PENDEKAR BUTA JILID 080

Kemudiah kegelisahan lebih menguasai hatinya. Ia berhenti menangis dan memeriksa dengan teliti luka-luka di tubuh Kun Hong di bawah sinar lampu remang-remang. Ia bergidik, jelas bahwa luka-luka itu adalah luka bekas bacokan. Nampak tanda-tanda yang jelas bahwa penolongnya ini baru saja habis berkelahi dengan hebat. 

Wajahnya tiba-tiba pucat. Kalau penolongnya terluka seperti ini, berarti musuh-musuhnya masih ada. Siapa tahu melakukan pengejaran sampai kesini! Ia tahu bahwa penolongnya sakti, akan tetapi dalam keadaan pingsan seperti ini, kalau musuh datang lalu bagaimana? Ia kembali bergidik dan merasa ngeri, lalu menoleh kekanan kiri, matanya jelalatan penuh ketakutan. 

Melihat tongkat Kun Hong menggeletak diatas lantai, cepat ia mengambilnya dan dengan tangan gemetar ia menyusupkan tongkat itu ke bawah tilam pembaringan. Matanya mencari-cari lagi siap menghapus tanda-tanda akan adanya Kun Hong disitu. 

Pakaian Kun Hong yang penuh darah berada di sudut kamar, cepat ia menyambarnya, dan melemparkannya ke kolong pembaringan, lalu dengan cekatan ia menggosok-gosok dan menghapus tanda-tanda darah di lantai dengan sehelai kain. 

Setelah keadaan kamar itu normal kembali, ia lalu duduk lagi di pinggir pembaringan, memegang lengan tangan Kun Hong dan memandang bingung. Seperti seekor kelinci bersembunyi dari kejaran harimau, sebentar-sebentar ia menoleh ke arah pintu depan, bibirnya gemetar berbisik lirih,

“A Wan……. kenapa kau belum juga pulang…….?”

Terdengar suara langkah kaki di luar rumah. Janda muda itu berseri wajahnya. 
“A Wan dan sinshe datang……” pikirnya dan ia sudah bangkit berdiri, Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendengar suara seorang laki-laki diluar pintu pondoknya itu, suara halus tapi penuh ejekan.

“Hemmm, si buta keparat itu menghilang disini.” Terdengar pintu itu diketuk dari luar.

“Tok-tok-tok!”

Menggigil kedua kaki janda Yo, sesaat ia seperti terpaku dan tak mampu menjawab atau bergerak sedikitpun juga.

“Tok-tok-tok! Hee, sahabat pemilik rumah, harap buka pintu sebentar aku ingin bertanya!” Terdengar suara halus tadi kini berteriak.

Seperti kilat menyambar sebuah pikiran menyelinap ke dalam kepala janda muda itu. Ia tahu benar bahwa orang diluar pondoknya itu tentu musuh penolongnya yang datang membawa niat buruk. Berdegup jantungnya kalau ia ingat bahwa orang itu datang untuk membunuh Si Pendekar Buta! Hanya beberapa detik pikiran ini memenuhi kepalanya dan timbullah akal seorang wanita yang dengan sepenuh perasaannya berusaha menolong seorang yang amat dikasihinya dan dipujanya daripada bahaya maut. 

Sekaligus rasa takut dan cemas lenyap ketika timbul kenekatan di hatinya untuk membela dan melindungi penolongnya itu, wajahnya memancarkan kecerdikan dan tubuhnya tidak menggigil lagi. 

Cekatan sekali ia meraih selubung lampu minyak, menggosokkan jari-jari tangannya pada langes yang menempel di selubung lampu, menghampiri Kun Hong memupuri muka pemuda itu dengan langes. Sebentar saja muka itu berubah hitam, menyembunyikan muka yang aseli dari pemuda itu. Tangan meraih lain dinding yang masih ada kapurnya, digosok-gosok dan seperti tadi ia menggosokkan kapur itu pada rambut Kun Hong. 

Melihat hasilnya kurang memuaskan, ia segera memutar otak, memandang ke kanan kiri, lalu mengambil tempat bedaknya dan menaburkan bedak itu pada kepala Kun Hong yang kini berubah menjadi keputih-putihan seperti rambut ubanan seorang laki-laki tua!

“Tok-tok-tok! Sahabat, bukakan pintu, kalau tidak kau buka, terpaksa akan kurobohkan!” suara diluar mendesak tidak sabar lagi.

“Tunggu sebentar…….!” 

Janda muda itu berseru kaget, menarik selimut menutupi tubuh Kun Hong sampai keleher. Ia lalu melangkah ke pintu kamar, menoleh sekali lagi dan lega hatinya melihat bahwa kini tidak ada lagi tanda-tanda bahwa yang berbaring di dalam kamar itu adalah seorang pemuda yang pingsan, akan tetapi kelihatan seperti seorang laki-laki tua tidur pulas! 

Tergesa-gesa ia keluar kamar, teringat akan sesuatu pikirannya yang cerdik dalam usahanya menolong Pendekar Buta itu bekerja keras, melirik kearah pakaian di tubuhnya dan cepat ia membuka dua buah kancing di dekat leher melonggarkan ikat pinggangnya, mengusutkan pakaiannya disana sini, melepaskan sebagian rambut dari pita rambutnya yang ia kendurkan, kemudian cepat ia berlari-lari kearah pintu yang sudah mulai digedor lagi oleh orang diluar itu.





“Aku datang…….! Tunggu sebentar…….. siapa sih yang suka mengganggu orang tidur?” kata nyonya janda ini dengan suara yang tiba-tiba berubah genit! 

Di ruang tengah ia menyambar lilin yang sudah menyala, kemudian dengan lilin dipegang tinggi-tinggi dengan tangan kiri, ia membuka palang pintu depan dengan tangan kanan.

“Kriiiiitt!” 

Daun pintu berderit ketika dibuka perlahan oleh tangan nyonya janda Yo yang agak gemetar. Sinar lilin bergerak-gerak tertiup angin, menerangi wajahnya dan wajah orang yang berdiri diluar pintu. 

“Ohhhhh…….!” 

Dua buah mulut mengeluarkan seruan sama dan dua pasang mata saling pandang. Mata nyonya Yo memandang dengan perasaan cemas, heran dan seruannya tadi yang memang ia sengaja untuk melengkapi aksinya bergenit tadi menjadi sumbang karena keheranannya ini. 

Sama sekali ia tidak mengira akan melihat seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang kongcu terpelajar, sikapnya halus dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda orang jahat. Hal ini membuatnya ragu-ragu dan sejenak ia hanya bengong, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. 

Dilain fihak, seruan yang keluar dari mulut orang muda itu adalah seruan tercengang dan kagum, lalu sepasang matanya menjelajahi pemandangan didepannya itu dari atas ke bawah lalu kembali lagi dari bawah keatas. Sanggul rambut yang awut-awutan, sebagian rambut terurai menutupi sebuah muka yang berkulit putih kuning berbentuk bulat telur, mata yang jernih, hidung mancung mulut kecil manis, pakaian yang biarpun sederhana namun membayangkan bentuk tubuh yang padat dan bagus, baju yang terbuka kancingnya di bagian atas memperlihatkan sebagian leher dan dada yang berkulit halus bersih. Apalagi di bawah sinar api lilin yang mobat-mabit karena angin, wanita yang berdiri di depannya benar-benar amat manis dan mengairahkan hati.

Orang muda itu bukan lain adalah The Sun. Pemuda cerdik ini diam-diam meninggalkan gelanggang pertempuran karena maklum bahwa para pengemis anggauta Hwa I Kaipang itu takkan mungkin dapat lepas daripada hantaman para perwira yang selain menang banyak, juga dibantu oleh tokeh-tokoh lihai. 

Yang dia pentingkan adalah Kwa Kun Hong, maka cepat dia mengejar ketika melihat Si Pendekar Buta itu mampu meloloskan diri daripada kepungan. Akan tetapi karena maklum bahwa Pendekar buta itu memiliki jurus yang aneh yang amat dahsyat, dia berlaku hati-hati dan mengejar secara diam-diam. 

Dia maklum bahwa orang itu sudah terluka parah dan dia akan mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira bahwa lawannya itu yang bermata buta dapat berlari secepat itu sampai dia kehilangan jejaknya. 

The Sun penasaran dan melakukan pengejaran kesana kemari. Dengan penuh perhatian dia mencari jejak si buta itu dan akhirnya pemuda cerdik ini dapat menyusul sampai ke pondok janda Yo!

Hanya sebentar The Sun terpesona oleh kemanisan wajah nyonya janda muda itu. Memang dia seorang pemuda yang romantis dan kadang-kadang tidak melewatkan kesempatan baik untuk melayani wanita-wanita cantik yang tergila-gila kepada ketampanan wajahnya atau kepada kedudukannya yang tinggi. 

Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa The Sun adalah seorang mata keranjang atau hidung belang yang suka mengganggu wanita, sama sekali bukan. Hanya dapat dikatakan bahwa pertahanan terhadap kecantikan wanita tidaklah begitu kuat. Ketika dia teringat lagi akan buronannya, secepat kilat dia menarik keluar pedangnya dan mengelebatkan pedangnya yang tajam itu di depan muka nyonya Yo yang menjadi pucat seketika.

“Katakan dimana si jahanam buta itu, hayo cepat mengaku sebelum pedangku memenggal lehermu yang putih itu!” 

The Sun mengancam matanya tak lepas dari kulit leher putih yang mengintai dari balik baju yang terbuka dua buah kancingnya.

“Apa……. apa maksudmu? Eh, Kong-cu, harap kau jangan main-main dan simpanlah senjatamu itu yang bisa membikin aku mati ketakutan! Aku sedang pusing dan jengkel merasakan suamiku tua bangka yang berpenyakitan saja, kau datang-datang mengganggu dengan gedoran pintu dan sekarang menuduh yang bukan-bukan, bicara tentang jahanam buta yang sama sekali tidak kumengerti artinya! Apa sih maksudmu sebenarnya dan kau ini siapakah, Kongcu?” 

Aneh sekali, ucapan dan nada suara nyonya janda ini jauh berbeda daripada biasanya, sekarang kata-katanya centil, sikapnya genit dan matanya yang bagus itu menyambar-nyambar wajah tampan The Sun!

“Hemm, tak usah kau pura-pura!” bentak The Sun tanpa menurunkan pedangnya. “Aku mengejar seorang, penjahat buta dan jejaknya lenyap di tempat ini. Tentu dia bersembunyi didalam rumahmu ini, hayo lekas mengaku dan tunjukkan aku dimana dia!”

Jantung di dalam dada nyonya janda itu serasa hendak meloncat keluar saking takutnya, akan tetapi ia pura-pura marah dan memandang kepada The Sun dengan mata melotot akan tetapi malah menambah kemanisan wajahnya karena bibir yang mungil itu mengarah senyum dan sikapnya menantang. 

“Apa kau bilang, Kongcu? Hemmm……. harap kau jangan pandang rendah kepadaku! Biarpun suamiku tua bangka dan berpenyakitan, tapi jangan kira aku mau berdekatan dengah seorang penjahat, apalagi kalau dia itu buta. Cih, menjijikkan!” Kembali lirikan mata menyambar dalam kerlingan yang amat manis memikat.

Mau tak mau The Sun tersenyum, jantungnya mulai berdebar. Hemm, jelas Sekali wanita muda yang cantik manis ini “memberi hati” kepadanya dengan sikapnya menantang sekali. Betulkah suaminya tua bangka dan berpenyakitan? Hal ini saja sudah menjadi alasan kuat. Akan tetapi, betulkah Kun Hong tidak bersembunyi disitu? Dia tidak boleh sembrono dan lebih baik menyelidiki lebih dulu.

“Aku tidak percaya! Hayo tunjukkan dimana suamimu dan biar aku melakukan penggeledahan dulu. Dengan siapa saja kau disini?”

Janda Yo sengaja cemberut, bibirnya yang merah itu diruncingkan ketika ia melangkah ke samping memberi jalan kepada The Sun. 

“Kongcu begini halus dan tampan, tapi galaknya bukan main!” ia bersungut-sungut. “Sudah terang suamiku tua bangka muka hitam yang buruk dan berpenyakitan, kau masih ingin menjenguknya lagi, apakah untuk bahan mengejek dan memperolokku?”

Kembali The Sun berdebar dan tersenyum. 
“Mana bisa aku percaya kalau belum melihat sendiri? Siapa bisa percaya seorang cantik jelita seperti kau ini suaminya tua bangka berpenyakitan?”

“Ihh, Kongcu ceriwis!” 

Janda Yo membuang muka dengan lagak yang genit dan memikat sekali. Di dalam hatinya nyonya janda ini berdoa supaya musuh penolongnya ini akan percaya dan tidak akan memeriksa kedalam kamar. 

Akan tetapi The Sun bukanlah seorang bodoh. Dia amat cerdik dan biarpun kali ini jantungnya sudah berjungkir-balik terkena pengaruh kecantikan janda muda itu, namun dia tidak kehilangan kewaspadaannya dan mendahulukan tugasnya daripada kesenangan hatinya.

“Hayo, perlihatkan aku kamar suamimu!”

Janda Yo mengangkat lilin dan dengan kaki agak menggigil ia melangkah kearah pintu kamarnya. Ia berdoa semoga penolongnya itu masih pingsan seperti tadi. Ketika ia dan The Sun melangkahkan kaki ke ambang pintu kamar, janda Yo sengaja menggoyang-goyang tempat lilin sehingga api lilin itu bergerak-gerak dan keadaan di dalam kamar tidak begitu jelas, hanya tampak remang-remang oleh The Sun betapa seorang laki-laki bermuka kehitaman dan berambut penuh uban sedang berbaring tak bergerak, tidur pulas agaknya!

“Sshhhhh, harap jangan berisik. Kalau dia bangun, batuknya akan kumat dan akulah yang berabe harus mengurut-urut dadanya…….” bisik nyonya janda Yo sambil mendekatkan mukanya di telinga The Sun sehingga orang muda itu mencium bau sedap yang agaknya keluar dari rambut wanita muda itu. 

Terpikat oleh ini, The Sun tidak jadi melangkah masuk, hanya melepas pandang dengan tajamnya kearah “kakek” itu lalu sinar matanya berkeliaran ke seluruh kamar yang hanya kecil sederhana itu. Tiba-tiba pedangnya berkelebat, mengeluarkan bunyi mendesing menyambar ke depan!

“Crakk!” Papan ujung pembaringan itu tahu-tahu telah terbelah.

“Oh-oh……. jangan……. ahh…….!” 

Janda Yo kaget setengah mati dan menubruk lalu merangkul pundak The Sun, lilin yang dipegangnya jatuh dan padam.

The Sun tersenyum lega. Kakek itu ternyata masih enak tidur saja. Kalau di dalam kamar itu terdapat Kun Hong yang bersembunyi, sebagai seorang ahli silat sudah pasti akan keluar mendengar desingan pedangnya tadi. Terang disitu tidak terdapat orang yang dia kejar, sedangkan kakek tua bangka suami wanita muda yang cantik jelita ini jelas adalah orang yang tiada guna. 

Dia menyimpan pedangnya kembali, kemudian tertawa perlahan dan menarik tangan nyonya Yo yang masih gemetar ketakutan itu keluar kamar. Gelap pekat diluar kamar karena sekarang tidak ada lilin lagi.

“Kau cantik manis …….”

“Ah, pergilah…….. jangan kau ganggu kami yang tidak berdosa……. pergilah dari sini, kasihani aku dan suamiku yang tua dan sakit…….”

The Sun tertawa, tidak halus seperti biasanya lagi, melainkan suara tertawa yang parau mengandung nafsu kotor. 

“Manis, kalau aku tidak kasihan dan cinta kepadamu, tentu pedangku tadi sudah memenggal leher suamimu si tua bangka tiada guna, ha-ha-ha!”


********





081

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)