JAKA LOLA JILID 122

 


“Sudahlah, mari kita angkut keluar mereka. Swan Bu perlu diobati,” kata Pendekar Buta. 

Hui Kauw memondong tubuh puteranya, Cui Sian memondong mayat Siu Bi dan mereka keluar dari gua itu, terus menuju ke perkemahan di dalam hutan. Di sepanjang jalan Hui Kauw menangis sesenggukan, menangisi puteranya yang kehilangan lengan tangan, menangisi Siu Bi yang betapapun juga sampai di akhir hidupnya membuktikan cinta kasih dan pengorbanan yang besar kepada Swan Bu. 

Hanya Pendekar Buta yang berjalan dengan muka tunduk itu diam-diam berterima kasih kepada Tuhan bahwa Tuhan telah mengatur sedemikian rupa demi kebaikan. Memang sebaiknya begini. la tahu bahwa puteranya mencinta Siu Bi, akan tetapi dia tahu pula bahwa demi kebenaran, demi menjaga kerukunan keluarga, demi mencuci bersih nama dan kehormatan keluarga Raja Pedang, Swan Bu harus berjodoh dengan Lee Si.

Dengan pengerahan tenaga para prajurit, dan dia sendiripun menggunakan kepandaiannya untuk menggulingkan batu-batu yang besar dan berat, akhirnya sejam kemudian Yo Wan berhasil membongkar batu-batu karang yang tadi menutupi gua. 

Cepat dia menerjang masuk dan apa yang dia lihat? Tempat itu kini sudah terang, diterangi oleh dua buah obor yang dipasang di kanan kiri. Diatas sebuah batu karang halus tampak duduk seorang wanita yang bukan lain adalah Tan Loan Ki, duduk sambil tersenyum-senyum. 

Di depannya berlutut dua orang yang bergandeng tangan, Bun Hui dan Yosiko! Adapun di sudut ruangan gua itu menggeletak mayat si cambang bauk Bong Ji Kiu, lehernya putus! Yo Wan berdiri tertegun, namun hatinya merasa lega.

Apakah yang terjadi? Kiranya ketika Bun Hui memasuki gua itu, Bong Ji Kiu menggerakkan sebuah alat rahasia dan runtuhlah batu-batu dari atas menutupi gua, sebagian dari batu-batu itu menimpa Bun Hui yang cepat melompat ke dalam akan tetapi karena keadaan gelap, dia tidak dapat menghindarkan serangan Bong Ji Kiu. 

Sambaran golok Bong Ji Kiu melukai pahanya dan sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat Bun Hui terpelanting dan roboh tak dapat bangun pula. Kemudian Bong Ji Kiu menyalakan obor dan dengan hati penuh kegelisahan Bun Hui melihat betapa Yosiko benar benar berada disitu, terbelenggu kaki tangannya!

“Ha-ha-ha, kau berani datang untuk melihat kekasihmu? Kau mencinta Yosiko, bukan? Ha-ha, bagus sekali. Kau saksikanlah betapa nona manis ini rnenjadi isteriku, kemudian kau mampus! Kau kira akan dapat mengalahkan Kim-bwee-liong Bong Ji Kiu? Ha-ha-ha!” Kemudian secara kasar kepala bajak ini memeluk dan menciumi Yosiko.

“Bangsat! Kalau kau laki-laki, jangan mengganggu wanita! Hayo bertanding secara laki-laki, jangan menggunakan kecurangan!” 

Bun Hui memaki sambil merangkak bangun dengan susah payah. la berhasil berdiri setelah mengambil pedangnya, lalu meloncat menggunakan sebelah kaki menyerang kepala bajak itu.

Sambil tertawa Bong Ji Kiu menangkis dengan goloknya. Tangkisannya keras sekali dan karena Bun Hui masih pening dan luka di pahanya parah serta dadanya masih membuat napasnya sesak, tangkisan ini saja cukup membuat pedangnya terlepas dan kembali dia terguling roboh karena tendangan lawan.

“Ha-ha-ha, macam kau berani melawan aku?” Bong Ji Kiu melangkah maju dengan golok di tangan.

“Bong Ji Kiu!” Yosiko berseru keras. “Kalau kau bunuh dia, aku bersumpah akan mencari kesempatan menghancurkan kepalamu sampai lumat!”

“Ha-ha-ha, kiranya kau benar-benar mencinta bocah ini? Ah, Yosiko, kau benar-benar aneh sekali dan mengecewakan hati. Sepatutnya kau, anak bajak laut, berjodoh dengan bajak laut pula. Akan tetapi kau memang tak kenal budi, tak menghargai kawan sendiri. Dulu Shatoku, murid ayahmu sendiri tewas di tangan Tan Hwat Ki dan kau tidak peduli, padahal Shatoku amat mencintamu. Juga kau tidak mau pedulikan lamaranku, sebaliknya kau mencinta bocah ini, padahal dia ini adalah komandan pasukan kerajaan yang sengaja datang hendak membasmi kita! Ah, dimana kegagahan ayahmu? Mana setia kawanmu?” 

Setelah berkata demikian, Bong Ji Kiu menggunakan sehelai tambang untuk mengikat kaki tangan Bun Hui yang sudah tidak berdaya. lagi. Kemudian dia meraih hendak memeluk Yosiko lagi untuk menyiksa hati Bun Hui.

“Jangan sentuh aku! Dengar, Bong Ji Kiu, aku hanya bersedia menjadi isterimu kalau kau membebaskan Bun Hui dan jangan menyentuhku di depannya. Kalau kau melanggar pantangan ini, biarpun kau akan memaksaku, pasti akan tiba saatnya aku merobek dadamu dan mengeluarkan jantungmu!”






“Ha-ha-ha, baiklah, Manisku. Akan tetapi tidak bisa aku membebaskan dia sekarang. Dia harus ikut dengan kita ke pantai dan ke perahu. Aku akan membawamu lari ke pulau selatan dimana kita dapat membuat sarang baru yang aman, sebagai suami isteri bajak laut. Dia harus menjamin keselamatan kita sampai kita berlayar, baru dia kubebaskan. Mari, mari kita pergi, Manisku!”

Bong Ji Kiu memondong tubuh Yosiko dan menyeret tubuh Bun Hui melalui terowongan yang kasar sehingga dapat dibayangkan betapa tersiksanya Bun Hui.

Diam-diam Yosiko cemas sekali. Terowongan rahasia ini adalah peninggalan kakeknya dahulu, tidak ada yang tahu kecuali dia dan ibunya, dan anak buahnya. Agaknya Kamatari telah membocorkan rahasia ini sehingga kini dipergunakan oleh Bong Ji Kiu untuk menjebak Bun Hui dan melarikan diri melalui terowongan rahasia. Kalau sampai Bong Ji Kiu dapat menggunakan Bun Hui sebagai jaminan, agaknya apa yang dikatakan bajak ini akan terlaksana!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan. Bong Ji Kiu kaget bukan main sehingga pondongannya terlepas, tubuh Yosiko terguling di dekat tubuh Bun Hui. Bajak laut itu menghunus golok besarnya dan membentak,

“Siluman dari mana berani mengganggu Kim-bwee-liong?”

“Bong Ji Kiu, kematian sudah di depan mata masih berani berlagak?”

Suara itu terdengar aneh karena bercampur dengan kumandangnya, seperti suara yang datang dari alam lain.

“Keluarlah dan makan golokku ini…..!” 

Tiba-tiba suara Bong Ji Kiu terhenti dan matanya terbelalak lebar ketika dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Tan Loan Ki telah berdiri di depannya dengan pedang di tangan!

“Toa….. Toanio…..! Saya terpaksa menangkap Yosiko karena dia berkhianat dan bersekutu dengan pasukan kota raja, dan….. dan ini….. komandan pasukan juga sudah saya tangkap…..”

“Setan kau. Anakku boleh memilih jodoh siapa juga, peduli apa dengan kau? Keparat! Hayo berlutut menerima kematian!”

Menggigil sepasang kaki Bong Ji Kiu. 
“….. tidak, Toanio….. ini tidak adil! Aku….. aku…..” 

Akan tetapi terpaksa dia menghentikan kata-katanya karena Tan Loan Ki dengan kemarahan meluap-luap sudah menerjangnya dengan serangan kilat.

Terpaksa Bong Ji Kiu melawan dan memutar goloknya. Terjadilah pertempuran mati-matian yang amat seru di dalam ruangan gua yang kini diterangi obor itu. Bong Ji Kiu berlaku nekat, akan tetapi mana mungkin dia dapat menandingi Tan Loan Ki? Belum tiga puluh jurus, sambaran pedang merobek kulit lengan dan hampir membuntungi pergelangan tangannya sehingga golok besarnya terbang.

“Ti….. tidak….. Toanio….. ampun…..”

Bong Ji Kiu meloncat ke belakang dengan tubuh gemetaran dan muka pucat. Akan tetapi Tan Loan Ki menghampirinya dengan mata berapi-api dan langkah-langkah lambat sampai akhirnya Bong Ji Kiu tak dapat lari lagi karena punggungnya menyentuh dinding di sudut. 

Pedang Tan Loan Ki berkelebat, hanya tampak cahayanya dan tahu-tahu tanpa dapat sambat lagi Bong Ji Kiu terguling dengan kepala terpisah dari tubuh! Tan Loan Ki cepat membebaskan dua orang muda itu dan dengan gembira sekali Yosiko menceritakan kesemuanya kepada ibunya.

“Ibu, aku memilih dia ini menjadi suamiku. Kalau tidak dijodohkan dengan Bun Hui, aku lebih baik mati! Ibu, permintaanku hanya sekali ini kepadamu, harap kau suka mengabulkan.”

“Hemmm….. kau bocah aneh. Mula-mula Tan Hwat Ki, kemudian Yo Wan, dan sekarang Bun Hui komandan pasukan kota raja. Bagaimana ini ?”

“Dulu aku tidak tahu, Ibu. Kukira hanya laki-laki yang dapat mengalahkan aku saja yang patut menjadi jodohku, akan tetapi setelah mendengarkan nasihat Yo Wan, dan mendengar pula penuturan Siu Bi, aku….. aku tahu bahwa tanpa cinta tak mungkin menjadi isteri orang. Dan aku….. aku mencinta Bun Hui!” 

Bukan main girang hati Bun Hui mendengar pengakuan ini, pengakuan yang begini terus terang, terbuka, membayangkan kejujuran dan kepolosan hati gadis ini. Yo Wan benar, pikirnya, gadis ini jujur dan baik, hanya liar karena pengaruh pendidikan dan lingkungan.

“Bun Hui, kau anak siapa?”

“Ibu, dia itu cucu ketua Kun-lun-pai, bukan pemuda sembarang pemuda!” Yosiko yang menjawab cepat.

“Ehhh?” Tan Loan Ki tercengang. “Kalau begitu, kau ini putera Bun Wan?”

“Betul, Bibi,” jawab Bun Hui, girang dan heran bahwa ibu Yosiko ini kiranya mengenal ayahnya.

“Hemmm, dia juga baik dan boleh saja. Tapi….. eh, Bun Hui, anakku mencintamu, apakah kau juga cinta kepadanya?”

“Dia tentu cinta kepadaku, Ibu, dia….. dia membujukku untuk insyaf dan dia hendak membawaku ke Thai-goan…..

“Diam kau! Harus dia sendiri yang menjawab. Bagaimana, Bun Hui? Apakah kau mencinta Yosiko?”

“Saya….. saya mencintanya, Bibi.”

Yosiko meloncat dan memegang tangan Bun Hui, wajahnya berseri gembira dan ia mengguncang-guncang lengan itu. 

“Betulkah itu, Bun Hui? Ah, alangkah bahagia dan lega hatiku. Tadinya….. tadinya kukira kau tidak mencintaiku…. aku sudah khawatir sekali…..”

Tan Loan Ki tertawa dan berkata, 
“Anak-anakku, aku girang melihat Kalian bahagia. Bun Hui, kau tidak memberi hormat kepada ibu mertuamu?”

Bun Hui dengan muka merah, dengan tangan masih digandeng Yosiko, segera berlutut di depan wanita itu. Mereka berbahagia, tidak peduli akan suara hiruk-pikuk dari Yo Wan dan para perajurit yang membongkar batu-batu di depan gua. 

Demikianlah, ketika akhirnya Yo Wan menerjang masuk dengan hati penuh kekhawatiran menyaksikan adegan yang tenteram bahagia, yang membuatnya bengong terlongong keheranan!

Bajak laut menjadi kocar-kacir setelah kehilangan pimpinan. Apalagi ketika Tan Loan Ki dan Yosiko keluar dan menyerukan perintah agar rnereka menyerah, sebagian besar diantara mereka lalu membuang senjata dan berlutut, menyerah.

Bun Hui cukup bijaksana untuk menyerahkan urusan mereka kepada Yosiko dan ibunya, yang membubarkan Hek-san-pang dan perkumpulan bajak laut yang lain, kemudian harta kekayaan yang ada oleh Yosiko dibagi-bagikan kepada mereka dengan peringatan agar mereka memulai hidup baru, jangan melakukan kejahatan lagi.

Adapun Swan Bu setelah sadar dan melihat kekasihnya, Siu Bi, meninggal karena membelanya, menjadi berduka sekali. Namun, sebagai seorang yang telah menerima gemblengan batin dari orang tuanya, apalagi disitu terdapat Pendekar Buta yang menasihati dan menghiburnya, dia menerima kenyataan pahit ini yang menimpa dan mendukakan hatinya. 

Semenjak saat itu, Swan Bu berubah menjadi seorang yang pendiam, seorang yang masak jiwanya dan biarpun dia kehilangan lengan kiri dan kehilangan Siu Bi yang dikasihinya, namun dia mendapatkan pengalaman hidup yang membuat dia menjadi seorang yang kuat lahir batin.

Orang-orang gagah ini berpisahan dari daerah pantai Po-hai ketika para bajak laut sudah dibubarkan. Bun Hui memimpin sisa pasukannya ke kota raja, tentu saja selain membawa kemenangan lahir juga kemenangan batin, karena di sebelahnya ikut pula Yosiko dan ibunya, sedangkan di dalam sakunya terdapat sebuah surat dari Pendekar Buta untuk ayahnya, surat yang membantu dan mengusulkan agar Bun Wan memperkenankan perjodohan antara Bun Hui dan Yosiko.





  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)