PENDEKAR BUTA JILID 042
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Anak-anak itu mengajak Kun Hong memasuki kuil, akan tetapi mereka menjadi kecewa ketika tiba di dalam.
“Ah, dia sudah pergi…….!” kata anak-anak itu setelah mencari kesana kemari tidak melihat kakek yang mereka ceritakan tadi.
Akan tetapi Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap adanya orang itu yang bersembunyi diatas! Hemm, mengapa orang itu bersembunyi? Agaknya dia tidak suka bertemu dengan orang lain, pikir Kun Hong.
“Anak-anak, kakek itu sudah pergi. Biarlah, dan sekarang tempat ini untuk sementara akan kupergunakan untuk mengaso. Kalian pergilah sana main-main, jangan ganggu aku yang hendak mengaso disini. Tentang kakek itu, seperti yang dia sudah pesan kepada kalian, jangan kalian ceritakan kepada siapapun juga, ya?”
Seperti burung-burung di waktu pagi anak-anak itu menjawab, lalu berserabutan mereka lari keluar dari kuil itu. Kun Hong lalu meraba dengan tangannya membersihkan lantai yang penuh debu, kemudian duduk bersandar dinding yang retak-retak saking tua dan tak terpelihara.
Dengan pendengarannya yang luar biasa Kun Hong dapat menangkap tarikan napas yang berat, tanda bahwa orang itu terluka parah. Namun masih dapat bersembunyi diatas membuktikan bahwa orang itu, bukanlah orang sembarangan.
“Bertemu seorang buta tidak ada bahayanya karena dia tidak pandai mengenal muka orang. Lo-enghiong (orang tua gagah) silakan turun, siapa tahu siauw-te (aku yang muda) dapat membantu luka-lukamu,” katanya perlahan.
Terdengar napas ditahan, agaknya orang itu terkejut. Lalu menyambar turun tubuh seseorang, akan tetapi kakinya menimbulkan suara berat ketika dia sudah meloncat turun ke bawah, terang bahwa selain ilmu ginkangnya kurang hebat, mungkin juga dikarenakan luka-lukanya yang berat. Kun Hong tahu bahwa orang itu sudah berdiri di depannya, maka dia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
“Kau……. kau……. bukankah kau Kwa Kun Hong dari Hoa-san-pai?” tiba-tiba orang itu berkata, suaranya besar.
Kun Hong cepat bangkit berdiri, lalu menjura penuh penghormatan.
“Ah, kiranya Tan-taijin (pembesar Tan) yang berada disini, cocok dengan dugaanku. Benar, Tan-taijin, aku si buta adalah Kwa Kun Hong…….”
Belum habis Kun Hong bicara, orang itu sudah menubruk dan memeluknya sambil berkata dengan suara terharu.
“Ah, anakku……. kasihan sekali kau……. siapa kira kau akan menjadi begini.”
Kun Hong menggigit bibirnya dan dia maklum akan keharuan kakek gagah perkasa ini. Dahulu dia bertemu dengan Tan Hok ini ketika Tan Hok masih menjadi pembesar kepercayaan kaisar di kota raja, kemudian untuk kedua kalinya bertemu di puncak Thai-san, malah kakek ini menjadi saksi pula akan peristiwa hebat di puncak Thai-san yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya (baca Raja Pedang dan Rajawali Emas).
Sekarang, agaknya karena teringat akan peristiwa itu dan melihat keadaan dirinya seperti seorang pengemis buta ini, maka kakek itu mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memaksa diri tersenyum dan balas memeluk.
“Tan-taijin……. kau benar-benar seorang yang berbudi mulia. Dirimu sendiri terluka parah, menderita karena menjadi korban perampokan, akan tetapi kau masih bisa menaruh kasihan kepada seorang seperti aku…….”
Tan Hok melepaskan pelukannya, agaknya terkejut dan heran.
“Kun Hong……. bagaimana kau bisa tahu akan keadaanku?”
“Tan-taijin…….”
“Hushh, jangan sebut aku taijin lagi aku bukan pembesar. Aku lebih patut menjadi pamanmu!” tukas bekas pembesar itu,
“Maaf, Paman Tan Hok, memang betul ucapanmu itu. Mari duduklah dan sebelum kita bicara biarlah aku memeriksa dan berusaha mengobati luka-lukamu.”
Kakek tinggi besar itu memang Tan Hok adanya. Dia adalah bekas pejuang yang dahulu namanya amat terkenal sebagai seorang diantara pemimpin pasukan Pek-lian-pai, berjuang bahu membahu dengan para patriot lain dalam usaha mereka menumbangkan kekuasaan Mongol. Setelah usaha ini berhasil dan Ciu Goan Ciang mendirikan Kerajaan Beng dan menjadi kaisar, karena jasanya yang amat besar, Tan Hok lalu diangkat menjadi pembesar di kota raja.
Di dalam perjuangannya itu, Tan Hok malah mengangkat tali persaudaraan dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, sekarang ketua Thai-san-pai. Sekarang bekas pembesar itu malah menjadi buronan, tinggal di dalam sebuah kuil rusak dalam keadaan terluka parah. Benar-benar nasib manusia tak dapat disangka sebelumnya.
Cepat Kun Hong melakukan pemeriksaan. Tan Hok menderita banyak luka-luka, akan tetapi yang paling hebat adalah luka di tengkuk dan di punggung bekas bacokan senjata tajam. Karena tidak segera mendapat pengobatan, luka-luka itu keracunan dan membengkak, mendatangkan demam hebat.
Kun Hong segera mengeluarkan sebatang jarum perak, membuka luka-luka membengkak itu, mengeluarkan darah yang menghitam, lalu menaruh obat bubuk yang selalu tersedia di dalam buntalannya, malah memberi sebungkus untuk diminum.
“Syukur keadaan luka-lukamu belum terlalu lama,” katanya menghibur. “Setelah minum obat dalam tiga hari tentu akan pulih kembali tenaga paman. Biarlah aku mencari seorang anak untuk disuruh membeli obat.”
“Tidak usah, hiante. Di dusun ini mana ada toko obat? Kau katakan saja namanya obat-obat itu, aku akan mencarinya di kota. Sekarangpun rasanya sudah banyak enakan, terima kasih. Kwa-hiante, sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau tahu bahwa aku mengalami perampokan?”
Kun Hong tersenyum.
“Aku malah sudah pernah memegang mahkota kuno yang dirampas perampok-perampok Hui-houw-pang dari tanganmu, Paman Tan Hok.”
Dengan tangan gemetar Tan Hok tiba-tiba memegang lengan Kun Hong.
“Betulkah itu? Kun Hong, betul-betul kau pernah melihat mahkota itu…….”
“Melihat sih tak mungkin Paman……”
“Ah, maafkan, sampai lupa aku……. tapi, tahukah kau dimana sekarang mahkota itu?”
Suara yang penuh gairah ini menimbulkan keheranan di hati Kun Hong. Masa orang yang sudah dia ketahui sebagai seorang gagah yang berbudi ini sekarang begini serakah, begini loba akan harta benda? Pula, kalau betul apa yang dia dengar, bukankah semua harta itu termasuk mahkota kuno adalah benda simpanan kerajaan yang dicuri dan dilarikan oleh Tan Hok? Dan kenapa dia melarikan diri membawa harta curian, bagaimana pula keadaan keluarganya? Mengapa dia tidak menceritakan keadaannya, tidak menyusahkan keadaannya malah seperti tidak perduli akan luka-lukanya sebaliknya serta merta menanyakan mahkota itu? Kun Hong merasa tidak puas dan tidak ingin menceritakan apa yang dia ketahui tentang mahkota itu sebelum dia mendengar jelas duduknya perkara.
“Paman Tan Hok, mengapa agaknya amat penting benda itu untukmu. Milik Pamankah benda itu?”
Mendengar nada suara kecewa dari pemuda ini Tan Hok menarik napas panjang.
“Memang kedengarannya bodoh pertanyaanku tadi, seakan-akan tidak ada yang lebih penting daripada benda berharga itu. Memang sesungguhnya demikian, Kwa-hiante. Keluargaku binasa, isteriku tewas, hampir aku sendiri tewas, namun bagiku mahkota itu lebih penting. Kau dengarkan baik-baik penuturanku.”
Tan Hok lalu bercerita. Seperti telah diketahui, semenjak kaisar pertarna Kerajaan Beng-tiauw sudah tua dan berpenyakitan, maka terjadilah perebutan kekuasaan di kota raja. Namun karena para pangeran atau mereka yang sudah berjasa dalam menumbangkan Kerajaan Mongol merasa segan dan takut kepada kaisar sebagai pendiri Kerajaan Beng, sewaktu kaisar masih hidup, mereka tidak berani berterang.
Diam-diam terjadi persaingan hebat, malah didesas-desuskan bahwa putera mahkota kaisar juga diam-diam terbunuh oleh seorang diantara saingannya, terbunuh dengan racun. Kemudian cucu kaisar, putera pangeran mahkota yang meninggal, yaitu Pangeran Kian Bun Ti, diangkat menjadi calon kaisar.
Hal ini tentu saja mendatangkan rasa iri hati dan dendam yang disembunyikan. Sebaliknya, Pangeran Kian Bun Ti yang pandai mengambil hati kakeknya, memperkuat kedudukan dan pengaruhnya. Bahkan akhirnya ketika kaisar yang tua itu berpenyakitan dan makin lemah, boleh dibilang segala keputusannya tergantung dari pengaruh Pangeran Kian Bun Ti inilah.
Sayang sekali bahwa pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda pemogoran, pemuda hidung belang. dan pemuda yang mudah sekali dipermainkan dan dipengaruhi oleh para penjilat. Pendeknya, seorang muda yang dangkal sekali pikirannya dan tidak bijaksana.
Orang-orang yang mengelilinginya adalah orang-orang dari golongan hitam. Hal ini amat mengkhawatirkan hati para pembesar yang setia kepada kaisar tua dan Pemerintah Beng yang baru. Diantaranya terdapat Tan Hok yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Thai Cu, yaitu pejuang Ciu Goan Ciang yang berhasil merobohkan kekuasaan Mongol. Diam-diam mereka ini memberi ingat kepada kaisar, akan tetapi ternyata kaisar itu selain sudah terkena pengaruh dan amat mencinta cucunya, juga karena kekuasaan Pangeran Kian Bun Ti sudah amat kuat, tidak mempercayainya.
Akan tetapi Kaisar Thai Cu akhirnya terbuka juga pikirannya dan melihat gejala tidak baik dalam watak cucunya. Namun segala sesuatu telah terlambat, dia telah menjadi lemah berpenyakitan, sedangkan pembesar-pembesar tinggi dan berkuasa sudah jatuh di bawah pengaruh pangeran mahkota. Andaikata kaisar tua ini akan mengambil tindakan, dia khawatir kalau-kalau terjadi pemberontakan dan alangkah akan malu hatinya kalau dalam keadaan tua menghadapi kematian itu dia harus menghadapi pemberontakan cucunya sendiri. Dia tidak berdaya dan kesehatannya makin mundur karena hatinya tertekan.
“Demikianlah, Kwa-hiante, keadaan akan kota raja. Keadaannya panas seperti api dalam sekam. Para setiawan terhadap kaisar tua merasa hidup diatas ujung pedang dan kami maklum bahwa setiap saat kaisar tiada, tentu kami akan dihalau, bahkan nyawa kami terancam. Kalau pangeran mahkota belum berani terang-terangan memusuhi kami adalah karena dia masih sungkan terhadap kaisar.”
Tan Hok mengaso sebentar untuk bernapas panjang, nampaknya patriot tua ini merasa berduka sekali akan keadaan negaranya.
“Beberapa pekan sebelum kaisar meninggal dunia, aku dipanggil menghadap dan kaisar mengusir semua orang keluar dari kamarnya. Kemudian kaisar menyerahkan sebuah surat perintah dimana kaisar memerintahkan puteranya yang menjadi raja muda diutara, yaitu Pangeran Yung Lo, untuk bertindak dan menggantikan kedudukan kaisar apabila kelak ternyata Pangeran Kian Bun Ti tidak benar dalam menjalankan tugas sebagai kaisar baru. Pendeknya, dalam surat perintah itu, mendiang kaisar memberi kekuasaan kepada puteranya itu untuk menjadi penghukum atas diri keponakannya, yaitu Pangeran Kian Bun Ti. Surat itu dipercayakan kepadaku untuk kelak disampaikan kepada Pangeran Yung Lo diwaktu keadaan memerlukannya.”
Kun Hong sebetulnya tidak perduli akan keadaan pemerintah, karena memang dia tidak menaruh perhatian atas kehidupan kaisar dan pembesar. Akan tetapi mendengar penuturan ini, dia tertarik.
“Kemudian bagaimana, Paman Tan?”
Tan Hok menarik napas panjang.
“Tugasku itu berat sekali karena aku termasuk orang yang dianggap musuh oleh Kian Bun Ti. Banyak hal yang membikin dia tidak senang kepadaku, diantaranya peristiwa dengan dua orang keponakanmu dahulu itu dan peristiwa di puncak Thai-san (baca Rajawali Emas). Karena tahu akan ancaman bahaya, surat penting itu lalu kusembunyikan, tidak didalam rumahku. Kemudian kekhawatiranku menjadi kenyataan, beberapa bulan setelah kaisar wafat. Kian Bun Ti yang mengangkat diri menjadi kaisar itu melakukan pembersihan terhadap pembesar-pembesar setiawan, diantaranya termasuk aku. Rumahku disita, isteriku sampai tewas dalam keributan, aku dapat melawan dan melarikan diri dengan pertolongan anak buahku yang setia dan tidak lupa aku membawa surat rahasia itu bersamaku. Celaka sekali, nasib sedang buruk, di dalam perjalananku melarikan diri itu, aku diserang oleh perampok-perampok Hui-houw-pang dan menderita luka-luka. Ini masih belum apa-apa, yang membuat aku putus asa adalah surat itu kena terampas juga sungguhpun tidak ada orang yang mengetahui dimana tempatnya.”
“Hemm, agaknya surat itu Paman sembunyikan di dalam mahkota kuno itu, bukan?”
“Betul, Hiante! Inilah sebabnya mengapa aku ingin tahu dimana adanya mahkota itu sekarang. Benda itu jauh lebih berharga daripada nyawaku!”
Mendengar ucapan yang bersemangat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya.
“Paman Tan Hok, surat itu hanya surat yang menyangkut urusan perebutan warisan mahkota dan kedudukan kaisar, urusan keluarga kaisar belaka. Bagaimana kau anggap lebih berharga daripada nyawamu? Keadaanmu sendiri amat sengsara, isteri meninggal, rumah tangga berantakan, bahkan diri sendiri menderita begini hebat. Mengapa kau lebih mementingkan urusan kaisar? Apakah karena Paman mempunyai harapan bahwa kelak kalau Pangeran Yung Lo berhasil merebut kekuasaan, lalu Paman akan diberi kedudukan tinggi?”
043
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI