan mereka lalu menghilang di balik semak-semak di hutan.

Cui Sian dan yang lain-lain segera lari menghampiri.
“Selamat, saudara Bun Hui, kau telah menang!” kata Tan Hwat Ki girang.

“Setelah ia kalah, apa yang akan ia lakukan?” tanya Cui Sian.

“la telah berjanji akan membubarkan anak buahnya, dan ia sendiri menyerahkan diri besok untuk menjadi tawanan dan dibawa ke kota raja,” kata Bun Hui. “Semua ini adalah jasa Yo-twako. Ehhh, Yo-twako mengapa tidak muncul?” 

la menoleh kearah belakang dimana terdapat banyak pohon besar. la menduga bahwa Yo Wan tentu bersembunyi disitu dalam persiapannya membantunya apabila rencananya gagal.






Benar saja, Yo Wan muncul dari balik pohon dan tertawa girang. 
“Kau berhasil baik, Bun-lote. Bagus sekali! Kurasa seorang seperti Yosiko akan memegang janjinya. Alangkah baiknya urusan ini dapat dibereskan dengan jalan damai sehingga daerah ini akan bebas daripada gangguan bajak laut tanpa banyak banjir darah.”

“Betapapun juga, aku sangsi apakah jalan ini cukup baik dan menjamin keamanan. Andaikata para bajak itu betul-betul mau pergi dari sini, kiranya mereka akan mengganas di tempat lain,” kata Cui Sian menyatakan pendapatnya.

“Setuju sekali dengan ucapan Bibi,” sambung Hwat Ki, “membasmi pohon jahat harus sampai keakar-akarnya, kalau tidak tentu akan tumbuh kembali. Penjahat-penjahat itu kalau tidak dibasmi habis, kelak tentu akan melakukan kejahatan pula.”

Yo Wan menggeleng-geleng kepalanya, lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, 
“Kurasa tidak demikian persoalannya. Kejahatan bukanlah suatu sifat daripada jiwa. Tidak ada manusia yang lahir sudah jahat atau selama hidupnya setiap saat ia jahat. Kejahatan adalah kebodohan atau penyelewengan daripada kesadaran hati nurani oleh keadaan yang terdorong oleh nafsu-nafsu keduniawian. Memang sudah menjadi kewajiban kita yang mempelajari ilmu dan mengabdi kebenaran dan keadilan untuk memberantas kejahatan-kejahatan, akan tetapi bukanlah cara yang sempurna kalau kita harus membunuhi setiap orang yang melakukan kejahatan yang sesungguhnya hanya kebodohan itu. Hal ini akan merupakan pekerjaan sia-sia belaka, bahkan membunuh itu sendiri pun termasuk kebodohan yang berdasar kebencian, jadi pada umumnya juga disebut jahat! Yang kita musnahkan bukanlah orangnya melainkan kebodohannya itulah.” 

Yo Wan berhenti sebentar mengumpulkan ingatannya tentang filsafat yang pernah dia pelajari ketika dia bertapa di Himalaya.

Orang-orang muda yang gagah mendengarkan dengan tertarik.
“Yo-twako, teruskanlah, aku masih belum dapat memahami filsafatmu ini.” kata Bun Hui.

“Anggapan bahwa orang yang sekarang dianggap jahat akan menjadi jahat selamanya, dan anggapan bahwa orang yang sekarang dianggap baik akan menjadi baik selamanya, adalah anggapan yang sempit. Apa yang disebut jahat maupun baik hanyalah akibat daripada kesadaran si orang itu pada saat itu, apabila dia lupa dan lemah, bodoh menghambakan diri pada hamba nafsu, maka dia melakukan perbuatan yang dianggap jahat. Sebaliknya apabila pada saat itu ia sadar dan kuat menghadapi godaan nafsu, ia akan ingat dan menjauhi perbuatan yang dianggap jahat. Jadi hanyalah akibat sementara saja daripada kesadaran. Tidak akan selamanya begitu. Yang sadar mungkin lain waktu akan lupa, sebaliknya yang sekarang lupa tentu saja mungkin sekali lain waktu akan sadar. Saudara-saudaraku yang baik, pada hakekatnya, apakah itu yang disebut baik dan jahat? Dari manakah timbulnya sebutan ini? Ingat, banyak sekali diantara kita yang menyalah tafsirkan istilah baik dan jahat ini, bahkan banyak yang menyeleweng daripada kebenaran dan keadilan dalam menentukan tentang orang baik dan orang jahat,”

“Bagaimana ini? Baru sekarang aku mendengarnya. Yo-koko, coba kau beri penjelasan,” kata Cui Sian dengan hati tertarik sehingga ia lupa bahwa ia menggunakan sebutan mesra sekali, yaitu sebutan “koko”. 

Baiknya semua orangpun sedang dalam keadaan tertarik oleh filsafat Jaka Lola sehingga tidak ada yang memperhatikan sebutan itu.

“Sebelumnya maaf. Kalian adalah putera-puteri pendekar-pendekar sakti yang berilmu tinggi, tentu sudah menerima gemblengan-gemblengan batin yang dalam. Akan tetapi, tiada salahnya kalau sekarang kita bertukar pikiran untuk memperlengkapi ilmu dan mencari persesuaian pendapat. Yang kumaksud penyelewengan dalam penilaian seseorang terhadap orang lain yang dianggap baik dan jahat, adalah karena sebagian besar manusia menilai orang lain berdasarkan nafsu kokati (egoism)…..”

“Nanti dulu, Yo-twako. Apa artinya kokati?” tanya Hwat Ki.

“Nafsu kokati adalah nafsu mementingkan diri pribadi, demi kesenangan sendiri, demi keuntungan sendiri, demi kepentingan sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Orang menilai orang lain sebagai orang baik kalau orang lain itu mendatangkan keuntungan atau kesenangan kepadanya. Dan orang menilai orang lain sebagai orang jahat kalau orang lain itu mendatangkan kerugian atau kesusahan kepadanya.”

“Tentu saja, bukankah itu wajar?” Bun Hui berkata.

Yo Wan mengangguk. 
“Wajar bagi penilaian yang berdasarkan kokati. Memang ini menjadi kesalahan atau penyelewengan yang tak terasa lagi oleh manusia yang dalam setiap geraknya dikendalikan oleh nafsu kokati. Akan tetapi sebetulnya tidak wajar bagi orang yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan!”

“Mengapa begitu?” tanya Hwat Ki.

“Agaknya persoalan ini sulit dimengerti. Baiklah aku menggunakan contoh. Ada seorang yang menjadi perampok, merampasi barang lain orang dengan jalan kekerasan. Orang ini pada umumnya disebut jahat, bukan? Akan tetapi orang ini amat baik kepadamu, tidak merampokmu, malah membantumu, menolongmu dengan ikhlas. Nah, saudara Hwat Ki, bagaimana penilaianmu terhadap orang ini? Tentu kau akan sukar sekali menganggap dia orang jahat, dan akan menerima dia sebagai seorang yang baik karena memang ia amat baik terhadapmu. Sebaliknya, andaikata ada seorang yang oleh umum dianggap baik, suka menolong orang lain, akan tetapi justeru kepadamu orang itu berbuat hal yang merugikan, misalnya menghina atau menyusahkan. Bukankah kau akan sukar sekali menilai dia sebagai orang baik, Bun-lote? Kiranya akan lebih mudah bagimu untuk menilai dia sebagai seorang yang jahat karena ia kau anggap amat jahat kepadamu. Nah, bukankah jelas bahwa penilaian saudara Hwat Ki dan Bun-lote ini menyeleweng daripada kebenaran dan keadilan? Karena penilaian ini hanya mendasarkan kepada untung atau rugi bagi dirinya sendiri! Bagaimana pendapat kalian?”

“Betul sekali! Baru sekarang aku dapat mengerti!” kata Cui Sian, sepasang matanya berseri penuh kekaguman.

“Memang betul apa yang dikatakan Yo-twako. Akupun pernah mendengar filsafat seperti ini diwejangkan oleh ayah,” kata Swan Bu.

Yo Wan mengangguk. 
“Suhu adalah seorang yang bijaksana. Sungguhpun suhu kehilangan kedua alat penglihatannya, namun mata batinnya terbuka lebar sehingga tidak mudah suhu terperosok kedalam jurang penyelewengan. Banyak orang yang kedua matanya awas, namun mata batinnya seperti buta sehingga terjadilah di dunia ini perebutan kebenaran yang diperebutkan itu adalah kebenaran palsu, kebenaran diri sendiri yang bukan lain hanyalah penyamaran daripada nafsu kokati juga. Kebenaran sejati tidak diperebutkan orang, karena sesungguhnyalah bahwa siapa yang merasa diri tidak benar, dialah yang paling dekat kepada kebenaran sejati! Perasaan bahwa diri sendiri tidak benar ini menghilang atau setidaknya mengurangi nafsu yang amat buruk, yaitu nafsu membencl orang lain. Tentu saja orang lain dibenci karena dianggap jahat. Kalau kita merasa bahwa diri kita sendiripun tidak benar, maka tidak mudah menilai orang lain jahat dan karenanyapun berkuranglah rasa benci. Hapuskan rasa benci dari dalam lubuk hati, dan kita akan mudah menerinna cahaya kasih, yaitu kasih sayang kepada sesama manusia, dan ini merupakan jembatan yang akan membawa kita kepada kebenaran sejati.”

Hening sejenak karena orang-orang muda itu seakan-akan terpesona dan terpengaruh hikmat kata-kata yang mengandung filsafat hidup itu. Kemudian dengan perasaan kagum dan bangga Cui Sian tertawa, memecah suasana yang tercekam oleh kesunyian itu.

“Wah-wah, mengapa kita jadi menyimpang jauh dari persoalan pokok? Bukankah kita tadi bicara tentang bajak-bajak itu?”

Yo Wan juga tertawa, hatinya gembira karena dia dapat menangkap suara kekasihnya yang mengandung kekaguman dan kebanggaan. 

“Kita tidak menyimpang karena apa yang kita bicarakan tadi juga ada hubungannya dengan para bajak. Aku tidak membenci mereka, namun kasihan terhadap kebodohan dan penyelewengan mereka. Aku akan merasa lebih bersyukur apabila mereka itu dapat diinsyafkan dan dapat ditunjukkan jalan benar. Kalau hal ini tidak berhasil, tentu saja kita harus mencegah mereka melakukan kejahatan, menggunakan kepandaian kita. Cuma baiknya kalau tidak terpaksa sekali untuk mempertahankan diri, tidak perlu membunuh lain orang.”

“Wah, nasihat Yo-twako sama benar dengan nasihat ayah”, kata Swan Bu lagi.

“Memang aku murid ayahmu, tentu saja sependirian.”

Malam ini tidak terjadi sesuatu, akan tetapi pada keesokan harinya pagi-pagi sekali menjelang subuh, diwaktu ayam hutan ramai berkokok, tiba-tiba terjadi penyerbuan besar-besaran dari fihak bajak laut. Para penjaga malam di perkemahan pasukan kota raja yang hanya berjumlah dua puluh orang lebih, tak dapat menahan serbuan ratusan bajak itu sehingga dalam waktu beberapa puluh menit saja dua puluh orang lebih penjaga itu telah tewas. Ributlah keadaan pasukan ketika malam keadaan masih nanar karena baru bangun tidur secara mendadak menghadapi musuh-musuh menyerbu itu.

“Wah, agaknya Yosiko tidak pegang janji!” seru Cui Sian marah sambil mencabut pedangnya setelah para orang muda gagah itu berkumpul di ruangan depan.

“Belum tentu,” jawab Yo Wan. “Mari kita berpencar, kita tahan serbuan mereka dari empat penjuru, membantu Bun Hui yang sudah pergi lebih dulu mengatur pasukannya.”





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)