PENDEKAR BUTA JILID 062
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Akan tetapi Hui Kauw tidak berhenti hanya menjawab sambil lari cepat,
“Biarlah, Kun Hong. Apa gunanya bagiku…..?”
Dalam kalimat terakhir ini terkandung kepatahan hati yang membuat Kun Hong terduduk diatas tanah saking perihnya hati dan perasaannya. Sampai lama dia duduk bersila diatas tanah di pinggir telaga itu dan terbayanglah wajah Hui Kauw yang cantik jelita.
Sekarang dia sudah mengenal Hui Kauw, tidak hanya mengenal suaranya, juga mengenal bentuk mukanya. Berkali-kali dia mengeluh panjang pendek, bukan main penderitaan hati yang penuh rindu dendam. Dia merasa seakan-akan semangatnya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia berdongak dan mulutnya berkemak-kemik.
“Cui Bi………… Cui Bi………… bantulah aku, perkuatlah hatiku………..” dengan bisikan-bisikan ini dia merasa mendapat kekuatan baru dan wajah Cui Bi yang riang jenaka itu perlahan-lahan mengusir bayangan Hui Kauw, memulihkan kembali ketenangan di dalam dadanya.
Entah beberapa jam lamanya dia duduk seperti itu, seperti seorang pertapa di pinggir telaga. Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang besar dan dalam, mengandung tenaga hebat.
“Waahhhhh, mimpikah aku atau betul-betul bertemu dengan Kun Hong disini?”
Karena tadinya dalam keadaan melamun, Kun Hong kaget dan tidak mendengar suara ini dengan segera. Akan tetapi dia merasa seperti mengenal suara ini, maka cepat dia bangun berdiri dan membalikkan tubuhnya kearah suara itu.
“Locianpwe (orang tua gagah) siapakah?” tanyanya sambil membungkuk dengan hormat.
“Ha-ha-ha! Hebat sekali! Matanya buta akan tetapi begitu aku membuka suara segera tahu bahwa aku seorang tua bangka bangkotan. Ha-ha-ha!”
“Kakek Kwee………!”
Kun Hong berseru girang sekali. Song-bun-kwi Kwee Lun tertawa bergelak-gelak dan maju merangkul Kun Hong memeluknya.
“Kun Hong, kau sudah tak pandai melihat tapi bisa berkeliaran sampai disini! Apa saja yang kau kerjakan disini? Wah tongkatmu itu entah sudah berapa banyak mengirim orang ke Giam-lo-ong (Raja Maut)?”
Kun Hong tertawa.
“Locianpwe, mana saya berani menggunakan tongkat hadiahmu ini untuk membunuh orang? Locianpwe hendak kemanakah?”
“Ha-ha-ha, bagus kau masih menghargai pemberian seorang tua bangka. Kun Hong, tahukah kau dimana adanya Ching-coa-to?”
Kun Hong kaget.
“Di seberang itulah Ching-coa-to. Locianpwe apakah mempunyai urusan dengan penghuni Ching-coa-to?”
Bingung Song-bun-kwi bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Seperti kita ketahui, dia pergi mencari Ching-coa-to hanya karena hatinya terkena “dibakar” oleh si gadis nakal Loan Ki yang mengatakan bahwa kalau kakek itu ingin dijotosi orang sampai mukanya matang biru, harus pergi ke Ching-coa-to.
Hanya karena kata-kata Loan Ki itu saja dia nekat mencari Ching-coa-to sampai dapat. Bagaimana dia bisa mengatakan kepada Kun Hong bahwa dia mencari Ching-coa-to hanya karena itu? Terhadap lain orang kakek ini bersikap tidak perduli dan mau membawa kehendak sendiri, mau menang sendiri. Akan tetapi terhadap Kun Hong lain lagi sikapnya. Dia merasa kagum kepada pemuda ini dan tidak menganggap pemuda buta ini sebagai seorang muda yang dipandang rendah.
“Tidak ada urusan apa-apa, hanya aku mendengar disana banyak orang pandai. Ingin aku menyaksikan dengan kedua mata dan kedua tanganku sendiri, ha-ha-ha!”
Kun Hong maklum akan watak kakek ini, tahu akan kesukaan kakek ini berkelahi mengadu kepandaian.
“Locianpwe terlambat. Memang banyak orang pandai di pulau itu, akan tetapi pada waktu ini mereka sudah pergi meninggalkan pulau. Saya baru saja keluar dari sana.”
“Kau? Kesana? Wah-wah, agaknya banyak pengalaman hebat yang kau alami. Sayang, aku bermalas-malasan di gunung, kalau aku ikut pergi bersamamu, sedikitnya aku akan ikut menikmati pengalaman-pengalaman itu. Apa yang kau cari disana?”
Dengan singkat tanpa menyebut-nyebut soal Loan Ki dan Hui Kauw, Kun Hong lalu bercerita tentang mahkota yang dirampas dari tangan Tan Hok sampai mahkota itu terjatuh ke tangan orang-orang Ching-coa-to dan bagaimana dia berhasil merampasnya kembali. Akhirnya dia menutup penuturannya,
“Mahkota ini biarpun benda kuno, akan tetapi amat penting, Locianpwe. Karena itu mati-matian saya merampasnya kembali dan sekarang hendak saya antarkan kepada paman Tan Hok?”
“Di mana adanya Tan Hok?”
“Tadinya paman Tan Hok pergi ke Thai-san-pai untuk minta bantuan paman Tan Beng San dalam hal merebut kembali mahkota ini. Karena itu saya pikir, lebih baik saya susul ke Thai-san-pai untuk menyerahkan mahkota ini kepadanya.”
“Ke Thai-san-pai? Bagus sekali memang akupun sudah lama kangen, hendak melancong ke Thai-san. Kebetulan sekali, akupun ingin bertemu dengan ketua Thai-san-pai, mantuku yang pintar itu agar dia memberi hajaran kepada anaknya yang goblok!”
Kun Hong melengak, tidak tahu apa maksud kata-kata ini.
“Bagaimana dengan keadaan saudara Kong Bu dan isterinya? Ah, mereka selamat-selamat saja, bukan?”
Kun Hong tersenyum karena teringat akan keponakannya, Kui Li Eng yang sekarang sudah menjadi nyonya Tan Kong Bu, Ingat betapa keponakannya itu lincah jenaka, nakal seperti Loan Ki!
“Itulah. Mereka itu yang menyakitkan hatiku dan hendak kuadukan kepada Beng San. Sialan betul aku mempunyai cucu goblok!”
“Eh, kenapa, Locianpwe? Apa kesalahan saudara Kong Bu dan isterinya? Kalau ada kesalahan, sayalah yang mintakan maaf dan ampun kepada Locianpwe……”
“Siapa orangnya tidak mendongkol. Disini menanti-nanti, disana enak-enak dan menganggap sepi saja. Masa sampai empat tahun aku mengharap-harap, belum juga mereka mempunyai anak! Coba pikir, apa ini tidak menjengkelkan?”
Mulut Kun Hong ternganga heran
“Anak………..?”
“Ya, anak! Aku sampai mimpi setiap malam memondong cucu buyut. Dasar Kong Bu tidak becus!”
Hampir saja Kun Hong tak dapat menahan ledakan tawanya. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan tidak tertawa, maklum bahwa yang dia anggap lucu itu bagi kakek ini agaknya merupakan sebuah soal yang amat gawat. Maka dia malah menghibur,
“Harap Locianpwe bersabar. Saya merasa yakin bahwa seorang gagah perkasa seperti Locianpwe ini, kelak pasti dikurniai cucu buyut yang banyak!”
Benar saja. Omongan ini bagaikan segelas air es untuk seorang kehausan di tengah hari. Mendinginkan perasaan. Kakek itu tertawa-tawa lagi dan berkata,
“Kun Hong, kau harus lekas-lekas kawin! Orang seperti kau ini tentu jauh lebih berharga daripada cucuku Kong Bu. Aku tanggung bahwa kau kawin setahun aku sudah akan dapat memondong anakmu yang kuanggap cucuku sendiri. Ha-ha-ha, alangkah senangnya kalau aku bisa menyaksikan anakmu dan menurunkan semua ilmuku kepadanya. Ha-ha-ha, Song-bun-kwi si setan bangkotan akan mati dengan mata meram!”
Merah muka Kun Hong. Dia merasa jengah, akan tetapi juga terharu sekali karena didalam kekasarannya, kakek ini membayangkan kasih sayang yang besar dan rasa kekeluargaan yang mendalam. Dia berterima kasih sekali, akan tetapi untuk mencegah kakek ini melantur dan berkepanjangan tentang kawin, dia segera mengajak kakek itu berangkat ke Thai-san.
Akan tetapi, dia tidak dapat mencegah kakek itu menggali-gali soal lama ketika berkata,
“Kun Hong, kau tidak boleh selalu mengenang Cui Bi. Yang sudah mati sudahlah. Kau masih hidup dan kau harus mencari gantinya. Seorang yang tidak berketurunan adalah orang yang paling puthauw (murtad) di dunia ini! Kau tirulah pamanmu Beng San. Dahulu dia sampai menjadi gila ditinggal mati anakku, akan tetapi kemudian dia toh dapat berbahagia dengan Li Cu dan punya anak lagi!”
Kun Hong berdebar keras jantungnya, akan tetapi dia diam saja tidak menjawab, hanya hatinya berdoa supaya kakek itu tidak berkepanjangan bicara tentang hal yang amat tidak enak baginya itu.
Mendapat petunjuk jalan seperti Song-bun-kwi, tentu saja Kun Hong dapat melakukan perjalanan yang amat cepat. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Song-bun-kwi mengobrol dan hanya pada pemuda inilah dia dapat mencurahkan semua isi hatinya.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka di lereng Thai-san dan keduanya merasa terheran-heran melihat kesunyian daerah sekitar puncak. Kalau jantung Kun Hong berdebar-debar karena teringat akan Cui Bi dan semua peristiwa yang terjadi di puncak ini empat tahun yang lalu, adalah Song-bun-kwi yang terheran-heran dan mulai merasa tidak enak hatinya.
“Kun Hong mengapa begini sunyi disini? Biasanya tentu ada anak murid Thai-san-pai yang hilir mudik. Mengapa Thai-san-pai sekarang begini sepi?”
“Locianpwe, lebih baik kita langsung naik ke puncak saja, agaknya para anak murid sedang dikumpulkan di puncak oleh paman Tan Beng San. Siapa tahu datangnya paman Tan Hok mendatangkan perubahan di Thai-san-pai karena menghadapi urusan penting.”
“Huh, orang-orang muda itu ribut-ribut saja tentang urusan negara. Huh, bosan aku! Kaisar dan para pembesar istana itu orang-orang apa sih? Mereka juga manusia biasa seperti kita! Akan tetapi mengapa untuk segelincir dua gelincir manusia seperti itu, untuk jatuh bangunnya seorang dua orang kaisar, selalu rakyat yang laksaan banyaknya harus dijadikan korban?”
Kalau saja Kun Hong belum mendengar filsafat dari mulut Tan Hok, tentu dia akan setuju seratus prosen terhadap pendapat kakek itu. Akan tetapi sekarang, berdasarkan filsafat dari Tan Hok, dia sudah mempunyai pendapat yang lebih jelas tentang urusan negara. Tanpa pemimpin yang menentukan hukum-hukum negara, takkan ada kehidupan tenteram, takkan ada tata-tertib karena rakyat hanya akan mengenal hukum rimba, hukumnya dunia persilatan.
Bayangkan saja kalau yang berkuasa saja adalah orang macam kakek ini, yang tidak perdulian, yang aneh, kadang-kadang amat kejam, akan jadi apakah penghidupan ini? Negara harus ada pengaturnya, rakyat harus ada pemimpinnya, mencontoh keadaan alam semesta. Alam semesta inipun membutuhkan pimpinan dan penguasa yang mengatur segalanya.
Bayangkan saja, tanpa adanya Tuhan Seru Sekalian Alam, tanpa adanya kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa, alangkah akan kacau-balaunya alam semesta ini. Mungkin bintang-bintang akan saling bertubrukan, matahari akan kehilangan panasnya, akhirnya segalanya akan hancur lebur!
Demikianlah, rakyat dan negara harus mempunyai pimpinan. Dan segala keributan terjadi, segala perang saudara pecah karena masing-masing golongan, masing-masing fihak menghendaki calon pimpinan pilihan hati masing-masing. Tentu saja ini dikarenakan menurut keyakinan masing-masing, pilihan hati itu adalah orang-orang yang mereka percaya akan mampu menjadi pemimpin yang baik.
Sekarang terjadi perebutan tahta kerajaan, tentu saja bagi para pembesar itu karena mereka memperebutkan kedudukan yang akan menjamin hidup kaya raya dan terhormat. Akan tetapi bagi rakyat yang membela mereka, dasarnya hanyalah ingin memiliki pemimpin-pemimpin yang benar-benar akan dapat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan rakyat.
Karena mempunyai dasar filsafat ini, maka Kun Hong hanya tersenyum saja mendengar ucapan Song-bun-kwi tadi. Dia tidak menjawab melainkan mengajak kakek itu mendaki puncak.
Kalau bukan Song-bun-kwi yang menjadi petunjuk jalannya, Kun Hong takkan berani mengajak naik ke puncak karena dia maklum bahwa menaiki puncak Thai-san merupakan perjalanan yang jauh lebih sulit dan berbahaya daripada memasuki Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi, kakek itu pernah tinggal disitu dan karenanya hafal benar akan semua rahasia di puncak Thai-san.
Setelah melalui jalan rahasia yang berakhir dengan sebuah terowongan, akhirnya mereka sampailah di puncak Thai-san. Mereka meloncat keluar dari mulut terowongan yang merupakan sebuah gua rahasia dan kagetlah Kun Hong ketika dia mendengar Song-bun-kwi berseru keras,
“Celaka……..!”
063
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI