PENDEKAR BUTA JILID 050
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Kita tinggalkan dulu keadaan Thai-san-pai yang rusak binasa dan ketuanya yang rusak pula ketenteraman rumah tangganya. Mari kita menengok keadaan di puncak Min-san.
Telah dituturkan di bagian depan bahwa Tan Kong Bu putera Tan Beng San bersama isterinya, Kui Li Eng dan kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun, setelah menikah lalu pindah ke Min-san dimana dia dibantu oleh isterinya menerima murid-murid yang berbakat dan berusaha mendirikan sebuah perkumpulan baru, yaitu Min-san-pai.
Belum banyak murid yang diterima oleh suami isteri ini karena mereka masih muda, lagi pula mereka tidak mau menerima sembarangan murid. Kalau ada anak yang benar-benar berbakat barulah mereka mau menurunkan ilmu silat sehingga dalam waktu empat tahun, baru mempunyai murid sebanyak dua belas orang saja, terdiri dari anak-anak muda laki perempuan berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun.
Suami isteri ini hidup rukun saling mencinta dan di samping mengajar silat kepada murid-murid cilik ini mereka hidup sebagai petani, bercocok tanam sayur-sayur dan buah-buahan yang dapat hidup subur di Min-san.
Song-bun-kwi juga hidup tenang tenteram di Min-san. Kakek ini sekarang menjadi gemuk dan sehat. Akan tetapi lewat empat tahun, dia mulai mengeluh dan menjadi malas karena kerjanya hanya makan tidur belaka. Berkali-kali dia mengeluh dan menyatakan ketidak puasan dan kebosanan hatinya di depan cucunya dan cucu mantunya.
Pagi hari itu dia nampak marah-marah dan gelisah. Sejak subuh tadi Kong Bu dan isterinya melihat dengan cemas betapa kakek itu tidak hentinya berlatih silat di kebun belakang. Dan tidak seperti biasanya, terdengar suara keras.
Ketika mereka lari menengok, kiranya dua batang pohon besar roboh dipukul dan ditendang kakek itu! Masih saja Song-bun-kwi bersilat. Angin pukulannya mendesir-desir dan dia sama sekali tidak perdulikan munculnya cucu dan cucu mantunya. Wajahnya cemberut matanya sayu.
Kong Bu saling pandang dengan Li Eng. Menarik napas panjang lalu menggandeng tangan isterinya diajak masuk rumah. Dia masgul sekali, duduk bertopang dagu, teringat akan percekcokan dengan kakek itu semalam. Seperti biasa, malam tadi Song-bun-kwi makan bersama Kong Bu dan Li Eng yang juga melayani suami dan kakeknya. Song-bun-kwi sudah berbeda daripada biasanya, menenggak arak dan selalu minta tambah.
Akhirnya, selesai makan Song-bun-kwi menggebrak meja sampai mangkok-mangkok menari-nari diatas meja.
“Kau anak sial! Tidak becus!!!” dia memaki Kong Bu.
Tidak heran Kong Bu melihat kakeknya seperti itu. Sudah sejak kecil dia tahu akan keanehan watak kakek ini yang mudah marah dan mudah gembira, kadang-kadang bagi yang tidak tahu tentu disangka gila. Dengan tenang dia tersenyum dan bertanya,
“Apalagi yang tak menyenangkan hatimu, Kong-kong (kakek)? Kesalahan apakah kali ini yang kulakukan?”
“Kesalahan apa? Bocah tolol! Aku ingin punya buyut, kau dengar? Aku ingin punya buyut dan kau tidak becus!!”
Mendengar omongan ini seketika wajah Li Eng menjadi merah dan dengan pura-pura membawa mangkok-mangkok kotor ia cepat-cepat lari ke belakang, namun telinga kakek dan cucu yang lihai itu masih dapat mendengar isaknya tertahan-tahan.
Kong Bu mengerutkan heningnya. Terlalu kakeknya ini. Sudah melewati batas sekarang. Sudah berkali-kali kakeknya ini marah-marah kepadanya, memakinya tidak becus, tidak mampu segala macam, hanya karena dia dan Li Eng sampai sekarang belum juga punya keturunan, belum punya anak! Kakeknya memang orang aneh, ini dia tahu. Akan tetapi kalau sudah mencelanya tentang tak punya anak di depan Li Eng, tentu saja isterinya merasa tersinggung sekali.
“Kakek, lagi-lagi kau ribut-ribut soal cucu buyut!” tegurnya dengan suara agak kasar. “Soal keturunan adalah soal yang ditentukan oleh Thian. Manusia mana dapat menentukan? Mengapa kakek ribut-ribut saja urusan buyut? Apakah tidak tahu bahwa ucapanmu tadi amat menyakiti hati Li Eng?”
“Aaahh, dasar kau yang tidak becus! Laki-laki goblok kau, sudah menikah empat tahun belum juga punya anak. Uuhhh!” kakek itu mencak-mencak dengan amat berangnya.
Kong Bu tak dapat menahan kesabarannya. Suara kakeknya terlalu keras sehingga biarpun Li Eng berada di belakang, tentu isterinya itu dapat mendengar jelas.
“Kong-kong, kau terlalu sekali! Kau ingin punya cucu buyut untuk apa sih?”
“Wah, untuk apa katanya? Tentu saja untuk kuwarisi kepandaian yang kulatih puluhan tahun ini. Untuk apalagi? Aku takkan mati meram sebelum kepandaianku kuwariskan kepada buyutku. Tahu kau?”
Kong Bu tertawa, berusaha mendinginkan hati kakeknya.
“Ah, kalau hanya untuk itu saja, mengapa Kong-kong susah-susah menanti buyut yang tak tentu kapan datangnya? Bukankah cucu muridmu ada dua belas orang disini, boleh kau pilih mana yang kau sukai untuk dijadikan murid-muridmu. Bukankah ini baik sekali, Kong-kong?”
“Murid-murid tahi kerbau!!” Kakek itu makin marah. “Kalau memang mau cari murid, aku bisa cari sendiri. Ah, sudahlah, dasar kau yang tolol dan tidak becus!”
Demikianlah keributan malam tadi, keributan berdasarkan soal yang itu-itu juga yang membuat Song-bun-kwi Kwee Lun murung. Pagi itu sejak subuh dia sudah bersilat dan dengan pukulan saktinya merobohkan pohon besar.
Biasanya, setelah matahari terbit, kakek ini tentu akan masuk ke ruangan depan, berjemur sinar matahari melalui jendela ruangan itu sambil menghadapi minuman hangat yang disediakan oleh Li Eng. Dia akan duduk di bangku panjang berbaring, meram melek nikmat seperti seekor singa tua bermalasan.
Akan tetapi pagi itu dia tidak masuk ke ruangan. Sampai matahari naik tinggi, kakek itu tidak nampak pulang. Kong Bu merasa heran dan mencari ke belakang. Tidak ada. Ke depan lalu ke sekeliling tempat itu. Tidak ada. Kakek itu tidak nampak bayangannya lagi.
Isterinya ikut mencari dan memanggil-manggil. Namun kakek itu tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kong Bu mendekati isterinya. Mereka saling pandang.
“Dia kumat penyakitnya, dasar berdarah perantauan!” kata Kong Bu.
Li Eng mengerutkan kening, menunduk.
“Karena aku…….”
Kong Bu kaget, memandang isterinya. Dilihatnya dua titik air mata membasahi pipi Li Eng. Dia merangkulnya.
“Hushh, siapa bilang karena kau? Tentang itu, tak perlu kita pikirkan, isteriku. Kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa.”
Li Eng memang bukan seorang pemurung. Semenjak gadisnya, ia amat periang, kocak dan jenaka. Sekarangpun hanya sebentar ia digerumuti rasa kecewa dan duka. Dilain saat sambil tersenyum manis ia berkata,
“Hemm, dunia kang-ouw tentu bakal geger dan heboh karena munculnya kakek!”
Kong Bu juga tersenyum.
“Tentu saja, boleh kita pastikan itu! Kita dengar-dengar saja, tentu terjadi keonaran. Memang kakekku itu tukang mencari geger. Ha-ha-ha!”
Mereka tertawa-tawa dan seketika lenyaplah awan mendung yang mengancam sinar kebahagiaan mereka.
Benar dugaan Kong Bu. Kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun memang sudah pergi dari Min-san. Kekesalan hatinya karena belum juga dia dapat menimang seorang buyut yang dinanti-nantikan, membangkitkan rindunya akan dunia ramai, membuat penyakitnya suka merantau kambuh kembali. Seperti telah menjadi wataknya semenjak dahulu, dia selalu pergi tanpa pamit dan pulang tanpa memberitahukan.
Tapi, tidak seperti dugaan Kong Bu Bahwa di dunia ramai kakeknya tentu akan menimbulkan kegemparan, kali ini Song-bun-kwi melakukan perjalanan dengan tenteram, Tidak mempunyai nafsu untuk mencari perkara.
Hal ini adalah karena hatinya sudah menjadi dingin karena mengingat bahwa tokoh-tokoh setingkat dengannya seperti Siauw-ong-kui, Pak-thian Lo-cu, atau Hek-hwa Kui-bo dan Toat-beng Yok-mo, semua sudah mati. Kalau ada mereka, terutama Siauw-ong-kui, tentu dia akan mencarinya dan diajak berkelahi sampai tiga hari tiga malam!
Hanya tinggal seorang tokoh yang setingkat, atau setidaknya hampir setingkat dengannya, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, itu tokoh besar pantai timur. Karena teringat akan orang tua inilah maka kini Song-bun-kwi melakukan perjalanan ke timur, ke pantai timur untuk mencari Tai-lek-sin. Keperluannya hanya satu, mencari orang tua itu dan kalau sudah berjumpa, diajak berkelahi mengadu ilmu!
Pada suatu hari kakek ini memasuki sebuah kota pelabuhan di pantai timur yang cukup ramai, karena kota ini selain menjadi pusat perdagangan para pedagang laut yang datang dari selatan dan utara, juga terkenal sebagai pintu mengeluarkan hasil-hasil bumi dan akar-akar obat.
Sayangnya seringkali kota ini diganggu bajak laut Jepang sehingga sebagian besar pedagangnya datang dari lain kota dan jarang yang mendirikan bangunan disitu. Dan sudah menjadi kebiasaan setiap orang pedagang keliling yang membawa banyak barang berharga, selalu mesti ada saja pengawal-pengawalnya terdiri dari jagoan-jagoan pengawal bayaran yang lajim disebut piauw-su.
Pengawal-pengawal bayaran dan para pedagang inilah yang meramaikan restoran-restoran yang banyak dibuka disitu sehingga begitu memasuki kota ini, Song-bun-kwi segera mengembang kempiskan hidungnya karena mencium bau masakan sedap dan gurih.
“Gurih……. gurih……. wah sedapnya…….!” dia menggerutu berkali-kali kemudian matanya mencari-cari dan akhirnya dia melangkah lebar memasuki sebuah restoran yang paling besar yang berada di pinggir jalan besar dekat tempat pemberhentian perahu-perahu.
Bau amis perahu-perahu yang membawa muatan ikan malah menambah sedap. Kehadiran kakek ini menarik perhatian orang. Betapa tidak. Seorang kakek yang usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, rambutnya jarang-jarang dan pendek setengah gundul, kumis dan jenggot pendek-pendek pula dan kaku, sebagian besar sudah putih. Pantasnya kepala seperti ini dimiliki seorang pendeta, akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian pendeta. Pakaian yang membungkus tubuh tinggi besar kokoh kuat itu adalah pakaian petani yang kumal dan longgar, lengan bajunya lebar sekali seperti lengan baju tukang-tukang main sulap yang menyembunyikan benda-benda di dalamnya.
“Heee, pelayan!” suaranya menggeledek dan menggetarkan ruangan restoran itu. “Bawa kesini cepat seguci besar arak baik, tiga kati mi, dua kati daging babi panggang dan tiga empat macam masakanmu yang paling terkenal. Lekas kataku, perutku lapar nih!”
Sambil menarik napas panjang dengan nikmat kakek ini menjatuhkan diri keatas sebuah bangku yang mengeluarkan bunyi mengenaskan karena hampir tidak kuat menadahi tubuhnya yang besar dan berat itu, lalu jari-jari tangan kanannya mengetruk-ngetruk meja di depannya sampai meja itu bergoyang-goyang.
Semua tamu yang duduk disitu menoleh dan memandang heran. Dimana di dunia ini ada orang yang begitu gembul? Tiga kati mi ditambah dua kati daging dan tiga macam masakan, masih didorong masuk oleh seguci besar arak, bukankah itu jumlahnya lebih sepuluh kati? Perut manusia biasa mana kuat dimasuki sepuluh kati makanan sekaligus? Juga pelayan-pelayan saling pandang, tidak ada yang menyanggupi karena mereka ragu-ragu. Selain aneh, juga harga masakan-masakan yang dipesan itu bukanlah sedikit uangnya!
Kakek itu merasa juga akan keraguan Muka pelayan ini. Dia menggereng dan tangannya menekan meja di depannya yang tiba-tiba, ambles ke bumi sampai setengahnya lebih!
“Heh, pelayan-pelayan. Kalian ini manusia-manusia ataukah patung? Kalau patung tunggu kublesekkan kalian kedalam tanah seperti meja ini!”
Kagetlah semua orang, kaget dan jerih. Juga para pelayan berseliweran dan separuh lari menyediakan pesanan kakek itu. Mereka tidak perduli lagi apakah kakek itu nanti bisa bayar atau tidak, itu urusan pengurus restoran. Paling perlu cepat-cepat sediakan pesanannya agar mereka selamat!
Dengan senyum-senyum manis dibuat-buat sehingga senyum itu pringas-pringis mengandung takut, para pelayan berantri mengantarkan makanan-makanan yang dipesan Song-bun-kwi dan mengaturnya diatas meja yang rendah itu. Begitu selesai mereka terbirit-birit menjauhkan diri.
051
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI