PENDEKAR BUTA JILID 012

 mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan cepat meninggalkan tempat itu lalu dia mendengar tindakan kaki ibu A Wan dan anak itu sendiri menyambutnya.

Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak sedikitpun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang lagi tangannya. Memang ibu A Wan kaget dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar. 

Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang amat dikenalnya, tentu ia pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah seorang kong-cu (tuan muda)! Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan,

“Aiihh, In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku, biar sebentar kucuci lagi biar bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan In-kong.”

“Terima kasih…………… terima kasih…………. aku menyusahkan saja,” kata Kun Hong dan tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya. 

Kun Hong memuji bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja dia dengar tadi, dan mengambil keputusan bahwa dia akan segera pergi meninggalkan tempat itu, setelah pakaiannya sendiri kering.

Tak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu terbuat daripada tanah lempung dan sepasang sumpit dari bambu, alat-alat makan yang paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.

“Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini kucuri dari kebun paman Lui.”

“A Wan!!” ibunya menegurnya.

“Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan jahat. Aku tidak pernah mencuri. Tapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku…………… aku dan ibu sudah lama tak makan ubi merah.”

Hampir Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke kerongkongannya. 

“Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau minta saja kepada pemilik ubi…………………..”

“Minta? Uhh, pernah aku minta, bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi akupun tidak akan mencuri lagi, ibu marah-marah,” kata anak itu dengan suara manja.

Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan inipun membuktikan betapa miskinnya keluarga itu. Setelah selesai makan, selesai sebelum kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan kebutan. 

Senja telah lewat dan ibu anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang disudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.

“Dia sudah tidur, Twa-so. Dimana tempat tidurnya?” tanya Kun Hong perlahan.

Sampai lama baru terjawab lirih. 
“……. disini juga………. disini juga” napas panjang, tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.

“In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar inilah……………. tempat kami duduk, makan dan tidur…………….”

“Maaf, Twa-so, sejak tadi aku belum mendengar twa-ko (kakak) pulang. Kemanakah dia?”

Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan, 
“Dia sudah………….. sudah tidak ada……………….”

“Tidak ada? Kemana ??” Kun Hong tidak menduga buruk.

“…………. sudah meninggal dunia…….tiga bulan yang lalu…………..”

“Ahhh………….!” 

Kerut diantara kedua mata yang buta itu mendalam. Ah, sekarang tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda dimasa itu. Janda muda lagi. Betapa sukarnya hidup bagi seorang janda yang miskin. Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin. Semua mata akan mengincarnya, penuh cemburu, setiap gerak dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria memandangnya lain lagi, pandangan yang penuh nafsu mempermainkan. 

Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan anak-anaknya.

Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. 
“Twa-so, apakah wajah A Wan ini sama dengan wajahmu?”

Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.

“Orang-orang bilang dia mirip dengan aku.”

Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau begini.

“Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu,” katanya pula.

“…………… baru dua puluh tiga umurku.”

Kun Hong merebahkan tubuh A Wan diatas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan berkata, 

“Twa-so, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang juga.”

“………… kenapa………..? In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya…………..”

Kun Hong menggeleng kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit berdiri. 

“Aku harus pergi. Twa-so, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu baru dua puluh tiga tahun…………”

Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambil menangis ia menubruk kedua kaki Kun Hong! Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“In-kong…………. engkau juga begitu…………?? Ah, kalau begitu………….. kau pukulkan tongkatmu itu kepadaku…….. kau bunuh saja aku, In-kong……….. apa artinya hidup kalau semua orang……. juga kau yang kumuliakan……….. memandang serendah itu kepadaku……..? Kau bunuhlah aku………… kau bunuhlah.”







013

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)