PENDEKAR BUTA JILID 001
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Puncak Lao-san menjulang tinggi diantara pegunungan di Propinsi Santung yang kecil-kecil, biarpun sebenarnya Lao-san hanya 1100 meter tingginya, pemandangan alam dari puncak ini amat indahnya. Memandang ke sebelah timur tampak Laut Kuning yang luas, kesebelah utara Selat Pohai, kesebelah barat Pegunungan Santung dengan puncak Thai-san tampak gagah menjulang tinggi, kemudian kesebelah selatan tampak sawah ladang dan perkampungan yang subur.
Hari masih pagi benar, namun sepagi itu sudah ada seorang manusia duduk diatas batu gunung di puncak Lao-san. Angin dari Laut Kuning menambah hawa gunung menjadi makin dingin sejuk, memecahkan kulit muka dan menusuk-nusuk tulang. Namun orang yang duduk diatas batu itu seakan-akan tidak merasakan ini semua. Tentu orang akan mengira dia telah membeku atau membatu, kalau saja mulutnya tidak terdengar bersajak dengan suara nyaring, jelas dan bersemangat.
Wahai kasih, aku di sini!
Di puncak Lao-san menjulang tinggi
Menjadi raja sunyi di angkasa raya,
Naga-naga awan muncul dari laut di bawah kaki
Terbang melayang
menuju kemari Bersujud di sekelilingku meniupkan angin sejuk,
Kasih, aku menanti kehadiranmu
memberi cahaya dan kehangatan
pada jiwa ragaku
Wahai kasih, aku di sini!”
Agaknya orang ini merasa gembira dengan sajak yang dikarangnya sambil duduk itu. Diulangnya sajak ini, malah kemudian dinyanyikannya dengan suara nyaring. Tangan kanannya memukul-mukulkan tongkat ke batu yang menimbulkan bunyi “tok-tak-tok-tak” berirama, mengiringi suara nyanyiannya. Suaranya yang nyaring bergema di puncak, terbawa angin dan kadang-kadang terdengar bergetar penuh perasaan, terutama di bagian
“……..,. kasih, aku disini ………..”
Kadang-kadang tangan kirinya meraba-raba keatas tanah dimana terdapat dua macam bungkusan, agaknya dia khawatir kalau-kalau angin yang keras akan menerbangkan dua bungkusan pakaian dan obat-obatan itu. Melihat cara ia meraba-raba, mudah diduga bahwa orang ini adalah seorang buta.
Memang sebenarnyalah. Dia seorang buta, masih muda benar, baru dua puluh tahun lebih, takkan lewat dari dua puluh lima tahun umurnya. Sesungguhnya amat tampan wajahnya, kulit mukanya putih bersih dengan dahi lebar, daun telinga panjang, hidung mancung dan mulut yang manis bentuknya. Alisnya yang hitam berbentuk golok melindungi sepasang mata yang selalu dimeramkan, mata yang sudah tidak ada bijinya sehingga kelihatan pelupuknya mencekung, mendatangkan keharuan bagi yang melihatnya. Rambutnya yang hitam digelung keatas dan dibungkus kain kepala hijau.
Pakaiannya sederhana, baju berlengan panjang dan lebar berwarna kuning kemerahan, celana berwarna kuning dan biarpun pakaian ini terbuat dari bahan yang kasar, namun amat bersih.
“Wahai kasih, aku di sini ………..!”
Si buta ini bangkit berdiri dan mengembangkan kedua lengannya, seakan-akan hendak menyambut atau memeluk kedatangan kekasihnya. Namun tidak ada kekasihnya itu, yang ada hanya sinar matahari pagi yang mulai menyembul ke luar dari permukaan Laut Kuning.
“Kasihku ……….. matahariku ……….. dengan kehadiranmu di sampingku ………. aku sanggup bertahan seribu tahun lagi……..”
Si buta ini tersenyum-senyum dan wajah itu menjadi makin tampan, akan tetapi juga makin mengharukan. Ia benar-benar kelihatan gembira sekali. Setelah “menyambut kekasihnya” yang agaknya sinar matahari itulah, si buta lalu duduk kembali, membuka bungkusan pakaiannya, mengeluarkan sepotong roti kering dan mulailah dia sarapan dengan enaknya.
Agaknya dia tidak tahu bahwa sudah semenjak tadi, kurang lebih seratus meter di sebelah belakangnya, berdiri seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Laki-laki ini usianya empat puluhan, berkumis panjang tanpa jenggot, pakaiannya serba hitam dan gerak-geriknya kasar, di pinggangnya tergantung sebatang golok telanjang dan di punggungnya sebuah bungkusan kain kuning. Setelah memperhatikan beberapa lama kepada si buta dan melihat si buta mulai sarapan pagi, laki-laki tinggi besar ini mengomel.
“Sialan! Sekali mendapat mangsa, seorang buta gila!”
Ia terbatuk-batuk beberapa kali. Angin sejuk itu agaknya amat mengganggu pernapasannya. Namun dia tidak menghentikan langkahnya mendekati si buta yang sedang makan. Setelah tiba di belakang si buta dalam jarak satu meter, dia berhenti dan membentak.
”He, buta gila! Apa isi kedua bungkusanmu itu?”
Orang muda buta itu memutar diri, masih duduk dan cepat-cepat menjawab dengan suara ramah.
“Wah, ada teman! Bagus, mari silakan duduk, sahabat. Rotiku masih banyak, mari kita sarapan bersama.”
Tangannya meraba-raba, mengeluarkan sepotong besar roti kering dari bungkusannya dan dengan wajah tersenyum serta pelupuk mata cekung itu bergerak pula, dia mengangsurkan roti itu kepada si muka hitam.
Si muka hitam dengan geram menggerakkan kaki dan roti di tangan si buta itu terlempar jauh, menggelinding dan lenyap ke dalam jurang.
“Siapa sudi roti busukmu?”
Orang muda buta itu menyeringai, tapi menghela napas panjang dan suaranya tetap halus ketika dia berkata,
“Sahabat, kiranya kau tidak lapar. Heran sekali ada orang menolak makan disaat cahaya kehidupan mulai menerangi bumi. Semua mahluk sibuk mencari makan, jangan-jangan kau sakit ………..”
“Cerewet! Berikan bungkusan pakaianmu kepadaku!” bentak si muka hitam.
“Oooh, jadi pakaiankah yang kau butuhkan?” si buta mengangguk-angguk dan tangannya diulur ke depan, meraba ujung baju si muka hitam. “Hemm, pakaianmu masih baik tapi amat kotor. Boleh, boleh, biarlah kuberi satu stel kepadamu, aku masih mempunyai tiga stel dalam bungkusan ini………..”
“Buta gila, serahkan semua pakaianmu kepadaku!” dengus si muka hitam yang disusul oleh suara batuk-batuk. “Semua milikmu harus kau serahkan kepadaku kalau kau ingin hidup.”
Si buta menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang.
”Aihh, kiranya kau benar-benar sakit! Dua macam penyakit mencengkerammu, sahabat. Yang satu adalah penyakit akibat luka dalam di tubuhmu, didalam tubuhmu sudah kemasukan hawa beracun yang menimbulkan rasa gatal pada kerongkonganmu dan sewaktu-waktu, apalagi kalau kau marah-marah seperti sekarang ini, timbul rasa sesak didalam dada sebelah kanan. Penyakit pertama ini tidak hebat, paling-paling merenggut nyawa dari tubuh, akan tetapi penyakitmu yang kedua lebih payah lagi karena merupakan penyakit jiwa yang membuat kau tidak menaruh kasihan kepada orang lain, membuat kau kejam dan suka mempergunakan kekerasan untuk mengganggu orang lain.”
“Tutup mulutmu dan serahkan bungkusan-bungkusan itu!”
Si muka hitam bergerak maju dan menyambar bungkusan pakaian. Akan tetapi dia tidak berhasil merampas bungkusan obat yang dipeluk erat-erat oleh si buta.
“Ambillah………..! Ambillah bungkusan pakaianku. Aku tidak gila pakaian seperti engkau. Tapi bungkusan obat ini tak boleh kau ambil, aku sendiri tidak membutuhkan, akan tetapi orang-orang lain yang sakit akan membutuhkannya.”
Ia sudah berdiri sekarang, bungkusan obat itu dia sampirkan di pundak, tongkat dipegang di tangan kiri. Si muka hitam ragu-ragu, tidak jadi merampas bungkusan obat, tapi juga tidak segera pergi dari situ. Dia memandang tajam lalu, bertanya dengan suara kasar,
“Heh, buta, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menderita luka dalam?”
Orang muda buta itu tersenyum lebar. Deretan giginya yang sehat kuat mengkilap terkena cahaya matahari pagi, putih seperti deretan mutiara.
“Aku si buta ini tukang obat, kau tahu? Tentu saja aku dapat mengetahui keadaanmu karena kau terbatuk-batuk tadi. Sahabat, maukah kau kuobati?”
Si muka hitam melengak, memandang penuh selidik. Mana dia bisa percaya? Baru saja dia merampas pakaian orang ini, mungkinkah dia mau mengobatinya?
“Tidak sudi Kau kira aku begitu bodoh?” jawabnya sambil tertawa mengejek. “Kau berpura-pura hendak mengobati, padahal kau tentu akan memberi racun untuk membunuhku, membalas dendam karena pakaianmu kurampas. Ha-ha-ha, jangan kau kira aku tolol. Aku adalah Hek-twa-to (Si Hitam Bergolok Besar), mana bisa kau akali begitu saja? Bukan aku yang akan mati karena kau racuni, melainkan kau yang akan mampus di tanganku. Kau tahu aku terluka, tentu kau anak buah si tua bangka Bhe jahanam!”
Setelah berkata demikian si muka hitam melangkah maju dan tangan kanannya menghantam kearah orang muda buta itu. Hebat pukulannya, keras sekali sampai mendatangkan sambaran angin! Agaknya dengan sekali pukulan ini si muka hitam yang berjuluk Hek-twa-to itu bermaksud untuk membikin remuk kepala si buta.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba lengan kanannya terbentur dengan sesuatu yang keras dan membuat tangannya lumpuh, kemudian dia merasa dadanya diraba orang, membuat napasnya sesak dan dia terhuyung-huyung mundur.
Dia terheran-heran melihat si buta itu masih berdiri tersenyum-senyum seperti tadi. Sama sekali dia tidak melihat si buta ini tadi bergerak. Akan tetapi siapakah tadi yang menangkis pukulannya dan siapa pula yang meraba-raba kearah dadanya?
Ia merasa jerih, mengira bahwa tentu ada orang sakti membantu si buta ini, atau jangan-jangan si tua bangka Bhe sendiri yang berada disini? Punggungnya terasa dingin dan seram. Cepat dicabutnya golok besarnya. Betapapun juga kalau benar-benar orang she Bhe itu muncul, dia hendak melawan mati-matian. Dengan garang goloknya dia gerak-gerakkan ke kanan kiri sampai terlihat cahaya kilat menyambar-nyambar ketika golok itu tertimpa sinar matahari. Mendadak si buta tertawa dan berkata.
“Sahabat tinggi besar, untung kau bahwa luka dalam di tubuhmu sudah lenyap sekarang………..” dan orang buta itu membalikkan tubuh, duduk diatas batu tadi dan tidak memperdulikan pemegang golok yang masih menggerak-gerakkan goloknya.
Hek-twa-to makin curiga. Jelas bahwa tidak ada orang lain disitu. Selihai-lihainya si tua Bhe, kalau dia berada disitu tentu akan nampak olehnya. Habis siapa yang melawannya tadi? Si buta inikah? Tak mungkin! Perlahan-lahan dia menghampiri. Sekali bacok akan mampuslah si buta. Sudah banyak dia membunuh orang, baik bersebab maupun tidak. Saat itu dia sedang mengkal hati, dikalahkan orang dan terluka hebat. Si buta ini tahu dia terluka, memalukan saja, maka harus dibunuh.
Goloknya bergerak cepat ke leher orang. Dia melihat kilat dari angkasa menyambar-nyambar dua kali, merasa betapa tangan kanannya tergetar, ada tenaga aneh mendorongnya ke belakang sampai lima tindak, wajahnya pucat sekali.
Golok itu tinggal gagangnya saja dan di bawah kakinya kelihatan dua buah potongan golok! Adapun si buta tadi masih saja duduk diatas batu memegangi tongkat yang kini dipukul-pukulkan keatas batu sambil bernyanyi,
“Wahai kasih, aku disini………..”
Hek-twa-to menggigil, lalu membuang gagang goloknya dan larilah dia menuruni puncak, tak lupa membawa serta bungkusan pakaian yang dirampasnya tadi. Dia melarikan diri seperti dikejar iblis gunung!
Dari jauh dia masih mendengar suara si buta bernyanyi-nyanyi dan suara nyanyian ini baginya amat menyeramkan, seakan-akan mengejar, membuat dia memperhebat tenaganya untuk lari.
********
002
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI