PENDEKAR BUTA JILID 018


“Aduh kemaki (sombong) kau, ya? Kalau di ketiak kenapa? Apa kau kira ketiakku terlalu kotor? Cih, ketiakmu lebih kotor, dekil, tak pernah kau gosok kalau mandi!” Nona itu suaranya marah sekali.

Kun Hong menarik napas panjang, tak disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang telinganya, benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. Gadis jujur, agaknya tidak tahu apa-apa dan masih bersih betul pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita, dan hal ini mungkin terpengaruh oleh cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.

“Eh, malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! He, orang buta, apakah kau memang tidak sudi menolongku?”

“………..bukan sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali. Tapi…..”

“……….. tapi apalagi?”

“Eh, maaf……….. bagian yang diobati itu harus……….. harus……….. tidak tertutup………..”

Hening sejenak. Biarpun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak tanpa ditutup baju, membuat gadis itu menjadi merah sekali mukanya dan bingung. Dengan kening berkerut ia memandang Kun Hong penuh selidik.

Apakah dia sengaja hendak mempermain-kan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang kurang ajar? Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah seorang buta.

“He, orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?”

Melengak Kun Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya jujur dan pertanyaan itu sungguh-sungguh.

“Tentu saja, masa ada buta pura-pura?”

“Sama sekali tak dapat melihat? Sedikitpun tak dapat melihat?”

Kun Hong tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab, 
“Bagiku, siang dan malam sama gelapnya………..”

Namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi terharu malah segera berkata, 

“Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju bagian yang diobati? Hayo lekas kau kerjakan. Nih, sudah kubuka!”

Berdebar juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus mengakui bahwa gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan sifatnya, gadis kasar, jujur, dan di dalam pikirannya masih bersih daripada hal yang bukan-bukan. Oleh karena itu diapun lalu menangkap lengan kanan gadis itu, terus jari-jarinya bergerak keatas. Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan kulit yang halus seperti sutera.

“……. aduh …….!” jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.

“Hemmm……. lebih hebat daripada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan banyak menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga Iweekang agar kumpulan darah itu agak membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu sebentar.” 

Kun Hong lalu membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal lengan atau di ketiak kanan gadis itu. Dia mengerahkan tenaga sakti dari tubuhnya, disalurkan melalui tangan dan gadis itu dengan penuh kekaguman memandang ketika merasa betapa hawa panas sekali keluar dari telapak tangan si buta menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak. Tiba-tiba ia menggigil karena hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai membuat ia menggigil.

“Wah……. gila…….” bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu berubah panas kembali.

“Apa yang gila? Siapa?” tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi. 

Akan tetapi ia tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang mengerahkan Iweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa. Tentu saja ia tak pernah menduga bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri. 





Ketika dia menyalurkan tenaga Iweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan tangannya dengan kulit halus hangat itu mendatangkan perasaan yang bukan-bukan dan yang mengacaukan pengerahan tenaga saktinya sehingga, akibatnya gadis itu menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri, mengusir semua perasaan, mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga.

Sepuluh menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan jalan darah yang terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang masih terasa sakit. Akan tetapi lambat laun setelah darah mengental itu cair dan mengalir, rasa nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba ia tertawa cekikikan dan tubuhnya menggeliat-geliat. Kun Hong terheran dan bertanya,

“Kenapa, Nona ………..?”

“Aiiihhh……. hi-hik, geli amat……. jari-jarimu menggelitik………..”

Cepat-cepat Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah sekali wajahnya, sampai ke telinga-telinganya. 

“Kalau, sudah merasa geli, itu berarti sudah sembuh, Nona.” 

Diam-diam dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini benar-benar lucu, jujur dan kekanak-kanakan. Tanpa disadarinya timbullah rasa sayang kepada nona ini.

Gadis itu mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan kanannya, memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang, 

“Bagus! Tidak terasa sakit lagi, sembuh sama sekali. Kakak buta, aku adikmu yang bodoh takluk betul sekarang. Kau hebat!” 

Gadis itu memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa Kun Hong terpaksa mengikutinya dan mengomel,

“Aih, kau benar-benar seorang adik yang nakal. Perut masih lapar kau suruh aku putar-putar begini, bisa pusing tujuh keliling aku!”

“Waah, kakak buta yang baik, kau lapar? Tunggu sebentar disini, ya? Duduklah di bawah pohon, nah disini …….” katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon, menyuruhnya duduk diatas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. “Aku takkan lama dan kau akan kenyang nanti.” 

Sebelum Kun Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah melesat cepat sekali dan tidak terdengar lagi suaranya.

Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah kembali lagi tertawa-tawa girang dan kedua lengahnya penuh barang-barang. Sepanci nasi putih, semangkok besar masakan ang-sio-hi, semangkok besar pula cah-udang dan semangkok lagi panggang daging ayam. 

Semua masakan dan nasinya masih panas mengepulkan asap sedap. Mangkok-mangkok terisi masakan ini ia kempit dan bawa sedapat mungkin, malah tangannya masih menggenggam sebuah guci arak, mangkok kosong dan supit!

“Hi-hi-hi, dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan mangkok-mangkok kosong. Awas, turunkan dulu di atas tanah, masih banyak nih. Wah, lenganku panas semua, itu sih, ang-sio-hinya miring mangkoknya ketika kubawa lari, kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!” 

Ribut-ribut gadis itu bicara dan Kun Hong terheran-heran dari mana gadis itu memperoleh masakan sebanyak itu.

“Kan disini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah, araknyapun bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama lagi. Eh, sumpitnya ini begini halus, apakah bukan dari gading? Dari mana kau memperoleh semua ini?” Kun Hong meraba sana meraba sini, kagum dan heran.

“Sudahlah, Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara. Kalau sampai dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan sayang! Hayo makan, nih araknya untukmu sudah kusediakan!” 

Dengan cekatan dan terampil gadis itu melayani Kun Hong makan. Ia sendiripun makan, akan tetapi tiada hentinya ia menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali mendesak supaya pemuda itu menambah lagi nasi dan araknya. 

Gembira sekali mereka, apalagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasipun putih dan pulen, araknya tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat mereka gembul dan menambah nafsu makan sehingga sebentar saja, sampai seperempat jam, masakan dan arak benar-benar telah disikat habis oleh keduanya!

Agaknya setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya bebas lepas, sikapnya terbuka dan Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa sayangnya bertambah. 

Seorang keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih kalah oleh gadis ini yang benar-benar masih bersih pikirannya. Sayangnya, agaknya anak ini terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil dipenuhi segala kehendaknya sehingga sekarangpun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang yang sifatnya “ingin menang sendiri”. 

Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa pada dasarnya anak perempuan ini tidak mempunyai watak yang ingin menang sendiri, malah amat jujur dan cukup memiliki pertimbangan yang adil.

Kun Hong duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula diatas tanah, di depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat betapa Kun Hong meraba-raba dengan tangan ketika hendak beralih duduk keatas akar yang lebih rata, meraba-raba pula batang pohon yang hendak disandarinya, kelihatan begitu tak berdaya.

“Kakak buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Kenapa matamu sendiri sampai bisa menjadi buta? Apakah sebabnya matamu buta?”

Kali ini gadis itu bicara tanpa nada kekanak-kanakan atau bergurau, suaranya bersungguh-sungguh.

Kun Hong terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab, 
“Karena salahku sendiri…………….”

“Hemm, apakah ada yang membikin buta? Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan mencarinya dan membalas membutakan matanya!”

Kun Hong menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang kebutaannya, akan tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-sebab kebutaan itu karena hal itu sama saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi.

“Aku sendiri yang membutakan kedua mataku.”

Gadis itu meloncat keatas, kaget sekali. 
“Aku tidak percaya! Masa ada orang membutakan matanya sendiri, kecuali orang gila!”

“Memang aku gila, gila pada waktu itu.” Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk mencegahnya bicara soal ini lebih lanjut. “Adik yang baik, sudahlah, jangan kita bicara soal sebab-sebab kebutaan mataku, maukah kau?”

Baru kali ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya sebentar karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring gembira. 

“Kakak buta, sebetulnya kau siapakah? Siapa namamu dan dimana tempat tinggalmu?”

Kun Hong timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis ini benar-benar menggembirakan dan mudah menular, Terhadap seorang gadis seperti ini tak perlu dia menyembunyikan diri.

“Namaku Kwa Kun Hong, Nona. Adapun tempat tinggalku, heemm……….. untuk saat ini yah disini inilah! Dan kau sendiri, siapa namamu? Apakah cukup hanya Bi-yan-cu saja?”

“Kwa Kun Hong……….. nama yang bagus. Eh, Kwa-twako (Kakak Kwa), bagaimana kau bisa mengenal nama ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa ayahku adalah kakak Tan Beng San ketua Thai-san-pai?”

“Tentu saja aku tahu. Aku mempunyai hubungan baik dengan keluarga Thai-san-pai, malah pernah menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San taihiap, aku tahu bahwa ayahmu selain kakaknya, juga menjadi suheng dari isteri beliau. Bukankah ayahmu itu murid pertama dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?”

“Wah, kiranya pengetahuanmu luas, Twako. Aku mendengar tentang pertempuran hebat pada pembukaan Thai-san-pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, apakah kau hadir juga?”







019

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)