PENDEKAR BUTA JILID 048

Mengapa Beng San malah melenyapkan diri? Kiranya pendekar ini tadi dengan kaget melihat berkelebatnya pisau-pisau terbang yang merobohkan lima orang dan maklum bahwa hal ini dilakukan oleh orang-orang yang hendak mengadu domba, maka secepat kilat dia melompat dan menerobos gerombolan pohon dari mana pisau-pisau itu beterbangan dan hanya terlihat olehnya.

Di bawah sinar bulan purnama dia melihat bayangan tiga orang yang bertubuh kecil langsing. Bayangan-bayangan itu gesit sekali dan sedang berlari meninggalkan tempat itu.

“Perlahan dulu…….!” dia membentak sambil melompat dan mengulur tangan hendak menangkap seorang diantara mereka. 

Tiba-tiba terdengar suara mengejek, bayangan itu melejit dan cengkeraman Beng San menangkap angin!

Ketua Thai-san-pai ini terkejut. Tidak sembarang orang dapat menghindarkan cengkeramannya tadi, maka dari gebrakan ini saja dapat diduga bahwa orang-orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia segera menerjang lagi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menyambar orang kedua yang datang hendak membantu orang pertama. Orang ketiga menggerakkan tangan dan angin berciutan kearahnya.

Beng San terkejut bukan main. Pukulannya tertangkis lengan kecil berkulit halus namun memiliki tenaga Iweekang yang hebat. Biarpun dia dapat membuat lawan itu terhuyung oleh peraduan lengan itu, dia merasa betapa lengannya sendiri panas, tanda bahwa tenaga lawan ini, benar-benar tak boleh dipandang ringan.

Cengkeramannya kepada orang kedua juga meleset, malah orang itu mengirim tendangan yang aneh gerakannya kearah bawah pusarnya. Serangan yang singkat namun mematikan. 

Dan pada saat itu, orang ketiga mengirim serangan dengan telunjuk menuding dan yang mengeluarkan angin berciutan kearah lehernya. Cepat Beng San menggerakkan tangan kiri berusaha menangkap kaki yang menendang. Dia berhasil menangkapnya tapi cepat-cepat melepaskannya kembali ketika tangannya merasa memegang sebuah kaki bersepatu yang kecil, kaki seorang wanita! 

Adapun pukulan aneh yang mendatangkan angin berciutan itu, dia sampok dengan tangan sambil mengerahkan hawa pukulan Pek-in-hoat-sut. Karena tidak mengira akan kehebatan pukulan ini, dia mendiamkan saja ketika pukulan meleset mengenai ujung lengan bajunya. “Brettt!” Ujung lengan baju itu robek seperti ditusuk pedang!

“Hebat…….!” serunya kagum, maklumlah dia bahwa tiga orang ini agaknya tiga wanita yang sakti.

“Siapakah kalian? Mengapa datang-datang memusuhi aku?” 

Dia berusaha untuk mengenal muka mereka, akan tetapi ternyata muka mereka tertutup sutera hitam, hanya pakaian mereka berwarna merah berkembang.

“Hi-hi-hik!” tiga orang wanita itu hanya tertawa. 

Tampak gigi-gigi putih mengkilap tertimpa cahaya bulan, disusul berkilatnya tiga batang pedang yang mereka cabut berbareng.

Beng San berseru keras ketika tiga batang pedang itu seperti terbang menyerangnya dari tiga jurusan. Dia mengerti bahwa tiga orang lawan sakti ini tak mungkin dihadapi dengan tangan kosong, maka dia cepat menggerakkan tangan dan tampaklah sinar menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam dihunus. Dia harus dapat merobohkan mereka, atau setidaknya menangkap seorang diantara mereka. 

Mereka inilah yang tahu akan fitnah yang menimpa Thai-san-pai Namun merobohkan tiga orang ini benar-benar tidak mudah. Ilmu pedang mereka amat aneh dan lihai, malah pedang di tangan mereka berani membentur Liong-cu-kiam tanpa rusak.

Beng San penasaran. Diputarnya pedangnya sedemikian rupa dan mulailah dia mainkan Im-yang-sin-kiam. Beberapa kali terdengar tiga orang wanita itu berteriak kaget dan menjerit. Im-yang-sin kiam benar-benar terlampau sakti bagi mereka. Tiba-tiba terdengar mereka bersuit aneh dan sinar-sinar putih berkelebatan menyambar dari tubuh mereka kearah Beng San. 

Hebat sekali senjata ini dan agaknya ini adalah pisau-pisau kecil yang tadi merobohkan lima orang. Beng San memutar pedang menyampok, terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau itu beterbangan kekanan kiri. 

Akan tetapi ketika dia memandang ke depan, tiga orang wanita itu sudah lenyap ditelan bayangan-bayangan gelap. Dia hendak meloncat dan mengejar, akan tetapi niat itu diurungkan ketika dia mendengar teriakan-teriakan dan senjata beradu di sebelah belakangnya. 





Teringatlah dia akan anak-anak murid Thai-san-pai tentu sedang menghadapi penyerbuan mereka itu, maka hatinya menjadi amat gelisah. Mana mungkin murid-muridnya yang hanya delapan belas orang itu dapat mengatasi bahaya yang mengancam? Dia tahu pula bahwa tiga orang tosu itu saja takkan bisa dilawan, baik oleh murid kepala Thai-san-pai sekalipun. 

Kalau dia mengejar tiga orang wanita aneh tadi, tentu murid-muridnya akan terancam bahaya maut. Membiarkan tiga orang itu lari, dia akan kehilangan bukti akan kebersihan Thai-san-pai. Dia merasa serba salah. Akhirnya dia mengambil keputusan membantu murid-muridnya yang terancam bahaya. Kalau memang Thai-san-pai bersih, tak usah takut menghadapi fitnah, pikirnya. Mudah kelak mencari rahasia dan mengejar orang-orang jahat yang menimbulkan fitnah.

Ketika dia berlari dan melompat ke tempat pertempuran, hatinya berduka sekali dan perasaannya terpukul. Banyak diantara para penyerbu menggeletak tak bernyawa terkena bacokan pedang murid-muridnya, juga beberapa orang muridnya menggeletak tak bernyawa. 

Yang masih bertempur telah luka-luka hebat pula. Su Ki Han melawan Yang Ki Cu dengan mati-matian namun terdesak hebat, pundak kirinya sudah robek berdarah. Coa Bu Heng muridnya ketiga yang berusia dua puluh lima tahun, murid yang berbakat, didesak hebat oleh Koai To-jin dari pakaiannya sudah compang-camping berikut kulit tubuhnya pecah-pecah terhajar cambuk. 

Liok Sui muridnya yang sebaya dengan Su Ki Han juga sudah payah, darah mengalir dari pahanya yang terluka oleh pedang Seng Tek Gu tosu Bu-tong-pai. Sebentar lagi, tiga orang muridnya ini tentu akan roboh berikut murid-murid yang lain.

“Tahan semua……!” Dia membentak.

“Kita terhasut fitnah! Orang-orang yang jahat berada disini…….”

Akan tetapi fihak penyerbu yang sudah marah dan merasa berada di ambang kemenangan itu sama sekali tidak mau berhenti. Beng San menjadi marah sekali. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar yang menerjang kesana kemari. 

Terdengar teriakan kaget berturut-turut ketika Koai To-jin terhuyung ke belakang, papan caturnya pecah dua dan cambuknya putus disusul Seng Tek Cu yang pedangnya terputus dan Yang Ki Cu yang goloknya terbang entah kemana. Mereka mundur dengan muka pucat, memandang orang-orangnya yang kacau-balau diterjang gulungan sinar itu. Pedang dan golok beterbangan, orang-orang terlempar karena dorongan atau tendangan.

“Hayo, siapa tidak mau berhenti? Manusia-manusia tolol kalian! Berhenti! Siapa tidak berhenti akan kurobohkan!” 

Beng San berteriak sambit menerjang kesana kemari. Sehentar saja orang-orang itu mundur dengan jerih. Bukan main hebatnya sepak terjang Beng San ketua Thai-san-pai ini. Sekarang dia tampak berdiri tegak dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan, menghadapi mereka dengan mata berapi-api.

“Siapa masih berkepala batu? Majulah!” tantangnya penuh kemarahan.

Seng Tek Cu melangkah maju, tersenyum pahit. 
“Ketua Thai-san-pai, hebat memang kepandaianmu. Kami tak mampu melawanmu. Akan tetapi, jangan kira bahwa kami akan menerima begini saja dan ……”

“Tutup mulut! Sudah banyak jatuh korban sia-sia. Kukatakan tadi bahwa kalian kena hasut fitnah dan orang-orang yang mengakibatkan itu berada disini, merekalah tadi yang diam-diam menyerang lima orang-orangmu secara menggelap. Kalian benar-benar bodoh dan tidak bisa mendengarkan alasanku!”

Kaget sekali Seng Tek Cu. Mulai dia meragu. Juga Yang Ki Cu yang segera bertanya.
“Mana mereka? Siapa mereka itu? Buktikan!”

“Mereka orang-orang lihai. Tadi hampir tertangkap, tapi gagal. Ahh……. akibat ketololan kalian banyak jatuh korban…….” Beng San sedih bukan main melihat mayat bergelimpangan disana-sini.

Tiba-tiba Su Ki Han mengeluh, 
“…….Suhu……. disana……. apa itu…….?”

Suara murid kepala ini membuat tengkuk Beng San meremang. Cepat dia menoleh dan……. wajahnya berubah pucat kehijauan ketika dia melihat api menyala-nyala di puncak, didahului asap hitam mengebul tinggi.

“Celaka…….!” 

Dia memekik keras dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Tahu-tahu dia sudah jauh lari ke puncak, diikuti semua murid yang masih dapat berjalan. Terpincang-pincang dan terhuyung-huyung murid-murid yang terluka ikut berlari ke puncak. 

Koai Tojin, Seng Tek Cu, dan Yang Ki Cu ikut pula mengejar, mengikuti para murid Thai-san-pai. Wajah mereka pucat, jantung berdebar keras. Murid-murid Thai-san-pai yang rata-rata gugup dan gelisah itu membiarkan mereka bertiga mengikuti ke puncak melalui jalan rahasia. 

Orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai berdiri kebingungan, tidak berani ikut ke puncak tanpa diperintah. Lalu mereka mulal menolong orang-orang yang terluka, termasuk orang-orang Thai-san-pai. Banyak jatuh korban. Sembilan orang murid Thai-san-pai tewas, empat luka-luka berat, sisanya ikut naik ke puncak. 

Fihak Kong-thong-pai termasuk dua orang yang tewas oleh senjata rahasia, menderita kerugian enam orang tewas dan lima luka-luka berat. Fihak Pek-lian-pai tewas tujuh orang yang terkena senjata rahasia, dua belas luka-luka!

Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San lari secepat terbang ke puncak. Ketika tiba di puncak, ngeri hatinya menyaksikan betapa pondoknya telah terbakar semua. Api menjilat-jilat langit dan atap rumah itu sudah menyala seluruhnya. Tapi hanya sedetik dia memandang kearah api, matanya kelihatan mencari kesana kemari. Akhirnya dia mendengar suara isterinya di sebelah belakang pondok. Cepat dia meloncat kesana dilihatnya isterinya dengan pedang di tangan muka pucat rambut awut-awutan mata terbelalak menjerit-jerit, 

“Cui Sian…….! Cui Sian…….”

Seakan terhenti detak jantung Beng San. Tanpa bertanya lagi dia lalu meloncat ke depan, menerjang dinding pondoknya. Sekali terjang bobollah dinding itu. Tanpa memperdulikan panasnya api dan bahaya keruntuhan atap rumahnya, dia mencari-cari. Dilihatnya empat orang sudah menggeletak tak bernyawa dengan luka pada dada. Dia mencari terus, tapi tak melihat bayangan Cui San. 

Tiba-tiba atap rumah ambruk ke bawah dan hanya dengan kecepatan luar biasa saja Beng San dapat meloncat keluar rumah. Ketika dia tiba diluar, murid-murid dan tiga orang tosu sudah tiba pula disitu. Mereka memandang bengong kearah Beng San yang rupanya mengerikan disaat itu. Muka pendekar ini hitam, pakaiannya hangus disana-sini, sepasang matanya menyaingi panasnya api itu sendiri. Isterinya seperti orang tak sadar masih menjerit-jerit memanggil nama Cui Sian.

Seng Tek Cu terharu bukan main. Dia melangkah maju, menjura dalam sekali dan berkata, 

“Sicu, maafkan pinto……. maafkan pinto…….”

Beng San tak peduli, melainkan menghampiri isterinya. Li Cu yang dipegang pundaknya oleh Beng San seperti baru sadar. Matanya tetap terbelalak dan melihat suaminya memegang pundaknya, ia cepat menjerit pergi dan menudingkan pedangnya kemuka suaminya, 

“Kau…..! Kalau tidak pergi……. takkan terjadi begini……. kau……. kau…….!” 

Dan wanita ini menangis tersedu-sedu sambil berdiri tegak, tidak berusaha mengusap air matanya, hanya menatap wajah Beng San penuh kebencian!

Ucapan ini makin menusuk hati Seng Tek Cu, Koai Tojin, dan juga Yang Ki Gu. Tahulah mereka sekarang bahwa semua ini adalah jebakan musuh yang sengaja mengadu domba dan akhirnya, karena kebodohan mereka, Beng San terpaksa turun puncak dan inilah agaknya yang dimaksudkan oleh para penjahat gelap itu. Memancing harimau keluar sarang, kemudian selagi Beng San bersitegang dengan mereka penjahat-penjahat itu mengobrak-abrik sarang!

“Tai-hiap, maafkan pinto……. pinto semua bodoh sekali……. pinto semua yang menyebabkan malapetaka ini…….” kata pula Seng Tek Cu.







049

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)