PENDEKAR BUTA JILID 026
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Diam-diam Kun Hong merasa terharu dan juga tercengang. Tak mungkin salah lagi, yang disebut-sebut sebagai pemuda she Bun dalam percakapan tadi, tentulah bukan lain Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai! Bun Wan, bekas tunangan kekasihnya, mendiang Cui Bi. Hatinya berdebar dan telinganya serasa mengiang-ngiang. Sungguh sebuah hal yang amat kebetulan sekali, urusan yang amat cocok dengan pengalamannya dahulu.
Seperti juga Cui Bi yang mencintanya dan sudah ditunangkan dengan Bun Wan (baca Rajawali Emas) juga si suara bidadari ini hendak dipaksa ibunya berjodoh dengan seorang Pangeran Mongol, padahal si bidadari ini agaknya condong hatinya kepada Bun Wan! Benar-benar hal yang terbalik.
Kalau dulu (dalam cerita Rajawali Emas), Bun Wan merupakan tunangan yang tidak dipilih dan tidak disukai oleh calon jodohnya, kini rupanya dia malah terbalik memegang peranan sebagai orang yang menjadi sebab terhalangnya perjodohan orang lain! Bun Wan kini memegang peranan yang dipegangnya dahulu, peranan yang berakhir dengan pengorbanan kedua matanya untuk mengimbangi pengorbanan Cui Bi yang menyerahkan nyawanya!
Dia memperhatikan terus. Beberapa kali terdengar si bidadari itu menarik napas panjang. Dasar suara bidadari. Tarikan napas panjang saja terdengar begitu halus dan seakan-akan helaan napas itu menambah keharuman bunga-bunga di taman! Perasaan Kun Hong menggetar, penuh iba kasihan. Teringat dia akan Cui Bi.
Serupa benar nasib dara bidadari ini dengan mendiang Cui Bi. Apakah ia akan mengalami nasib seperti Cui Bi pula? Gagal dalam berkasih asmara, dan berakhir mengorbankan nyawa? Tidak! Tidak boleh! Peristiwa mengenaskan itu tak boleh terulang lagi. Apa pula terhadap diri seorang dara yang bersuara bidadari ini. Dia akan berusaha menghalau bahaya itu.
Langkah-langkah kecil dan ringan terdengar, disusul suara bening.
“Siocia, ini minuman susu madu yang kau pesan, dan ini pengganti saputangan sutera…….”
“A Man, kau letakkan saja diatas meja itu kemudian kau pergilah bersama semua temanmu tinggalkan aku disini….”
“Tapi Siocia (nona), toa-nio (nyonya besar) akan marah kalau saya dan teman-teman tidak menjaga dan melayani Nona disini…….”
“A Man, aku bukan anak kecil lagi yang harus dijaga setiap waktu. Aku mau berlatih pedang, apakah kau bermaksud hendak mencuri lihat?”
“Ah……. mana berani……. mana berani, Nona.”
“Nah, lebih baik kau lekas pergi keluar dari taman ini. Lebih berguna kalau kau dan teman-temanmu ikut mencari dua orang asing yang katanya telah memasuki pulau dan membunuh banyak ular. Kalau bertemu dengan mereka yang tentu lihai, kau dan teman-temanmu bisa mencoba semua kepandaian kalian. Apakah percuma saja kalian selama ini dilatih ilmu silat? Hayo, keluarlah dari sini, lekas!”
Terdengar para pelayan itu pergi sambil tertawa-tawa. Ternyata ada lima orang pelayan wanita dan agaknya yang bernama A Man itu adalah pelayan kepala atau yang paling disayang oleh nona bidadari, yang bernama Hui Kauw ini.
Kun Hong mendengarkan semua itu dengan kagum. Makin indah suara nona ini ketika bercakap-cakap dengan para pelayan. Malah ucapan paling akhir itu mengandung sendau gurau yang halus. Alangkah jauh bedanya dengan Loan Ki atau Cui Bi. Loan Ki dan mendiang Cui Bi, adalah gadis-gadis yang lincah jenaka, gembira dan bebas, andaikata kembang adalah kembang mawar hutan yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan tidak takut akan angin ribut dan selalu berseri namun siap melukai siapapun yang ingin merabanya dengan duri-duri meruncing.
Adapun dara bersuara bidadari ini yang tadi oleh ibunya disebut Hui Kauw, adalah seorang dara yang lemah lembut, halus gerak-geriknya, halus pula tutur sapanya, bagaikan setangkai bunga seruni yang indah jelita, kecantikannya menenteramkan hati, suaranya bagai musik surga mengamankan jiwa.
Kemudian Kun Hong mendengar desir angin permainan pedang. Mula-mula angin sambaran itu lambat-lambat juga perlahan saja, tanda bahwa pemainnya belum mahir benar dan tenaganya kecil. Kun Hong mengerutkan keningnya. Gadis bersuara bidadari ini kalau dalam hal ilmu pedang jauh di bawah tingkat Loan Ki, apalagi tingkat Cui Bi.
Akan tetapi hawa pukulan pedangnya benar-benar aneh merupakan garis lingkaran-lingkaran. Permainan pedang dengan cara membentuk lingkaran-lingkaran seperti itu memang banyak dalam kalangan ilmu pedang tinggi, akan tetapi lingkaran ini biasanya terus menjurus kearah lingkaran lain yang sejalan atau berubah menjadi tusukan, bacokan miring, bacokan lurus dan lain cara penyerangan lagi.
Anehnya, gerakan pedang dara bersuara bidadari ini lingkarannya berubah-ubah menjadi lingkaran yang bertentangan, kadang-kadang berputar dari kanan, kadang-kadang dari kiri. Cara bermain pedang seperti ini, mana bisa dipergunakan untuk bertempur, pikir Kun Hong heran.
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya dan wajahnya sampai berkerut-merut karena dia mencurahkan seluruh perhatiannya mempergunakan pendengarannya yang mengikuti desir angin pedang. Makin lama mukanya berubah makin merah ketika dia mengikuti terus permainan pedang itu. Gerakan yang tadinya membayangkan kecanggungan, kekakuan dan kelemahan itu lambat laun berubah, bagaikan gelombang samudera yang sedang pasang, tidak kentara perubahannya makin lama makin sigap, makin licin, makin kuat.
Lingkaran-lingkaran membesar, meluas, dan masih saja mengandung pertentangan, yaitu lingkaran-lingkaran yang membalik gerakannya. Kun Hong menjadi bingung dan malu kepada diri sendiri. Kiranya dia tadi salah duga dan baru kali ini pendengarannya menipunya, baru kali ini pendengarannya kalah “awas” oleh sepasang mata.
Kiranya dara bersuara bidadari ini memiliki ilmu pedang yang benar-benar luar biasa dan juga tinggi sekali tingkatnya, malah kini dia dapat mendengar betapa tenaga Iweekang yang terkandung dalam gerakan-gerakan itu amat dalam, sukar diukur dan ilmu pedang itu sendiri memiliki gerakan lingkaran yang penuh rahasia!
“Siuuuttt……. cratt!”
Sebatang pedang menancap pada pohon di depan Kun Hong, batang pohon yang menutupi dan menyembunyikan tubuh pemuda buta ini. Kun Hong kaget sekali. Apakah nona itu melihatnya dan sengaja menakut-nakutinya dengan melemparkan pedang pada batang pohon itu? Dia bersikap waspada, akan tetapi tidak bergerak keluar dari tempat sembunyinya.
Dia merasa malu sekali dan sedang memutar otaknya bagaimana dia akan menjawab nanti kalau ditanya tentang kehadirannya di taman orang dan “mengintai” dengan telinganya tanpa ijin pemilik taman.
Langkah kaki yang ringan dan lesu mendekati pohon. Hidung Kun Hong kembang-kempis. Keharuman yang sedap dan aneh mengalir memasuki lubang hidungnya, bau yang luar biasa harumnya seperti……. seperti apakah gerangan?
Tidak ada bunga yang seharum ini, harum yang tidak memuakkan, tidak keras, seperti harum bunga mawar? Tidak, lain lagi. Seperti harum minyak wangi dan dupa? Juga bukan, sungguhpun memiliki daya penenteram rasa seperti keharuman dupa. Apakah bau cendana? Juga bukan, cendana terlalu wangi sehingga memusingkan kepala.
Tiba-tiba wajah Kun Hong tersenyum berseri. Inikah bau sedap seperti bau anak kecil? Ya, pernah dalam perantauannya dia dimintai tolong orang supaya mengobati anak-anak dan seperti inilah anak bayi itu baunya. Sedap dan mengamankan hati!
Kun Hong berdebar hatinya. Nona ini amat dekat dengannya, hanya terpisah batang pohon. Pernapasannya saja terdengar olehnya, napas yang panjang-panjang dan halus sungguhpun desir napas itu menyatakan bahwa orangnya mengalami kelelahan. Tidak aneh setelah bermain pedang mempergunakan tenaga Iweekang seperti itu.
Nona itu mencabut pedang yang tadi dilontarkan menancap pada pohon. Dari suara cabutan ini dengan kagum sekali Kun Hong mendapat kenyataan bahwa pedang itu menancap setengahnya lebih ke dalam batang pohon, hal yang membuktikan lagi akan hebatnya tenaga Iweekang nona ini.
Dengan langkah gontai, seperti langkah seorang yang baru sembuh daripada penyakit yang lama diderita, lemas dan lesu dengan kaki diseret nona itu meninggalkan pohon, kembali ke tempat tadi. Lalu terdengar oleh Kun Hong betapa dara itu duduk, menggerak-gerakkan tangan agaknya menyusut peluh dengan saputangan sutera yang dia dengar tadi diantar datang oleh A Man, Setelah itu gadis itu minum lambat-lambat, dengan teguk-teguk kecil, agaknya susu madu tadi.
Tak terasa lagi Kun Hong menelan ludah dan tiba-tiba saja terasa betapa lapar perutnya dan haus kerongkongannya. Sejak kemarin sore dia tidak makan atau minum lagi, yaitu sesudah menyikat habis makanan dan minuman hasil curian Loan Ki. Loan Ki juga tentu lapar dan haus seperti aku pula pikirnya. Ah, dimana Loan Ki? Seakan-akan baru sadar daripada sebuah mimpi indah, Kun Hong teringat akan Loan Ki dan hatinya terduka, penuh kekhawatiran. Masih hidupkah Loan Ki? Dan dimana ia?
“Benar-benar aku tiada guna…….”
Kun Hong memaki diri sendiri.
“Loan Ki terjerumus dan hilang, belum tahu mati atau masih hidup dan……. dan aku…….aku terlongong saja disini mau apa?”
Hampir marah Kun Hong kepada dirinya sendiri. Baru sekarang dia merasa betapa dia sudah seperti tergila-gila kepada nona bersuara bidadari itu. Mukanya ditengadahkan kearah angkasa, bibirnya bergerak-gerak dalam bisikan
“Cui Bi……. kau tentu suka memaafkan aku……. nona yang didepan ini memang terlalu luar biasa …….”
Setelah berbisik seperti itu dia sudah menggerakkan kaki sambil mengerahkan ginkangnya agar dapat pergi dari situ tanpa terdengar orang. Akan tetapi baru saja kakinya diangkat sambil dia membalikkan tubuh hendak pergi, kaki itu berhenti seperti tertahan oleh suara senandung di belakangnya. Suara bidadari itu bersenandung? Biarpun hanya bersenandung, tidak bernyanyi nyaring, namun suara itu bagi pendengaran Kun Hong sedemikian merdunya sehingga dia menahan napas dan miringkan kepala untuk dapat menangkap kata-kata nyanyian dalam senandung itu.
“Daun labu belum layu anak sungai masih berlagu kutunggu, tuanku. Air sungai melimpah ruah kuda betina menjerit resah kutunggu, kekasihku. Bahtera menanti kita mengantar ke pantai kita kutunggu, sahabatku!”
Lemas kedua lutut Kun Hong. Tak terasa pula dia berlutut lalu duduk bersimpuh diatas tanah. Kulit mukanya tergetar-getar, bergerak-gerak, apalagi disekitar kedua lubang bekas mata yang tertutup kelopak (pelupuk mata). Bukan main suara itu!
Tadi baru mendengar suara itu bicara saja dia sudah kagum bukan main, suara yang dapat menggetarkan dan menyinggung tali halus hatinya. Kini suara itu bersenandung, bukan main! Dada Kun Hong serasa hendak meledak oleh nikmat yang didatangkan oleh senandung itu. Dia sendiri seorang ahli sastera, seorang penggemar bacaan, baik filsafat maupun sanjak-sanjak kuno. Dan kata-kata nyanyian yang keluar bagaikan tetesan-tetesan embun mutiara di ujung daun hijau di waktu subuh itu, diapun pernah membacanya.
Sanjak lama, amat kuno akan tetapi masih saja mempunyai arti yang membayangkan keadaan hati seseorang. Jelas, dara bersuara bidadari ini sedang dirundung malang, dibuai sedih oleh kesepian, dimabuk khayal lamunan. Mungkinkah ada hubungannya dengan percakapan tentang jodoh dengan ibunya tadi?
Masih terngiang di telinga Kun Hong suara yang nikmat itu dan dia masih juga duduk bersimpuh ketika dia mendengar betapa nona itu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah gontai. Setelah langkah itu tidak terdengar lagi dan keadaan disitu benar-benar sunyi tiada orang, Kun Hong melangkah keluar dari tempat sembunyinya.
Bagaikan didorong oleh tangan tak tampak, atau ditarik oleh besi sembrani, kedua kakinya melangkah kearah tempat dimana dara tadi bernyanyi. Tongkatnya tertumbuk pada sebuah meja batu yang dikelilingi tiga buah bangku batu yang halus dan dingin. Bau harum yang tadi masih mengambang di udara disekitar tempat itu, lebih terasa kini. Kun Hong meraba bangku dingin halus, lalu duduk menghadapi meja, termenung.
Tanpa disengaja tangannya yang meraba meja menyentuh sesuatu yang halus diatas meja. Saputangan sutera! Agak basah dan hangat. Air mata? Keringat? Seperti dalam mimpi Kun Hong meremas saputangan sutera itu, lalu mengendurkan tangannya, hatinya merasa khawatir kalau-kalau remasannya akan merusak benda halus lemas berbau harum itu.
Kemudian, dengan tangan gemetar saputangan itu dia dekatkan ke mukanya, bau harum mengeras, tapi dia menahan tangannya. Wajah Cui Bi terbayang dan muka Kun Hong menjadi merah sekali.
“Maaf, Cui Bi……. dia terlalu luar biasa…….” setelah berkata demikian dia membenamkan mukanya ke dalam saputangan itu.
Ganda harum semerbak saputangan sutera itu membuat Kun Hong mabuk dan tenggelam di alam lamunan. Wajah Cui Bi terbayang, maka keras dia mendekap saputangan itu pada mukanya, seakan-akan yang didekap dan dibelainya itu adalah wajah Cui Bi kekasihnya. Terluaplah segenap rindu berahi yang selama bertahun-tahun dia kekang, dia bendung, dia tahan.
“Cui Bi…….. Bi-moi……. dewi pujaan……. dimana kau…….?”
027
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI